Cari Blog Ini

Selasa, 31 Januari 2012

Ke Jogja (lagi)

Akhirnya impianku untuk nggowes di Jogja (lagi) pun kesampaian! It is so hilariously exciting!
(special thanks buat Cipluk yang telah ngompori aku untuk ikut menghadiri ‘gathering’ korwil b2w DIY dan Jateng)

Sabtu 15 Januari 2011

Menjelang pukul 06.00 pagi aku telah sampai di stasiun Pontjol dengan mengendarai ‘Snow White’ (nama yang ‘diberikan’ oleh Cipluk untuk ‘seli’ yang dibelikan oleh kakak laki-lakiku satu-satunya untuk adik-adiknya plus keponakannya yang semua perempuan). Sesampai di loket penjualan karcis, Wahyu memanggil namaku. Ah ... aku langsung merasa lega tatkala mendapati dua makhluk yang tak asing lagi – Wahyu dan Riu – di dekatku, plus aku yakin tentu mereka memiliki tujuan yang sama: JOGJA.

Namun ternyata aku tidak jadi berangkat ke Jogja bersama mereka berdua: mereka ditolak menaiki kereta Banyubiru karena mereka membawa ‘fixie’ dan bukan seli. L untung tak lama kemudian Cipluk datang dan langsung menemukanku duduk di sebuah gerbong. (FYI, bagi yang masih asing dengan kereta api Banyubiru, para penumpang bebas mau duduk di mana karena di karcis tidak tertera nomor tempat duduk. Tempat duduk berupa ‘bangku’ panjang di sebelah kiri dan kanan, saling berhadapan. Di tengah berupa ‘space’ tempat orang berjalan lalu lalang. Aku bisa bebas ‘mendudukkan’ Snow White tepat di depanku.)

dalam gerbong kereta Banyubiru

Ini adalah pengalaman pertama bagiku berangkat ke Jogja naik kereta api. Zaman kuliah di UGM dulu selalu aku naik bus untuk pulang pergi. Kereta berhenti di beberapa stasiun yang bernama asing bagiku; misal ‘Gambringan’, ‘Salem’ (wah, langsung teringat nama kota di novel ‘Scarlet Letter’ gubahan Nathaniel Hawthorne) dll. Sama sekali tidak memberiku gambaran kereta sampai di kota mana. (Bandingkan dengan jika naik bus keSolo, dari Semarang kita akan melewati Ungaran, Salatiga, Boyolali, Kartasura.)

Di tiap stasiun tempat kereta berhenti untuk menaikkan maupun menurunkan penumpang, banyak perempuan penjual ‘pecel’ yang naik ke kereta untuk menjajakan dagangannya. (Peristiwa ini mengingatkanku pada puisi Hartoyo Andangjaya yang berjudul “Perempuan-Perempuan Perkasa”.) Cipluk yang ternyata belum sempat sarapan – karena berangkat dari Kudus pukul 04.30 – membeli dua ‘pincuk’ pecel: satu buatnya dan satu buatku. (Thanks sweetie. )

Cipluk ‘terpaksa’ turun di stasiun Purwosari Solo karena dia harus mengambil sepedanya ke rumah Ranz terlebih dahulu, sehingga aku melanjutkan perjalanan ke Jogja sendirian. (Aku udah keburu beli karcis Semarang – Jogja.) Sesampai di stasiun Tugu, dekat Malioboro Jogja, aku turun, ‘memasang’ seli yang sewaktu di stasiun Pontjol dilipat oleh Riu (call me a ‘procrastinator’ to practice to fold and unfold the bike by myself, LOL), kemudian ... nggowes! So exciting! Feel like coming home!

Sempet bingung aku mau kemana. Aku ga yakin Cipluk bakal nyampe jam berapa. Juga Wahyu dan Riu bakal turun di Maliobor sebelah mana, jam berapa. Itu sebab aku langsung nggowes menuju Jakal km 7,8 tempat sobatku mukim. Namun, belum juga sampai di masjid Syuhada, Kotabaru, aku mendapatkan sms dari Ranz yang sedang berada di Surabaya untuk menunggu kedatangan Cipluk, Wahyu, dan Riu di Malioboro. Aku balik lagi ke Malioboro. Nongkrong di salah satu bangku yang disediakan pemerintah Jogja di jalan yang paling terkenal di Indonesia itu, aku sms Riu mengabari bahwa aku berada di Malioboro, menunggunya. Akan tetapi belum sampai aku mendapatkan balasan dari Riu, hapeku mati: low bat.   Bingung what to do dan bagaimana aku bisa terhubung dengan Riu, Wahyu, maupun Cipluk, tanpa pikir panjang aku langsung nggowes ke Jakal km 7,8: aku harus ngecharge hape!

Siang itu matahari bersinar sangat terik di Jogja. Aku sampai di rumah sobatku, Detta, sekitar pukul 12.15, wet due to sweat. LOL. Disuguhi sirup jeruk yang dingin nikmat, sembari ngadem di dalam rumahnya, cukup membuatku malas berangkat lagi ke Balaikota tempat diselenggarakan ‘gathering b2w’. LOL.

Setelah mandi, makan siang, pukul 14.15 aku (akhirnya) berangkat nggowes ke Jalan Kusumanegara dengan sedikit petunjuk dari Detta, dari ‘Galeria’ yang terletak di Jalan Solo, lurus saja menuju Selatan. Perjalanan sempat terhenti sejenak karena perubahan cuaca yang ekstrim, dari panas ke hujan deras plus disertai angin kencang. Aku juga sempat masuk Bulaksumur – for old time’s sake – dan terheran-heran dengan adanya pos satpam di tiap ruas jalan masuk. (UGM no longer belongs to public? No longer welcome anybody who wants to pass by? L) Namun mungkin karena aku naik sepeda, satpam tidak menghentikanku untuk masuk kawasan Bulaksumur, untuk diinterogasi, misalnya, atau pun bayar retribusi. (Kok jadi kayak jalan tol?) Aku sempat muter ke Fakultas Ilmu Budaya (yang di zaman aku kuliah S1 namanya “Fakultas Sastra”), namun ga sampai masuk ke daerah Balairung, Gedung Pusat.

Dari UGM, aku melanjutkan perjalanan ke jalan Kusumanegara, kugenjot pedal Snow White dengan santai, karena toh meski acara gathering sudah dimulai, Riu dan Wahyu sudah ada di lokasi acara, mereka bisa diminta untuk laporan apa saja yang diperbincangkan. Saking semangatnya nggowes (atau juga saking malesnya mau nanya orang dimana Balaikota terletak LOL), aku sampai di Gembira Loka. Ck ck ck ... zaman kuliah S1 dulu rasanya Gembira Loka letaknya jauuuuuuhhhh banget dari kosku di Jakal km 5. Lha kok sekarang aku nyampe sana naik sepeda! ~ lebay mode on ~

Setelah bertanya dengan seorang penjual buah di pinggir jalan letak Balaikota, yang menjawab dengan sangat ramah, aku sampai juga di tempat diselenggarakannya ‘gathering b2w’. :-P

Aku bayangkan acara gathering akan selesai sekitar pukul 19.00 atau 20.00 karena tentu teman-teman ingin ber-night ride menikmati Jogja malam hari. Aku bayangkan setelah ngikut night ride, aku masih akan sempat nggowes balik lagi ke Jakal km 7,8 karena tas berisi baju kutinggal di rumah Detta. (Maklum, aku tidak tahu ‘rundown’ acara.) Namun ternyata tak kunjung usai sampai menjelang pukul 22.00. Dan ternyata pula mataku tak bisa kuajak kompromi. Sempet ciut hatiku membayangkan harus nggowes sendirian sampai rumah Detta dari Balaikota, di malam hari, (aku YAKIN orang-orang Jogja bukan kriminal, namun para new comers nya?) Dari Balaikota mau langsung ke hotel Gedong Kuning, tempat menginap para peserta gathering, namun ternyata seusai acara, teman-teman mau NR. Dengkul dan kakiku masih bisa diajak nggowes, namun mataku tidak bisa melek. LOL. Untunglah Darmawan menawari tumpangan. Kebetulan dia memang harus pulang ke rumah mertua yang letaknya tidak jauh dari rumah Detta.

Sampai di rumah Detta menjelang  pukul 23.00 kalau tidak salah. Melihat mataku yang sudah 5 watt, dia pun menyuruhku langsung masuk kamar dan tidur. I slept like a log. LOL.

Minggu 16 Januari 2011

Sekitar pukul 04.00 aku mendengar air hujan yang menggedor-gedor atap rumah. Waduh, acara nggowes keliling kota jadi ga ya? Hawa dingin menyurutkanku untuk segera nggowes ke Gedong Kuning untuk paling tidak meninggalkan rumah Detta pukul 05.30. Dalam keadaan gerimis halus, aku pergi pukul 05.50, terlambat 20 menit dari rencanaku sendiri. Untung gerimis ga berlangsung lama.

Sempat sms Riu dan Cipluk untuk ngabari bahwa aku berniat ikut nggowes keliling kota agar tidak ditinggal rombongan, aku sempat juga berpikir untuk nggowes sendirian aja, menyusuri jalan-jalan yang kukenal. Split into two, aku pun menggenjot pedal dengan amat santai. (bless me! LOL.)

Jawaban yang kudapat Riu menyarankanku untuk langsung ke arah Pakualaman, jadi ga perlu ke Gedong Kuning. (kalau tahu akhirnya mereka befoto-narsis-ria di jembatan dekat daerah Terban – aku ga tahu nama jalannya, tapi lanjutan Jalan Solo menuju Barat, sebelum sampai Tugu, konon km 0 Jogja – dari arah Jakal aku langsung kesono saja, dengan resiko menggendong backpack sepanjang nggowes keliling kota.) Namun kenyataanya aku sampai juga di hotel Gedong Kuning, menitipkan backpack, kemudian nggowes ‘mengejar’ rombongan. Setelah aku melewati Balaikota dan Taman Makam Pahlawan, Riu ‘menjemputku’ untuk kemudian bergabung dengan teman-teman dari Semarang dan Cipluk, plus satu penunjuk jalan (atau yang bisa kita sebut sebagai ‘marshall’)

Selama mengikuti gowes bareng ini, aku ingat waktu gowes bareng beberapa teman pada tanggal 30 November 2008 dimana kita semua merasa satu padu, aku tidak merasa berada di antara orang-orang asing. Ketika salah satu menyarankan untuk berhenti disatu tempat, semua berhenti dengan riang gembira. Tidak ada peristiwa, misal, ketika beberapa gelintir orang butuh berhenti untuk sarapan, mereka berhenti, yang lain silakan menlanjutkan perjalanan. Lah, orang asing sepertiku kan jadi bingung mau ngikut yang mana. (Mungkin karena aku ga ikut sejak awal perjalanan jadi tidak tahu bagaimana aturan mainnya.) Tapi, kalau pun aku jadi ‘hilang terlantar’ aku yakin bisa menemukan jalan Gedong Kuning, untuk mengambil backpack, dan melanjutkan melakukan apa pun yang harus kulakukan. 

(Orang-orang ‘asli’ Jogja – alias bukan pendatang – benar-benar ramah memberikan penunjuk jalan. Pengalaman waktu mencari hotel Gedong Kuning, aku bertanya pada seseorang yang dari logatnya tatkala menjawab pertanyaanku aku simpulkan dia bukan orang Jogja. Dia cukup ramah, namun memberiku arah yang salah. LOL.)

Rombongan tiba kembali di hotel sekitar pukul 10.30. Bersih-bersih diri, packing, istirahat sejenak, makan siang, dan kita semua meninggalkan hotel sekitar pukul 12.15. Riu menyarankanku untuk naik Joglosemar, meski aku pengen naik kereta lagi. Dan berhubung Cipluk memutuskan naik bus patas yang akan langsung membawanya ke Kudus, aku pun setuju naik bus. Aku dan Cipluk nggowes berdua di siang yang terik dari Gedong Kuning menuju terminal Jombor, selama kurang lebih1 jam. (Her two buddies from Kudus HEARTLESSLY left her because they took Trans Jogja bus to Jombor while she could not take a bus because she was riding fixie and not folding bike. DO YOU BELIEVE THAT???)

Kita berdua sampai di Jombor sekitar pukul 13.30. Setelah Cipluk beli tiket bus yang berangkat pukul 14.15, dia mengantarku ke tempat pemberangkatan bus Joglosemar yang terletak tak jauh dari Jombor. Aku mendapatkan tiket bus yang berangkat pada jam yang sama. Kemudian Cipluk langsung kembali ke terminal Jombor karena dia harus melepas ban sepeda fixienya agar bisa dimasukkan ke dalam bagasi bus. (wahh ... aku harus belajar darinya masalah melepas dan memasang ban nih, agar aku pun bisa mengajak si Orange jalan-jalan, tanpa merepotkan teman-teman. Kalau pergi dengan teman-teman b2w Semarang seperti Darmawan, Zacky, Eka, Nasir dll tentu aku tinggal menemani dan menonton mereka melepas dan memasang ban, LOL.)

Demikianlah ‘oleh-oleh’ perjalanan ‘dinas’ mengikuti gathering b2w DIY dan Jateng di Jogja.

Nana Podungge
GL7 11.15 17.01.11

B2W ke PBIS perdana

si Orange di depan gedung sekolah :)

Semenjak aku dihadiahi sebuah sepeda oleh teman-teman b2w Semarang tersayang, aku sudah berangan-angan suatu saat nanti akan mencoba b2w ke SPB, tempat aku bekerja di pagi hari (jam 07.00-15.00). FYI, SPB terletak di kaki bukit Gombel. Jaraknya dari rumah sih ga terlalu jauh, hanya kurang lebih 8km. Yang memberatkan dari rumah ke SPB adalah melewati tanjakan.

Namun karena di pagi hari aku masih memiliki tanggung jawab mengantarkan Angie ke sekolah (sebelum dia lulus SMA), aku tentu selalu bisa ‘ngeles’ dari janji pada diri sendiri ini, seperti banyak anggota b2w lainyang selalu mengambinghitamkan ‘mengantar anak ke sekolah’ untuk tidak bisa berb2w.

Tanggal 13-17 Juli para siswa SPB masih libur, namun para guru harus sudah mulai masuk kerja untuk mempersiapkan segala hal yang berkaitan dengan kegiatan belajar mengajar. Untungnya kita boleh sampai di sekolah pukul 08.00, dan bukan pukul 07.00 seperti pada hari kerja biasa.

Berhubung seminggu sebelumnya aku selalu bersepeda ke Maron di pagi hari, aku sempat berpikiran untuk tetap melanjutkan ‘kebiasaan’ ini, mumpung aku masih bisa agak nyantai untuk sampai ke kantor (pukul 08.00). Dan tiba-tiba aku pun jadi teringat janji pada diri sendiri untuk mencoba berbike to work ke SPB. Pikiran ini muncul pada hari Senin 13 Juli.

Untuk itu hari Selasa tatkala berangkat ke kantor, aku sudah ‘mencicil’ membawa perlengkapan mandi plus rok panjang (‘my favorite clothes) untuk ganti. Selasa malam sepulang dari rapat di Sekretariat, aku dan Indra ngebut karena Indra khawatir bapak kos keburu menutup pintu masuk karena dia lupa membawa kunci. Hal ini tentu membuat kakiku pegal dan bertanya pada diri sendiri, “Jadi ga ya besok pagi b2w?” (sekaligus untuk menutupi alasan yang sesungguhnya: ‘males capek’. LOL.)

Namun ternyata tatkala aku bangun hari Rabu 15 Juli, aku tetap bertekad bulat: b2w.
Dan yah begitulah. Aku berangkat dari rumah pukul 06.00, mengambil rute Pusponjolo—Kelud—Tumpang—S Parman—dst sampai Teuku Umar dan Jatingaleh.

 
(Waktu istirahat di Tumpang, moto sepeda di depan sebuah hotel)

Mengapa lewat Tumpang. Jalan ini lumayan sepi sehingga tatkala aku merasa lelah, aku bisa beristirahat di pinggir jalan tanpa terganggu asap knalpot. Aku istirahat dua kali, masing-masing 5 menit.

Sampai di SPB pukul 06.55, less than an hour. Aku masih memiliki waktu satu jam untuk mandi, ganti baju, dll sebelum memulai kerja.

Pulangnya tinggal menikmati turunan. Aku hanya butuh waktu kurang lebih 25 menit.
“Pegel ga Ma’am kakinya?” tanya seorang teman kerja di LIA, tatkala aku bercerita (alias pamer LOL) aku b2w ke SPB. “Ya iyalah...” jawabku enteng.

But I am proud of myself.

“Kapan lagi Na?”
Entahlah. As soon as possible sih maunya.

PT56 21.30 180709

Ke Banyumanik :)

Kucopy-paste dari sini

Setelah ‘berhasil menaklukkan’ Banyumeneng (ehem...) dengan menaiki si ‘orange’ (in fact not so standardized bike for XC), aku mulai berpikir untuk mencoba bike to work ke SPB yang terletak di Jalan Gombel Lama. Pertanyaan utama adalah: butuh waktu berapa lama kah aku gowes dari Pusponjolo ke Gombel Lama? Jarak yang ‘hanya’ kurang lebih 8,5 km sebenarnya tidak jauh. Kendala utamanya: ada minimal tiga ‘bukit’ yang harus kulalui: Jalan Gajahmungkur atau Siranda, Gajahmungkur lebih landai dibandingkan Siranda, tapi jalan relatif (mungkin) dua kali lebih panjang; Jalan Sultan Agung, tidak securam Siranda, namun tentu tenagaku telah terkuras tatkala menaiki Siranda; yang terakhir Jalan Teuku Umar, lebih curam dibandingkan Sultan Agung, namun jalan lebih pendek.

Itu sebab aku dengan antusias ikut rombongan b2w ke Banyumanik hari Minggu 25 Januari: untuk mengukur kemampuanku, serta berapa menit kira-kira naik ke ‘kaki bukit’ Gombel dari meeting point SMA 1 Semarang. Bukan semata-mata demi sesuap nasi yang akan disediakan oleh mas Ian, yang mengundang members b2w untuk bertandang ke rumahnya yang baru, namun lebih ke ‘ambisi’ pribadi, untuk kemudian hari mewujudkan obsesi bike to work ke SPB.

Berbeda dengan satu minggu sebelumnya, malam sebelum XC ke Banyumeneng, pukul 20.00, aku sudah mlungker di tempat tidurku yang empuk dan nyaman (meski kemudian sempat terbangun di tengah malam, karena ada sms dari yang sekarang berdomisili di Bali, setelah meninggalkan Qatar, mengabarkan sepedanya telah sampai di Bali, dan dia terkena sindrom kangen Semarang, kangen pit-pitan dengan teman-teman b2w Semarang). Malam sebelum ke Banyumanik, aku masih melek sampai pukul 22.40, menyelesaikan tulisan ‘Women in our Sinetrons’.

Pagi, sebelum berangkat, di meeting point hanya ada orang kurang lebih 12 orang, minus the girls yang katanya mau nanjak lewat Tanah Putih. Eka belum nongol. Untung ada mas Nasir, my patient savior.

Ternyata aku lupa melihat jam tatkala akhirnya rombongan meninggalkan meeting point.

Naik Siranda, aku terpaksa berhenti satu kali, ditemani mas Nasir. Tatkala dilihatnya gear kiri tidak mau kupindah sampai ke nomor 1 (seminggu sebelumnya juga terjadi seperti ini, cuma waktu itu mas Ndaru ‘memberi komando’ (setengah minta tolong sih LOL) ke Bambang RL untuk memperbaikinya). Mas Nasir ga bisa memperbaikinya, mana di tengah tanjakan lagi, hingga akhirnya dia pakai cara manual, dia sentuh dengan mesra rantai sepedaku, dipindah ke gear yang paling ringan. LOL. Setelah itu, dengan sabar dia gowes di sebelahku, sambil kadang-kadang mendorong punggungku (yang menggendong tas b2w kesayanganku) untuk mentransfer tenaga dalam. Cie ... LOL.

Sampai di atas, beristirahat di Taman Diponegoro, dengan alasan menunggu Eka dan Yoni yang sedang menyusul. (Thanks to both of you for your being late, LOL, aku kan jadi lumayan lama istirahatnya. LOL.)

Perjalanan dilanjutkan. Naik Jalan Sultan Agung, slowly but surely I did it.
Naik Jalan Teuku Umar, again, mas Nasir mentransfer tenaga dalamnya lewat sentuhan tangannya ke tas b2w yang nangkring di punggungku. LOL.

Aku jadi ingat obsesiku untuk b2w ke SPB. Nampaknya aku masih butuh latihan menaklukkan Siranda/Gajahmungkur berkali-kali sebelum akhirnya making my obsession come true.:)

Berhenti sejenak sebelum masuk ke jalan tol. Di sini rombongan dari meeting point bertemu dengan Ipoet, Maya, dan mas Ndaru. Kemudian kita naik Gombel bersama-sama, namun nyampai di puncak beda-beda. Ya maklum lah.

Jika Ipoet dan Maya mengaku berhenti 7 kali waktu menaiki tanjakan Tanah Putih, aku berhenti 5 kali waktu menaiki Gombel. Istirahat paling lama di RM Panorama. (Adinda Ipoet, jangan lupa aku minta fotonya ya entar, sebagai bukti aku naik Gombel naik sepeda. :-D) Sepanjang perjalanan naik Gombel, someone wearing white T-shirt (I don’t know his name yet) became my savior, he patiently kept encouraging me and transfering his energy to me.

Sesampai di puncak Gombel, lega, meski belum sepenuhnya, karena perjalanan ke Banyumanik masih lumayan lama.

Setelah sempat tersesat tatkala mencari alamat, rombongan akhirnya tiba di kediaman mas Ian dengan selamat. Disambut dengan dua buah tandan pisang di atas meja, wedang kacang hijau yang hangat, plus mendoan hangat yang lezat. Kita pun mulai relaks, bercanda dan tertawa-tawa. Aku sempat digodain mas Budi Seli, “Wah, sudah bisa tertawa lepas sekarang? Tadi di Gombel wajahnya ditekuk melulu.” LOL.

Hidangan utama: sate lontong.

Bambang RL terpaksa meninggalkan lokasi terlebih dahulu karena dia harus masuk kerja jam 09.00.

Aku lupa melihat jam berapa tatkala kita semua meninggalkan rumah baru mas Ian yang asri. Perjalanan pulang sangat lancar, karena tidak melewati tanjakan yang cukup berarti. Aku pun sangat menikmati turunan beberapa bukit yang sebelumnya kudaki dengan susah payah: Gombel, Teuku Umar, Sultan Agung, dan Gajahmungkur.

I arrived home at 10.20.

(Kapan b2w ke SPB? Entahlah. LOL.)

PT56 22.22 260109

Minggu, 29 Januari 2012

Ke Jogja untuk yang pertama kali

pertama kali mejeng di depan tulisan UNIVERSITAS GADJAH MADA naik sepeda, my lovely Orange

LAPORAN KUNJUNGAN B2W SEMARANG KE B2W JOGJA

Pada hari Sabtu 29 Nopember 2008, 12 anggota b2w Semarang meninggalkan kota Semarang menuju Jogja kurang lebih pukul 16.00. Keduabelas orang tersebut yaitu Darmawan, Maya, Iput, Lila, Yudhi, Yoni (two newbies of b2w Semarang), Gandhi, Zacky, Tunggal, Eka, Erwin yang disertai Rini, his beloved wife, dan Nana Podungge, alias si penulis laporan ini. J Alat transportasi yang dipakai:

1.    mobil Darmawan berisi Darmawan beserta his beloved family
2.    mobil Erwin berisi Erwin, Rini, dan the Podungge girls
3.    mobil Tunggal berisi Tunggal (beserta seorang teman), Zacky, Yoni, Yudhi, Eka, Gandhi
4.    mobil pick up yang disopiri oleh sang perempuan perkasa kita, Maya, didampingi her ‘fake twin’ sister, Iput, mengangkut 9 sepeda
 
Perjalanan berjalan dengan lancar. Rombongan memasuki kawasan terminal Jombor sekitar pukul 19.10. Roshid yang telah sampai di Jombor terlebih dahulu kemudian bergabung dengan kita. Dalam perjalanan mencari lokasi tempat menginap (karena kita kehilangan jejak Darmawan) di sekitar Jalan Kaliurang km 7, kita menemukan rombongan pengendara sepeda lengkap dengan helm, dan atribut bike tag b2w Jogja. Ternyata mereka juga sedang mencari lokasi PIMD (baca è Pondok Indah Mertua Darmawan), untuk menyambut rombongan b2w Semarang. Rombongan b2w Jogja dipimpin oleh Didit dan Imam. Terus terang merupakan satu hal di luar dugaan rombongan b2w Semarang.

Setelah beramah tamah sebentar, makan malam, bersih-bersih tubuh, 12 anggota b2w Semarang, didampingi oleh 10 anggota b2w Jogja menuju sekretariat b2w Jogja yang terletak di Jalan Cik Ditiro, kurang lebih 4 km dari tempat menginap. Di sana telah disiapkan penyambutan yang hangat oleh ketua b2w Jogja, Indy dan rekan-rekan. Kedua rombongan saling memperkenalkan diri masing-masing organisasi.

B2w Jogja didirikan sekitar tahun 2006 dengan anggota ‘awal’ sekitar 30 orang. Dua tahun setelah itu, Indy mengatakan jumlah anggota membengkak menjadi kurang lebih 450 orang. Kegiatan rutin pertemuan resmi organisasi pada hari Rabu malam di sekretariat, untuk memperbincangkan maupun diskusi hal-hal yang berkenaan dengan organisasi, misal rencana-rencana resmi organisasi. Setelah itu kadang diakhiri dengan Night Ride keliling kota dengan atribut lengkap b2w untuk berkampanye. Selain itu, setiap hari Jumat malam diadakan ‘workshop’ di pusat ‘workshop’ b2w Jogja yang terletak di belakang jalan Malioboro (sebelah Barat). Untuk ‘workshop’ ini b2w Jogja sangat berbangga hati karena mengaku sampai sekarang satu-satunya komunitas b2w di seluruh Indonesia, hanya Jogja yang memiliki ‘workshop’. Agenda workshop bermacam-macam, mulai dari belajar/mengajar mengganti ban, memperbaiki kerusakan pada sepeda, merakit sepeda, sampai pusat jual-beli sparepart (bekas) bagi para anggota b2w Jogja. Atau mungkin bagi mereka yang kelimpahan rejeki membeli sparepart baru, mereka dapat menghibahkan sparepart lama mereka kepada anggota lain yang memerlukan, dengan cara menitipkan di workshop. Juga disediakan berbagai macam sepeda mulai dari onthel, seli, MTB, city bike dan lain sebagainya untuk untuk dicoba para pemula yang ingin membeli sepeda, sehingga mereka bisa membeli tipe sepeda sesuai dengan yang mereka kehendaki, dan tentu saja sesuai dengan kocek masing-masing.
Selain pertemuan hari Rabu dan Jumat, ada juga pertemuan ‘tidak resmi’ yang biasa diadakan pada malam minggu di boulevard UGM.
Perlu diketahui anggota b2w Jogja juga terbagi ke beberapa kelompok kecil, misal para pecinta sepeda tua (onthelist), low rider, dll. Semua yang merasa menggunakan sepeda sebagai alat transportasi kegiatan sehari-hari masuk kedalam keanggotaan b2w Jogja.
Setelah Indy selesai menjelaskan sejarah berdirinya sekaligus beberapa kegiatan b2w Jogja, sebagai ketua rombongan Darmawan bercerita sedikit tentang b2w Semarang yang memang masih sangat muda usianya. Tatkala rapat pembentukan tanggal 26 Juni 2008 hanya dihadiri oleh sebelas orang, sampai sekarang mungkin jumlah anggota sudah lebih dari 50 orang. Pertemuan diadakan pada hari Sabtu dan Minggu pagi di ‘mabes’ yang terletak di Jalan Pahlawan.
Dari sekretariat b2w Jogja di Jalan Cik Ditiro, rombongan b2w Semarang dibawa menuju tempat workshop b2w Jogja dan berbincang-bincang sebentar dengan sang pemilik rumah. Kegiatan workshop dipusatkan di rumahnya karena orang-orang yang tinggal di sekitar situ lah yang mencetuskan ide tersebut.

Dari workshop, kita diajak night ride menuju ‘warung poci’ Lik Min yang terletak di kawasan jalan Bantul. Minuman utama yakni teh. Selain itu juga disediakan wedang jahe, jeruk, dan lain-lain.

Malam itu untuk pertama kalinya rombongan b2w Semarang melakukan JMR, alias Jogja Midnight Ride, karena kita kembali ke tempat menginap di Jalan Kaliurang km 8 sekitar pukul 01.30. Jarak yang kita tempuh kurang lebih 25-30 km.

We did appreciate the lovely hospitality shown by the host of b2w Jogja.

*****
Keesokan hari, Minggu 30 Nopember 2008, rombongan b2w Semarang meninggalkan tempat menginap yang asri sekitar pukul 06.45. Tempat pertama untuk bernarsis ria yakni di boulevard UGM, agar Gedung Sabha Pramana, tempat wisuda UGM bisa menjadi latar belakang kita. Setelah itu di dinding yang bertuliskan UNIVERSITAS GADJAH MADA kita narsis habis. (I was so happy that eventually I could pose myself here with my dear friends as well as my new bike, a lovely gift from my lovely friends.)

Dari kawasan UGM, dalam perjalanan menuju Tamansari, kita mampir ke Benteng Vredeburg yang terletak di pojok Jalan Malioboro. Setelah puas bernarsis ria, baik di halaman luar maupun di halaman dalam benteng, kita menuju Tamansari atau juga yang disebut ‘Water Castle’. Bertahun-tahun aku tinggal di Jogja, belum pernah sekalipun mampir ke sini. Itu sebabnya Darmawan ngeledek, “Mbak Nana tipe mahasiswa 3K—kamar, kakus, kampus.” Aku sendiri menggunakan akronim lain, 2KP: kos, kampus, perpus.
Tidak banyak yang bisa kuceritakan menggunakan kata-kata tentang kunjungan kita ke Benteng Vredeburg maupun Tamansari. Our abundant pictures will tell you all.
Pulang dari Tamansari, kita makan siang kepagian, sekitar pukul 11.00, tak jauh dari hotel Melia Purosani. Acara selanjutnya berbelanja di Malioboro. Dasar bike freaks, di Malioboro pun yang dikunjungi toko sepeda. Namun ada juga beberapa dari kita membeli oleh-oleh untuk orang rumah tersayang, yang tidak ada hubungannya dengan sepeda. LOL.
Pulang menuju Jalan Kaliurang km 8, mampir di sebuah toko yang terletak di jalan Kaliurang km 5.5.
Kita sampai di PMID sekitar pukul 13.45. Kaum laki-laki kembali bersibuk-sibuk diri ‘packing’ sepeda ke atas mobil pick up. Kaum perempuan beres-beres diri di kamar. LOL.
Rombongan berangkat ke Semarang sekitar pukul 16.30. Mampir makan malam di Magelang.
Kita berhenti di pom bensin Pudakpayung sekitar pukul 20.00 untuk ‘menurunkan’ Gandhi dan Yudhi sekaligus dengan sepeda mereka. Kita pun berpisah dengan Erwin di sini.
Sementara Darmawan and family langsung melaju pulang ke rumahnya, rombongan yang berada dalam mobil Tunggal dan mobil pick up berhenti di RL pukul 21.00. Tak lama kemudian Tunggal meneruskan perjalanan menemui his beloved family di Demak. Maya dan Iput tersayang ‘memaksa’ mengantarkanku dan Lila pulang. (Don’t worry, kita sangat menyukai paksaan sebangsa ini. LOL.) Mereka pun dengan super baik hati mengantar Roshid. How angelic you both are. Thank you very much.

Sementara itu Eka, Yoni, dan Zacky dengan sabar menunggu kehadiran our two angels kembali dari mengantar the Podungge girls dan Roshid di RL. All of you are awesome friends.

What a lovely and unforgettable trip.

Secara pribadi aku ingin mengucapkan terima kasih kepada

  • Darmawan yang telah mencetuskan ide berkunjung ke Jogja, menyediakan yummy dinner dan breakfast, sekaligus tempat menginap yang asri.
  • Tunggal dan Erwin yang menyediakan mobil untuk mengangkut para peserta.
  • Maya dan Iput yang menyediakan mobil untuk mengangkut sepeda para peserta.
  • Eka yang rajin memotret kita dengan kameranya yang sophisticated (calon ‘dosen’ bike clinic b2w Semarang nih!)
  • Yudhi, Yoni, Zacky, Gandhi, Roshid yang membuat perjalanan ini semakin lengkap. Roshid yang anteng, Gandhi yang usil, Zacky yang dengan tega meninggalkan bapak kos demi bersama kita gowes di Jogja, Yoni, the youngest of all yang jadi ‘bahan’ ledekan agar ramai dalam perjalanan pulang, serta Yudhi yang juga ternyata dengan cepat menunjukkan bakatnya menjadi banci narsis.
  • Tak ketinggalan duo Pak Budi kita yang dengan baik hati meminjamkan thule maupun bike rack.
See ya on the next trip.
Luvyaall,
Nana Podungge
Sekretaris 1 b2w Semarang
PT56 22.45 011208
Untuk foto-foto klik aja di:

Jogjaaaaaaaa


sebelum berangkat, di rumah Darmawan menata sepeda

mejeng di boulevard UGM

di halaman dalam benteng Vredebourg

dalam kawasan Tamansari

konon di belakang kita adalah kolam tempat para putri dulu mandi :)

nunut narsissssss, hahahaha

XC Kedungjati 9 November 2008

di depan kantor RL, sebelum berangkat

Hari Minggu 9 November 2008, beberapa anggota b2w Semarang ber-XC ria ke Stasiun kereta Kedungjati, yang terletak (konon) kurang lebih 44 km dari pusat kota Semarang. Rencana semula meninggalkan meeting point RL pukul 05.00, agar bisa ngejar kereta yang menuju Semarang (pukul 09.30), sehingga kita hanya gowes sepanjang kurang lebih 45 km. Namun dikarenakan hujan turun di waktu menjelang Subuh, membuat sebagian calon peserta ragu-ragu, akhirnya kita meninggalkan RL pukul 06.30. (Yo' opo iku, molor kok kar tengah jam!!! LOL. Parah banget.)
istirahat di jalan

Walhasil, setiba di stasiun Kedungjati, kita ketinggalan kereta. (Sampai di sana pukul 09.40) Setelah sarapan gudangan plus lontong, sebagian besar dari kita tidak keberatan menunggu kedatangan kereta berikut dari Solo yang akan menuju Semarang, sekitar pukul 14.30. Namun karena ada seorang dari kita yang harus buru-buru pulang, ditunggu sang istri tercinta karena berjanji mengantarnya pergi ke satu tempat, kita tidak jadi menunggu kedatangan kereta berikut. Plan B adalah menunggu omprengan truck yang akan balik ke Semarang.

Unfortunately, it was not as easy as we expected.

Aku sebenarnya tidak keburu-buru harus balik ke Semarang sehingga pengennya menunggu sampe dapat truck, atau kalau ternyata sampai jam 14.00 belum juga dapat truck, kita mau balik ke stasiun untuk naik kereta. (terus terang saja aku sudah kepayahan, LOL, maklum, this was my first XC. NGELES MODE ON. LOL.) But some friends insisted on going home by bike. Yo wis, ngikut the crowd aja deh. Luckily, sebelum mulai nggowes, ada mobil pick-up lewat, dalam perjalanan menuju Pati, dan sang supir bingung ga tahu arah. Simbiosis mutualisme pun terjadilah. LOL. Kita butuh tumpangan, sang supir butuh penunjuk jalan. Walhasil, kita bersembilan (aku, adikku, Maya, Iput, Tunggal, Nasir, Triyono, Zacky, Adit) dengan gembira ria numpang, sampai pertigaan (Kedungjati, Demak, Semarang). Yang penting kita ga perlu melewati jalan tanjakan. LOL.

Itu pun kita ga mampu mengejar tiga b2wer yang sudah kabur duluan, Tyo, Teguh, dan Pak Trisna. LOL. (Hebat bener mereka bertiga yah? LOL.)

Itu pun jarak yang kita tempuh tetap saja kurang lebih 80km.

Special thanks buat Adit atas foto-fotonya.

C-Net 20.04 121108




salah satu pemandangan yang kita lewati

menuju stasiun di depan :)

menikmati pecel gendar, ki-ka: Triyono, aku, Tyo

istirahat di dalam kawasan stasiun

stasiun Kedungjati yang artistik :)

Pantai Maron: Bercinta dalam Lumpur



Setelah mengikuti ‘kampanye bersepeda’, beberapa anggota b2w—Triyono, Ndaru, Agung, Eka, Yoni, Drajat, Hidayat, Kholik, Nasir dan aku sendiri—melanjutkan nggowes ke Pantai Maron yang terletak tidak jauh dari bandar udara Ahmad Yani Semarang. Mengingat hari-hari terakhir ini hujan turun setiap hari di Semarang, yang nota bene matahari jarang bersinar, aku sudah memperkirakan medan off-road setelah lepas dari kawasan bandara akan menjadi sangat berlumpur, mungkin ada kubangan air di sana sini, sehingga menjadi sangat menantang bagi mereka yang melewatinya.
baru masuk ke kawasan lumpur

aku di depan :)






the only woman arrived at the beach :-D

Perjalananku terakhir ke Pantai Maron yakni tanggal 23 Nopember. Meskipun sudah memasuki musim hujan, seingatku pada hari Sabtu 22 Nopember, seharian tidak turun hujan, dan matahari lumayan bersinar. Itu sebabnya meskipun jalannya licin di sana sini, masih ‘enak’ dilewati.

Namun perjalanan ke Maron tanggal 21 Desember ini meninggalkan kesan yang jauh lebih mendalam karena beberapa hal, selain karena seorang Agung Tridja ikut kali ini. (Dasar narsis, sebelum pulang dia sempat berbisik kepadaku, “Pokoknya event apa pun akan sangat berkesan kalo aku ikut!” LOL.)

Pertama berbelok ke areal off-road, teman-teman yang berada di belakangku (aku berada di depan karena aku sudah berpengalaman ke Maron beberapa kali) bersorak gembira, “Akhirnya kita sampai juga ke areal yang kita rindui!”

Baru beberapa meter berjalan, kita bertemu dengan banyak orang yang sedang berjalan berlawanan arah dengan kita. “Jalanan buruk mbak, ga bakal nyampe ke pantai! Mending berbalik saja!”

Aku tersenyum sambil menjawab, “Terima kasih.”

Kadang aku berkata, “Oh? Di sana jauh lebih buruk ya kondisinya?”

aku menuntun sepeda Eka, Eka duduk di atas Orange, di atas ada Yoni

Ketika bertemu dengan seseorang yang dengan terang-terangan memprovokasi aku untuk kembali, sekaligus menunjukkan pesimisnya bahwa aku akan patah semangat di tengah jalan, aku bilang, “Ya gimana ya? Tuh teman-teman di belakang saya malah suka dengan kondisi jalan yang seperti ini!”

Klakep. LOL

Sesampai di separuh perjalanan, dimana ada sebuah jembatan yang menghubungkan jalan menuju ke sebuah perumahan, jalanan semakin memburuk. Tanpa kuketahui sebagian dari kita ada yang mengambil jalur kiri, termasuk mas Nasir, my savior dalam perjalanan XC ke Kedungjati.

Eka berusaha menaklukkan lumpur mengendarai Orange, sepedaku :)

Aku sempat hampir patah semangat tatkala kaki kiriku terperosok ke lumpur, seluruh sepatu kiriku terbenam. Eka yang berada di belakangku tak henti-hentinya menyemangatiku, “Ayo mbak Nana, angkat kakinya, lanjutkan perjalanan. Kayuh terus pedalnya, jangan lupa stel girnya agar kayuhan ringan.” Ketika melihatku lebih memilih menuntun sepeda (aku mulai kehilangan kepercayaan diri bahwa aku mampu menaikinya), Eka pun menawarkan sepedanya kunaiki, “Mbak Nana naik sepedaku aja. Ini bannya mencengkeram!” Dan ternyata benar. Enak sekali nggowes di jalanan berlumpur seperti itu menaiki sepeda hasil rakitan Eka sendiri ini.

Beberapa saat kemudian aku baru menyadari beberapa dari kita—Triyono, Nasir, Hidayat, dan Drajat—memilih jalur kiri, yang konon katanya kondisinya tidak ‘semengerikan’ jalur kanan. I was a bit unhappy for this karena ‘saingan’ berebut untuk bernarsis ria di depan kamera akan berkurang. LOL. “Kita ga bisa foto bareng nanti di pantai!” rajukku, sambil setengah berteriak, agar mereka mendengar.

“Lha gimana lagi? Jalanan di situ parah banget!” komentar mas Nasir, setengah berteriak pula.

Beberapa saat kemudian ...

Setelah melihat air laut yang membiru dari kejauhan, menandakan bahwa ‘etape’ pertama kita akan berakhir, uh ... leganya hatiku. LOL.

“Jalanan becek berlumpur dan licin yang berat dilalui ini setara dengan lima tanjakan!” kata Agung hiperbola. LOL.

Wah, aku lebih memilih jalanan becek berlumpur ini Gung, dibandingkan lima tanjakan yang setinggi Gombel. LOL. Aku pun lega Darmawan tidak jadi ikut karena istrinya ga berani ‘menanggung resiko’. Poor her kalau harus berjuang melawan jalanan seperti ini.
Baru kali ini aku melihat pantai Maron sepi pengunjung. Warung penjaja makanan dan minuman pun hanya ada dua yang buka.

Perjalanan menantang yang cukup melelahkan ini, meskipun tidak jauh, telah membuat perut kita kelaparan. Apalagi aku yang lupa membawa minum. I was very thirsty!

“Tahu ga mbak, beda antara enak dan lapar itu tipis?” kata mas Ndaru, waktu kita menunggu pesanan makanan kita datang.

“Well, orang bilang lapar adalah lauk yang paling lezat..” jawabku.

Ini adalah kali pertama aku makan di salah satu warung di Pantai Maron. Maklum, untuk melanjutkan ‘etape’ yang kedua—yakni balik lagi ke jalan raya—kita semua tentu butuh asupan makanan dan minuman yang cukup.

“Will you directly post this in your blog tonight?” tanya Agung, sebelum kita melanjutkan perjalanan.

“How about if I write a poem for this?” tanyaku balik.

Agung manggut-manggut sambil bilang, “Bercinta dalam lumpur...”

“Hey ... that’s a superb idea!” komentarku.

(Namun ternyata meskipun telah nongkrong di depan monitor beberapa lama, tak jua muncul kata-kata yang bisa kupakai dalam puisiku, sehingga aku malah menulis ‘laporan perjalanan’ ini dalam bentuk esei.)

Kholik yang ada keperluan telah meninggalkan kita berlima seusai makan. Namun ternyata, dalam perjalanan balik, dia kurang beruntung, ‘letter S’-nya patah. Itu sebab tak lama kemudian kita berlima telah menyusulnya. Segera Eka mengeluarkan peralatan yang dia miliki, setelah kita memilih satu tempat di pinggir, di atas rumput. Aku menonton sambil terkagum-kagum karena yang bisa kulakukan dengan sepeda hanyalah menaikinya. LOL. Agung dengan cekatan melakukan ini itu. Mas Ndaru membantu memberi instruksi ini itu. Demikian juga Eka. Sedangkan Yoni ngadem di bawah rerimbunan, takut warna kulitnya tambah gelap, LOL, karena pada saat itu, sekitar tengah hari, matahari mulai memancarkan sinarnya.
Cukup makan waktu lama untuk membuat sepeda Kholik bisa dinaiki secukupnya. Sementara itu ternyata dia telah menelpon seseorang untuk menjemputnya yang kemudian datang naik sepeda motor. Sepedanya pun dia taruh di tengah.

Tak lama kemudian, sepeda Yoni yang hampir mengalami peristiwa yang hampir serupa dengan Kholik. Bedanya adalah Yoni segera menyadarinya, sehingga bisa segera pula dibetulkan, di bawah instruksi Eka, sehingga tidak sampai ‘letter S’-nya patah.

Tatkala menunggui kedua kakak beradik ini, aku sempat meprovokasi sepasang kekasih untuk kembali ke jalan raya saja, karena terlihat keragu-raguan di wajah kedua orang tersebut. Apalagi kulihat si perempuan mengenakan sepatu ‘feminin’ berhak sekitar 3 cm lancip.

“Sepatumu dilepas saja,” kata si laki-laki. “Lihat saja jalanan seperti ini.” Mungkin terbayang kalau dia terpaksa meminta kekasihnya turun dari motor.
Si perempuan ragu-ragu.

“Ya, lebih baik sepatunya dilepas saja.” Kataku, ikut campur. LOL. “Sayang kalau kotor, apalagi rusak,” kataku lagi.

“Tuh kan ...” kata si laki-laki berusaha meyakinkan kekasihnya.

“Atau lebih baik lagi balik aja ke jalan raya. Kondisi jalan di sebelah sana jauh lebih ‘buruk’ dibandingkan kondisi jalan di sini,” provokasiku.

Aku ingat provokasi orang-orang tatkala aku mulai memasuki medan ‘off-road’ gagal total menghentikan gowesanku.

Namun provokasiku berhasil dengan mudah. LOL. Si lelaki pun segera memutar sepeda motornya. Kembali ke jalan raya.

Si Orange memimpin sepeda-sepeda lain, xixixixi

Setelah Yoni dan Eka berhasil membetulkan gear sepedanya, kita bertiga segera menyusul Agung dan mas Ndaru yang terheran-heran ada apa kok kita tertinggal lumayan jauh.
Sesampai di jalan raya, kita berlima sepakat mencari tempat cuci sepeda motor, agar sepeda kita bisa segera dibersihkan. Kita menemukan tempat itu di sebuah gang Anjasmoro, setelah bertanya kepada seorang tukang parkir di Jalan Anjasmoro Raya. Kebetulan yang memiliki usaha sedang ‘nganggur’ alias tidak ada pasien, sehingga sepeda-sepeda kita pun segera ditangani. Semula si Bapak pemilik usaha akan menolak, karena belum pernah mendapatkan ‘sepeda’ sebagai pasien. Namun, ternyata mas Ndaru’s authoritarian voice (baru tahu aku ternyata dia memiliki kemampuan para politisi ini LOL) membuat si Bapak menerimanya without any reservation. LOL. Untung di depan tempat cuci sepeda motor ini ada sebuah warung kecil tempat kita bisa nongkrong, minum dan makan snack, sambil ngobrol.

Untuk ‘lebih melengkapi’ kesan perjalanan kali ini, ban sepeda mas Ndaru bocor!!!
Menunggu proses cuci sepeda lima biji ini ternyata lumayan lama. Agung sempat pamer tubuh (bagian atas doang!!!) karena ga tahan panas. Angin sepoi-sepoi yang kadang berhembus membuat mata pun mengantuk.

“Ingat ga waktu kecil dulu kita paling malas kalau disuruh tidur siang? Kalau ga tidur siang, nanti dislentik telinganya!” kata mas Ndaru.
full team, kecuali Ndaru, sang photographer :-D (ki-ka: Yoni, Agung, aku, Eka, Kholik)


Aku langsung ketawa ngakak karena ingat masa kecil dulu. Seingatku aku ga pernah membangkang kalau disuruh tidur siang. Tapi kakakku pernah punya ‘kasus’ dengan bokap gara-gara ga mau pakai sandal. Kita diharuskan memakai sandal, meskipun berada di dalam rumah, demi menjaga kebersihan kaki dan kesehatan tubuh. Kakakku paling malas memakai sandal hingga satu hari bokap marah-marah waktu pulang dari kantor. Melihat kakakku tersayang dimarahi, aku pun menangis keras-keras. Bokap pun heran; orang yang dimarahin kakaknya, ini kenapa si adik yang nangis? LOL. Nyokap yang mencup-cup aku pun bilang, “Yang dimarahin bukan Nana kok. Udah cup diem.” Aku tetap saja menangis, sehingga bokap pun akhirnya berhenti marah. LOL.

“Betapa enaknya tidur siang itu. Nyesel deh kenapa waktu kecil dulu aku suka mbeling kalau disuruh tidur siang. Maunya main melulu. Sekarang? Tidur siang di kantor jelas diomel-omelin bos. Bisa tidur siang adalah sebuah anugrah ...” Kata mas Ndaru lagi lebih lanjut. LOL.

aren't my sneakers lovely? :0D

Ban bocor sepeda mas Ndaru ditangani sendiri karena kebetulan dia membawa persediaan untuk menambal ban bocor, dan Eka membawa pompa kecil yang dari jauh nampak seperti vibrator. Wakakakaka ... (Suwer, aku ngelihatnya HANYA di salah satu serial “Sex and the City”, belum ngeliat yang asli. LOL.) Ajaibnya, yang melakukan penambalan adalah Yoni. (Yon, kamu bisa buka usaha tambal ban! LOL.)

“In this off-road trip, Eka is your savior...” kata Agung, sebelum kita meninggalkan tempat.
“Yup, you are absolutely right!” jawabku.

Aku bersyukur tempat tinggalku tidak jauh dari Anjasmoro. Yoni dan Eka lumayan masih harus menggowes sepedanya dalam waktu beberapa lama. Agung dan mas Ndaru yang perjuangannya paling ‘poll’, karena tinggal di ujung Semarang bagian Tenggara.

*****
Malamnya mas Nasir datang ke rumah untuk mengambil kaos jersey b2w Semarang yang masih ada lima biji di tempatku. Teman-teman kerjanya tertarik untuk membelinya. “Hikmah city tour,” kata mas Budi Seli.

Dari perbincangan sejenak aku tahu bahwa keempat orang yang mengambil jalur kiri gagal mencapai laut karena suatu ‘rintangan’. Demi kemaslahatan bersama, akhirnya mereka memutuskan untuk kembali.
PT56 23.45 211208