BIKEPACKING TO
NAMPU BEACH
AN UNENDING
SERIES OF UPHILL AND DOWNHILL JOURNEY
Berbekal informasi
(yang ternyata tidak sepenuhnya) benar, Ranz dan aku memulai perjalanan
bikepacking ke Pantai Nampu yang terletak di desa Dringo kelurahan Gunturharjo,
kecamatan Paranggupito, kabupaten Wonogiri dengan penuh semangat. Informasi
awal yang kita terima adalah jarak Solo – Wonogiri 40 kilometer dan Wonogiri
(kota) – Pantai Nampu juga sekitar 40 kilometer dengan kondisi jalan yang
‘biasa saja’. Dengan informasi ini kita berharap akan sampai di Pantai Nampu di
sore hari, paling lambat pukul 17.00
Kita berdua berangkat
hari Sabtu 3 September 2011. Meninggalkan rumah Ranz yang terletak di daerah
Laweyan sekitar pukul 09.00 kita mampir dulu di Soto Seger yang terletak di
Jalan Bhayangkara, seberang jalan dari LBPP LIA Solo. J Bagi seorang ‘newbie’
sepertiku, soto di rumah makan ini memang benar-benar ‘seger’ dan maknyus maka
tidaklah heran jika seluruh tempat duduk di dalam rumah makan yang berukuran
sekitar 10 x 10 meter penuh! Jika semula aku ingin memesan teh manis panas, aku
terpaksa mengurungkan niat itu karena hawa di dalam ruangan cukup ‘hangat’
sehingga membuatku berkeringat. Ada dua jenis soto yang disediakan yakni soto
daging sapi dan soto daging ayam. Beberapa lauk yang terletak di atas meja
panjang yaitu tempe goreng, mendoan, tahu goreng, bakwan, sate telor puyuh,
sate paru, sate hati ayam, dan perkedel. Semua enak.
Selesai sarapan kita
langsung gowes ke arah Sukoharjo setelah mampir di sebuah minimarket untuk
membeli bekal minuman dan masker. Kita meninggalkan mini market ini sekitar
pukul 10.00
Perjalanan cukup
lancar sampai gerbang masuk Kabupaten Wonogiri. Dengan semangat narsissisme,
kita pun berfoto ria dan menjadi tontonan orang-orang yang naik kendaraan
bermotor yang lewat. :) Sampai salah satu dari mereka tiba-tiba menghampiri
kita sambil berbicara, “Eh, ikut foto dong!” Ranz dan aku tentu saja heran ada
orang ‘nekad’ seperti ini. Namun ternyata si orang nekad ini adalah mas Tunggal,
rekan sepeda yang kebetulan diberi tanggung jawab sebagai ketua Komunitas
Sepeda Lipat Semarang (Komselis). Dia sedang dalam perjalanan meninggalkan
Wonogiri menuju Jogjakarta.
Beberapa saat kemudian
sekitar tengah hari kita pun memasuki gerbang kota Wonogiri dan kita mulai
disambut dengan tanjakan! Ternyata tanjakan ini adalah awal tanjakan yang tak
kenal habis sampai akhir tujuan: Pantai Nampu.
Semangat dan tenaga
kita berdua masih penuh sehingga kita pun melahap tanjakan demi tanjakan sampai
kita melewati Waduk Gajahmungkur. Tanjakan yang panjang dan tak habis-habis
sementara kondisi jalan penuh kendaraan bermotor yang mungkin merupakan para
pemudik yang akan balik ke kota masing-masing. Tak jarang kita mendapatkan
acungan jempol yang tentu dikarenakan kita berdua menanjak dengan sepeda lipat.
Karena tak mau
melewatkan kesempatan bernarsis ria di daerah waduk, kita pun mampir
berfoto-foto sekalian beristirahat.
Meninggalkan waduk
Gajahmungkur sekitar pukul 15.00. Aku dan Ranz mulai menambah laju kecepatan
sepeda agar bisa sampai di tempat tujuan sebelum matahari terbenam. Sementara
itu aku mulai merasa lapar sehingga ketika melewati sebuah rumah makan di
daerah Wuryantoro kita mampir untuk makan siang yang kesorean. Tak lupa kita
bertanya kepada si pemilik rumah makan apakah kita berada di track yang benar
menuju Pantai Nampu, dan kita mendapatkan jawaban, “Iya benar. Tinggal lurus
saja mengikuti jalan ini.” Namun dia tak bisa memberikan estimasi jarak berapa
kilometer lagi yang harus kita tempuh. Kita meninggalkan rumah makan ini
sekitar pukul 16.10.
Ada beberapa pertigaan
yang kita lewati, dan kita tetap memilih jalan utama yang menuju kecamatan
Pracimantoro.
Frankly speaking
semangat mulai mengendur apalagi ternyata track yang kita lewati full tanjakan
turunan melulu dan sampai lebih dari pukul 17.00, kita masih tak melihat
tanda-tanda akan sampai di pantai.
Kita akhirnya sampai
di pusat kecamatan Pracimantoro sekitar pukul 18.30 dalam kondisi lelah fisik
dan mental. What were we supposed to do? Mencari penginapan adalah jawaban
satu-satunya. Kita sendiri masih ‘blank’ berapa kilometer lagi yang harus kita
tempuh untuk mencapai tujuan. Setelah bertanya kepada beberapa orang, kita pun
menemukan satu-satunya hotel di dekat pusat kecamatan itu: hotel Aji Mantoro.
Dengan hati yang lega kita pun memasuki areal parkir hotel yang penuh dengan
mobil-mobil yang tentu milik para tamu hotel.
“Ada kamar kosong,
Pak?” tanyaku pada si receptionist.
“Penuh mbak,” tentu
merupakan jawaban yang sangat mematahhatikan. :(
Namun kita tetap
bergeming. Dengan wajah yang memilukan dan nada suara yang memelas, aku
bertanya, “Kita boleh numpang duduk-duduk di ruangan ini pak?”
“Oh boleh saja,”
jawabnya.
Maka aku dan Ranz
masuk dan duduk di sofa. Sempat terjadi percakapan dengan dua orang tamu hotel
yang waktu itu sedang duduk di ruangan itu, maka terbukalah informasi yang
‘lebih benar’. Dari pusat kecamatan Pracimantoro, kita masih harus memacu
sepeda dengan jarak sejauh 40 kilometer! Tetap dengan kondisi jalan yang
menanjak dan menurun. OMIGOD! We were both fatigued!
Untunglah sang
receptionist itu baik hati sehingga kita pun bisa numpang mandi, shalat, dan
ngecharge hape plus tentu saja istirahat. Dan di sofa yang lumayan empuk itu
pun kita menghabiskan malam, berusaha mengembalikan kondisi tubuh. Aku duduk
berselonjor dengan menyandarkan punggung di sisi sofa sebelah kanan sedangkan
Ranz di sisi sebelah kiri.
Malam pun berlalu.
Hari Minggu pagi 4
September sekitar pukul 06.00 kita meninggalkan hotel menuju terminal
Pracimantoro untuk mencari sarapan.
Kita mulai melaju
menempuh kilometer demi kilometer, tanjakan demi tanjakan sekitar pukul 07.00.
Kita sampai di perempatan Giribelah (Pacitan, Baturetno, Pracimantoro,
Paranggupito) sekitar pukul 09.00. Dan ... kita disambut dengan kejutan yang
sangat manis! Tanjakan curam berbelok-belok yang tak habis-habis. Oh my! Oh my!
Tenagaku tinggal sisa-sisa, bekal minuman tinggal separuh botol 1,5 liter,
meski semangatku tetap menyala. Dari Giribelah menuju Pantai Nampu ternyata
masih ‘tersisa’ jarak 30 kilometer lagi dengan tanjakan dan turunan yang sangat
curam.
Dengan tertatih-tatih
kita menapaki tanjakan yang honestly memupuskan semangat. Aku lebih memilih
menuntun sepeda (WHAT??? Menuntun sepeda di tanjakan curam sejauh 30
kilometer???) dari pada memaksa dengkul untuk mengayuh pedal. (Note: waktu kita
belok ke arah Pantai Nampu dari perempatan Giribelah, kita belum tahu bahwa
jarak yang harus kita tempuh masih sekitar 30 kilometer lagi.) Pada prakteknya,
Ranz bergantian menaiki Pockie dan Snow White sekitar 100 meter per 100 meter
sedangkan aku berjalan mengikuti di belakang.
Kita terus melakukan
itu sampai sekitar 5 kilometer ketika akhirnya Ranz memutuskan mencari
tumpangan karena dilihatnya tanjakan tak habis-habis, berkelok-kelok. (Namanya
saja ‘giribelah’ yang artinya gunung yang dibelah, jadi tak heran kalau
tracknya naik – naik – naik – turun – naik – naik – turun, dst.) Kita pun
melipat sepeda dan mulai melambaikan tangan. Luck was in fact still with us.
Sebuah mobil melaju dimana di dalamnya adalah tetangga Ranz yang juga menuju
Pantai Nampu. We were saved!
Akhirnya kita pun
sampai di tujuan – Pantai Nampu yang berpasir putih dan penuh dengan karang –
sekitar pukul 10.30. Ah ... akhirnya kita pun bisa mejeng dengan Pockie dan
Snow White di pinggir pantai.
Dari tempat parkir
untuk menuju bibir pantai kita harus menuruni tangga yang juga berkelok-kelok
dan lumayan sempit. Sambil menenteng Snow White dan Pockie dalam keadaan
terlipat.
Aku memang hobby
memandang laut lepas di pinggir pantai. Namun karena waktu yang tidak
memungkinkan untuk tinggal lama, aku tidak menyempatkan untuk membasahi diri
dengan bermain-main dengan air laut yang ombaknya cukup besar itu. Kondisi air
sedang pasang sehingga karang yang terletak di bawahnya tidak terlihat jelas.
Aku dan Ranz sempat
minum es degan dan memesan mie goreng untuk mengganjal perut. Berfoto-foto
sejenak, tanpa benar-benar bisa meluangkan waktu untuk menikmati pasir putih
yang butiran-butirannya tidak sehalus pasir putih yang terletak di
pantai-pantai Karimun Jawa.
Kita meninggalkan
lokasi sekitar pukul 12.00 dengan menumpang mobil yang sama sampai di
perempatan Giribelah. Dari Giribelah aku dan Ranz mengayuh pedal Snow White dan
Pockie lagi sampai pusat kecamatan Pracimantoro dimana terminal terletak.
Sebuah bus ekonomi jurusan Praci – Wonogiri – Solo menyambut kita. Tak lebih
dari lima menit setelah kita naik, bus langsung meninggalkan terminal.
Kita sampai di rumah
Ranz sekitar pukul 15.30.
Mandi dengan air
dingin yang sangat menyegarkan kemudian tidur mendengkur adalah dua hal yang
kulakukan kemudian. :)
What a crazily blind
journey!
RH - Jongke, 06.31 5
September 2011
P.S.:
Solo - Wonogiri = 40
kilometer jalan datar
Wonogiri -
Pracimantoro = 50 kilometer jalanan full tanjakan turunan
Pracimantoro -
Giribelah = 7 kilometer jalanan tanjakan turunan (full juga lah)
Giribelah - Nampu = 30
kilometer full tanjakan sadissssss
P.S. (2):
kita tetap tidak kapok
berbike-packing, tetap dengan semangat menunggu kesempatan berikutnya. YAY!!!
pantainya memang superrr ...
BalasHapustapi perjuangan kesananya hadehhhh
jauh dan nanjakkk
salut untuk perjuangannya
Jadi pengen kesana.,
BalasHapusaku selalu pengin touring spt ini ....tapi kapan mau memulainyah....
BalasHapuscerita ini selalu jd penyemangat saya ...spy jgn hilang tertelan waktu & usia...