Day 3 : Lasem – Tuban 24 Agustus 2012
Kita sudah
siap meninggalkan hotel Wijaya pukul enam pagi. Namun sebelum meninggalkan
pelataran hotel, kita bertemu perempuan berumur yang sehari sebelumnya
mengantar kita ke kamar, dia membawa sebaki teh panas dan kopi. Kuputuskan
untuk tidak menolak pemberian itu dan duduk di salah satu kursi yang tersedia
di depan sebuah kamar untuk menikmati teh yang masih sangat panas itu. Aku
tidak menghabiskan teh – dan sama sekali tidak sempat menyeruput kopi tubruk
hitam – karena butuh waktu lama.
Perjalanan
Lasem ke Tuban yang berjarak kurang lebih 90 km ini kita tempuh lebih dari
sepuluh jam karena begitu banyak tempat-tempat indah yang wajib dihampiri untuk
berfotoria. Tempat pertama yang kita hampiri adalah petilasan ‘Pasujudan Sunan
Bonang’ dan ‘Makam Putri Cempo’. Namun karena lokasinya lumayan tinggi dan kita
harus menaiki tangga, Ranz langsung ciut hatinya membayangkan pahanya bakal
tambah pegel, padahal masih harus mengayuh pedal Snow White dengan tas
paniernya sejauh puluhan kilometer. Aku mengalah dengan hanya berfotoria di
tangga bagian bawah. :) Aku sendiri sebenarnya bukan tipe penikmat wisata
religi – berhubung aku bukan orang yang relijius :-p – aku tidak keberatan
untuk tidak naik ke atas tangga sampai ke tempat konon Sunan Bonang pernah
bersujud dan meninggalkan jejak. Namun aku menghargainya sebagai satu
peninggalan budaya. Konon dari sembilan Walisongo hanya satu yang ‘asli’
berdarah Jawa, yakni Sunan Kalijaga, yang lain memiliki darah keturunan Cina,
berarti Sunan Bonang juga. Sangat masuk akal jika di tempat ini petilasan
Sunan Bonang berdampingan dengan makam Putri Cempo. Bagi yang ingin tahu siapa
Putri Cempo, tanyalah ke eyang google yak? :)
Meninggalkan
tempat ini, belum jauh kita mengayuh pedal, tampaklah pemandangan laut di depan
mata! Tanpa berpikir bahwa dalam perjalanan gowes ke Tuban ini kita bakal
melewati banyak tempat indah berpemandangan laut, kita langsung menghentikan
kayuhan pedal sepeda untuk berfotoria. Setelah merasa cukup puas foto-fiti,
kita melanjutkan perjalanan. Benar saja, belum jauh kita gowes, kita sampai ke
‘Rest Area’ (maklum musim mudik lebaran) yang disediakan oleh sebuah produk mie
instan yang terletak di pinggir pantai. Tergoda dengan iklan “gratis ngopi”,
aku mampir. Kuharapkan seperti di pabrik kacang Dua Kelinci sebelumnya, para
passer-by yang mampir bisa langsung minta kopi gratis. Namun ternyata harapanku
tak semulus sebelumnya. Untuk mendapatkan satu gelas kopi gratis, aku harus
membeli 20 sachet kopi, aku akan mendapatkan 10 sachet + satu gelas kopi
gratis. Aku langsung memandang tas panier yang membebani Pockie, yang tentu
bakal tambah berat. Plus, merk kopinya bukan jenis kopi yang biasa kuminum. Ya
sudah gapapa, ga jadi dapat segelas kopi gratis. :)
Dari rest
area ini kita melanjutkan gowes dengan tetap menikmati pemandangan di sebelah
kiri maupun kanan. Traffic biasa-biasa saja, tidak padat namun juga tidak sepi.
Ada satu komen menarik ketika kita mampir ke SPBU 44.952.09 Sumber Sari Rembang
karena Ranz kebelet pipis, seorang laki-laki berkata, “Apa ga dimarahi suaminya
to mbak, sepedahan berhari-hari?” hihihihi ... Sempet kepikiran untuk update
status, “One advantage of being husbandless is going bikepacking for days tanpa
ada yang ngomel.” :-D But ga jadi, karena hape lebih kupakai untuk merekam
perjalanan gowes menggunakan sports tracker dan upload beberapa foto.
Dalam
perjalanan selanjutnya kita melewati sebuah pusat kecamatan yang tidak
kuperhatikan namanya sedang ada pembangunan masjid dimana di tengah jalan ada
dua orang yang berdiri sambil mengacungkan sebuah wadah untuk menerima
sumbangan. Dari arah masjid yang belum jadi ada suara seorang laki-laki yang
terus menerus menyapa mereka yang lewat, dan mengucapkan terima kasih jika ada
passer-by yang memberi sumbangan. Si laki-laki ini pun menyapa, “wah ada yang
naik sepeda onthel. Hati-hati ya Bu, semoga selamat sampai tujuan.” J Di daerah
ini kuamati motor yang di belakangnya seperti gerobak (kalau tidak salah merek
VIAR) digunakan untuk alat angkut penumpang. Kalau di daerah lain – misal
Semarang – kendaraan ini digunakan untuk mengangkut barang.
Akhirnya ...
kita pun sampai di perbatasan Jawa Tengah – Jawa Timur. YAY! Selain ada gerbang
bertuliskan “Selamat Datang Propinsi Jawa Timur” di sisi kiri kanan jalan
dibangun bangunan serupa candi dimana banyak juga passer-by – entah naik motor
maupun mobil – yang mampir untuk foto-foto. Tak jauh dari bangunan itu, kulihat
pemandangan pantai berpasir putih mengundangku untuk mencumbunya. Namun, untuk
menghemat waktu, kita tidak mampir. Selesai foto-foto di gerbang pembatas
propinsi, kita melanjutkan perjalanan.
Tak jauh
dari situ ada RM yang lumayan besar, RM Wahyu Utama. Aku memutuskan untuk
mampir makan. Sayangnya Ranz merasa belum cukup lapar, maka aku hanya membeli
satu porsi. Disini modelnya swalayan, para pengunjung mengambil sendiri jenis
makanan dan seberapa porsinya. Aku mengambil nasi secukupnya, rawon, sate
telur puyuh dan hati bumbu balado, dan dua gelas es jeruk yang nikmat. Disini
ada sepasang suami istri yang sedang makan. Sebelum mereka meninggalkan tempat,
sang suami menghampiri kita dan bertanya kita dari mana mau kemana. Setelah
menyatakan salut kepada dua perempuan yang sama mungil, naik sepeda lipat
mungil dari Semarang ke Tuban, mereka pergi. :)
Usai makan,
kita melanjutkan perjalanan yang mulai bergelombang. Dan ... sampailah kita di
kawasan pabrik; ada Holcim, Semen Gresik, dll. Kita berhenti dan meninggalkan
jejak karena ada gerbang yang bertuliskan “selamat datang di kota Tuban”. Aku
sudah separuh lega dan rasanya ingin melompat-lompat karena akhirnya tiba di
kota yang kita tuju. Namun Ranz bilang, “Ingat, ini seperti kita baru sampe di
Ungaran, belum masuk kota Semarang.” :-P Dan benarlah. Perjalanan yang kita
tempuh masihlah puluhan kilometer lagi, kurang lebih 30 km.
Melanjutkan
perjalanan beberapa kilometer, kebetulan di sebelah kiri aku melihat ada RM
Padang. Mengingat perut Ranz belum terisi sejak pagi, aku memaksanya untuk
mampir makan. Mencium aroma bumbu rendang, aku tergoda untuk makan lagi.
Hihihihi ... Tapi aku tidak menuruti godaan aroma itu. Aku hanya menghabiskan
segelas es teh yang kupesan.
Mungkin
karena perjalanan sudah hampir ¾ jarak yang harus kita lalui, mungkin juga
panasnya terik mentari yang membakar, maka ketika aku melihat Rest Area yang
disedikana mie instan yang sama di daerah Lasem, aku mengajak Ranz mampir lagi.
Jika di daerah Lasem, lokasi rest area di pinggir pantai, di daerah Tuban ini
rest area terletak di sebuah hutan jati tak bernama yang daun-daun pohonnya
meranggas karena musim kemarau yang panjang. Di beberapa spot terlihat bekas
kebakaran. Lokasi yang lumayan jauh dari tempat pemukiman penduduk. Jika malam
hari tentu sangat gelap gulita. Di rest area ini, aku memesan satu porsi mie
goreng yang kumakan berdua Ranz. Seperti ketika kita di RM Wahyu Utama, di sini
pun kita menarik perhatian seorang laki-laki yang langsung menghampiri kita dan
minta ijin untuk menjepret kita berdua, “sebagai kenang-kenangan,” katanya,
“dalam perjalanan, saya bertemu dua orang bersepeda lipat menempuh jarak
ratusan kilometer,” WAH! :) “jangan lupa dipajang di blog ya Om?” hihihihi ...
Keluar dari
rest area, tidak kusangka ternyata kita disambut tanjakan! Untunglah kita
sempat mengisi ‘bensin’. :-p Beberapa kilometer kemudian kita sampai di gerbang
masuk kota Tuban yang dicat putih dengan hiasan patung kuda di atasnya. Setelah
beberapa kali jepretan, kita lanjut gowes. Aku sudah kebelet melihat kelenteng
yang konon terbesar di Asia Tenggara. Kapan kita nyampe? Sebelum sampai, kita
melewati hamparan pantai yang luaasss dimana banyak orang yang mampir untuk
bermain air maupun pasir. Lokasi ini terletak tak jauh dari terminal lama.
Sudah pukul empat sore. Namun tetap aku ingin mampir untuk foto-foto. If only I
had longer time to enjoy the view and the breeze ...
Tempat
berikutnya kita mampir untuk foto adalah Monumen Adpada Pancasila dimana di
atasnya ada patung burung garuda. Nah ... tak jauh dari sini, kita sampai di
jalan R. E. Martadinata, nama jalan yang kuingat-ingat dimana kelenteng Kwan
Sing Bio terletak. Kalau tidak salah ingat, konon Laksamana Cheng Ho yang juga
dikenal dengan sebutan Sam Po Tay Djien selain mampir di Semarang dan membangun
petilasan yang sekarang berkembang menjadi Kelenteng Sam Po Kong (alias Gedung
Batu), Cheng Ho juga mampir di Tuban dan membangun petilasan yang sama.
Perkembangan geografis yang entah bagaimana ceritanya, lokasi Kelenteng Sam Po
Kong tidak lagi berada di pinggir pantai, sedangkan Kwan Sing Bio tetap berada
di pinggir pantai.
Ukuran
kelenteng Kwan Sing Bio ini jauh lebih luas dibanding Sam Po Kong. Selain
tempat pemujaan, juga ada bangunan-bangunan untuk tempat latihan olahraga,
penginapan, taman, dll. Ketika kita sampai di kelenteng Kwan Sing Bio,
kebetulan sedang ada perayaan HUT YM Kongco Kwan Sing Tee Koen yang ke 1850.
Ada stand yang berjualan pernak-pernik merchandise Cina, pakaian, dan lain
sebagainya. Dari segi kebersihan dan perawatan, kelenteng ini nampak dikelola
cukup baik dengan berbagai hiasan yang berupa patung-patung sumbangan
orang-orang. Sangat menarik untuk dikunjungi. Tak heran jika banyak orang yang
mengatakan mereka sempatkan mampir kelenteng ini jika mereka dalam perjalanan
melewati Tuban.
Sekitar
pukul setengah enam sore kita meninggalkan kelenteng. Pantai yang terletak di
depan kelenteng nampak menggoda untuk dihampiri, untuk menikmati pemandangan
laut lepas sembari mencicipi berbagai jenis makanan yang dijual di sepanjang
trotoar yang ada. Namun aku dan Ranz sudah cukup lelah. Kita harus segera menemukan
tempat penginapan. Kita sempat gowes ke arah alun-alun, kemudian kita memutar,
belok ke sebuah jalan randomly, berharap menemukan hotel. Dan memang tak jauh
dari alun-alun kita menemukan hotel. Sayang dengan harga duaratus ribu rupiah
semalam, pihak hotel tidak menyediakan air panas dan sarapan. Untung tak jauh
dari situ kita sampai ke jalan Basuki Rachmat. Beberapa hari sebelumnya kita
sempat browsing di internet, menemukan sebuah hotel bernama BASRA yang
berlokasi di jalan Basuki Rachmat. Maka kita melanjutkan perjalanan dan
menemukan hotel yang kita cari. Dari beberapa pilihan jenis kamar, kita memilih
kamar standard dengan fasilitas AC, kamar mandi dalam dengan air panas, plus
sarapan. Harga Rp. 250.000,00 dengan diskon 10% sehingga kita hanya membayar
Rp. 225.000,00. Baru kali ini ada hotel menawarkan diskon pada masa mudik
lebaran. Atau aku yang kurang info. :-D
Setelah
check in, mandi, kita keluar mencari makan malam. Baru kali ini Ranz sadar
bahwa dia tidak enak badan karena tiba-tiba suhu tubuhnya menghangat, sementara
tenggorokannya mulai terasa sakit. Mungkin itu sebab dia selalu merasa
kepayahan mengayuh pedal Pockie yang terbebani tas panier dengan berat puluhan
kilogram. Sebelum ke alun-alun untuk mencari makan, kita mampir ke apotik dulu
untuk membeli obat pelega tenggorokan. Untuk makan malam, kita memesan nasi
goreng tidak pedas satu porsi untuk berdua. Untuk minum aku pesan segelas teh
panas, untuk Ranz segelas milo. Ada yang ‘special’ di alun-alun Tuban ini. Di
tempat kita beli nasi goreng, si penjual tidak berjualan minuman panas/dingin,
dia hanya menyediakan air mineral gelas. Maka untuk pesan teh dan milo, kita
harus ke ‘angkringan’ yang lain. :)
Balik ke
hotel, dengan cepat Ranz tertidur setelah kakinya aku balurin dengan counterpain.
To be
continued
|
pantura |
|
pantura |
|
istirahat di SPBU 44.952.09 |
|
RM tempat aku sarapan sendiri |
|
on the way |
|
waktu hidung Ranz harus ditutupi hansaplast :) |
|
menu brunch Ranz di sebuah RM Padang |
|
rest area 2 |
|
pintu gerbang masuk kota Tuban |
|
Ranz kok manyun yaaa? :) o iya, she was not really feeling well |
|
halaman dalam Kelenteng Kwan Sing Bio |
|
Ranz tumben mau bergaya :D |