GOWES KE
CANDI CETHO (YANG KEDUA) 26-27 Januari 2013
di bawah pintu gapura masuk ke kawasan Candi Cetho |
Menjelang
akhir Januari 2013 yang lalu, akhirnya aku mewujudkan keinginan yang terpendam
sejak akhir Desember 2011: menginap semalam di salah satu pondok wisata di
kawasan Candi Cetho. Libur akhir tahun Desember 2011, aku dan Ranz gowes ke
Tawangmangu, kemudian dilanjut ke Candi Cetho dan Candi Sukuh. Tujuan semula
(waktu itu) sebenarnya adalah Candi Cetho + Sukuh. Namun karena ketidaktahuan
Ranz tentang keberadaan pondok wisata di kawasan Candi Cetho, maka kita ga
langsung menuju Candi Cetho, melainkan gowes dulu ke Tawangmangu. Rencana waktu
itu, menginap semalam di Tawangmangu, kemudian keesokan hari lanjut ke Candi
Cetho + Sukuh. Kenyataannya, hari kedua malah gowes ke Grojogan Sewu dan
Camping Ground, hari ketiga baru ke Candi Cetho + Sukuh.
Melihat
kemistisan (suasana) Candi Cetho tanggal 30 Desember 2011, aku langsung jatuh
cinta! Setelah melihat ada pondok wisata disana, aku berjanji dalam hati bahwa
aku akan datang lagi. Ternyata butuh waktu lebih dari satu tahun untuk
berkunjung ke Cetho lagi. :)
nuansa Cina di kota Solo menjelang perayaan Imlek :) |
berpose atas permintaan sang fotografer :) |
air sungai Bengawan Solo yang mengalir deras di musim penghujan |
Hari Jumat
25 Januari aku berangkat ke Solo setelah jam sekolah usai. Aku tidak membawa
sepeda kali ini untuk mempermudah aku naik bus. (Ssshhhttt ... kadang aku
bertemu dengan kondektur bus yang kurang kooperatif karena ga mau menerima
penumpang yang membawa sepeda disebabkan kerepotan untuk memasukkan sepeda ke
bagasi.) Keputusan yang tepat karena sesampai Kartasura sekitar pukul 18.00,
aku disambut hujan deras. Memang kata Ranz sejak pukul 16.00, Solo diguyur
hujan. Aku turun di Kerten, kulanjutkan naik angkot sampai SPBU Purwosari
dimana Ranz berjanji menjemputku disana. Malam itu, perjalananku diakhiri
dengan minum teh panas yang super yummy (dan kutengarai mengandung zat adiktif
tertentu sehingga aku menjadi ketagihan. :-P) di Warung Wedang Pak Basuki, tak
jauh dari kediaman Ranz. (FYI, buat yang mau mencoba nikmatnya teh nasgitel di
warung Pak Basuki yang konon semakin ramai setelah dikunjungi Jokowi – mantan
orang nomor satu di Solo – harga segelas teh nasgitel Rp. 2500,00, harga yang
‘biasa’, yang ‘luar biasa’ adalah harga jajanan lain, misal SATU tusuk sate
sapi harganya Rp. 9000,00, SATU potong kikil harganya Rp. 8000,00. Maka, siapin
duit yang cukup jika mampir kesana ingin makan ini itu. Aku sih, Cuma mampir
untuk teh nasgitel-nya.)
Sabtu 26
Januari 2013
di perbatasan Solo - Karanganyar :) |
guess where I was! :D |
timlo Solo, menu sarapan kita |
Sekitar jam
05.00 pagi, aku dan Ranz sudah bangun (tumben ga ngaret. LOL) kemudian mandi
dan siap-siap. Untunglah pagi itu tidak turun hujan meski sehari sebelumnya
hujan sangat lebat. Untuk gowes kita kali ini, Ranz telah menyiapkan Cleopatra
– mountain bike 26” dengan 24 gear, sepeda yang dia peroleh dari gowes Srikandi
jilid 2 tahun 2012 – untuk kunaiki dan Shaun – sepeda lipat 16” yang telah
‘disulap menjadi single gear – untuk dia naiki. Berhubung di Cleopatra tidak
ada rak boncengan, maka tas pannier berisi pakaian nangkring di rak boncengan
Shaun.
handle bar Shaun :) |
si fotografer kufoto :D |
yuk mariiii ... mau memilih jalur yang mana? :) |
Sekitar
pukul 06.00 kita meninggalkan kediaman Ranz, langsung menuju arah Timur. Kita
berhenti untuk sarapan setelah melampaui jarak kurang lebih 20 kilometer, di
rumah makan yang sama waktu kita sarapan untuk gowes ke Alas Bromo. Kita berdua
sama-sama pesan ‘timlo’ untuk sarapan kita kali ini. Kita menikmati sarapan
sehingga kita butuh waktu 30 menit. :) :)
salah satu pemandangan yang kita pandang di tengah perjalanan :) |
mejeng dulu di terminal Karang Pandan |
di gapura selamat datang Kawasan Candi Cetho dan Sukuh |
perhatikan nama RAN di frame Cleopatra :D |
di pertigaan Karang Pandan - Tawangmangu - Ngargoyoso |
Pukul 07.45
kita melanjutkan perjalanan. Setelah masuk kawasan Karanganyar, trek mulai
menanjak halus. Terbiasa naik sepeda lipat 20”, aku melibas trek menuju Karang
Pandan dengan naik Cleopatra dengan mudah, Ranz yang berulangkali
mengingatkanku untuk beristirahat. (Padahal waktu kita gowes ke Tawangmangu
Desember 2011, aku yang berulang kali memaksanya beristirahat. LOL. Waktu itu,
aku naik Pockie, Ranz naik Snow White, sama-sama sepeda lipat 20”.) Kita sampai
terminal Karang Pandan pukul 10.30. Untuk mengisi perut, kita minum es degan
yang enak dan murah, plus sepiring siomay untuk berdua.
Pukul 11.00
kita melanjutkan perjalanan. Setelah melewati gapura “kawasan wisata Candi
Cetho dan Candi Sukuh”, kita baru disuguhi tanjakan yang lumayan. :) Sampai disini, cuaca sangatlah
bersahabat, tanpa sinar mentari yang membakar, juga tanpa rintik hujan. Kita
merasakan trek mulai menantang setelah kita melewati pertigaan, dimana jika
kita ambil jalan ke arah kanan, kita akan sampai ke Candi Sukuh. Setelah
pertigaan, ada turunan yang lumayan tajam dan panjang, kurang lebih 1
kilometer. (Aku langsung membayangkan keesokan harinya, dalam perjalanan
pulang, ternyata kita tidak akan ‘bebas’ dari tanjakan. LOL.)
on the way |
lovely view, isn't it? |
another view and .............. me :D |
giliran Shaun mejeng sekarang :P |
Trek terasa
semakin menantang (untuk menghindari penggunaan kata ‘sulit’ LOL) setelah hujan
mulai turun. Kamera Ranz terpaksa masuk ke dalam tas pannier, membuat kita
tidak bisa merekam seluruh perjalanan. Kala melewati tanjakan yang curam, kadang
Ranz (mulai) menampakkan kecemburuannya padaku yang dengan ‘nyaman’ naik mtb
26” dengan 24 gear, sementara dia naik seli 16” single gear. Tapi, sumpah, jika
diminta gantian, aku bakal ga mampu. (Masih mending kalau dia naik Pockie, seli
20” dengan 6 gear, aku masih mau diminta gantian. In fact, di kisah gowes kita
dulu-dulu, aku selalu naik Pockie, Ranz naik Snow White).
mulai ditemani hujan |
sepatu Ranz masuk ke dalam tas plastik |
Ranz nyeker, foto dijepret menggunakan kamera di hapeku |
stunning view |
Semangat dan
mood Ranz pertama kali down ketika hujan turun deras dibarengi angin kencang
dan kita berhadapan dengan tanjakan curam. “Aku ga mau ngelanjutin!” katanya
ngambek. LOL. Kita berhenti di depan sebuah bangunan dengan tembok yang tinggi.
Ketika melihat seseorang keluar dari bangunan itu, aku bertanya, “Maaf Pak.
Adakah penginapan di sekitar sini?” Di luar sangka, dia menjawab, “Lha, disini
kan penginapan Mbak?” Wahhh ... pucuk dicinta ulam tiba! Dengan lega, aku
mengajak Ranz menginap disitu saja. Namun membayangkan keesokan harinya kita
masih gowes lumayan jauh untuk menuju Candi Cetho, Ranz tidak mau.
“So, how?”
tanyaku bingung.
“Aku memilih
nuntun deh melewati tanjakan itu dari pada menginap disini.” jawabnya.
“Oke. Aku
temani.” kataku.
hanya gerimis, tapi aku memutuskan tetap mengenakan mantel untuk memerangi angin dingin |
another stunning view |
Dan di
tanjakan itu lah pertama kali kita nuntun. Oh ya, lupa. Karena tidak mau
sepatunya basah, Ranz terpaksa gowes bertelanjang kaki, sepatu masuk ke tas
plastik dan ‘nggandul’ di setang Shaun. (Pelajaran: next time gowes harus bawa
sendal jepit, untuk dipakai Ranz jika sepatunya harus masuk tas plastik.) Aku sendiri mengenakan sandal gunung, maka
tidak apa-apa jika basah kuyup.
Setelah
melampaui tanjakan curam itu, kita melanjutkan gowes pelan-pelan. Hujan datang
dan pergi, namun angin kencang yang menerpa tetap ‘menantang’ mood kita. Fiuuuhhh
... Ketika hujan berhenti, hanya tinggal gerimis, dan kebetulan pemandangan di
sisi kiri kanan spektakuler, Ranz nekad mengeluarkan kamera untuk mengabadikan
perjalanan kita.
Semangat dan
mood Ranz drop lagi ketika kita sampai di tengah perkebunan teh Kemuning. Hujan
tinggal rintik-rintik, namun angin berhembus dengan sangat kencang, membuat
kayuhan pedal terasa sangat berat. Kebetulan di kawasan itu ada beberapa warung
berjualan minuman dan snack. Aku mengajak Ranz mampir untuk minum teh panas dan
beli satu botol air mineral karena persediaan kita menipis. Aku memaksa Ranz
memesan satu porsi mie instan goreng untuk mengisi perut untuk menambah tenaga
gowes. Sayang rasa teh panasnya amburadul ga karuan, aku tak bisa menikmatinya. :(
Mood Ranz
yang benar-benar drop kali ini membuatnya ngambek untuk melanjutkan perjalanan.
Waduh, padahal kalau mau pulang jelas tidak mungkin. Mau cari penginapan di
sekitar situ juga tidak mungkin, yang kulihat hanya warung-warung yang dibangun
setengah permanen. Mau cari tumpangan mobil pick up, aku ga yakin.
Untunglah
Ranz masih mau menggunakan akal sehatnya untuk bersedia melanjutkan perjalanan.
Lha mau gimana lagi? Melihat pemandangan indah di depan mata, kadang dia malah
mengajak berhenti untuk foto-fiti. Karena khawatir kemalaman di jalan, aku
menolak. “Besok saja dalam perjalanan pulang, kita mampir untuk foto,” kataku.
“Tapi besok
kita pakai baju yang berbeda,” rajuknya. LOL.
“Gapapa.
Yang penting hari ini kita tidak kemalaman di jalan.” jawabku tegas.
Akhirnya
setelah berjuang, terutama di 3 kilometer terakhir yang tanjakannya ... mmm ...
tak terlukiskan ... kita mulai memasuki perkampungan yang aku yakini
perkampungan terakhir yang kita lewati untuk sampai di Candi Cetho. Ranz malah
waktu itu berpikir perjalanan kita masih (lumayan) jauh. Mataku yang belor
sempat melihat gapura selamat datang yang berdiri megah dari kejauhan, namun
Ranz malah belum melihatnya, sehingga membuatku tidak yakin dengan
penglihatanku. Sampai akhirnya Ranz sadar ... “Lho? Itu kan gapura selamat
datang Candi Cetho?” teriaknya dengan gembira.
YAY!!!
Kita
langsung belok ke sebuah pondok wisata yang kita lihat pertama kali: “Pondok
Wisata Cetho Indah”. Harga sewa Rp. 50.000,00 untuk 12 jam. Kita masuk ke
penginapan sekitar pukul 17.30. Well, aku sebenarnya berharap telah sampai di
kawasan Candi Cetho sebelum jam 16.00, agar bisa menikmati Candi Cetho di sore
hari jelang matahari tenggelam, but it was okay lah. :)
Gunung Merapi dan Merbabu dari Candi Cetho |
Setelah
mandi (menggunakan air duingiiinnn, karena air panas tidak disediakan), kita
berdua sempat menikmati cuaca sore yang lumayan masih terang, meski tak sempat
melihat pemandangan matahari terbenam. Suasana sangat sepi. Semua
rumah/bangunan telah menutup pintu setelah terdengar adzan maghrib.
Dan malam
itu kita kelaparan karena tidak ada satu pun warung yang buka menyediakan
makanan untuk para pendatang.
Minggu 27
Januari 2013
Semula kita
merencanakan untuk membidik pemandangan matahari terbit hari Minggu pagi ini. Namun
sekitar jam setengah lima pagi, aku mendengar suara gerimis turun. :( Aku patah hati. :( Apakah kita tidak akan bisa
menikmati explore Candi Cetho? Untunglah sekitar jam 05.15, tak lagi kudengar
suara gerimis. Dengan setengah memaksa, aku mengajak Ranz keluar kamar.
Sayangnya, pintu pagar hotel terkunci sehingga kita tidak bisa keluar. :( Oh ya, dari sekitar 10 kamar yang
ada, hanya satu kamar yang terisi: kamar kita berdua. :) Akhirnya kita balik lagi ke dalam
kamar.
Ranz sempat
patah hati karena kameranya ngambek tidak bisa dipakai. Kamera bisa juga
kedinginan dan tak mau dipakai buat motret ya? Hadeeehhh ... maka, untuk
sementara kita packing, kamera diselimuti, hihihihi ... Selesai packing, Ranz
mencoba kameranya njepret ini itu yang ada di kamar. And ... IT WORKED! YAY!!!
Sementara
itu, kita dengar seseorang membuka pintu pagar. Horeeee ... kita tak lagi
menjadi ‘prisoners’. :) Setelah semua siap, kita meninggalkan
penginapan sekitar pukul 06.55. Semula aku ingin menitipkan sepeda di
penginapan ketika kita explore Candi Cetho, tapi Ranz ingin mejeng bersama
sepeda (paling tidak) di depan gapura selamat datang Candi. Ya sudah, kita pun
bersusah payah menuntun sepeda menuju gapura Candi. Aku sih (lumayan) ringan
menuntun Cleopatra. Ranz yang keberatan menuntun Shaun, yang seluruh framenya
terbuat dari besi, plus ada tas pannier di rak boncengan. NAH LO.
Sesampai di
Candi Cetho, ternyata kita bukanlah pengunjung pertama. Sudah ada orang yang
datang sebelum kita. Mereka mengaku menginap di Tawangmangu malamnya, dan
pagi-pagi sekali berangkat dari Tawangmangu menuju Candi Cetho.
“Bersepeda
dari mana?” tanya salah satu dari mereka, ketika melihat aku dan Ranz bersusah
payah mengangkat Cleopatra sampai ke atas tangga menuju gapura selamat datang,
untuk mejeng.
“Dari Solo,”
jawab kita serempak.
“Subhanallah,”
respons-nya, di luar perkiraan kita. LOL.
“Alhamdulillah,”
jawab Ranz. LOL.
Jika bulan
Desember 2011 lalu kita tidak sempat explore sampai Candi Kethek, kali ini kita
trekking kesana, setelah sarapan ala kadarnya di sebuah warung di dalam kawasan
Candi: satu porsi mie instan goreng dan segelas teh panas untuk berdua.
beberapa bangunan tambahan di dalam kawasan Candi Cetho |
Candi Cetho yang bangunannya mirip dengan piramid peninggalan suku Maya |
patung di depanku ini dipercaya mirip dengan patung-patung buatan suku Maya kuno |
Honestly
sebenarnya aku ingin berlama-lama disana, terutama ketika berkunjung ke Puri
Saraswati, yang terletak di atas Candi tertinggi, namun karena perjalanan masih
panjang, kita harus segera turun. Sekitar pukul 09.30 kita meninggalkan Candi
Cetho.
Trek pertama
yang kita tapaki adalah turunan curam yang membuatku ngeper untuk menaiki
Cleopatra, apalagi Ranz karena rem Shaun yang sama sekali tidak bersahabat. :) Terpaksa kita menuntun sejauh kurang
lebih 1 kilometer, baru kemudian kita gowes.
pemandangan indah ini dijepret Ranz dari gapura masuk Candi Cetho |
turunan/tanjakan tajam yang tak berani kita lewati dengan gowes, hanya ttb |
Ranz dan Shaun dengan gapura masuk Candi Cetho sebagai latar belakang |
Perjalanan
yang didominasi turunan ternyata tidak membuat kita cepat melewatinya
dikarenakan disana sini, Ranz ingin berfoto-fiti. :) Kita sempat berpapasan dengan dua
pesepeda yang menaiki road bike menuju arah ke Candi Cetho; nampaknya mereka
sedang latihan fisik. Kurang lebih 20 menit kemudian, kita sedang berfoto-ria
di satu tempat, mereka telah balik ke arah Karanganyar dengan naik sepeda
motor. Lha, sepeda mereka tinggal dimana ya? :)
Aku sempat
disapa oleh dua orang, di dua tempat yang berbeda, dengan ide yang sama, “Baru
pulang sekarang Mbak, sejak kemarin gowes ke arah Candi Cetho?” Tanpa kita sadari, kita telah menjadi
selebriti sesaat. LOL.
Ranz inginnya membuat Shaun dijepret seolah-olah sedang 'terbang' :) |
kereeeennn ... (pemandangan di belakangnya! LOL) |
Ranz juga ga mau kalah narsis :) |
Pukul 11.15
kita mampir di sebuah rumah makan lesehan yang berlokasi di daerah perkebunan
teh Kemuning untuk brunch. Aku sempat heran Ranz yang biasanya tidak suka
(bahkan tidak doyan) ikan, dia memesan ikan nila bakar untuk menunya. Untuk
minum, kita kompakan memesan es jeruk.
Candi yang sempat dibidik oleh Ranz menggunakan kameranya, candi apa ya? |
bersama para penggembira yang ikutan berfoto bersama :) |
Ranz yang kangen downhill ... |
another stunning view on the way |
Shaun eksis narsis |
Sekitar pukul
12.00 kita melanjutkan perjalanan. Di tanjakan yang menuju pertigaan Karang
Pandan – Candi Cetho – Candi Sukuh, aku yang sedang duduk santai menunggu Ranz
yang masih mengayuh pedal Shaun di belakangku, tiba-tiba disapa orang,
“Temannya Rani ya? Salam ya?” Dari cara orang itu menyebut nama Ranz, aku bisa
menebak dia teman dari Komunitas seli Solo Raya. Kesimpulan, waktu melewati
Ranz yang sedang gowes nanjak, dia tidak sempat memperhatikan itu siapa. Namun
ketika melihatku yang duduk di pinggir jalan, dia mengenaliku sebagai ‘soul
mate’ bersepedaan Ranz, maka dia langsung menyapa. Waktu aku bercerita ke Ranz,
dia sempat bingung. Namun akhirnya kebingungannya terjawab setelah Ranz
mendapatkan sms dari Om Dewa Kurniawan. :)
Rencana
semula di hari kedua ini kita akan mampir ke Candi Sukuh. Sesampai di
pertigaan, waktu menunjukkan sekitar pukul 12.30. Sang mentari mulai
bersembunyi di balik awan mendung. Candi Sukuh sebenarnya terletak tidak jauh
dari pertigaan itu, ‘hanya’ sekitar 2 kilometer. Namun karena kondisi yang tak
lagi fit, (aku terutama sangat mengkhawatirkan kondisi Ranz yang menaiki Shaun),
aku lebih cenderung memilih langsung pulang saja. Alasan utama: tanjakannya sama gilanya dengan
tanjakan 3 kilometer terakhir menjelang Candi Cetho. Kita bisa sih pelan-pelan,
namun nanti sampai sana jam berapa. Nanti explore Candi Sukuh berapa lama. Kita
tentu akan kemalaman balik ke Solo.
aku dengan menu 'brunch' kita berdua |
di titik 5 kilometer menuju Candi Cetho |
Mejeng di terminal Ngargoyoso, satu hari sebelumnya ga bisa narsis disini karena sedang hujan |
Setelah
sempat protes pengen tetap ke Sukuh, Ranz akhirnya luluh, setuju denganku untuk
pulang saja. Dengan resiko: mencari waktu luang di masa nanti untuk gowes ke
Candi Sukuh. Dan, tak jauh dari situ, kurang lebih 5 kilometer kemudian,
gerimis mulai turun, sehingga kamera Ranz harus masuk tas pannier.
Gerimis
terus mengiringi perjalanan kita balik gowes ke Solo. Gerimis mendadak menderas
, laksana air tumpah begitu saja ketika kita mulai masuk kawasan ‘kota’
Karanganyar, memaksa aku dan Ranz mengenakan mantel. Ranz yang tidak sabar
karena Shaun tidak bisa diajak ngebut sempat kesal, memintaku gantian: dia naik
Cleopatra sedang aku naik Shaun; dia nanti akan mendorongku. Namun aku tidak
bisa menyetujui ide ini: aku sama sekali tidak bisa diajak cepat jika naik
Shaun; akan sangat kedodoran jika didorong Ranz. Maka yang terjadi justru
perjalanan akan semakin pelan. Akhirnya tetap: aku naik Cleopatra, Ranz naik
Shaun.
Hujan super
deras yang menyebabkan banjir di banyak titik kota Solo ini tetap mengguyuri
kita hingga kita sampai di rumah Ranz di kawasan Jongke / Laweyan, sekitar
pukul 14.30.
Perjalanan
yang mengesankan. :) Sampai
jumpa di petualangan Ranz dan Nana selanjutnya.