To our
disappointment, tahun ini, ternyata kondisi
Indonesia -- khususnya -- (dan mungkin juga sebagian negara di luar) tidak jauh
berbeda dari tahun lalu. Gegara Covid 19 varian Delta merajalela sekitar awal
Juni 2021 di hampir seluruh Pulai Jawa, Madura, dan Bali, Pemerintah
memberlakukan PPKM darurat, dimana kondisi jalan raya mirip dengan kondisi di
awal pandemi Covid 19 masuk ke Indonesia: pertengahan Maret 2020 sampai
Pemerintah memberlakukan "new normal" di bulan Juni 2020. Jalan raya
nampak lengang kecuali saat rush hour. Jika di masa "normal"
dulu (baca => sebelum pandemi Covid 19) rush hour itu terjadi
beberapa kali selama satu hari: saat anak-anak berangkat/pulang sekolah, plus
saat para pekerja berangkat/pulang kerja. Di masa "new normal" praktis
rush hour terjadi hanya 2 kali sehari: saat para pekerja (yang terpaksa
harus work from office).
Bagi
seorang bike-to-worker seperti saya, sangat menarik mencermati bagaimana
kondisi tahun lalu jauh berbeda dengan kondisi tahun ini: tahun lalu, pandemi
menarik orang untuk beralih dari kendaraan bermotor ke sepeda sebagai moda
transportasi. Banyak portal berita mewartakan hal ini, tidak hanya di
Indonesia, namun juga di banyak negara luar. Selain itu, berbondong-bondong di
akhir pekan orang-orang bersepeda sebagai alternatif olahraga yang (seharusnya)
bisa dilakukan secara mandiri, bukan kolektif karena menghindari kerumunan
merupakan satu protokol kesehatan untuk mengurangi penularan Covid 19.
Gegara
fenomena itu, harga sepeda melambung tinggi, di luar batas kewajaran. Harga
spareparts sepeda juga mengalami lonjakan harga gila-gilaan. Banyak toko sepeda
sampai harus menutup pintu masuk, untuk membatasi pengunjung yang berniat untuk
membeli sepeda. Pabrik-pabrik sepeda sampai harus ngebut merakit sepeda baru
untuk memenuhi pasar yang menggila. Tahun lalu.
Entah apa
yang terjadi tiba-tiba di awal tahun 2021 trend ini menurun drastis.
Pabrik-pabrik sepeda telanjur memproduksi sepeda secara masif, namun peminat
justru berkurang. Banyak kawan yang memiliki bisnis jual beli sepeda bilang,
"Kondisi ini sama sekali di luar ekspektasi kami. Okelah jika laju
penjualan menurun, tidak lagi seperti pertengahan tahun 2020, dan kembali ke
masa sebelum pandemi. Tapi ini gila. Susah sekali kami mendapatkan pembeli.
Sebelum pandemi, masih mending lah, sebulan saya bisa mendapatkan pembeli 1 - 2
orang, bahkan lebih. Sekarang belum tentu dalam sebulan saya bisa menjual
sebuah sepeda," keluh seorang kawan.
Saya
hanya seorang bike-to-worker, bukan pebisnis, dan hanya mengamati postingan
kawan-kawan di medsos. (Sejak awal pandemi Maret 2020, saya menghindari
sepedaan ramai-ramai dengan kawan-kawan.) Mungkin orang-orang yang tahun lalu
mendadak sepedaan itu tidak menemukan keasyikan "between their legs"
saat bersepeda sehingga tidak mampu melakukannya secara istiqamah? Mungkin
mereka yang sempat bersepeda ke tempat kerja (tahun lalu) untuk menghindari
kerumunan dalam alat transportasi massal merasa, "duh, ga asyik ternyata
bersepeda ke kantor: melelahkan!"
Apakah
kira-kira kesenjangan sosial antara sepeda mahal dan sepeda tidak mahal (misal:
sepeda lipat bromp*on versus sepeda lipat lokal paci**c, atau sepeda balap merk
tertentu yang jelas harganya puluhan kali lipat ketimbang sepeda lipat merk
lain) mempengaruhi menurunnya trend orang bersepeda?
Sementara
itu, memasuki tahun ke-13 saya mengklaim diri sebagai seorang bike-to-worker,
saya tetap bersepeda ke pasar tradisional, minimarket, supermarket, toko buku,
optik, dll. Sebelum varian Delta merajalela, saya sempat bersepeda ke kantor
sesekali. Setelah varian Delta menggila, PPKM darurat berlaku, saya kembali
fully work from home.
HAPPY
16th ANNIVERSARY B2W INDONESIA!
Semarang,
01 September 2021