BIKEPACKING SEBAGAI GAYA HIDUP
Jika saja di pertengahan tahun 2008 lalu aku tidak ‘ditemukan’
oleh seorang penggerak komunitas bike-to-work Semarang, gegara posting komplain
tentang harga BBM naik, mungkin aku tidak akan suka bersepeda; apalagi memiliki
pengalaman bertamasya naik sepeda (yang biasa kusebut sebagai ‘bikepacking’).
|
di satu event Desember 2009, B2W Semarang bersama SOC |
Maka begitulah. Setelah bergabung dengan beberapa orang pehobi
sepeda (aku belum hobi bersepeda waktu itu) untuk mendirikan Komunitas B2W
Semarang di bulan Juni 2008, merasakan bersepeda ke tempat kerja, menjadi
‘local celebrity’ setelah diwawancarai beberapa wartawan koran lokal karena
menjadi praktisi b2w, bertemu dengan ‘calon’ soul mate bersepeda di tahun 2010,
dan memulai bertamasya naik sepeda bersama pertama kali di bulan Juni 2011.
Keasyikan bersepeda dari satu kota ke kota lain – hanya berdua saja – itu
ternyata membuat kita ‘ketagihan’ hingga rencana demi rencana untuk
berbikepacking pun kita buat dan realisasikan. Sungguh, ini adalah satu
petualangan yang dulu tak pernah terpikirkan olehku!
Dalam tulisan ini, aku akan bercerita tentang perjalanan kita
mengunjungi Upacara Perayaan Waisak di Borobudur pada hari Sabtu 25 Mei 2013.
Demi sebuah obsesi bersepeda dari Semarang ke Borobudur untuk
menyaksikan kemeriahan perayaan Waisak, karena kita sadar tidak akan mampu
menempuh jarak 100 kilometer dengan tanjakan-tanjakan yang tidak bisa dianggap
enteng dalam waktu singkat, aku dan Ranz – my (biking) soul mate – memulai
perjalanan pada hari Jumat 24 Mei 2013. (Ranz sendiri yang berdomisili di Solo
telah datang ke Semarang hari Kamis 23 Mei.) Pukul 05.30 kita meninggalkan kos
Ranz dengan mengendarai sepeda lipat masing-masing – aku naik downtube nova 20”
sedangkan Ranz naik dahon da bike 16” single gear – ke arah Selatan kota Semarang
yang terkenal dengan trek menanjak: Gajahmungkur alias Jalan S. Parman,
Kaliwiru, Teuku Umar, hingga Gombel. Lolos tanjakan Gombel, kita agak
dimudahkan dengan trek yang flat beberapa kilometer hingga kita dihadang
tanjakan lagi di kawasan Pudak Payung, terus menanjak hingga Ungaran, dimana
kita memutuskan untuk berhenti sejenak untuk sarapan sekitar pukul 08.00
|
jalan alternatif baru di Ambarawa |
Usai sarapan kita melanjutkan perjalanan ke arah Bawen – juga
full tanjakan – hingga masuk Ambarawa dimana kita dimanjakan dengan turunan
sampai jelang tanjakan Jambu. Istirahat kedua kita lakukan di sebuah rumah
makan Eva Coffee House dimana kita sempat nunut shalat Dzuhur. Trek rolling tanjakan
turunan terus mengiringi kita sampai masuk kota Secang.
|
call me narcissist :D |
|
alun-alun Magelang |
Sesampai Secang, kita tinggal mengayuh pedal sepeda dengan
santai karena kontur jalan berupa turunan halus. Horreeeeee ... Memasuki kota
Magelang sekitar pukul 14.00, kita gowes semakin pelan demi menjelajah kota.
Sesampai pertigaan Mungkid baru kita ngebut lagi. Borobudur kurang 15 kilometer
lagi! Kita sampai di papan tulisan TAMAN WISATA CANDI BOROBUDUR (TWCB) sekitar
pukul 16.00. Yay!!!
|
Borobudur 3 km lagiiiiii |
|
mejeng dulu di 'stupa' :) |
Meski banyak orang bilang bakal sulit mencari penginapan di
sekitar Borobudur waktu perayaan Waisak, kita mendapatkan penginapan yang tidak
jauh dari lokasi, meski harga sewa kamar terhitung mahal untuk fasilitas yang
hanya kamar + double bed + kipas angin + kamar mandi luar. Namun kita lega.
Malam itu cuaca cerah; di luar TWCB, kulihat banyak mobil parkir dimana kata
seorang penduduk mereka adalah turis yang memilih menginap di mobil karena
tidak mendapatkan penginapan. (aku dan Ranz sempat berpikir untuk nunut
menginap di masjid / pom bensin lho jika tidak mendapatkan penginapan. Namun di
kitaran TWCB kita tidak melihat ada masjid, apalagi pom bensin.)
Hari kedua Sabtu 25 Mei kita check out dari penginapan karena
kamar yang kita pakai telah dipesan orang lain jauh-jauh hari. Maka agenda hari
ini adalah mencari penginapan lain sebelum menyaksikan perayaan Waisak. Dengan
bantuan seorang teman, kita mendapatkan penginapan dengan fasilitas sama –
kamar + double bed + kipas angin + kamar mandi luar – namun lebih murah karena
letaknya lumayan jauh, sekitar 2,5 kilometer dari TWCB. Dan ... dalam
perjalanan menuju ‘homestay’ ini kita melihat sebuah masjid yang lumayan besar,
yang bisa dijadikan nunut menginap, andai tidak mendapatkan penginapan. J
Setelah beramah tamah dengan pemilik ‘homestay’, kita tidak
langsung ke TWCB, namun gowes dulu ke Punthuk Setumbu (PS), satu lokasi yang lumayan
tinggi dimana dari gardu pandang yang ada kita bisa memandang candi Borobudur
dari ketinggian (bagi yang matanya awas tentu saja. LOL.) Well, sebenarnya trek
menuju PS ini tidak begitu ramah bagi sepeda lipat, namun apa boleh buat, kita
‘punyanya’ ya seli, plus kita telah keukeuh untuk mencapai lokasi apa pun yang
kita kunjungi dengan gowes. Di awal trek, kita masih bisa gowes. Setelah
melewati satu tempat lapang yang digunakan untuk tempat parkir, trek mulai
sulit dilewati naik seli, namun aku mengajak Ranz untuk tetap membawa seli
kita, dan bukannya memarkirnya; meski resikonya adalah tentu angkat junjung
seli di titik-titik tertentu.
|
otw ke Punthuk Setumbu 1 |
|
ngemil apel dulu :) |
|
nekad nyeli :D |
PS – kata penduduk lokal – sangat terkenal dengan pemandangan
‘sunrise’ yang spektakuler, sehingga lokasi ini selalu penuh dengan pengunjung
di pagi buta, terlebih lagi di weekend pas perayaan Waisak. Penduduk lokal pun
mendapatkan pemasukan dari menjadi tukang parkir maupun pemandu para turis yang
khawatir tersesat. Sebagian penduduk itu ‘menjaring’ turis dengan berkeliaran
di kawasan TWCB.
|
Borobudur dari puncak Punthuk Setumbu |
Setelah meninggalkan PS, kita langsung menuju TWCB, memarkirkan
seli di tempat parkir yang banyak disediakan penduduk lokal, makan siang, dan
... menunggu lewatnya parade yang membawa air suci Waisak dari Candi Mendut
menuju Candi Borobudur. Bersama rombongan para bhikku/bhikkuni/umat Buddha yang
membawa air suci, aku dan Ranz ikut masuk ke dalam TWCB.
Di dalam TWCB, pengunjung yang mungkin mencapai lebih dari
10.000 orang memadati lokasi. Banyak ‘turis’ dari kota-kota sekitar – misal
Jogja, Magelang – sampai Jakarta, Surabaya, dll. Tentu juga turis manca negara
ikut menambah semarak suasana. Semoga Candi Borobudur tetap berdiri kokoh
karena diinjak-injak oleh ribuan orang dalam waktu bersamaan. (Hebatnya nenek
moyang kita yang membangunnya ya?)
|
sebagian bhikku yang ikut parade |
|
monumen Candi Borobudur dari dalam Taman |
|
narsis itu HARUS :) |
Karena berada di lokasi, aku ikut menjadi ‘saksi’ ricuhnya
perayaan Waisak tahun ini karena pengunjung yang kurang menghormati upacara
keagamaan ini. Mereka lupa bahwa upacara ini bukan ‘hanya sekedar’ ritual
budaya semata. Semoga tahun depan panitia lebih siap dan tangguh menghadapi
para pengunjung dan perayaan bisa berjalan dengan khidmat dan sakral. Amin.
Aku dan Ranz kembali ke homestay sekitar pukul 23.30, basah
kuyup kehujanan.
Minggu 26 Mei kita membatalkan rencana untuk kembali ke PS untuk
menikmati sunrise yang spektakuler. Hujan lebat semalam tentu membuat trek
lebih sulit dilewati seli, plus malas berjibaku melawan hawa dingin dengan
bangun di pagi buta. hehehehe ...
Sekitar pukul 07.30 kita sudah selesai sarapan dan pamitan
dengan tuan rumah nan ramah. Rencana hari ini kita gowes ke Jogja!
Setelah berfoto sejenak di depan papan TWCB untuk dokumentasi,
kita langsung gowes ke arah Candi Mendut. Sungguh di luar perkiraan jika dalam
perjalanan kita bertemu dengan seorang bikepacker asal Jerman – Stephan – yang
telah ‘mengembara’ di sepanjang Pulau Sumatra selama beberapa minggu sebelum
menginjakkan kaki di Pulau Jawa. Semalam dia pun berada di TWCB, setelah selama
5 hari ngebut gowes dari Jakarta menuju Borobudur. Stephan telah keliling
beberapa negara di Eropa dan Asia selama kurang lebih satu tahun lho, dengan
naik sepeda! Kisahnya bisa disimak di www.cyclingeurasia.com
|
berdua Stephan di Candi Mendut |
Di Candi Mendut, masih terlihat ‘sisa-sisa’ perayaan Waisak
sehari/dua hari sebelumnya. Stephan nampak terkesan karena Candi Mendut lebih
luas dibandingkan Candi Pawon yang dia kunjungi sehari sebelumnya. Dia juga terheran-heran
mendapati banyak turis mancanegara di Borobudur/Mendut karena selama
petualangannya di Pulau Sumatra selama beberapa minggu, dia hanya bertemu
seorang turis manca.
Setelah mampir di Candi Mendut, ngobrol bertiga, sekitar pukul
10.30 kita melanjutkan perjalanan menuju Jogja bersama. Dalam perjalanan kita
mampir ke Candi Ngawen yang terletak di Desa Ngawen Muntilan, sekitar 3
kilometer dari jalan raya Muntilan - Jogja. Candi Ngawen adalah Candi Buddha
yang dibangun di abad yang sama ketika Dinasti Syailendra membangun Borobudur.
Yang menarik adalah di bawah Candi Ngawen mengalir sumber air yang tak pernah
kering sepanjang tahun! Jika kita menginjakkan kaki di dekat Candi, kita akan
merasakan tanah yang gembur. Pemerintah telah membuatkan saluran air untuk
mengalirkan sumber air dari bawah candi.
|
Candi Ngawen |
Ada seorang satpam yang ditempatkan di lokasi untuk menjaga
keamanan, meski tidak kutemukan plang papan nama CANDI NGAWEN. Dari arah jalan
raya juga tidak ada papan petunjuk arah, jadi kita mengandalkan bertanya pada
orang-orang sekitar yang dengan ramah menunjukkan arah. Untuk masuk Candi
Ngawen, kita tidak ditarik biaya.
|
lanjut gowes ke Jogja |
Dari Candi Ngawen, kita langsung gowes menuju Jogja. Sempat
mampir di sebuah warung makan Padang yang sederhana di pinggir jalan raya. Harganya
murah lho, hanya sekitar Rp 7000,00 per porsi, apa pun lauk yang kita ambil.
Stephan pun nampak makan dengan lahap. Dia mengaku suka masakan Indonesia! Wah! :)
Usai makan, kita terus gowes. Seperti trek Secang – Magelang,
kali ini kita pun diuntungkan dengan trek yang terus menurun halus. Aku dan
Ranz mengantar Stephan ke Malioboro, dimana aku yakin dia akan menemukan
penginapan yang murah. Katanya dia akan ‘stay’ di Jogja selama beberapa hari. Stephan
sempat bilang bahwa dia akan stay di Indonesia lebih lama dari rencananya
semula karena “Indonesia has many interesting places to visit!”
|
Ranz bersama Shaun, salah satu sepeda kesayangannya |
|
di 'markas' Bikepacker Indonesia Jogja |
Sekitar pukul 16.00 kita meninggalkan Malioboro menuju Solo
(setelah Ranz menjemputku ke Semarang, gantian aku mengantarnya pulang.) Dari
Solo menuju Semarang aku naik bus demi mengirit waktu dan tenaga. Sepeda
kulipat dan kumasukkan ke bagasi.
Aku sampai rumah sekitar pukul 21.30. Excited, satisfied and ...
relieved. :)
Bersepeda memang telah mengubah gaya hidupku, sebagai moda
transportasi ke kantor, maupun untuk berwisata.
PT56 07.55 19/06/13
P.S.: