BIKEPACKING SEBAGAI GAYA HIDUP
Jika saja di pertengahan tahun 2008 lalu aku tidak ‘ditemukan’
oleh seorang penggerak komunitas bike-to-work Semarang, gegara posting komplain
tentang harga BBM naik, mungkin aku tidak akan suka bersepeda; apalagi memiliki
pengalaman bertamasya naik sepeda (yang biasa kusebut sebagai ‘bikepacking’).
di satu event Desember 2009, B2W Semarang bersama SOC |
Dalam tulisan ini, aku akan bercerita tentang perjalanan kita
mengunjungi Upacara Perayaan Waisak di Borobudur pada hari Sabtu 25 Mei 2013.
Demi sebuah obsesi bersepeda dari Semarang ke Borobudur untuk
menyaksikan kemeriahan perayaan Waisak, karena kita sadar tidak akan mampu
menempuh jarak 100 kilometer dengan tanjakan-tanjakan yang tidak bisa dianggap
enteng dalam waktu singkat, aku dan Ranz – my (biking) soul mate – memulai
perjalanan pada hari Jumat 24 Mei 2013. (Ranz sendiri yang berdomisili di Solo
telah datang ke Semarang hari Kamis 23 Mei.) Pukul 05.30 kita meninggalkan kos
Ranz dengan mengendarai sepeda lipat masing-masing – aku naik downtube nova 20”
sedangkan Ranz naik dahon da bike 16” single gear – ke arah Selatan kota Semarang
yang terkenal dengan trek menanjak: Gajahmungkur alias Jalan S. Parman,
Kaliwiru, Teuku Umar, hingga Gombel. Lolos tanjakan Gombel, kita agak
dimudahkan dengan trek yang flat beberapa kilometer hingga kita dihadang
tanjakan lagi di kawasan Pudak Payung, terus menanjak hingga Ungaran, dimana
kita memutuskan untuk berhenti sejenak untuk sarapan sekitar pukul 08.00
jalan alternatif baru di Ambarawa |
call me narcissist :D |
alun-alun Magelang |
Borobudur 3 km lagiiiiii |
mejeng dulu di 'stupa' :) |
Hari kedua Sabtu 25 Mei kita check out dari penginapan karena
kamar yang kita pakai telah dipesan orang lain jauh-jauh hari. Maka agenda hari
ini adalah mencari penginapan lain sebelum menyaksikan perayaan Waisak. Dengan
bantuan seorang teman, kita mendapatkan penginapan dengan fasilitas sama –
kamar + double bed + kipas angin + kamar mandi luar – namun lebih murah karena
letaknya lumayan jauh, sekitar 2,5 kilometer dari TWCB. Dan ... dalam
perjalanan menuju ‘homestay’ ini kita melihat sebuah masjid yang lumayan besar,
yang bisa dijadikan nunut menginap, andai tidak mendapatkan penginapan. J
Setelah beramah tamah dengan pemilik ‘homestay’, kita tidak
langsung ke TWCB, namun gowes dulu ke Punthuk Setumbu (PS), satu lokasi yang lumayan
tinggi dimana dari gardu pandang yang ada kita bisa memandang candi Borobudur
dari ketinggian (bagi yang matanya awas tentu saja. LOL.) Well, sebenarnya trek
menuju PS ini tidak begitu ramah bagi sepeda lipat, namun apa boleh buat, kita
‘punyanya’ ya seli, plus kita telah keukeuh untuk mencapai lokasi apa pun yang
kita kunjungi dengan gowes. Di awal trek, kita masih bisa gowes. Setelah
melewati satu tempat lapang yang digunakan untuk tempat parkir, trek mulai
sulit dilewati naik seli, namun aku mengajak Ranz untuk tetap membawa seli
kita, dan bukannya memarkirnya; meski resikonya adalah tentu angkat junjung
seli di titik-titik tertentu.
otw ke Punthuk Setumbu 1 |
ngemil apel dulu :) |
nekad nyeli :D |
Borobudur dari puncak Punthuk Setumbu |
Di dalam TWCB, pengunjung yang mungkin mencapai lebih dari
10.000 orang memadati lokasi. Banyak ‘turis’ dari kota-kota sekitar – misal
Jogja, Magelang – sampai Jakarta, Surabaya, dll. Tentu juga turis manca negara
ikut menambah semarak suasana. Semoga Candi Borobudur tetap berdiri kokoh
karena diinjak-injak oleh ribuan orang dalam waktu bersamaan. (Hebatnya nenek
moyang kita yang membangunnya ya?)
Karena berada di lokasi, aku ikut menjadi ‘saksi’ ricuhnya
perayaan Waisak tahun ini karena pengunjung yang kurang menghormati upacara
keagamaan ini. Mereka lupa bahwa upacara ini bukan ‘hanya sekedar’ ritual
budaya semata. Semoga tahun depan panitia lebih siap dan tangguh menghadapi
para pengunjung dan perayaan bisa berjalan dengan khidmat dan sakral. Amin.
Aku dan Ranz kembali ke homestay sekitar pukul 23.30, basah
kuyup kehujanan.
Minggu 26 Mei kita membatalkan rencana untuk kembali ke PS untuk
menikmati sunrise yang spektakuler. Hujan lebat semalam tentu membuat trek
lebih sulit dilewati seli, plus malas berjibaku melawan hawa dingin dengan
bangun di pagi buta. hehehehe ...
Sekitar pukul 07.30 kita sudah selesai sarapan dan pamitan
dengan tuan rumah nan ramah. Rencana hari ini kita gowes ke Jogja!
Setelah berfoto sejenak di depan papan TWCB untuk dokumentasi,
kita langsung gowes ke arah Candi Mendut. Sungguh di luar perkiraan jika dalam
perjalanan kita bertemu dengan seorang bikepacker asal Jerman – Stephan – yang
telah ‘mengembara’ di sepanjang Pulau Sumatra selama beberapa minggu sebelum
menginjakkan kaki di Pulau Jawa. Semalam dia pun berada di TWCB, setelah selama
5 hari ngebut gowes dari Jakarta menuju Borobudur. Stephan telah keliling
beberapa negara di Eropa dan Asia selama kurang lebih satu tahun lho, dengan
naik sepeda! Kisahnya bisa disimak di www.cyclingeurasia.com
berdua Stephan di Candi Mendut |
Setelah mampir di Candi Mendut, ngobrol bertiga, sekitar pukul
10.30 kita melanjutkan perjalanan menuju Jogja bersama. Dalam perjalanan kita
mampir ke Candi Ngawen yang terletak di Desa Ngawen Muntilan, sekitar 3
kilometer dari jalan raya Muntilan - Jogja. Candi Ngawen adalah Candi Buddha
yang dibangun di abad yang sama ketika Dinasti Syailendra membangun Borobudur.
Yang menarik adalah di bawah Candi Ngawen mengalir sumber air yang tak pernah
kering sepanjang tahun! Jika kita menginjakkan kaki di dekat Candi, kita akan
merasakan tanah yang gembur. Pemerintah telah membuatkan saluran air untuk
mengalirkan sumber air dari bawah candi.
Candi Ngawen |
lanjut gowes ke Jogja |
Usai makan, kita terus gowes. Seperti trek Secang – Magelang,
kali ini kita pun diuntungkan dengan trek yang terus menurun halus. Aku dan
Ranz mengantar Stephan ke Malioboro, dimana aku yakin dia akan menemukan
penginapan yang murah. Katanya dia akan ‘stay’ di Jogja selama beberapa hari. Stephan
sempat bilang bahwa dia akan stay di Indonesia lebih lama dari rencananya
semula karena “Indonesia has many interesting places to visit!”
Ranz bersama Shaun, salah satu sepeda kesayangannya |
di 'markas' Bikepacker Indonesia Jogja |
Aku sampai rumah sekitar pukul 21.30. Excited, satisfied and ...
relieved. :)
Bersepeda memang telah mengubah gaya hidupku, sebagai moda
transportasi ke kantor, maupun untuk berwisata.
PT56 07.55 19/06/13
P.S.:
Ditulis ulang untuk mengikuti lomba “Kisah Perjalanan Bersepeda”
yang diselenggarakan oleh www.nationalgeographic.co.id
Link tulisan tentangku di beberapa koran lokal bisa diklik disini dan disini.
Link tulisan tentangku di beberapa koran lokal bisa diklik disini dan disini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.