Threesome : wawancanda B2W
Semarang + Komselis + Tribun Jateng
Minggu 12
November, kita janjian dengan Rahmah, reporter Tribun Jateng. Tayux memilih Taman Pandanaran sebagai tempat kita
bakal ngobrol bareng.
Aku dan Ranz (plus
Kalis yang sedang pulang kampung) sampai di TamPand sekitar pukul 06.30. Tak
lama kemudian muncul juga Tayux dan Da, disusul Yuniar yang mengajak duo
jagoannya plus ditemani sang adik, yang jarang ngumpul bareng. Setelah itu
Surya, Iin, Tedjohn, dan Mizan bergabung. Ngobrol-ngobrol sendiri kita karena
Rahmah belum muncul. Avitt datang belakangan.
Menjelang pukul
08.00 barulah Rahmah datang. Berhubung sudah pada kelaparan, kita pindah lokasi
ngobrol, setelah kita berfoto bersama, untuk dokumentasi.
Di satu warung
soto tak jauh dari TB Merbabu, kita sarapan sambil ngobrol bareng.
Sebagai seseorang
di ‘kerumunan’ ini yang paling lama berkecimpung di B2W Semarang, aku membuka
obrolan dengan menceritakan sedikit kisah berdirinya Komselis. (Seharusnya
cerita akan lebih lengkap jika ada om Tunggal, om Budenk, dan om Triyono.) B2W Semarang berdiri di
bulan Juni 2008. Saat itu untuk pertama kali dalam hidupku aku melihat wujud
sepeda lipat. Kebetulan om Budenk adalah orang pertama di B2W Semarang yang
memiliki sepeda lipat; sebuah sepeda yang diyakini (waktu itu) hanya bisa
dimiliki oleh orang-orang kaya karena harganya yang jutaan rupiah. (Sshhhttt
... sepeda lipat om Budenk waktu itu konon harganya 3 juta rupiah waktu itu,
harga yang fantastis untuk membeli sepeda, di tahun 2008, apalagi buat seorang
newbie sepertiku yang tahunya sepeda itu harganya murah, paling kitaran ratusan
ribu rupiah doang.)
Tahun 2009,
seingatku om Tunggal beli sepeda lipat baru. Mungkin setelah itu ada obrolan
antara dia dan om Budenk untuk membentuk komunitas sepeda lipat di Semarang. Di
acara ulang tahun Komselis yang ketiga di tahun 2012, om Tunggal memberi
penghargaan khusus kepada om Budenk sebagai seorang pencetus ide membentuk
komunitas sepeda lipat Semarang.
Keberadaan Komselis
di kota Semarang merupakan ‘kepanjangan’ tangan dari B2W Semarang, yakni mengajak
masyarakat kota Semarang bersepeda. B2W Semarang tentu lebih menitikberatkan
penggunaan sepeda sebagai moda transportasi sehari-hari. Sedangkan Komselis
mengajak warga Semarang untuk bersepeda. Untuk mengantisipasi ‘terrain’ kota
Semarang yang berbukit-bukit, keberadaan sepeda lipat sangatlah membantu
kelancaran bersepeda. Jika dirasa tak mampu lagi melanjutkan bersepeda, kita
tinggal melipat sepeda yang kita naiki, dan naik kendaraan umum, entah bus atau
angkot lain; atau telpon anggota keluarga untuk menjemput kita. J
Saya ingat kisah
seorang kawan di tahun 2009. Namanya om Agus Setiawan. Dia tinggal di Pudak
Payung. Hampir tiap hari dia bersepeda ke kantor. Berangkat sekitar pukul lima
pagi, kantornya berada di daerah Kaligawe. FYI, Pudak Payung terletak di
dataran tinggi, sehingga jika berangkat menuju Kaligawe, treknya kebanyakan
berupa turunan. Pulangnya, om Agus menaiki sepeda lipatnya sampai di ujung
Jalan MT Haryono, di depan Java Mall. Disana, dia akan naik bus sampai Pudak
Payung.
Dalam wawancara,
kembali Tayux mengungkapkan bahwa Komselis mengajak warga kota Semarang untuk
bersepeda, baik sendiri-sendiri, berkelompok dengan grupnya masing-masing,
maupun bersama kawan-kawan yang tergabung dalam Komselis, ketika mereka
mengadakan event bersama. Yang paling penting adalah bersepeda, bukan sepedaan
bersama kawan-kawan Komselis. Apa pun jenis sepeda (lipat)mu, apa pun komunitas
yang kau ikuti, mari bersama menjaga bumi, dengan bersepeda.
Di luar obrolan
yang kutulis di atas, Rahmah juga secara khusus mewawancarai Avitt (Rahmah
kuberi keterangan bahwa Avitt adalah salah satu panitia termuda dalam event
besar 7amselinas bulan September lalu) dan Iin yang dijuluki sebagai ‘menteri
luar negeri’ Komselis; Iin cukup sering mengikuti event-event di luar kota
Semarang, mewakili Komselis.
Apa yang ditulis
oleh Rahmah tentang kita semua? Yuk, kita tunggu terbitnya koran Tribun Jateng
yang memuat tentang Komselis.
LG 10.55
15/11/2017