Candi Cetha, Januari 2013 |
Dari postingan saya kemarin yang berjudul "flexing, healing dan baper" ada yang menulis komen bahwa tidak pas jika kata 'flexing' dikontraskan dengan 'healing'; namun lebih pas jika kata 'flexing' dikontraskan dengan 'sharing'.
Komentar ini mengingatkan saya pada satu obrolan ringan dengan Radit, tentang destinasi wisata. Sekitar 11 tahun yang lalu, setelah saya mendapatkan partner dolan bersepeda, kami suka blusukan mencari lokasi yang menarik untuk dikunjungi dengan naik sepeda. Setelah itu, saya akan mengunggahnya di media sosial. Saya bermaksud sharing tentu saja, memberi ide para pembaca tulisan saya tujuan untuk bersepeda. Saya dengan suka cita akan menjelaskan letak lokasi sekaligus rute dan trek yang akan dilewati, jika ada yang bertanya secara detil.
Sebaliknya, Radit biasanya -- kadang -- hanya mengunggah foto lokasi yang dia tuju, atau yang dia lewati saat sepedaan, atau juga saat 'turing' naik motor lawasnya. Alasannya adalah: di zaman dimana orang-orang hobi foto, kemudian mengunggahnya di medsos, lokasi-lokasi eksotis seperti itu akan cepat diburu untuk dikunjungi, dan dijadikan background maupun objek foto.
Permasalahan bisa saja muncul setelah itu: jika para pengunjung itu tidak memedulikan kebersihan atau memelihara tempat tersebut, maka lokasi itu akan cepat menjadi lokasi yang kotor, rusak, dlsb.
Satu contoh. Tahun 2013 saya bersepeda dari Solo ke Candi Cetho, yang terletak di ketinggian sekitar 1400 mdpl. Orang-orang yang tahu saya -- perempuan, tak lagi bisa dikatakan masih berusia muda -- bisa kok mencapai Candi Cetho dengan naik sepeda. Masak yang laki-laki tidak bisa? Sekitar satu tahun kemudian, saya melihat unggahan foto serombongan orang bersepeda ke Candi Cetho. Yang saya sayangkan adalah mereka membawa serta (mengangkat melewati tangga) sepeda mereka, dan dengan sembarangan memarkirkan sepeda di tempat yang tidak semestinya: disandarkan di satu patung yang terletak tak jauh dari pintu pagar masuk. Itu patung pasti usianya sudah ratusan tahun. Mengapa mereka tidak punya kesadaran untuk turut menjaga peninggalan nenek moyang.
Candi Ngempon, Desember 2012 |
Contoh lain. Tahun 2012 saya bersepeda ke Candi Ngempon, yang terletak di daerah Bergas, Kabupaten Semarang. Saat itu, saya hanya berdua dengan pasangan dolan saya. Kami bebas membawa sepeda kami masuk area. Sebagai pecinta candi, tidak mungkin saya akan sembarangan memarkir sepeda saya dengan, misalnya, menyandarkan ke batu candi. Saya mengunggah kisah ini di blog saya.
Tahun 2017 saya ke Candi Ngempon sendiri. Si penjaga dengan galak melarang saya membawa masuk sepeda dengan alasan banyak orang yang sembarangan memarkir sepedanya saat masuk ke area yang seharusnya dijaga kelestariannya itu. Saya tahu setahun sebelumnya seorang kawan sepedaan menyelenggarakan event sepedaan rame-rame dengan tujuan Candi Ngempon, terinspirasi dari kisah saya bersepeda kesana.
Masih ada kisah lain lagi sih. Tapi nanti tulisan saya jadi terlalu panjang.
Salam ngeteh nasgitel di sore yang hujan.
PT56 17,18 06/01/2023