Cari Blog Ini

Sabtu, 25 Maret 2017

Tentang Seorang Kawan, Mas Ndaru a.k.a Nico

MAS NDARU IN MEMORIAM

Aku mengenalnya sekitar tahun 2008, tak lama setelah aku dan beberapa kawan mendeklarasikan berdirinya “komunitas” ‘bike to work’. Aku diajak seseorang – aku lupa siapa – untuk ikut satu event fun bike, yang ‘bertikum’ di Jalan Ki Mangunsarkoro, rutenya konon kurang lebih 10 km. Dari tikum, kita belok ke arah Timur, terus hingga arteri Jalan Sukarno Hatta, lurus hingga tembus ke Jalan Dr. Cipto, kita belok kiri, kembali ke tikum awal.

Pada saat itu, Mas Ndaru datang berdua dengan Agung Tridja. Seingatku mereka berdua sama-sama kocak sehingga mereka mengesankan bagiku. Di saat yang sama, kalau tidak salah, Mas Budianto Budenk naik sepeda lipat, yang membuatku takjub karena pertama kali aku melihat sepeda yang bisa dilipat. LOL.

Ada 3 kenangan yang akan kutulis di postingan ini yang berkenaan dengan Mas Ndaru, yang teman-teman bilang sebagai “seorang pesepeda yang selalu menyemangati yang lain dengan mengatakan, ‘ini tanjakan terakhir kok’ atau ‘tenang sajaaa ... tinggal dua kelokan lagi’. dan karena caranya yang khas, kita akan kembali bersemangat, meski akhirnya kita tahu, itu bukanlah tanjakan terakhir, dan tak hanya sekedar tinggal dua kelokan lagi. LOL.



Pertama, saat pertama kali aku akhirnya ikut ‘ngoffroad’ke Banyumeneng. (Oh ya, saat itu, yang memegang ‘gelar’ sing mbaurekso Banyumeneng adalah Mas Ndaru, yang kemudian kita sematkan ke Agung Tridja setelah Mas Ndaru pindah keluar kota. Saat itu bulan Januari 2009, waktu Agung malah tidak bisa ikut. Aku mengajak salah satu siswaku di LIA, Ian namanya, dan Ian mengajak kelima teman bermainnya. Dari keenam anak itu, mungkin hanya Ian yang sepedanya layak buat ngoffroad, dan kita (termasuk aku) benar-benar ‘buta’ dengan trek yang bakal kita lewati. Waktu melihat jenis sepeda yang dinaiki kawan-kawan Ian, yang kurang layak dipakai untuk offroad-an, Mas Ndaru dengan semangat bilang, "oh ... bisa ... bisa ...!" 

yang berkaos merah Mas Ndaru

Satu hal yang paling mengesankan saat itu adalah saat Mas Ndaru memutuskan untuk memilih arah. Waktu itu, beberapa penduduk sekitar ‘mengingatkan’, “jangan ke arah situ, kalau kesitu harus melewati sungai, dan di musim hujan ini, sungai sedang penuh air,” namun Mas Ndaru tetap bergeming. Walhasil ... ya begitu lah, aku terpana saat kita tiba di sungai itu. LOL. Kedalaman air mungkin sekitar 30 cm. Semua bahu membahu menggotong sepeda menyeberangi sungai, kecuali aku dan Ipoet, dua perempuan yang ikut ‘ekspedisi’ ini. Aku ingat waktu itu sempat ‘ngomel-ngomel’ dalam hati, kok ya Mas Ndaru ngajakin kita memilih rute yang itu? LOL. Tapi setelah lewat, kita tertawa-tawa.

Satu hal lainnya adalah ketika terjadi satu kecelakaan. Aku lupa nama seorang kawan yang waktu itu terjatuh, dan sepedanya menabrak pohon, hingga frame patah. Mas Ndaru bilang, “Ya di trek turunan berbatu seperti ini, kita cenderung sangat hati-hati dengan terus menerus ngerem. Kala trek berbatu terlewati, kita akan terlena, lupa ngerem, dan tahu-tahu trek berbelok, dimana akan sangat terlambat jika kita ngerem, hingga jatuhlah kita.” Wedew. (aku yang penakut tentu ngerem melulu, LOL, meski diberitahu agar jangan melulu ngerem karena itu justru juga bahaya, apalagi itu adalah ‘single track’, dimana jangan sampai pesepeda di belakang kita akan terhalang lajunya oleh kita yang ngerem melulu.) Setengah mati rasanya, itu adalah kali pertama aku bersepeda di trek turunan rasanya aku maunya TTB, tapi kok malu ya sama yang lain. LOL.

Btw, untunglah kawan yang terjatuh itu kondisi fisiknya baik-baik saja, entah psikisnya ya? Waktu aku masih bingung mikir bagaimana dia pulangnya, mendadak ada seseorang (mungkin penduduk sekitar) lewat dengan naik motor. Dengan suara bernada ‘authoritative’ (can you imagine that? LOL), Mas Ndaru menghentikan orang itu sambil bilang, “Mas ... tolong boncengkan kawan kita satu ini dengan sepedanya hingga sampai di satu lokasi “yang beradab” (keluar dari hutan maksudnya hingga ke jalan raya dan mungkin bertemu dengan angkot atau apa pun itu)!” Dari caranya berbicara, yang mendapatkan ‘instruksi’ tahu bahwa Mas Ndaru “will not take NO as an answer”. LOL. Tanpa tawar menawar apa pun, orang yang lewat itu pun langsung memboncengkan kawan kita dengan sepedanya.

Dan aku ternganga. LOL.

Kedua, waktu aku dan beberapa kawan bersepeda ke pantaiMaron, dimana treknya dalam kondisi super becek setelah hujan berhari-hari. Kalau tidak salah ini terjadi di bulan Desember 2008. Dari sekitar 15 orang yang menuju pantai Maron waktu itu (setelah mengikuti ‘rolling thunder’ a.k.a gowes keliling kota untuk kampanye BIKE TO WORK bersama grup SOC atau Semarang Onthel Community dan SLOWLY atau Semarang Low Rider Community (yang sekarang sudah kabur kabarnya). Di perjalanan kita terpisah, yang setengah tetap di jalur menuju pantai Maron, setengah lain lagi menyeberang – waktu itu masih ada jembatan yang bisa kita gunakan untuk menyeberang – dimana mereka akan sampai di pantai Tirang.

di selan-sela 'rolling thunder'

Rombongan menuju pantai Tirang terhenti di tengah jalan dan mereka memilih kembali ke jalan raya – setelah ban sepeda yang dinaiki menjadi donat dan sendal yang dipakai Mas Triyono putus – rombongan menuju pantai Maron berhasil menuju pantai. Mas Ndaru yang membawa kamera poket lumayan mengambil beberapa jepretan sebagai bukti ‘ganasnya’ trek berlumpur menuju Maron seusai turun hujan. Kalau tidak, mungkin kita tidak punya ‘bukti’ foto. Hmmm ...

Pulangnya RD sepeda seorang kawan putus karena penuh lumpur dan sepeda terus dipaksa dikayuh. (aku lupa namanya.) Agung bersibuk ria mencoba mengubah girnya menjadi single speed, yang penting bisa sepeda bisa dikayuh. Sementara itu, Mas Ndaru – yang diakui sebagai mentor oleh Agung – menonton ‘anak didiknya’ memperbaiki. LOL. RD sepeda Yoni juga hampir putus, namun ketahuan terlebih dahulu sehingga bisa diselamatkan.


sepatuku penuh bedak :p

Setelah dengan selamat meninggalkan lokasi berlumpur itu, dalam perjalanan pulang, kita mencari tempat cuci sepeda motor. Kita menemukannya di Jalan Anjasmoro. Si ‘tukang’ terlihat ogah-ogahan menerima kita yang datang membawa sepeda penuh lumpur. Namun Mas Ndaru – lagi-lagi dengan nada suaranya yang ‘authoritative’ yang menunjukkan bahwa “he will not take NO as an answer” LOL – meminta si tukang menerima sepeda-sepeda kita untuk dicuci. Dia pun akhirnya setuju mencuci sepeda kita berlima (aku, Mas Ndaru, Agung Tridja, Yoni, dan Eka).

Sembari menunggu sepeda dicuci, satu lelucon dari Mas Ndaru yang kuingat sampai sekarang adalah ‘kebandelan’ anak-anak (biasanya laki-laki) yang ogah disuruh tidur siang, karena lebih memilih dolan ketimbang tidur. “Heran ya, padahal tidur siang itu kan enak, kenapa dulu kita ogah disuruh tidur siang ya? Anak-anak itu memang aneh.” LOL. Dan Agung tertawa-tawa mengiyakan.

Jika ingat sekarang, hhhhh ... mereka pasti sangat sabar menungguku mengayuh sepeda melewati trek berlumpur seperti itu ya. Eka yang kasihan melihatku memilih menuntun Orenj, (bayangkan sepatu ketsku yang tentu penuh lumpur karena berjalan di trek berlumpur sambil menuntun sepeda) menukarkan sepedanya yang bannya lebih ‘friendly’ pada trek berlumpur ketimbang Orenj. Di belakangku Eka terus menerus memompa semangatku untuk ‘berani’ melewati trek berlumpur karena sepedanya ga bakal membuatku tergelincir, aku cukup terus menerus mengayuh pedal sepeda.

Yang ketiga, waktu ulang tahun Komselis yang kelima, bulan November 2014. Acara itu mengambil tajuk “reuni” karena Mas Tunggal – sebagai ketua Komselis tahun 2009 – 2013 – ingin mengumpulkan kawan-kawan yang sudah lama tidak bersepeda bersama. Di antara beberapa wajah ‘lama’ yang sudah cukup lama tidak terlihat sepedaan bareng, ada Mas Budenk dan Mas Ndaru.

dalam event ultah Komselis tahun 2014
ki-ka : Mas Ndaru, Mas Budenk, Mas Tunggal

Mereka berdua ‘menyalamiku’ bak juara lomba RT. LOL. Aku ingat Mas Ndaru bilang, “sebagai seorang senior, saya sangat bangga dengan apa yang telah dicapai oleh Mbak Nana ... tak lagi hanya sepedaan dalam kota, namun telah memiliki pengalaman bersepeda AKDP bahkan juga AKAP.” Dan hidungku pun mekar tak terkendali. LOL. Di tengah-tengah mereka, aku tetap merasa junior, tetap merasa nyaman jika harus TTB, ga perlu khawatir dibully. LOL.


Tidak banyak memang pengalamanku bersepeda bersama Mas Ndaru karena dia kemudian pindah keluar kota. (hatiku selalu patah jika ada kawan pesepeda pindah keluar kota.) Beberapa bulan lalu, Mas Budenk membawa kabar gembira bahwa Mas Ndaru ternyata telah balik pindah ke Semarang. Agung pun menyambut gembira kabar tersebut dan berencana mengadakan gowes offroad reuni. Dan aku menunggu saat itu, now that aku punya ‘pasukan’ beberapa perempuan yang mungkin mau kuajak blusukan masuk hutan. Tentu suasana gowes offroad akan sedikit berbeda jika banyak perempuan yang gabung.

gowes terakhir bersama Mas Ndaru, Desember 2014 cek this link 

Namun ternyata Yang Maha Kuasa punya rencana lain. Dia mengajak Mas Ndaru pindah ke alam dimensi yang lain secepatnya, sebelum kita menyempatkan diri untuk “gowes offroad reuni”. L L L Saat mataku butuh dibasuh airmata, nampaknya. L L L

Selamat jalan Mas Ndaru ... you will always be dearly missed.


LG 16.00 23/03/2017 

Sabtu, 11 Maret 2017

Seusai SESAT J150K 2017

Minggu 26 Februari 2017

Pagi ini, kita tidak memiliki kesempatan untuk bersepeda keliling Jogja, seperti tahun 2013 dulu. Ranz harus segera kembali ke Solo, karena tuntutan pekerjaan. Semula aku mau mengajak DwiAvitt, dan Lambang gowes ke Solo, namun ternyata mereka sudah begitu bosan duduk di atas sepeda, mereka pun menolak ajakanku gowes AKAP sejauh kurang lebih 60 kilometer lagi. J Mereka akan langsung pulang ke Semarang naik bus, aku memilih ikut ke Solo.

Sekitar pukul 06.30, aku dan Ranz meninggalkan penginapan, kita bersepeda menuju stasiun Maguwo. Ada KA Prameks yang meninggalkan stasiun Tugu sekitar pukul 07.35, sampai di stasiun Maguwo sekitar pukul 07.55.

helm ini adalah door prize :)

Waktu menunggu kereta datang, kita melihat seorang laki-laki menenteng seli brompton, dia juga nampaknya akan menuju Solo. Setelah dia sampai di ‘halte’, kita pun ngobrol. Ternyata beliau adalah Om Iman, salah satu ‘punggawa’ komunitas SESAT yang merupakan pemrakarsa event J150K tahun 2017. Om Iman bercerita sekitar pertengahan tahun 2016, SESAT ingin mengadakan satu event sepedaan di Jogja. Mereka sudah mulai melakukan survey lokasi untuk menentukan rute. Namun karena SESAT berbasis di kota Jakarta, semua personilnya sibuk di Jakarta, mereka kesulitan untuk ‘mengeksekusi’ ide ini.

Untunglah kemudian salah satu personilnya (aku lupa nama yang disebut oleh Om Iman) bertemu dengan nte Dyah, ketua JFB di satu event sepeda lipat di Magelang. Terjadilah satu kolaborasi yang apik antara SESAT dengan JFB. Pihak SESAT yang akan mencari dana untuk membiayai event (ini adalah event sepeda lipat yang pertama kali diselenggarakan oleh SESAT karena biasanya mereka mengadakan event untuk mtb maupun road bike), sedangkan pihak JFB adalah penyelenggara.

Saat pertama kali membuka pendaftaran peserta, para personil SESAT pun terheran-heran saat kuota peserta sejumlah 300 orang telah terpenuhi hanya dalam kurun waktu kurang lebih 3 jam, padahal itu dibuka di waktu dini hari. Wuiiihhh ... Hal ini membuka ‘mata’ mereka bahwa ternyata sepeda lipat pun punya banyak penggemar.

Keberhasilan SESAT dan JFB menyelenggarakan J150K tahun 2017 ini membuat SESAT ingin mengadakan event untuk sepeda lipat lagi. Om Iman bercerita mungkin akan mengadakannya di kawasan Danau Toba, atau di Bali. Entah tahun depan, atau setelah pilpres.

Kita bertiga turun di stasiun Purwosari. Kemudian kita bersepeda ke arah Kota Barat, Ranz menunjukkan satu warung yang berjualan gudeg, Om Iman ingin sarapan disana. Namun ternyata tutup, akhirnya Ranz mengajak kita sarapan di satu warung sup ayam dll di dekat Sriwedari. Usai sarapan, kita berpisah, aku dan Ranz ke arah Laweyan, Om Iman menemui teman-teman SESAT-nya di kawasan Kalitan.

Sampai jumpa di kisah gowes kita berikutnya yaaa. :D


IB 15.00 Maret 2017 

SESAT J150K 2017 (Day 2)

Sabtu 25 Februari 2017

Jam empat pagi kita sudah mulai antri mandi, persiapan ini itu. Sekitar pukul 05.20 kita telah meluncur di jalan raya yang masih cukup lengang menuju LPP Garden. Disana, titik START telah mulai penuh.



“Pasukan” mulai diberangkatkan pukul 06.10, molor 10 menit dari rencana semula. Not bad, eh? Keluar dari LPP Garden, kita belok ke arah Timur, kemudian belok lagi ke arah utara, hingga kita tembus ke ring road. Di sekitar 20 kilometer awal, kita menempuh trek tanjakan halus, hingga mencapai Jalan Kaliurang km 17 kalau tidak salah, kemudian kita belok ke arah Barat. Luruuusss ... dan ... aku tidak tahu arah lagi. LOL.

Aku dkk sempat berhenti sebentar di depan pintu gerbang Univ. Islam Indonesia karena waktu itu ada rombongan Gamago (pesepeda dari UGM) berhenti disana, foto-foto dan ngemil-ngemil pisang. J Ranz memintakan beberapa pisang untuk kita. Selain berfoto-ria dan ngemil pisang, kita juga menunggu Hesti yang terganggu dengan pedal sebelah kiri, yang tidak mau berputar. Hal ini jelas mengganggu kestabilan Hesti mengayuh Rockie, nama sepeda lipatnya.



Lepas dari tanjakan, ketika trek mulai menurun halus, Ranz tak lagi bisa mengayuh pedal dengan leluasa; Shaun, sepeda lipat dahon 16” yang dia stel single speed, tidak bisa diajak ngebut dengan trek yang seperti itu. Jika ngebut, Ranz terpaksa bakal sangat ‘ngicik’; satu kondisi yang sangat tidak dia sukai karena mudah melelahkan kaki.

Tidak banyak yang bisa kukisahkan disini selain bahwa para peserta jauh lebih ‘kopen’ (apa ya Bahasa Indonesianya? LOL) ketimbang waktu penyelenggaraan J150K tahun 2013. Waktu itu tidak ada spot ‘water station’ atau yang juga disebut sebagai ‘pos bayangan’. Kali ini minimal ada 2 pos bayangan; kurang lebih 10 kilometer sebelum sampai di check point 1 dan 2. Jarak dari titik START menuju check point 1 dan 2 juga jauh lebih friendly dan reachable ketimbang yang lalu. 


Di penyelenggaraan tahun 2013, peserta dibagi dalam beberapa grup, masing-masing grup dipimpin oleh satu road captain. Satu road captain bertanggungjawab atas peserta dalam grup-nya. Pada prakteknya, tentu saja sulit ‘menyatukan’ sekian puluh pesepeda dengan ego masing-masing di bawah komando satu road captain. Itu sebabnya kondisi ‘ideal’ hanya bisa berjalan di beberapa puluh kilometer awal. Setelah kurang lebih 30-40 kilometer pertama, karena ketiadaan ‘pos bayangan’ yang menyediakan minuman dan cemilan, banyak pesepeda yang ‘membelot’; entah mampir ke minimarket, entah mampir ke warung mie ayam, dll. J check point pertama waktu itu setelah melampaui sekitar 60 kilometer pertama. 60 kilometer lumayan killing jika kita memulai hari tanpa sarapan, plus tanpa dukungan minuman dan cemilan yang tersedia di sepanjang perjalanan.



Penyelenggaraan tahun 2017 lebih tertata rapi. Peserta tidak dibagi dalam beberapa grup, tapi langsung berangkat setelah pasukan diberangkatkan. Untuk para ‘pemburu award finisher awal’, mereka dipimpin oleh road captain yang kecepatannya dalam bersepeda tak perlu diragukan lagi, mas Juwanto Reza, satu pembalap dari Semarang, terus berada di depan. Beberapa marshall lain, misal Supriyanto (Plat AB) dari Jogja kebagian seksi sibuk, maju mundur, mengecek ‘pasukan’. (eh, bener begini ga yaaa? LOL.)



Selain para marshall yang bersepeda, panitia pun menyediakan mekanik yang nomor telponnya telah disertakan di nomor peserta yang menempel di masing-masing sepeda. Plus panitia menyediakan marshall penjaga titik-titik rawan yang mungkin para peserta bakal tersesat, misal di pertigaan maupun di perempatan, meski panitia juga telah memasang ‘penunjuk arah’ di banyak titik-titik strategis.

Jika pada tahun 2013, aku, Ranz, Evie dan Cipluk sempat ‘digaruk’ truk evak jelang check point 1, juga jelang check point 2, kali ini, kita semua aman dari ‘garukan’, LOL, bahkan sampai di check point 2, kita sampai Pantai Baru Bantul tanpa sempat bertemu dengan truk evak, padahal kita bersepeda dengan sangat nyantai. :D Kita bersepeda sejauh 90 kilometer ‘aman’ tanpa ‘garukan’ panitia. LOL. Kita juga tidak perlu mampir mini market karena minuman dan cemilan – berupa pisang maupun ‘fit bar’ dll – mudah didapatkan di pos bayangan maupun di check point.

Yang mengherankan adalah Evie. Tahun 2013 lalu, dia terserang kram perut gegara sedang menstruasi, eh, kali ini, kejadian itu berulang kembali. LOL. Di Pantai Baru Bantul kita tidak sempat menikmati foto-foto dengan latar belakang pantai, namun hanya nongkrong sebentar, makan siang (Ranz tidak memakannya karena lauknya ikan, sebagai ganti, Ranz membeli indomie goreng di satu warung lokal) serta siap-siap untuk evak. Evie yang terkena kram perut, plus dia harus buru-buru balik ke penginapan karena malamnya dia harus balik ke Jakarta, tentu memilih kembali ke LPP Garden dengan naik truk evak. Ranz yang merasa sebagai ‘tuan rumah’ menemani Evie. Aku? Setelah memastikan Avitt dan Dwi akan terus bersama untuk saling mendukung dalam perjalanan selanjutnya, plus Hesti yang telah didampingi oleh Dany, pacarnya, aku memutuskan untuk menemani Ranz dan Evie. Horeee. LOL. (bye bye kesempatan untuk mendapatkan brompton sebagai door prize utama karena hanya ‘finisher’ lah yang akan mendapatkannya.)

Kita sampai LPP Garden sekitar pukul 15.30. Setelah sepeda Evie datang, kita meninggalkan lokasi, kembali ke penginapan. Sesampai penginapan, Evie langsung packing, mandi, dan siap-siap. Kebetulan sore itu hujan turun dengan deras. (Wew, Avitt, Dwi, dan Hesti kehujanan nih.) Evie meninggalkan penginapan sekitar pukul 18.00, dengan naik ‘grab car’ menuju stasiun Tugu. Aku dan Ranz kembali ke LPP Garden pukul 18.45 setelah hujan sedikit mereda.


Malam itu, selain makan malam bersama dengan variasi menu khas Jogja (bakmi Jawa, gudeg, sate klathak, dll), juga dibagikan door prize. Alhamdulillah aku mendapatkan sebuah helm karena bisa menjawab pertanyaan MC, “Siapakah pembaca doa malam itu, beliau adalah peturing nasional yang usianya telah cukup senior dan telah bersepeda ke banyak kota?” Jawabannya mudah, “Mbah Kung Endy!” yeayyy. :D 

Menuju SESAT J150K 2017 (Day 1)

SESAT J150K 2017


Masih ingat event J150K yang diselenggarakan pada tanggal 9-10 November 2013? Setelah menunggu beberapa tahun tanpa kepastian (lebay :p) akhirnya para penggemar sepeda lipat bisa merasakan sensasi mengikuti event gowes ratusan kilometer dengan biaya yang cukup murah (lagi!). (ssshhhttt ... ini jika dibandingkan ikut event sejenis audax yang biaya pendaftarannya hingga jutaan rupiah.) dan berhubung namanya diawali dengan huruf ‘J’, maka event gowes sejauh kurang lebih 150 kilometer ini tetap dilaksanakan di Jogja. Yuhuuu.

Jika J150K tahun 2013 diselenggarakan oleh satu komunitas yang menamakan diri sebagai “I Love Touring” dari Jakarta, dibantu oleh pesepeda lokal dari Jogja, misal nte Dyah Purwanti (yang waktu itu belum jadi ketua JFB a.k.a Jogja Folding Bike) dan didukung oleh para federalis yang tergabung di Federal Jogja, (konon tahun itu, event ini tidak ‘diendorse’ oleh IDFB sebagai induk komunitas sepeda lipat senusantara), tahun ini event SESAT J150K secara resmi diselenggarakan oleh JFB. Komunitas SESAT (sepeda sampai tua) adalah penyandang dana. Penyelenggaraan SESAT J150K ini sekaligus untuk merayakan ulang tahun SESAT yang ketujuh tahun dan JFB yang kedelapan. Happy anniversary yaaa. J

Jumat 24 Februari 2017

Aku berangkat dari stasiun Poncol Semarang bersama Avitt, Dwi, dan Lambang. Hesti rencana menyusul sore hari setelah selesai mengajar; Ranz jelas menunggu kita di Solo, sedangkan Tami memutuskan untuk tidak ikut. Di stasiun kita bertemu rombongan selier lain, konon mereka menamakan diri grup RAINBOW, yang berjumlah 12 orang, semua laki-laki. Mereka turun di stasiun Balapan, shalat Jumat, kemudian kulineran di Solo. Sore hari mereka baru menuju Jogja.

di stasiun Poncol

Aku dkk turun di stasiun Purwosari. Istirahat sejenak sementara menunggu Lambang yang shalat Jumat di masjid tak jauh dari stasiun. Setelah makan siang, kita kembali ke stasiun, kita naik KA Prameks yang meninggalkan stasiun pukul 13.07.

stasiun Purwosari

Syukurlah gerbong yang kita naiki tidak begitu penuh, aku dan Ranz mendapatkan tempat duduk, entah dengan Avitt, Dwi, dan Lambang di gerbong sebelah. J Kita berlima turun di stasiun Maguwo yang bersebelahan dengan bandara Laksda Adi Sucipto. Dari sana kita berempat bersepeda, Lambang naik bus Trans Jogja, karena dia akan menaiki sepeda yang baru saja dia beli di Imam Tsj untuk SESAT J150K.
Malam itu kita menginap di PURI JANTI, tak jauh dari lokasi START/FINISH event, yakni di LPP Garden, kurang lebih 2 kilometer. PURI JANTI terletak tepat di samping fly over Janti. J

ngangkirng sebelum ke LPP Garden untuk daftar ulang
makmal, duduk di ujung (kiri) Radit


Evie datang dari Jakarta sekitar pukul 19.30 ke penginapan, sedangkan Hesti sampai sekitar pukul 22.00. Penginapan yang kita inapi harganya Rp. 150.000,00 per malam, dengan tempat tidur yang cukup untuk ditiduri 3 orang perempuan. J Lambang, satu-satunya laki-laki, menempati kamarnya seorang diri. J Aku sekamar dengan Evie dan Ranz; sedangkan Avitt, Dwi, dan Hesti sekamar di sebelah.

to be continued.