MAS NDARU IN MEMORIAM
Aku mengenalnya sekitar tahun 2008, tak lama setelah aku dan beberapa kawan mendeklarasikan berdirinya “komunitas” ‘bike to work’. Aku diajak seseorang – aku lupa siapa – untuk ikut
satu event fun bike, yang ‘bertikum’ di Jalan Ki Mangunsarkoro, rutenya konon
kurang lebih 10 km. Dari tikum, kita belok ke arah Timur, terus hingga arteri
Jalan Sukarno Hatta, lurus hingga tembus ke Jalan Dr. Cipto, kita belok kiri,
kembali ke tikum awal.
Pada saat itu, Mas Ndaru datang berdua dengan Agung Tridja. Seingatku
mereka berdua sama-sama kocak sehingga mereka mengesankan bagiku. Di saat yang
sama, kalau tidak salah, Mas Budianto Budenk naik sepeda lipat, yang membuatku
takjub karena pertama kali aku melihat sepeda yang bisa dilipat. LOL.
Ada 3 kenangan yang akan kutulis di postingan ini yang
berkenaan dengan Mas Ndaru, yang teman-teman bilang sebagai “seorang pesepeda
yang selalu menyemangati yang lain dengan mengatakan, ‘ini tanjakan terakhir
kok’ atau ‘tenang sajaaa ... tinggal dua kelokan lagi’. dan karena caranya yang
khas, kita akan kembali bersemangat, meski akhirnya kita tahu, itu bukanlah
tanjakan terakhir, dan tak hanya sekedar tinggal dua kelokan lagi. LOL.
Pertama, saat pertama kali aku akhirnya ikut ‘ngoffroad’ke Banyumeneng. (Oh ya, saat itu, yang memegang ‘gelar’ sing mbaurekso Banyumeneng adalah Mas Ndaru, yang
kemudian kita sematkan ke Agung Tridja setelah Mas Ndaru pindah keluar kota. Saat
itu bulan Januari 2009, waktu Agung malah tidak bisa ikut. Aku mengajak salah
satu siswaku di LIA, Ian namanya, dan Ian mengajak kelima teman bermainnya.
Dari keenam anak itu, mungkin hanya Ian yang sepedanya layak buat ngoffroad, dan
kita (termasuk aku) benar-benar ‘buta’ dengan trek yang bakal kita lewati. Waktu melihat jenis sepeda yang dinaiki kawan-kawan Ian, yang kurang layak dipakai untuk offroad-an, Mas Ndaru dengan semangat bilang, "oh ... bisa ... bisa ...!" J
yang berkaos merah Mas Ndaru |
Satu hal yang paling mengesankan saat itu adalah saat Mas
Ndaru memutuskan untuk memilih arah. Waktu itu, beberapa penduduk sekitar
‘mengingatkan’, “jangan ke arah situ, kalau kesitu harus melewati sungai, dan
di musim hujan ini, sungai sedang penuh air,” namun Mas Ndaru tetap bergeming.
Walhasil ... ya begitu lah, aku terpana saat kita tiba di sungai itu. LOL.
Kedalaman air mungkin sekitar 30 cm. Semua bahu membahu menggotong sepeda
menyeberangi sungai, kecuali aku dan Ipoet, dua perempuan yang ikut ‘ekspedisi’
ini. Aku ingat waktu itu sempat ‘ngomel-ngomel’ dalam hati, kok ya Mas Ndaru
ngajakin kita memilih rute yang itu? LOL. Tapi setelah lewat, kita
tertawa-tawa.
Satu hal lainnya adalah ketika terjadi satu kecelakaan. Aku
lupa nama seorang kawan yang waktu itu terjatuh, dan sepedanya menabrak pohon,
hingga frame patah. Mas Ndaru bilang, “Ya di trek turunan berbatu seperti ini,
kita cenderung sangat hati-hati dengan terus menerus ngerem. Kala trek berbatu
terlewati, kita akan terlena, lupa ngerem, dan tahu-tahu trek berbelok, dimana
akan sangat terlambat jika kita ngerem, hingga jatuhlah kita.” Wedew. (aku yang
penakut tentu ngerem melulu, LOL, meski diberitahu agar jangan melulu ngerem
karena itu justru juga bahaya, apalagi itu adalah ‘single track’, dimana jangan
sampai pesepeda di belakang kita akan terhalang lajunya oleh kita yang ngerem
melulu.) Setengah mati rasanya, itu adalah kali pertama aku bersepeda di trek
turunan rasanya aku maunya TTB, tapi kok malu ya sama yang lain. LOL.
Btw, untunglah kawan yang terjatuh itu kondisi fisiknya
baik-baik saja, entah psikisnya ya? Waktu aku masih bingung mikir bagaimana dia
pulangnya, mendadak ada seseorang (mungkin penduduk sekitar) lewat dengan naik
motor. Dengan suara bernada ‘authoritative’ (can you imagine that? LOL), Mas
Ndaru menghentikan orang itu sambil bilang, “Mas ... tolong boncengkan kawan
kita satu ini dengan sepedanya hingga sampai di satu lokasi “yang beradab”
(keluar dari hutan maksudnya hingga ke jalan raya dan mungkin bertemu dengan
angkot atau apa pun itu)!” Dari caranya berbicara, yang mendapatkan ‘instruksi’
tahu bahwa Mas Ndaru “will not take NO as an answer”. LOL. Tanpa tawar menawar
apa pun, orang yang lewat itu pun langsung memboncengkan kawan kita dengan
sepedanya.
Dan aku ternganga. LOL.
Kedua, waktu aku dan beberapa kawan bersepeda ke pantaiMaron, dimana treknya dalam kondisi super becek setelah hujan berhari-hari.
Kalau tidak salah ini terjadi di bulan Desember 2008. Dari sekitar 15 orang
yang menuju pantai Maron waktu itu (setelah mengikuti ‘rolling thunder’ a.k.a
gowes keliling kota untuk kampanye BIKE TO WORK bersama grup SOC atau Semarang
Onthel Community dan SLOWLY atau Semarang Low Rider Community (yang sekarang
sudah kabur kabarnya). Di perjalanan kita terpisah, yang setengah tetap di jalur
menuju pantai Maron, setengah lain lagi menyeberang – waktu itu masih ada
jembatan yang bisa kita gunakan untuk menyeberang – dimana mereka akan sampai
di pantai Tirang.
Rombongan menuju pantai Tirang terhenti di tengah jalan dan
mereka memilih kembali ke jalan raya – setelah ban sepeda yang dinaiki menjadi
donat dan sendal yang dipakai Mas Triyono putus – rombongan menuju pantai Maron
berhasil menuju pantai. Mas Ndaru yang membawa kamera poket lumayan mengambil
beberapa jepretan sebagai bukti ‘ganasnya’ trek berlumpur menuju Maron seusai
turun hujan. Kalau tidak, mungkin kita tidak punya ‘bukti’ foto. Hmmm ...
Pulangnya RD sepeda seorang kawan putus karena penuh lumpur
dan sepeda terus dipaksa dikayuh. (aku lupa namanya.) Agung bersibuk ria
mencoba mengubah girnya menjadi single speed, yang penting bisa sepeda bisa
dikayuh. Sementara itu, Mas Ndaru – yang diakui sebagai mentor oleh Agung –
menonton ‘anak didiknya’ memperbaiki. LOL. RD sepeda Yoni juga hampir putus,
namun ketahuan terlebih dahulu sehingga bisa diselamatkan.
Setelah dengan selamat meninggalkan lokasi berlumpur itu,
dalam perjalanan pulang, kita mencari tempat cuci sepeda motor. Kita
menemukannya di Jalan Anjasmoro. Si ‘tukang’ terlihat ogah-ogahan menerima kita
yang datang membawa sepeda penuh lumpur. Namun Mas Ndaru – lagi-lagi dengan
nada suaranya yang ‘authoritative’ yang menunjukkan bahwa “he will not take NO
as an answer” LOL – meminta si tukang menerima sepeda-sepeda kita untuk dicuci.
Dia pun akhirnya setuju mencuci sepeda kita berlima (aku, Mas Ndaru, Agung
Tridja, Yoni, dan Eka).
Sembari menunggu sepeda dicuci, satu lelucon dari Mas Ndaru
yang kuingat sampai sekarang adalah ‘kebandelan’ anak-anak (biasanya laki-laki)
yang ogah disuruh tidur siang, karena lebih memilih dolan ketimbang tidur.
“Heran ya, padahal tidur siang itu kan enak, kenapa dulu kita ogah disuruh
tidur siang ya? Anak-anak itu memang aneh.” LOL. Dan Agung tertawa-tawa
mengiyakan.
Jika ingat sekarang, hhhhh ... mereka pasti sangat sabar
menungguku mengayuh sepeda melewati trek berlumpur seperti itu ya. Eka yang
kasihan melihatku memilih menuntun Orenj, (bayangkan sepatu ketsku yang tentu
penuh lumpur karena berjalan di trek berlumpur sambil menuntun sepeda)
menukarkan sepedanya yang bannya lebih ‘friendly’ pada trek berlumpur ketimbang
Orenj. Di belakangku Eka terus menerus memompa semangatku untuk ‘berani’
melewati trek berlumpur karena sepedanya ga bakal membuatku tergelincir, aku
cukup terus menerus mengayuh pedal sepeda.
Yang ketiga, waktu ulang tahun Komselis yang kelima,
bulan November 2014. Acara itu mengambil tajuk “reuni” karena Mas Tunggal –
sebagai ketua Komselis tahun 2009 – 2013 – ingin mengumpulkan kawan-kawan yang
sudah lama tidak bersepeda bersama. Di antara beberapa wajah ‘lama’ yang sudah
cukup lama tidak terlihat sepedaan bareng, ada Mas Budenk dan Mas Ndaru.
dalam event ultah Komselis tahun 2014 |
Mereka berdua ‘menyalamiku’ bak juara lomba RT. LOL. Aku ingat
Mas Ndaru bilang, “sebagai seorang senior, saya sangat bangga dengan apa yang
telah dicapai oleh Mbak Nana ... tak lagi hanya sepedaan dalam kota, namun
telah memiliki pengalaman bersepeda AKDP bahkan juga AKAP.” Dan hidungku pun
mekar tak terkendali. LOL. Di tengah-tengah mereka, aku tetap merasa junior,
tetap merasa nyaman jika harus TTB, ga perlu khawatir dibully. LOL.
Tidak banyak memang pengalamanku bersepeda bersama Mas Ndaru
karena dia kemudian pindah keluar kota. (hatiku selalu patah jika ada kawan
pesepeda pindah keluar kota.) Beberapa bulan lalu, Mas Budenk membawa kabar
gembira bahwa Mas Ndaru ternyata telah balik pindah ke Semarang. Agung pun
menyambut gembira kabar tersebut dan berencana mengadakan gowes offroad reuni. Dan aku menunggu saat itu, now that aku punya ‘pasukan’ beberapa
perempuan yang mungkin mau kuajak blusukan masuk hutan. Tentu suasana gowes
offroad akan sedikit berbeda jika banyak perempuan yang gabung.
gowes terakhir bersama Mas Ndaru, Desember 2014 cek this link |
Namun ternyata Yang Maha Kuasa punya rencana lain. Dia
mengajak Mas Ndaru pindah ke alam dimensi yang lain secepatnya, sebelum kita
menyempatkan diri untuk “gowes offroad reuni”. L L L Saat
mataku butuh dibasuh airmata, nampaknya. L L L
Selamat jalan Mas Ndaru ... you will always be dearly missed.
LG 16.00 23/03/2017
keren mbak tulisannya....salam kenal saya adiknya mas Ndaru.
BalasHapusowh ... terima kasih telah berkunjung ke blog saya dan membaca tulisan ini ... salam kenal kembali
Hapus