Sabtu 22 April 2017 ~ hari kedua
Aku
terbangun sebelum pukul 04.00. aku membuka WA dan mendapati kabar dari Hesti.
Di bus dia bertemu dengan Om Rusli dari Magelang. Kebetulan om Rusli juga akan
menuju hotel Abadi. Lega mendengar kabar itu. Akan tetapi, tak lama kemudian,
sekitar pukul 04.30, Hesti mengirim kabar bahwa busnya terhenti di pertengahan
antara Majenang – Wanareja selama 2 jam karena ada trailer terguling di depan.
Wedew. รจ drama pertama
di hari kedua! Akhirnya, pak Suryadi memutuskan untuk turun dari bus dan mulai
bersepeda menuju Banjar. Haduwww, padahal trek disitu full rolling, didominasi
tanjakan.
|
sarapan : nasgor rasa manis :p |
Pukul enam
pagi, kita berlima telah siap. Di lantai bawah kita lihat para penghuni hotel
lain – yang kebanyakan juga peserta TdP8 – telah menikmati sarapan. Kita pun
turun dan sarapan. Saat sarapan ini, om Chandra dari Federal Tangerang
nyamperin dan menyapa. Oh, rupanya kita menginap di hotel yang sama J
Pukul 06.30
kita meninggalkan hotel Abadi, menuju titik start, tak jauh dari alun-alun
Tasikmalaya.
|
di depan hotel Abadi |
|
penampakan hotel Abadi |
Seperti bisa
diperkirakan, ribuan peserta tumplek blek disitu. Kita bahkan tidak sempat
menuju gedung telkom untuk berfoto di ‘wall of fame’ dengan mengenakan jersey
resmi TdP8 yang berwarna hijau ngejreng. Namun, kita sempat berfoto (lagi)
dengan si pembalap perempuan yang ramah, Kusuma Yazid, yang penampilannya jauh
dari kata garang, meski dia saat itu mengenakan jersey resmi keluaran polygon. J kita juga bertemu dengan Hendrit,
dari B2W Batang, sweeper kita waktu kita bersepeda dari Batang ke Pemalang,
dalam event Tour de Cirebon bulan
Desember lalu.
|
bersama nte Lies (sebelah Ranz), "reunian" Gowes Kartini 2016 nih :) |
|
bersama Kusmawati Yazid, sang pembalap :) |
Pukul 08.00
‘pasukan’ TdP8 diberangkatkan. Di barisan depan, di belakang voojrider nampak
Ridwan Kamil, walikota Bandung yang ‘terkenal’ suka membully para jomblo.
(Emang enak dibully? LOL.) bisa dibayangkan betapa tersendatnya ribuan peserta
mengayuh pedal mereka masing-masing.
Sementara
itu, atas saran Ranz, Hesti dkk ga perlu menuju Tasikmalaya. Mereka cukup
bersepeda hingga Banjar, dan menunggu kita sampai sana, dan kita bisa
bergabung.
Perjalanan
lancar hingga kita masuk perbatasan Tasikmalaya – Banjar, dimana banyak orang
berhenti untuk berfoto, sebagai bukti kita sampai disana. Aku dan rombongan pun
mulai clingak clinguk mencari Hesti. Sayangnya Hesti tak bisa kita hubungi saat
itu. Hesti yang mengaku ketinggalan charger hp, tentu harus bisa secara bijak
mengirit batere hape agar tetap bisa terhubung dengan kita di saat-saat
genting.
Setelah
menunggu selama kurang lebih 10 menit tak ada kabar dari Hesti, kita
melanjutkan perjalanan, meninggalkan gapura selamat datang di kota Banjar.
Drama kedua di hari kedua terjadi saat kita
sampai di tanjakan yang mengagetkan – Tepung Kanjut. Well, sebenarnya tidak
terlalu mengagetkan, beberapa ratus meter sebelum sampai, kita mulai melihat
banyak pesepeda yang mendadak menghentikan mobil pickup untuk evak, menandakan
di depan akan ada tanjakan yang dihindari oleh banyak peserta.
Beberapa
meter sebelum mulai tanjakan ada dua – tiga panitia yang mengibar-ngibarkan
bendera sembari memperingatkan agar para peserta hati-hati karena ada tanjakan
yang cukup curam, setelah kita dimanjakan dengan trek turunan puluhan
kilometer. Saat memindah gear ke gear yang lebih rendah.
|
Ranz mencoba mengecek apa yang terjadi |
Mendadak di
depanku kulihat Dwi terjatuh, tepat di jalan yang miringnya mungkin mencapai 60
derajat di sisi kiri. Dia terguling ke kiri, jatuh bersama Oddie; ‘untungnya’
langsung disamperin salah satu panitia yang tadi mengibarkan bendera. Aku
langsung panik. Tanjakan itu tidak seberapa curam ketimbang tanjakan menuju
Sekaran, Dwi telah lolos nanjak Sekaran dengan naik Oddie! So? What is the
problem?
Aku pun langsung
meminggirkan Austin. Yang lain – Ranz, Tami, dan Avitt – pun melakukan hal yang
sama. Dwi menjelaskan bahwa di saat genting, di tanjakan yang curam itu,
mendadak pedal Oddie berhenti berputar. Dwi yang tidak bisa mengantisipasi
keadaan, langsung kehilangan keseimbangan, mana di sisi kiri sepedanya
kemiringannya cukup ‘killing’.
Seperti
biasa, Ranz langsung mencoba mencari penyebab pedal Oddie mendadak tak mau
berputar. Mungkin sekitar 20 menit. Ada om Sugeng dari B2W pusat yang ikut
berhenti dan mengamati Ranz yang mencoba memperbaiki Oddie. Ketika akhirnya
pedal Oddie bisa berputar lagi, kita pun melanjutkan perjalanan. Tanjakan
Tepung Kanjut masih berlanjut.
Aku terus
mengayuh pedal Austin melewati tanjakan hingga sampai di lokasi yang cukup
datar. Ketika kulihat di belakangku tidak ada penampakan Ranz, Tami, Avitt, dan
Dwi, aku pun berhenti, menyiapkan Andro, untuk memotret mereka melewati
tanjakan. Kutunggu hingga lebih dari 7 menit, hanya kulihat Hendrit yang
menyusul. Aku pun meninggalkan Austin di pinggir jalan, aku berjalan kembali ke
arah tanjakan, tetap mempersiapkan diri untuk memotret mereka. Setelah melewati
tikungan, mereka tetap tidak terlihat. Khawatir atas apa yang telah terjadi
(lagi), aku pun memutuskan mengambil Austin, dan turun untuk mengecek.
Ternyata
pedal Oddie tetap tidak mau berputar. Saat itu ada satu peserta lain yang
mencoba membantu mencari permasalahan. Hingga akhirnya Ranz menyadari bahwa
pelindung ‘crank’ yang patah telah menjadi penyebab utama pedal Oddie tidak mau
berputar. Hadeeehhh ... kita sempat mengira kerusakan di bagian sproket atau
RD, atau BB, ternyata oh ternyata ... Maka, pelindung crank itu pun dilepas.
Tak diduga
... saat itulah kita melihat penampakan Hesti dan 2 pengawalnya. J Mereka “sempat” menunggu pasukan
TdP8 di jalan yang tak dilalui peserta TdP8, makanya mereka tak melihat
penampakan peserta satu pun. Setelah, kita memberi tahu Hesti lokasi kita
(melalui aplikasi ‘share location’ di WA), Hesti beserta Pak Suryadi dan Om Rusli
pun menuju jalur yang dilewati peserta TdP8.
Setelah pak
Sur ‘menyerahkan’ Hesti kepada kita, dia pun langsung ngacir.
Barangkali
kita telah melewatkan hampir 1 jam untuk membenahi Oddie. Tak apalah. Yang
penting, kita berenam telah bergabung kembali. Hesti yang kepayahan, meminta
kita mampir untuk membeli minuman. Waktu menunjukkan pukul kurang lebih jam
12.00. Hmmm ... kita baru menempuh jarak sekitar 40 km. Padahal tahun lalu aku
dan Ranz sampai di Toserba Samudra – tempat makan siang – pukul 11.30. Masih
ada jarak sekitar 25 km menuju Toserba Samudra. Hhhhhh ...
Setelah
menemani Hesti dan Avitt minum segelas es teh (yang tidak berasa tehnya) dan
satu porsi es kelapa muda, kita melanjutkan perjalanan. Namun, kembali kita
harus mengalami drama
ketiga : ban belakang Pockie bocor! Untuk meyakinkan apakah ban
bocor atau hanya sekedar gembos, kita pinjam pompa kepada seorang peserta TdP8
yang kebetulan berada di warung terdekat. Setelah dikayuh beberapa ratus meter,
ban kembali gembos, kita pun yakin bahwa ban belakang Pockie bocor.
Untung tidak
sulit bagi kita untuk menemukan tambal ban.
Kita merasa
bahwa kita adalah peserta yang paling belakang. L Tidak mengapa, meski tertatih-tatih,
kita yakin bahwa kita akan mampu mencapai titik finish TdP8. Akan tetapi
ternyata pedal Oddie masih sering kumat, mendadak tak mau dikayuh. Begitu terus
berulang kali. Drama
selanjutnya adalah Hesti terlihat tak lagi mampu mengayuh pedal Rockie secepat
yang lain. Dia kelelahan. Tak bisa beristirahat dengan penuh semalam, kemudian
harus gowes dari pertengahan Majenang – Wanareja menuju Banjar, dia tak bisa
menunjukkan performa aslinya. L Ranz pun menawarkan untuk bertukar sepeda:
Ranz naik Rockie, Hesti naik Astro.
(Intermezzo:
dalam event ini, seperti biasa, aku naik Austin, downtube nova 20”; Avitt tetap
setia mengajak Minul, urbano 16”; Dwi naik Oddie, foldx 20; Tami naik Pockie,
pocket rocket 20” (dia naik Pockie karena Sunkis bakal lelet di trek yang penuh
turunan); Hesti naik Rockie; police 20”; sedangkan Ranz naik sepeda lipat
terbarunya, urbano 20” yang dia (akhirnya) beri nama Astro. Berpikir bahwa
Astro akan lebih ringan dikayuh, ketimbang Rockie, Ranz mengajak Hesti tukeran
sepeda.)
Kata Hesti,
Astro memang lebih ringan dikayuh ketimbang Rockie. Namun, tetap Hesti tak bisa
menunjukkan performa aslinya. L Demi mengirit waktu – khawatir ga bakal
kebagian makan siang karena sampai di pitstop Toserba Samudra melebihi batas
waktu – Ranz pun terus mendampingi Hesti untuk mendorongnya. FYI, tas pannier
Ranz cukup berat, mungkin lebih dari 10 kg. (isinya selain baju, ada sleeping
bag, laptop, tools, air mineral, dll.) Sementara itu, Dwi pun direpotkan oleh
pedal Oddie yang setiap sekian puluh kilometer kumat tidak mau muter. L Sungguh drama-drama yang tak kunjung berhenti. L
Pukul 13.35
kita sampai juga di Toserba Samudra. Disana kita lihat ada satu truk evak. Kita
pun memutuskan untuk evak bersama. (1) Kita tidak tahu apakah Oddie akan bisa terus
menerus dipaksa dikayuh hingga Pangandaran. Jika akhirnya benar-benar ngadat
dan kita ketinggalan truk / pickup evak, kita bakal repot. (2) Hesti juga sudah merasa di ujung
limit kemampuannya mengayuh pedal Astro maupun Rockie. Kupikir, toh tahun lalu
aku dan Ranz telah berhasil menjalani jarak 107 km dengan baik, jadi tidak
apa-apa lah menemani anak-anak evak. Tami yang merasa nyaman naik Pockie dan
Avitt yang tidak bermasalah dengan Minul pun setuju. Kita berada di propinsi
tetangga, mending kita kesampingkan ego untuk tampil ‘lebih dari yang lain’,
kita lebih memilih kompak: evak!
Waktu
memutuskan untuk evak, aku berharap kita akan bisa mengirit waktu, bisa sampai
titik finish sekitar pukul 16.00, pokoknya kurang dari pukul lima sore lah,
agar kita bisa punya waktu untuk bermain di pantai, dan memotret sunset. Namun
ternyata harapan tinggal harapan. Di sepanjang perjalanan, banyak titik yang
sangat penuh kendaraan, hingga jalannya truk tersendat-sendat, macet disana
sini. L
Kelelahan psikologis ini justru lebih ‘killing’ ketimbang kelelahan fisik. L
Pukul lima
sore, truk yang membawa sepeda dan mobil pickup yang membawa sebagian peserta berhenti
di satu tempat, dekat sebuah masjid. Aku yakin, titik finish tidak jauh dari
sini, mungkin sekitar 2 km lagi. Kupikir kita memang diturunkan disitu, karena
kita diberi kesempatan untuk gowes, toh titik finish tak jauh lagi. Namun
ternyata aku salah. L mereka berhenti untuk memberi kesempatan
sopir (dan mungkin juga peserta) untuk shalat ashar. Hhhhh ... Untunglah ada
‘sedikit hiburan’ waktu itu. Saat bengong menunggu, kita melihat penampakan Zen
Shinoda (entah nama sebenarnya siapa. LOL.) Zen adalah seorang kawan dari
Semarang yang telah pindah ke Bandung semenjak beberapa bulan lalu. Kita pun
ngobrol ramai, tak lupa foto-foto selfi, tuk menghibur diri. LOL.
Kita semua
akhirnya sampai titik finish sebelum suasana benar-benar gelap. Kita masih
sempat berfoto di “wall of certificate of completion”, setelah ngantri.
Setelah itu,
mengumpulkan kupon door prize, mengambil jatah makan malam, dan menemui
seseorang yang menawarkan penginapan. Kita telah memesan penginapan di sekitar
situ, mungkin kurang lebih 1 km dari titik finish. Seluruh tubuh mulai terasa
gatal, pingin segera mandi, ganti baju, dan membaringkan tubuh. Setelah melalui
serangkaian drama, menginginkan minuman es teh yang nikmat namun tidak kita
dapati, yaaa ... minimal segera sampai penginapan lah.
Pukul 19.00
akhirnya kita sampai di penginapan. Kita memesan dua buah kamar non ac untuk
kita berenam. Kita dijemput oleh om Acuy yang kita kenal lewat grup WA TdP8.
Dia meminta dua orang yang naik motor untuk membawa kita ke penginapan. Setelah
sampai sana, kita diantar ke kamar no. 20, sambil diberitahu bahwa kamar yang
kita dapatkan yaitu kamar no. 20 dan kamar no. 27. Kamar no. 20 di lakitantai
1, kamar no. 27 di lantai 2. Kita sempat meminta untuk ganti kamar, agar kita
tidak berjauhan, namun katanya semua kamar fully-booked. Ya sudah. Kita
mengalah.
Namun,
setelah masuk ke kamar no. 20, kita baru ‘ngeh’ ternyata yang dimaksud ‘kamar’
ini berupa rumah kecil, berisi satu ruang tamu, dua kamar tidur, dan satu kamar
mandi. Plus, kamar tidurnya ber-ac. Wahhh ... mungkin ini adalah ‘hiburan’ dari
semesta setelah serangkaian cobaan eh, drama yang kita hadapi? Ranz
sempat menelpon om Acuy untuk membatalkan kamar no. 27 karena ternyata kita
cukup menyewa satu kamar saja. Namun, kita tidak diperkenankan membatalkan
perjanjian. Ya sudahlah.
Penginapan
itu penuh. Mungkin seluruh kamarnya terisi para peserta tour de Pangandaran
karena sepeda ada dimana-mana, meski hanya kita yang membawa sepeda lipat. J
Lebih dari
pukul 20.00 kita kembali ke titik finish, mengikuti acara pembagian door prize.
Saat itu hujan sempat turun. Hujan tinggal gerimis ketika kita mulai mengayuh
pedal menuju lokasi pembagian door prize. Malam itu, alhamdulillah Avitt
mendapatkan door prize berupa seperangkat alat shalat, eh, seperangkat kamera cctv. Great! J
Pukul 23.00
kita kembali ke penginapan. Capeeeeeeeeeeeee.