GOWES SEMARANGAN : WISATA RELIGI jilid 3
Masih dengan
semangat yang sama – mengenal peninggalan nenek moyang yang berupa Masjid dan
Gereja – hari Sabtu 7 September 2013, aku, Ranz dan Andra gowes bersama dengan
tujuan Masjid Menara alias Masjid Layur dan Kapel Susteran Gedangan.
Aku dan Ranz melaju
ke arah Kota Lama Semarang untuk bertemu dengan Andra sekitar pukul 07.20. Kita
bertemu di Jembatan mBerok sekitar pukul 07.35. Yang pertama kita kunjungi
adalah Masjid Layur yang juga dikenal sebagai Masjid Menara Kampung Melayu. Dari
arah Kantor Pos Besar Jalan Pemuda, sebelum Jembatan mBerok, kita belok kiri. Kita
akan menemukan rel kereta api di depan, kita menyeberangi rel tersebut. Jalan
Layur ini merupakan daerah ‘langganan’ terkena banjir ‘rob’. Pada waktu kita
kesana juga jalan sedang tertutup air banjir sehingga kita ‘terpaksa’
menjinjing sepeda untuk menuju masjid; sayang jika sepeda kita terkena air rob
yang sering ‘jahat’ karena menyebabkan besi/alumunium mudah berkarat.
|
kebetulan pas kereta barang lewat :) |
|
rob di Jalan Layur |
|
Menara Masjid terlihat dari ujung jalan sebelum rob |
|
dengan sepenuh cinta kujinjing Austin :) |
Kawasan ini dulu
dikenal dengan nama ‘Kampung Melayu’ karena konon dulu mayoritas didiami oleh
mereka yang keturunan Melayu.
Masjid Layur ini dibangun
tahun 1802 oleh ulama Arab Hadramaut (Yaman). Bangunan induk mesjid memiliki
arsitektur gaya Jawa dengan atap masjid susun tiga. Sedangkan menara yang
berdiri kokoh di depan pintu masuk masjid bergaya arsitektur Timur Tengah.
|
menara masjid dari halaman dalam dan pintu masuk |
|
interior di dalam masjid |
|
interior di dalam masjid |
|
tiang dan atap di dalam masjid |
Sampai sekarang
bangunan masjid ini masih asli seperti ketika pertama kali dibangun kurang
lebih dua abad lalu. Masjid juga masih digunakan untuk beribadah oleh
masyarakat sekitar setiap harinya.
|
aku dan Andra nunut narsis di teras masjid :) |
|
selalu unjuk narsis :) |
|
Andra, aku dan menara :) |
|
tampilan utuh masjid dengan atap bersusun tiga |
Setelah cukup puas
berfoto-fiti, kita bertiga meninggalkan masjid untuk mencari sarapan. J Seperti ketika menuju masjid, aku dan Andra
menjinjing sepeda kita masing-masing, sedangkan Ranz tetap menaiki Febby,
sepeda BMX-nya menembus banjir rob.
|
narsis sembagi nunggu pesanan datang |
|
di luar warung |
Kita sarapan di
rumah makan yang nasi goreng jerohannya sudah kondang kemana-mana. Sayangnya,
aku dan Ranz tidak begitu suka jerohan sehingga kita hanya memesan ‘nasi goreng
polosan’. J Letak rumah makan ini dekat dengan jembatan
mBerok, di samping sungai yang mengalir di bawah jembatan itu. (Sungai Semarang
ya namanya kalau tidak salah? J )
Usai sarapan, kita
melanjutkan gowes ke arah Jalan Jendral Suprapto yang sedang ditutup dari
kendaraan bermotor karena sedang ada penyelenggaraan Festival Kota Lama. Di
dekat Gereja Blenduk, berdiri sebuah warak dengan ukuran yang lumayan besar
untuk menarik perhatian pengunjung. Suasana festival masih sangat lengang
mungkin karena masih sangat pagi.
|
gayanya Ranz tuh gimana yak? :D |
|
aku, warak, dan Gereja Blenduk |
|
Ranz yang (suka sok) cool :-P |
|
salah satu hiasan di tengah jalan Jendral Suprapto |
|
gedung Marba |
|
salah satu hiasan dalam rangka Festival Kota Lama |
Dari Jalan Jendral
Suprapto, kita menuju Jalan Ronggowarsito dimana Gereja Gedangan terletak. Andra
yang mengajak kita masuk ke bangunan susteran yang terletak di seberang Gereja.
Kebetulan kita bertemu Suster Silvana yang sangat ramah menyambut kita; bahkan
beliau yang mengantar kita masuk ke kapel Susteran yang artistik dan cantik. Honestly,
ini pertama kali aku masuk ke kapel/gereja! Dan aku melihat dengan mata
kepalaku sendiri – tidak hanya lewat televisi LOL – interior kapel yang
dibangun pada tahun 1809!
|
Kapel (berwarna) Merah |
|
interior di dalam Kapel Susteran Gedangan |
|
aku dan Andra berpose bersama Suster Silvana |
|
prasasti yang menunjukkan Kapel dan Susteran dibangun tahun 1809 |
Seperti Masjid
Layur, masalah yang dihadapi bangunan Susteran ini sama: banjir rob! L Namun kita harus mengacungkan jempol dengan
semua material yang dipakai membangun kapel ini: meski sering dilanda banjir
rob, bangunan masih kokoh berdiri dengan tegar dan megah. Bahkan menurut
penuturan Suster Silvana – yang ketika berbicara logat Balinya masih kentara
meski beliau telah tinggal di Semarang sejak tahun 1981 – lantai bangunan
justru kian kinclong jika dibersihkan setelah terendam banjir rob untuk
beberapa saat.
Dinding luar terbuat
dari batu bata merah, sehingga Gereja Gedangan ini kadang juga disebut sebagai
Gereja Merah. Tidak banyak tenaga Suster yang tinggal di Susteran. Meskipun
begitu mereka semua selalu bersemangat untuk menjaga kebersihan Susteran agar
bangunan yang sudah masuk banguna kuno yang layak dilestarikan ini tetap dalam
kondisi prima.
|
pintu masuk menuju kapel dengan gerendel pintu nan artistik |
|
aku berdua Ranz pose di depan pintu masuk ke kapel |
|
jalan masuk menuju kapel |
Kita bertiga sudah
merasa cukup beruntung diperbolehkan masuk ke Susteran dan bahkan foto-foto di
dalam kapel, sehingga kita tidak masuk ke Gereja Gedangan yang terletak
bersebrangan dengan bangunan Susteran ini.
|
bagian atas Kapel Susteran Gedangan |
|
lantai nan tetap kinclong meski sering terkena rob |
|
si narsis unjuk pose :) |
|
Andra berpose di sebrang Gereja Santo Yusuf Gedangan |
Jika anda penikmat
wisata religi dan gedung kuno yang masih dilestarikan – bahkan masih berfungsi
seperti semula bangunan dibangun – jangan pernah lewatkan untuk berkunjung ke
Masjid Layur alias Masjid Menara Kampung di Jalan Layur Melayu dan Gereja /
Susteran Gedangan di Jalan Ronggowarsito. You will love the experience! J
Sampai jumpa di
gowes wisata religi yang berikutnya! J
GG 11.47 090913
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.