Cari Blog Ini

Kamis, 11 Desember 2014

BLUSUKAN MAGELANG BERSAMA LOPEN SEMARANG

BLUSUKAN MAGELANG BERSAMA LOPEN SEMARANG

Ternyata tak butuh waktu yang lama bagiku dan Ranz untuk kembali berweekend-ria tanpa sepeda. J Kurang lebih dua bulan kemudian – setelah trekking ringan ke Gedong Songo – kita mendapatkan kesempatan untuk blusukan ke Magelang. Kali ini kita tidak hanya berdua, melainkan bergabung bersama LOPEN SEMARANG, sebuah komunitas di Semarang yang mengaku sebagai pecinta sejarah.

Ini adalah kali pertama aku dan Ranz mengikuti event yang diadakan oleh LOPEN SEMARANG. You can guess, akan ada kali kedua, ketiga, dan selanjutnya, I believe. J Lopen menamai event ini “Blusukan #kota1000Candi”

Aku dan Ranz sampai di tikum – BCA Universitas Diponegoro – pukul 06.30 karena Ranz khawatir kita terlambat. And ternyata, kita adalah peserta pertama yang datang. Horeeee. LOL. Bus yang akan membawa kita menjelajah kota Magelang pun belum datang.

Singkat cerita, kita baru meninggalkan tikum pukul 08.00. Di antara 30 orang peserta, “hanya” ada 6 peserta yang telah secara resmi bergabung dengan  LOPEN, yang lain peserta “luar”. Ini luar biasa karena biasanya jika LOPEN mengadakan acara, lebih banyak LOPENers yang ngikut dibanding peserta luar. J

Beberapa destinasi yang ada dalam daftar adalah (1) Paroki  (2) Candi Ngawen (3) Masjid Agung yang terletak tak jauh dari alun alun kota (4) Museum Diponegoro (5) Masjid Tiban (6) Candi Selogriyo. Dari keenam lokasi tersebut, kita tidak jadi ke Paroki karena ternyata waktu itu sedang ada kebaktian. Kita juga tidak bisa masuk ke Museum Diponegoro karena yang membawa kunci sedang keluar kota.

Sesampai alun-alun Magelang, dan komunitas KOTA TOEA MAGELANG yang menjadi tour guide kita bergabung dalam bus, kita langsung menuju Candi Ngawen. Karena aku dan Ranz sempat mampir kesini waktu gowes dari Borobudur ke Jogja, bulan Mei 2013, ini adalah kali kedua kita ke Candi Ngawen. Satu hal menarik – bagiku dan Ranz – adalah tanah di bawah candi yang mengandung banyak air, sehingga jika kita menjejakkan kaki di atas rumput, kaki kita akan merasa “nyut-nyutan”. J Namun ternyata saat itu, di atas tanah tak ada lagi rerumputan. Agar permukaan tanah tidak tersedot kedalam – dan mungkin akan merusak candi – rerumputan itu ditimbuni oleh pasir.

Kita tidak bisa menikmati suasana Candi Ngawen dengan leluasa karena hujan yang mendadak datang. FYI, curah hujan di kota Magelang ternyata lebih tinggi dibandingkan kota Semarang.

Dari Candi Ngawen, kita kembali ke alun-alun. Waktu telah menunjukkan jelang pukul 12.00. Sebagian dari kita  masuk ke masjid Agung untuk shalat, sebagian yang lain jalan-jalan di alun-alun. Masjid Agung ini ternyata telah berusia ratusan tahun.  Pertama dibangun pada tahun  1650 oleh seoran g ulama yang berasal dari Jawa Timur, KH Mudakir. Kemudian berulang kali mengalami pemugaran tahun 1797, 1810, 1835, dan 1871. Pemugaran besar-besaran dilakukan pada tahun 1934. Sedangkan menara setinggi  24 meter dibangun pada tahun 1991.

Aku dan Ranz menyempatkan diri jajan kupat tahu satu porsi yang kita makan bersama. FYI, di pinggir alun-alun Magelang, banyak orang berjualan berbagai jenis makanan sehingga jika merasa lapar akan mudah mendapatkan asupan makanan. J

Menjelang kita meninggalkan alun-alun, hujan kembali turun. Dari alun-alun kita lanjut ke  Museum Diponegoro. Untunglah sesampai lokasi Museum Diponegoro, hujan mereda, hanya tinggal gerimis tipis. Seperti yang sudah kutulis di atas, kita tidak bisa masuk ke dalam museum, namun kita masih bisa menikmati pemandangan yang cantik di belakang museum. Sayangnya waktu itu sedang mendung sehingga kita tidak bisa memandang gunung Sumbing dari kejauhan. Bagiku pribadi yang sangat menarik dari kunjungan ke lokasi ini adalah aku menjadi tahu bahwa disini dulu pernah ada satu fakultas dari Universitas Gadjah Mada. Sampai sekarang kita masih bisa melihat tugu yang bertuliskan “UNIVERSITAS GADJAH MADA CABANG MAGELANG”. Namun tidak jelas kapan fakultas ini didirikan dan mulai kapan tidak lagi dimanfaatkan sebagai tempat belajar dan mengajar.

Dari Museum Diponegoro kita melanjutkan perjalanan menuju Masjid Baitul Muttaqien yang terletak di Desa Trasan, Kecamatan Bandongan Kabupaten Magelang. Dalam perjalanan  dari alun-alun ke Desa Trasan, tour guide kita sempat menjelaskan beberapa gedung peninggalan zaman colonial Belanda.  Sayangnya aku tidak sempat mencatatnya jadi terlupa semua. LOL. Satu hal yang kuingat, di beberapa lokasi di Magelang, kita masih bisa menemukan rel kereta api. Zaman dulu ada kereta api dari Semarang ke Jogja, juga ada dari Magelang ke Temanggung.

Apa yang istimewa dari Masjid Baitul Muttaqien sehingga worth visiting? Tak ada catatan yang jelas kapan masjid ini didirikan. Namun konon masjid ini dibangun oleh salah satu wali songo sehingga mungkin seusia dengan masjid  Agung Demak. Masjid ini juga dikenal sebagai “masjid tiban” karena katanya masjid ini mendadak ada di lokasi yang bisa kita temukan sekarang. Dulu, konon, masjid ada di lokasi yang berjarak 200 meter dari lokasi yang sekarang. Masjid ini “terpindah” 200 meter dari lokasi semula hanya dalam waktu semalam. J Warga sekitar masih sangat percaya bahwa jika ada pedagang yang menjual dagangan untuk sahur para Jemaah di bulan Ramadhan, dagangan mereka akan semakin laris.

Destinasi terakhir yang kita kunjungi adalah Candi Selogriyo. Candi ini terletak di Dusun Campurejo, Desa Kembangkuning, Kecamatan Windusari, Kabupaten Magelang. Apa yang istimewa dari candi ini? PEMANDANGAN SEPANJANG PERJALANAN! J Dari  tempat kita turun dari bus, kita harus berjalan kaki sejauh kurang lebih 2,5 kilometer, dengan trek menanjak yang terkadang curam. Karena musim hujan, kita tidak bisa menikmati pemandangan di bawah cerahnya sinar mentari. Sebaliknya, kita menikmati kabut yang menyelimuti keadaan sekitar. J Namun, trust me, pemandangannya tetaplah spektakuler. So? Jangan terus menerus focus ke trek yang kita tapaki, kita tetaplah harus mengedarkan pandangan kita ke sekeliling kita; lembah dengan sawah yang dibangun terasering.

Satu hal yang paling wah, menurut tour guide kita, adalah pemandangan sunrise yang bisa kita nikmati jika kita berdiri di candi Selogriyo sambil memandang lembah di depan mata. Namun karena kita tidak datang di waktu fajar, ya bukan sunrise yang kita dapatkan, melainkan kabut. J

Menurut panitia sebenarnya dari Candi Selogriyo kita akan ke satu curug yang terletak kurang lebih 1 kilometer. Akan tetapi karena hari itu cuaca tidak terlalu mendukung kita untuk melakukan trekking yang lebih menantang, dan sudah terlalu sore, maka setelah menikmati makan siang (yang kesorean) dengan menu sop senerek, mendengarkan penuturan tour guide tentang candi Selogriyo, kita kembali trekking menuju bus.

Kita sampai di lokasi tikum – BCA Universitas Diponegoro – safe and sound sekitar pukul 20.30.

Dengan sukacita, aku dan Ranz menunggu event LOPEN SEMARANG selanjutnya. Yuhuuuuuu.


GG 12.12 11 December 2014

QQ dan yayangnya :)

suasana dalam bus

Tami dengan kenalan barunya 

sarapan nasgor :)

suasana dalam bus

kenalkan, nama saya ....


Tami

Candi Ngawen

tour guide kita dari komunitas KOTA TOEA Magelang

patung Pangeran Diponegoro di alun-alun Magelang

Ranz kumat difoto dari belakang :P

Masjid Agung Magelang

in action berdua

ini di belakang Museum Diponegoro

mulai berjalan menuju Candi Selogriyo

Mima dan Qq


di belakang Museum Diponegoro

ada lingga dan yoni!

tugu penanda bahwasanya satu kali dulu ada UGM Cabang Magelang :)

salah satu gazebo yang terletak di belakang tugu UGM

Tami yang kian centil :P

Tami dan Dwi di depan Masjid Trasan

kabut yang menemani sepanjang trekking ke Candi Selogriyo

trek tanjakan yang cukup curam

gerbang penanda menuju Candi Selogriyo

kabuuuuutttt




siapa ya namanya? dia mengaku hobi lari (dari kenyataan :) )

patung agastya tanpa kepala di Candi Selogriyo

Candi Selogriyo


seluruh peserta dengan latar belakang Candi Selogriyo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.