Cari Blog Ini

Sabtu, 22 Juli 2017

LIVE! Bikepacking Sidoarjo – Semarang Day 3

LIVE! 
Bikepacking Sidoarjo – Semarang Day 3
                  
Kamis 6 Juli 2017 Bersepeda WBL – Rembang 141 kilometer

Karena semalam sudah packing, pagi ini kita ga terlalu terburu-buru. Ranz bangun pukul 05.00, kemudian langsung melakukan ‘morning ritual’nya yang bisa butuh waktu 30 menit. J Setelah itu baru gantian aku yang mandi, kemudian mempersiapkan diri.

Sekitar pukul 06.15 kita sudah siap. Kita turun, mengeluarkan sepeda, kemudian memasang tas pannier di sepeda masing-masing. Pak Imron kaget melihat kita sudah siap begitu pagi. Dia berharap kita mau menunggu hingga sarapan diantar ke penginapan, baru kita meninggalkan Wisma Bintang Maharani. Kita pun mengiyakan. Menunggu sarapan datang, aku membuat kopi hitam di pantry, berharap aku ga bakal diserang rasa kantuk dalam perjalanan. J

Sehari sebelumnya sarapan datang pukul 06.30, namun pagi ini sarapan baru diantar ke penginapan hampir pukul tujuh pagi. Aku yang lapar, langsung memakannya (aku tidak makan malam malam sebelumnya); Ranz yang tidak bisa makan dalam waktu cepat memilih untuk tidak langsung makan sarapannya. Menu sarapan pagi ini nasi + pecel + telur ceplok + perkedel kentang.

penginapan Bintang Maharani,
di depang penginapan, itu pak Imron

Pukul 07.10 kita pamitan pada pak Imron. Setelah memotret sepeda di depan penginapan, kita pun mulai melaju meninggalkan kawasan WBL.

Kita melanjutkan perjalanan dalam diam. Masing-masing sibuk dengan pikiran sendiri. J Kita sempat berhenti sekali tatkala kita melihat hamparan laut di sisi kanan (utara) untuk berfoto-ria. Kita berhenti lagi setelah menempuh jarak 12 kilometer, kembali untuk memotret. Kebetulan kita berada di atas jembatan Bengawan Solo yang melintas Lamongan. Di tiap pemberhentian, kita hanya melewatkan waktu tak lebih dari 10 menit.

Trek ternyata masih rolling, naik turun, hingga masuk Tuban. Namun, trek turunan lebih mendominasi, ketimbang tanjakan. Disitu aku merasa bersyukur, kita memilih gowes Sidoarjo – Semarang, dan bukan sebaliknya. LOL.

Spot berikut adalah ketika kita akan masuk Kabupaten Tuban. Kita melihat ada tugu selamat datang. Rasanya hatiku dag dig dug, kita akan napak tilas rute kita bikepacking Semarang – Tuban di bulan Agustus tahun 2012. Di alun-alun kembali kita berhenti untuk memotret sepeda. 5 tahun lalu kita makan malam di satu warung disamping alun-alun itu.


Beberapa kilometer dari alun-alun, sampailah kita di klenteng Kwan Sing Bio! Kita telah menempun jarak 40 kilometer! Yeay! Berhenti untuk memotret sepeda jelas wajib hukumnya. J bahkan semula aku berharap aku bisa menyempatkan diri untuk masuk klenteng dan mengabadikan keberadaanku di klenteng Kwan Sing Bio di tahun 2017! Waktu menunjukkan pukul 09.40.

Rasa haus mulai menyerangku. Seingatku 5 tahun lalu di seberang klenteng, di sisi pantai, ada banyak orang jualan berbagai jenis makanan. Namun pagi itu suasana sepi. Tak kulihat satu pun penjual. Aku dan Ranz memilih beristirahat di trotoar di seberang kelenteng. Ranz pun membuka bekal yang dia dapatkan dari penginapan, dan sarapan. Tak lama kemudian sekelompok orang yang mengenakan seragam satpol pp berhenti, tak jauh dari kita. Oh ... mungkin sudah ada peraturan baru bahwa orang-orang dilarang berjualan di trotoar, di sisi pantai itu. Hmmm ...

Beberapa satpol pp itu menyapa kita dan bertanya kita sedang dalam perjalanan dari mana kemana. Aku pun menjawab kita naik sepeda dari Sidoarjo dengan tujuan Semarang.

“Tujuannya apa?” tanya seseorang.

“Tujuan kita ke Semarang, pak,” jawabku sopan.

“maksud saya, bersepeda dari Sidoarjo ke Semarang itu tujuannya apa?” tanyanya lagi.

Aku terhenyak. J Kita ngapain ya? LOL. Jadi ingat seseorang, sekian tahun lalu, menulis status bahwa mereka yang bersepeda jarak jauh niscaya sedang mendekatkan diri pada Tuhannya, jika setiap kayuhan mereka persembahkan pada Tuhan. Well, tepatnya bagaimana, aku lupa. Tapi, ada kaitannya dengan spiritual lah. J

Aku dan Ranz tidak muluk-muluk sih. Perjalanan ini terjadi karena aku #sakaw, keinginan bersepeda jauh antar kota itu begitu menggerogoti sukma (duh, lebay. LOL) hingga aku bakal depresi jika kembali bekerja tanpa bikepacking terlebih dahulu. (lebay kwadrat) LOL. Alasan Ranz jauh lebih simpel, menemaniku yang sedang sakaw gowes jauh. LOL.

pantai di seberang klenteng Kwan SIng Bio

Meskipun begitu, aku pun menjawab pertanyaan satu bapak satpol pp itu dengan sopan, “Oh, tujuan perjalanan ini? Untuk mengisi liburan sih pak.” J Semoga jawabanku ini cukup memuaskan keingintahuan si bapak, dan bukannya membuatnya semakin penasaran. LOL.

Usai sarapan, Ranz ngecek jarak yang masih harus kita tempuh dari klenteng Kwan Sing Bio ke Rembang. Ternyata google map menyatakan bahwa kita masih harus mengayuh pedal sejauh 90 kilometer! Hal ini membatalkan keinginanku untuk sedikit eksplor klenteng. L Dengan sangat terpaksa, kita langsung melanjutkan perjalanan.

Sepanjang perjalanan, Ranz bergeming. Dengan galak dia menolak permintaanku untuk berhenti di spot-spot tertentu untuk foto-foto. Ketika melewati satu kawasan wisata pantai, Ranz tidak mau mampir, meski hanya untuk satu dua kali jepretan. Padahal sisi pantai di balik hutan bakau itu terlihat jelas dari jalan pantura yang kita lewati. Hadeeehhh ...

Mendekati Alas Jati Peteng, aku sudah ribut ingin berhenti untuk foto. Tapi Ranz menahanku, dia ingin foto-foto di spot dimana ada posko mudik satu mie instant. Waktu kita lewat daerah itu hari Senin dini hari, Ranz melihat posko itu masih ada. Bawelnya Ranz ini kadang ngeselin. LOL.


Namun, ternyata, setelah kita sampai di spot yang digunakan posko mudik itu, lokasi tersebut sudah bersih, tak ada bekas-bekas bahwa disitu pernah digunakan posko mudik. LOL. Hmfffttt ... Satu sisi positifnya adalah, kita ga berhenti untuk waktu yang lama, hanya 5 – 10 menit untuk memotret sepeda, kemudian kita melanjutkan perjalanan.

Sementara itu, kerongkonganku terasa kian kering. Sejak meninggalkan kwan Sing Bio, di sepanjang perjalanan aku berharap menemukan keberadaan warung kopi atau mini market, namun ternyata aku tak melihat satu pun. Air minum dalam bidon pun telah habis. Ternyata kita melewati daerah yang tidak ada mini marketnya dalam jarak belasan kilometer. LOL.

Di satu warung kelontong di kawasan Jenu, akhirnya kita berhenti untuk membeli minum. Kebetulan di warung ini ada kulkas sehingga bisa membeli air mineral dingin. Eitt, biasanya aku tidak pernah mau minum air mineral dingin jika sedang menggeber sepeda dalam jarak puluhan kilometer. Namun siang itu aku begitu haus, hingga aku memilih minum air mineral dingin.

Saat kita akan meninggalkan warung, seseorang datang naik motor, dan langsung menyapa kita! Wahh ... Yoni yang kuberitahu lewat sosmed bahwa aku sedang melewati Tuban mengejar kita, untuk sekedar menyapa dan berfoto bersama. J Dia memang tinggal di Tuban. 5 tahun lalu pun dia nyamperin kita ke hotel, mengajak kita mampir rumahnya, kemudian menemani kita gowes ke Goa Akbar.

Setelah beramah tamah dengan Yoni sebentar, kita kembali melanjutkan perjalanan. Ranz kembali ‘pelit’ ga mau begitu saja kuajak berhenti untuk foto-foto. LOL. Dia mau berhenti untuk foto lagi ketika kita melewati gapura perbatasan Jawa Timur – Jawa Tengah. Nah, ini spot penting soalnya, maka Ranz mengiyakan keinginanku. J Meskipun begitu, tak banyak foto yang kita hasilkan kali ini, tak ada foto dimana kita berpose bersama, dengan Orenj dan Cleopatra. Beda dengan 5 tahun lalu. :D

Tak lama kemudian kita pun melanjutkan perjalanan kembali. Setelah melewati perbatasan Jawa Timur – Jawa Tengah, trek cenderung datar, meskipun begitu hal ini tidak dengan mudah membuatku jenuh maupun ngantuk. Mungkin kopi hitam yang kuminum sebelum meninggalkan penginapan masih menyisakan efeknya. J Plus cyclometer yang nangkring di handle bar Cleopatra memudahkanku ngecek sudah berapa kilometer jarak yang kita tempuh, ga perlu mataku nanar mencari-cari petunjuk jarak yang biasanya ada di sisi jalan. J Aku dan Ranz sama-sama fokus mencari spot-spot dimana kita dulu mampir untuk berfoto maupun makan siang, 5 tahun lalu. Ranz makan di satu rumah makan Padang, sedangkan aku di satu rumah makan yang bersemboyan, “rasa bintang lima, harga kaki lima”. Namun ternyata setelah membayar, harganya minimal dua kali lipat lah dibanding harga warung di kaki lima yang sesungguhnya. LOL.

Kita berhenti di satu warung sederhana untuk membeli es teh. Si penjual seorang perempuan yang sudah cukup berumur, dibantu oleh anak perempuannya yang mengenakan cadar. (Jadi kepikiran, di desa seperti ini ada juga perempuan yang mengenakan cadar ya? LOL. Maafkan kenyinyiranku ini. LOL.) Hawa panas yang terus menerus mendera membuatku merasa minum segelas es teh tidak cukup membasahi kerongkongan. LOL. Maka, aku pun pesan gelas kedua. Harganya cukup murah, segelas hanya duaribu rupiah.

Usai membasahi kerongkongan, kita melanjutkan perjalanan.

Sorot sinar sang surya yang terlalu ramah menyapa dengan mudah menguapkan basah di kerongkonganku. Alias dengan cepat aku merasa haus lagi, ingin minum air dingin lagi. LOL. Sekitar satu jam kemudian, kita mampir di satu warung mie ayam bakso. Kali ini kita tidak hanya memesan es teh, namun sekaligus mie ayam satu porsi yang kita makan berdua. Jadi teringat jika kita dalam perjalanan melewati Karang Pandan – entah mau ke Tawangmangu maupun ke Candi Cetho / Sukuh, kita biasa mampir di satu warung mie ayam di pertigaan Karang Pandan itu, membeli satu porsi dan memakannya berdua. J Kita tidak terlalu merasa lapar, namun haus sekali. J

Sekitar pukul tiga sore, usai makan siang itu, kita melanjutkan mengayuh pedal sepeda. Kali ini kita tak lagi merasa perlu untuk mampir somewhere untuk beli minum maupun foto. Apalagi mendekati Lasem, jalanan dipenuhi truck-truck besar. Ranz kian tidak mengizinkanku berhenti untuk foto, meski laut yang menghampar di sisi utara begitu mengundang untuk foto. Kita mengayuh pedal sembari menikmati pemandangan laut, terkadang hamparan ladang garam, dengan sang mentari yang mulai turun di sisi Barat.

Pasujudan Sunan Bonang

Ketika melewati jalan masuk menuju Pasujudan Sunan Bonang, mendadak Ranz berhenti dan menawariku foto. Uhuyyyyy. Lumayan, buat dokumentasi, aku mampir disini dengan naik Cleopatra! J

Aku cukup lega setelah sampai di Pasujudan Sunan Bonang. Ini berarti sekitar 4 kilometer lagi kita sampai di Masjid Agung Lasem. Ini juga berarti alun-alun Rembang akan kita capai tak lebih dari 12 kilometer lagi. Waktu sudah menunjukkan pukul empat sore. Ga bisa unjuk narsis di Masjid Agung Lasem nih, apalagi mampir ke klenteng Tju Ang Kiong atau Rumah Candu. LOL. Ranz ga mau saingan di jalan raya bersama dengan truck-truck berbadan besar itu selepas maghrib.


Syukurlah jelang pukul lima sore, kita telah sampai di alun-alun Rembang. Kita sudah sampai! Yeay! Usai memotret Cleopatra dan Orenj dengan latar belakang tulisan ALUN ALUN REMBANG, kita menuju hotel Kencana, yang terletak di seberang pantai Dampo Awang, tempat kita menginap 5 tahun lalu. Aku senang Ranz mau memilih menginap di hotel ini lagi, napak tilas dong. J

Syukurlah di hotel Kencana kita mendapatkan kamar dengan harga yang paling murah, Rp. 240.000,00 dengan fasilitas twin beds, AC, kamar mandi dalam dengan air panas, dan sarapan. Air panas sangat membantu kita mengembalikan organ-organ tubuh rileks setelah mengayuh pedal sejauh 141 km hari itu.

Malam itu, aku menemani Ranz jalan ke alun-alun untuk makan malam. 5 tahun lalu kita cukup menyeberang dari hotel, sudah ada para penjaja makanan kaki lima. Sekarang sisi-sisi jalan raya itu sudah bersih. Tak apalah, meski ini berarti kita harus berjalan kaki sejauh 2 kilometer pulang pergi.

Sebelum tidur, kita packing terlebih dahulu, agar di keesokan hari kita bisa langsung cusss.

To be continued



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.