LIVE!
Bikepacking Sidoarjo –
Semarang Day 3
Kamis 6 Juli 2017 Bersepeda
WBL – Rembang 141 kilometer
Karena semalam sudah
packing, pagi ini kita ga terlalu terburu-buru. Ranz bangun pukul 05.00,
kemudian langsung melakukan ‘morning ritual’nya yang bisa butuh waktu 30 menit.
J Setelah itu baru gantian aku yang mandi,
kemudian mempersiapkan diri.
Sekitar pukul 06.15
kita sudah siap. Kita turun, mengeluarkan sepeda, kemudian memasang tas pannier
di sepeda masing-masing. Pak Imron kaget melihat kita sudah siap begitu pagi. Dia
berharap kita mau menunggu hingga sarapan diantar ke penginapan, baru kita
meninggalkan Wisma Bintang Maharani. Kita pun mengiyakan. Menunggu sarapan
datang, aku membuat kopi hitam di pantry, berharap aku ga bakal diserang rasa
kantuk dalam perjalanan. J
Sehari sebelumnya
sarapan datang pukul 06.30, namun pagi ini sarapan baru diantar ke penginapan
hampir pukul tujuh pagi. Aku yang lapar, langsung memakannya (aku tidak makan
malam malam sebelumnya); Ranz yang tidak bisa makan dalam waktu cepat memilih
untuk tidak langsung makan sarapannya. Menu sarapan pagi ini nasi + pecel +
telur ceplok + perkedel kentang.
Pukul 07.10 kita
pamitan pada pak Imron. Setelah memotret sepeda di depan penginapan, kita pun
mulai melaju meninggalkan kawasan WBL.
Kita melanjutkan
perjalanan dalam diam. Masing-masing sibuk dengan pikiran sendiri. J Kita sempat berhenti sekali tatkala kita
melihat hamparan laut di sisi kanan (utara) untuk berfoto-ria. Kita berhenti
lagi setelah menempuh jarak 12 kilometer, kembali untuk memotret. Kebetulan
kita berada di atas jembatan Bengawan Solo yang melintas Lamongan. Di tiap
pemberhentian, kita hanya melewatkan waktu tak lebih dari 10 menit.
Trek ternyata masih
rolling, naik turun, hingga masuk Tuban. Namun, trek turunan lebih mendominasi,
ketimbang tanjakan. Disitu aku merasa bersyukur, kita memilih gowes Sidoarjo –
Semarang, dan bukan sebaliknya. LOL.
Spot berikut adalah
ketika kita akan masuk Kabupaten Tuban. Kita melihat ada tugu selamat datang. Rasanya
hatiku dag dig dug, kita akan napak tilas rute kita bikepacking Semarang –
Tuban di bulan Agustus tahun 2012. Di alun-alun kembali kita berhenti untuk
memotret sepeda. 5 tahun lalu kita makan malam di satu warung disamping
alun-alun itu.
Beberapa kilometer
dari alun-alun, sampailah kita di klenteng Kwan Sing Bio! Kita telah menempun
jarak 40 kilometer! Yeay! Berhenti untuk memotret sepeda jelas wajib hukumnya. J bahkan semula aku berharap aku bisa
menyempatkan diri untuk masuk klenteng dan mengabadikan keberadaanku di
klenteng Kwan Sing Bio di tahun 2017! Waktu menunjukkan pukul 09.40.
Rasa haus mulai
menyerangku. Seingatku 5 tahun lalu di seberang klenteng, di sisi pantai, ada
banyak orang jualan berbagai jenis makanan. Namun pagi itu suasana sepi. Tak
kulihat satu pun penjual. Aku dan Ranz memilih beristirahat di trotoar di
seberang kelenteng. Ranz pun membuka bekal yang dia dapatkan dari penginapan,
dan sarapan. Tak lama kemudian sekelompok orang yang mengenakan seragam satpol
pp berhenti, tak jauh dari kita. Oh ... mungkin sudah ada peraturan baru bahwa
orang-orang dilarang berjualan di trotoar, di sisi pantai itu. Hmmm ...
Beberapa satpol pp
itu menyapa kita dan bertanya kita sedang dalam perjalanan dari mana kemana. Aku
pun menjawab kita naik sepeda dari Sidoarjo dengan tujuan Semarang.
“Tujuannya apa?”
tanya seseorang.
“Tujuan kita ke
Semarang, pak,” jawabku sopan.
“maksud saya,
bersepeda dari Sidoarjo ke Semarang itu tujuannya apa?” tanyanya lagi.
Aku terhenyak. J Kita ngapain ya? LOL. Jadi ingat seseorang,
sekian tahun lalu, menulis status bahwa mereka yang bersepeda jarak jauh
niscaya sedang mendekatkan diri pada Tuhannya, jika setiap kayuhan mereka
persembahkan pada Tuhan. Well, tepatnya bagaimana, aku lupa. Tapi, ada
kaitannya dengan spiritual lah. J
Aku dan Ranz tidak
muluk-muluk sih. Perjalanan ini terjadi karena aku #sakaw, keinginan bersepeda
jauh antar kota itu begitu menggerogoti sukma (duh, lebay. LOL) hingga aku bakal depresi jika kembali bekerja
tanpa bikepacking terlebih dahulu. (lebay
kwadrat) LOL. Alasan Ranz jauh lebih simpel, menemaniku yang sedang
sakaw gowes jauh. LOL.
Meskipun begitu, aku
pun menjawab pertanyaan satu bapak satpol pp itu dengan sopan, “Oh, tujuan
perjalanan ini? Untuk mengisi liburan sih pak.” J Semoga jawabanku ini cukup memuaskan keingintahuan si bapak,
dan bukannya membuatnya semakin penasaran. LOL.
Usai sarapan, Ranz
ngecek jarak yang masih harus kita tempuh dari klenteng Kwan Sing Bio ke
Rembang. Ternyata google map menyatakan bahwa kita masih harus mengayuh pedal
sejauh 90 kilometer! Hal ini membatalkan keinginanku untuk sedikit eksplor
klenteng. L Dengan sangat terpaksa, kita langsung
melanjutkan perjalanan.
Sepanjang
perjalanan, Ranz bergeming. Dengan galak dia menolak permintaanku untuk
berhenti di spot-spot tertentu untuk foto-foto. Ketika melewati satu kawasan
wisata pantai, Ranz tidak mau mampir, meski hanya untuk satu dua kali jepretan.
Padahal sisi pantai di balik hutan bakau itu terlihat jelas dari jalan pantura
yang kita lewati. Hadeeehhh ...
Mendekati Alas Jati
Peteng, aku sudah ribut ingin berhenti untuk foto. Tapi Ranz menahanku, dia ingin
foto-foto di spot dimana ada posko mudik satu mie instant. Waktu kita lewat
daerah itu hari Senin dini hari, Ranz melihat posko itu masih ada. Bawelnya
Ranz ini kadang ngeselin. LOL.
Namun, ternyata,
setelah kita sampai di spot yang digunakan posko mudik itu, lokasi tersebut
sudah bersih, tak ada bekas-bekas bahwa disitu pernah digunakan posko mudik.
LOL. Hmfffttt ... Satu sisi positifnya adalah, kita ga berhenti untuk waktu
yang lama, hanya 5 – 10 menit untuk memotret sepeda, kemudian kita melanjutkan
perjalanan.
Sementara itu,
kerongkonganku terasa kian kering. Sejak meninggalkan kwan Sing Bio, di
sepanjang perjalanan aku berharap menemukan keberadaan warung kopi atau mini
market, namun ternyata aku tak melihat satu pun. Air minum dalam bidon pun telah
habis. Ternyata kita melewati daerah yang tidak ada mini marketnya dalam jarak
belasan kilometer. LOL.
Di satu warung
kelontong di kawasan Jenu, akhirnya kita berhenti untuk membeli minum.
Kebetulan di warung ini ada kulkas sehingga bisa membeli air mineral dingin.
Eitt, biasanya aku tidak pernah mau minum air mineral dingin jika sedang
menggeber sepeda dalam jarak puluhan kilometer. Namun siang itu aku begitu haus,
hingga aku memilih minum air mineral dingin.
Saat kita akan
meninggalkan warung, seseorang datang naik motor, dan langsung menyapa kita!
Wahh ... Yoni yang kuberitahu lewat sosmed bahwa aku sedang melewati Tuban
mengejar kita, untuk sekedar menyapa dan berfoto bersama. J Dia memang tinggal di Tuban. 5 tahun lalu
pun dia nyamperin kita ke hotel, mengajak kita mampir rumahnya, kemudian
menemani kita gowes ke Goa Akbar.
Setelah beramah
tamah dengan Yoni sebentar, kita kembali melanjutkan perjalanan. Ranz kembali
‘pelit’ ga mau begitu saja kuajak berhenti untuk foto-foto. LOL. Dia mau berhenti
untuk foto lagi ketika kita melewati gapura perbatasan Jawa Timur – Jawa
Tengah. Nah, ini spot penting soalnya, maka Ranz mengiyakan keinginanku. J Meskipun begitu, tak banyak foto yang kita
hasilkan kali ini, tak ada foto dimana kita berpose bersama, dengan Orenj dan
Cleopatra. Beda dengan 5 tahun lalu. :D
Tak lama kemudian
kita pun melanjutkan perjalanan kembali. Setelah melewati perbatasan Jawa Timur
– Jawa Tengah, trek cenderung datar, meskipun begitu hal ini tidak dengan mudah
membuatku jenuh maupun ngantuk. Mungkin kopi hitam yang kuminum sebelum
meninggalkan penginapan masih menyisakan efeknya. J Plus cyclometer yang nangkring di handle bar
Cleopatra memudahkanku ngecek sudah berapa kilometer jarak yang kita tempuh, ga
perlu mataku nanar mencari-cari petunjuk jarak yang biasanya ada di sisi jalan.
J Aku dan Ranz sama-sama fokus mencari
spot-spot dimana kita dulu mampir untuk berfoto maupun makan siang, 5 tahun
lalu. Ranz makan di satu rumah makan Padang, sedangkan aku di satu rumah makan
yang bersemboyan, “rasa bintang lima, harga kaki lima”. Namun ternyata setelah
membayar, harganya minimal dua kali lipat lah dibanding harga warung di kaki
lima yang sesungguhnya. LOL.
Kita berhenti di
satu warung sederhana untuk membeli es teh. Si penjual seorang perempuan yang
sudah cukup berumur, dibantu oleh anak perempuannya yang mengenakan cadar. (Jadi
kepikiran, di desa seperti ini ada juga perempuan yang mengenakan cadar ya?
LOL. Maafkan kenyinyiranku ini. LOL.) Hawa panas yang terus menerus mendera
membuatku merasa minum segelas es teh tidak cukup membasahi kerongkongan. LOL.
Maka, aku pun pesan gelas kedua. Harganya cukup murah, segelas hanya duaribu
rupiah.
Usai membasahi
kerongkongan, kita melanjutkan perjalanan.
Sorot sinar sang
surya yang terlalu ramah menyapa dengan mudah menguapkan basah di
kerongkonganku. Alias dengan cepat aku merasa haus lagi, ingin minum air dingin
lagi. LOL. Sekitar satu jam kemudian, kita mampir di satu warung mie ayam
bakso. Kali ini kita tidak hanya memesan es teh, namun sekaligus mie ayam satu
porsi yang kita makan berdua. Jadi teringat jika kita dalam perjalanan melewati
Karang Pandan – entah mau ke Tawangmangu maupun ke Candi Cetho / Sukuh, kita
biasa mampir di satu warung mie ayam di pertigaan Karang Pandan itu, membeli
satu porsi dan memakannya berdua. J Kita tidak terlalu merasa lapar, namun haus sekali. J
Sekitar pukul tiga
sore, usai makan siang itu, kita melanjutkan mengayuh pedal sepeda. Kali ini
kita tak lagi merasa perlu untuk mampir somewhere untuk beli minum maupun foto.
Apalagi mendekati Lasem, jalanan dipenuhi truck-truck besar. Ranz kian tidak
mengizinkanku berhenti untuk foto, meski laut yang menghampar di sisi utara
begitu mengundang untuk foto. Kita mengayuh pedal sembari menikmati pemandangan
laut, terkadang hamparan ladang garam, dengan sang mentari yang mulai turun di
sisi Barat.
Ketika melewati
jalan masuk menuju Pasujudan Sunan Bonang, mendadak Ranz berhenti dan
menawariku foto. Uhuyyyyy. Lumayan, buat dokumentasi, aku mampir disini dengan
naik Cleopatra! J
Aku cukup lega
setelah sampai di Pasujudan Sunan Bonang.
Ini berarti sekitar 4 kilometer lagi kita sampai di Masjid
Agung Lasem. Ini juga berarti alun-alun Rembang akan kita capai tak
lebih dari 12 kilometer lagi. Waktu sudah menunjukkan pukul empat sore. Ga bisa
unjuk narsis di Masjid Agung Lasem nih, apalagi mampir ke klenteng Tju Ang Kiong atau Rumah
Candu. LOL. Ranz ga mau saingan di jalan raya bersama dengan truck-truck
berbadan besar itu selepas maghrib.
Syukurlah jelang
pukul lima sore, kita telah sampai di alun-alun Rembang. Kita sudah sampai!
Yeay! Usai memotret Cleopatra dan Orenj dengan latar belakang tulisan ALUN ALUN
REMBANG, kita menuju hotel Kencana, yang terletak di seberang pantai Dampo
Awang, tempat kita menginap 5 tahun lalu. Aku senang Ranz mau memilih menginap
di hotel ini lagi, napak tilas dong. J
Syukurlah di hotel
Kencana kita mendapatkan kamar dengan harga yang paling murah, Rp. 240.000,00
dengan fasilitas twin beds, AC, kamar mandi dalam dengan air panas, dan
sarapan. Air panas sangat membantu kita mengembalikan organ-organ tubuh rileks
setelah mengayuh pedal sejauh 141 km hari itu.
Malam itu, aku
menemani Ranz jalan ke alun-alun untuk makan malam. 5 tahun lalu kita cukup
menyeberang dari hotel, sudah ada para penjaja makanan kaki lima. Sekarang
sisi-sisi jalan raya itu sudah bersih. Tak apalah, meski ini berarti kita harus
berjalan kaki sejauh 2 kilometer pulang pergi.
Sebelum tidur, kita
packing terlebih dahulu, agar di keesokan hari kita bisa langsung cusss.
To be continued
To be continued
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.