WEEKEND BIKE TRAVELLER
Mimpi mengalami petualangan seperti para backpacker – mereka yang bertravelling dengan berjalan kaki dari satu tempat ke tempat lain atau jika beruntung mendapatkan tumpangan orang-orang yang baik hati – yang kumiliki semenjak mengenal istilah ‘backpacker community’ akhirnya menjadi kenyataan setelah mendapatkan ‘soul mate’ untuk melakukan perjalanan bersama di pertengahan tahun 2011. Namun aku tidak benar-benar berjalan kaki, melainkan naik sepeda lipat hingga lebih menghemat waktu perjalanan. Mengapa sepeda lipat? Sepeda lipat jauh lebih praktis ketika terjadi hal-hal yang membuat kita memutuskan untuk mencari tumpangan atau naik kendaraan, demi lebih mempercepat perjalanan, dibandingkan sepeda jenis lain. Sepeda lipat tinggal kita lipat dan kita masukkan ke bagasi. Problem solved! :)
Maka, aku dan Ranz – soul mate-ku itu – menyebut diri sebagai seorang bikepacker dan bukan backpacker.
Dua hal penting bagi seorang bikepacker sebelum memulai perjalanannya adalah sepeda dan tas pannier. Kita harus memastikan bahwa sepeda kita dalam kondisi prima. Akan sangat membantu jika kita juga membawa ‘tools’ andai terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dan hal itu terjadi ketika kita jauh dari bengkel. Sedangkan tas pannier yang biasa diletakkan di rak boncengan akan sangat meringankan para bikepacker ketimbang membawa backpack atau tas punggung. Dalam perjalanan bersepeda jarak jauh memang sebaiknya tubuh kita tidak terbebani apa pun.
Dalam tulisan ini, aku akan berbagi kisah ketika gowes libur weekend tanggal 21 – 23 Juni 2013.
Hari Jumat 21 Juni 2013 aku memulai perjalananku dari Sukun – Semarang pukul 07.00. Austin – sepeda lipat yang kupilih menemani perjalananku kali ini – sudah duduk manis di bagasi bus, beserta tas pannier yang berisi beberapa baju, perlengkapan mandi, dll. Sementara Ranz memulai perjalanannya dari rumahnya dari kawasan Laweyan Solo sekitar pukul 05.30. Dia memutuskan untuk gowes, ditemani Pockie sepeda lipatnya. Kita janjian bertemu di Klero – sekitar 10 kilometer dari terminal Tingkir Salatiga ke arah Boyolali.
Kita bertemu di Klero sekitar pukul 09.00. Tujuan utama hari ini adalah Candi Klero, yang terletak tak jauh dari jalan raya Semarang – Solo, sekitar 500 m. Jika kita dari arah Semarang, kita belok ke kiri. Candi Klero terletak bersebalahan dengan sebuah kompleks makam desa.
Candi yang nampaknya kurang terkenal sebagai daerah kunjungan wisata ini terjaga rapi dan bersih oleh seseorang yang memang diberi tugas untuk melakukannya. Adanya yoni di dalam candi menunjukkan bahwa candi ini merupakan Candi Hindu walau ada juga yang meragukannya dikarenakan di lokasi hanya ada satu buah candi. Biasanya candi Hindu akan ada satu candi induk dan candi perwara lain sebagai pendamping.
Candi Klero berbentuk sederhana, tanpa banyak dekorasi berupa relief maupun patung-patung lain. Oleh karena itu Candi Klero dipercaya usianya lebih tua dari Candi Prambanan. Meski kurang terkenal sebagai daerah kunjungan wisata, Candi Klero masih tetap digunakan untuk beribadah terbukti dari sesajen yang terlihat di altar di dalam Candi ketika aku melongok ke dalam.
Sekitar tigapuluh menit kemudian, aku dan Ranz melanjutkan perjalanan: gowes ke Solo yang jaraknya kurang lebih 45 kilometer dari Klero. Bagi yang mungkin belum pernah memperhatikan, trek Boyolali – Solo didominasi turunan sehingga sangat menyenangkan bagi pesepeda, hanya ada sedikit tanjakan, itu pun tak seberapa.
Malam itu aku menginap di rumah Ranz.
Hari Sabtu 22 Juni 2013 kita meninggalkan Laweyan Solo sekitar pukul 06.30. Barang bawaan kita yang ga begitu banyak telah kita packing ke dalam tas pannier malam sebelumnya. Tujuan kita: Jogja! Jarak yang kita tempuh pada hari Sabtu itu kurang lebih 65 kilometer dengan trek datar plus ini adalah gowes Solo – Jogja yang ketiga buatku (namun kelima buat Ranz) sehingga perjalanan ini tidak terlalu mendebarkan hati. J
Seperti biasa kita mampir di sebuah rumah makan yang dekat dengan Candi Prambanan untuk makan ‘brunch’. Usai makan dan istirahat selama kurang lebih 30 menit, kita melanjutkan perjalanan. Kita menyempatkan diri mampir ke Candi Sari yang lokasinya tidak terlalu jauh dari jalan raya. Candi Sari yang letaknya dekat dengan Candi Prambanan yang merupakan Candi Hindu ini konon dulunya adalah biara untuk para pendeta Buddha. Candi Sari berbentuk persegi empat, di dalamnya terdapat tiga bilik yang berjajar dan terhubung dengan pintu masuk. Pada tiap sisi candi terdapat jendela sehingga suasana di dalam candi tidak terlalu gelap. Kemungkinan Candi Sari dibangun pada abad 8 Masehi.
Keluar dari Candi Sari, kita langsung gowes menuju Malioboro Jogja. Kita merencanakan untuk menginap di satu hotel di Jalan Dagen. Setelah meletakkan tas pannier di dalam kamar hotel, kita gowes ke arah Tamansari. Kita sampai disana sekitar pukul 12.00.
Tamansari terletak tak jauh dari Keraton Ngayogyakarta. Jika kita tidak tahu lokasi pastinya, kita bisa bertanya pada penduduk sekitar yang tentu dengan baik hati akan menunjukkan arah. Tamansari dulu berfungsi sebagai tempat peristirahatan keluarga Sultan Ngayogyakarta, selain untuk bersemedi. Kolam yang ada dulu konon dipakai untuk mandi para selir raja dan juga raja sendiri jika berkenan. Ada kamar-kamar tempat raja beristirahat, juga bersemedi. Ada juga dapur tempat memasak. Di Tamansari juga ada bilik-bilik di bawah tanah yang dulu juga berfungsi sebagai tempat persembunyian keluarga raja jika keadaan genting.
kolam tempat mandi Tamansari |
hiasan di salah satu gerbang di Tamansari |
tempat bersemedi raja-raja zaman dulu |
Jika untuk masuk Candi Klero dan Candi Sari kita tidak dipungut biaya, di Tamansari kita perlu membeli tiket, satu orang Rp. 3000,00. Banyak turis baik dari dalam negeri maupun manca negara yang berkunjung di Tamansari ketika kita kesana.
Malamnya kita menikmati suasana Malioboro yang sangat padat pengunjung. Bahkan bersepeda pun kita tidak bisa melaju dengan lancar di jalan yang paling terkenal seantero nusantara ini. Kita sempat makan malam dua kali. J Yang pertama kita memilih satu warung lesehan yang terletak tak jauh dari Malioboro Mall dengan menu penyetan. Yang kedua nasi goreng magelangan, ditraktir oleh Mas Totok, teman gowes yang berdomisili tak jauh dari Malioboro.
Hari Minggu 23 Juni 2013 kita gowes pagi ke kawasan Bulaksumur UGM untuk sarapan di Pasar Pagi, sekaligus bernostalgia buatku. :)
Siangnya kita ikut event yang diadakan oleh sebuah perusahaan pemroduksi kaos yang lumayan kondang di Jogja: raceplorer. Raceplorer sejenis fun bike keliling Jogja namun kita harus menemukan empat lokasi (dari 5 tempat) yang dijadikan ‘soal’. Kelima lokasi itu – setelah berusaha memahami narasi yang diberikan panitia dengan sedikit mumet LOL – adalah Museum Anak Kolong Tangga yang terletak di Taman Pintar, Museum Sonobudoyo II, Museum Bahari, Museum Ki Hajar Dewantoro, dan Museum Pusat TNI AD. Masing-masing kelompok yang terdiri dari 3 pesepeda akan diberi ‘tugas’ untuk dikerjakan maupun ‘soal’ untuk ‘dipecahkan’ sesampai di keempat lokasi tersebut.
Kita tidak mengikuti acara hingga pengumuman pemenang yang dilaksanakan usai shalat maghrib karena kita tidak ingin kemalaman pulang ke Solo. Namun ternyata kita tetap (agak) kemalaman karena rencana kita mau naik kereta api tidak bisa kita lakukan: antrian pembeli tiket kereta sangat amat panjang! Dan kita khawatir tidak akan diijinkan naik kereta karena kita membawa sepeda. Maka, gowes balik ke Solo adalah salah satu pilihan yang (kurang) menyenangkan. hahahaha ... Apa boleh buat?
Kita sampai di rumah Ranz di kawasan Laweyan pukul 21.30.
Hari Senin 24 Juni 2013 aku balik ke Semarang dengan naik bus. Sepeda terlipat rapi di bagasi. :)
IB 20.40 16/07/13
p.s.:
ditulis ulang untuk dikirim ke wegoindonesia.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.