Rabu 25
Desember 2019
Di hari
ketiga ini terus terang aku rada awang-awangen untuk gowes balik ke Solo. Ha ha
ha … alasannya (1) gowes sehari sebelumnya cukup membuat kita 'ngoyo' je dengan
elevasi gain di atas 1000 mdpl (2) jika ditambah dengan 'usaha' kita bersepeda
dari Solo - Ngawi cukup membuat tubuh kita lungkrah. Kekekekeke … Namun satu
hal penting: kita harus mampir Museum Trinil!
Ranz
memberiku 3 tawaran. (1) bersepeda ke Trinil, kemudian balik ke terminal
Kertonegoro untuk naik bus. Tapi, Ranz khawatir jika tiket busnya mahal.
Hahahahaha … apalagi kita membawa sepeda lipat. (2) bersepeda ke Trinil,
kemudian lanjut gowes ke Sragen. Sesampai Sragen, kita mencari loading car. (3)
bersepeda ke Trinil, kemudian lanjut gowes sampai Solo. Ha haaa
Menu sarapan
hari kedua ini adalah nasi plus oseng buncis dan telur dadar. Karena
membayangkan bakal loading, pagi ini kita nyantai banget. Ranz baru memulai
ritual paginya jam setengah 7. saat Ranz mandi ini, aku makan sarapanku.
Setelah itu baru gantian aku mandi kemudian packing.
perempatan Kartonyono |
Pukul 08.00
kita mulai mengayuh pedal sepeda masing-masing, menuju Museum Trinil. Sebelum
meninggalkan area itu, aku meminta Ranz memotretku di perempatan Kartonyono
yang membuat heran, apa istimewanya perempatan itu. Hohohoho … saat itu dia
belum tahu ada satu lagu berjudul "Kartonyono medhot janji".
Kekekekeke …
10 kilometer
mengayuh pedal, kita sampai di 'ujung' jalan masuk menuju Museum Trinil dimana
ada tugu penanda Museum Trinil. Setelah foto-foto disini, kita mengikuti
petunjuk. Kita masih harus bersepeda
sejauh 3 kilometer. Sesampai sana, kita tidak langsung masuk namun mampir ke
satu warung terlebih dahulu, aku butuh ngopi. Saat kita datang, ada 4 kereta
wisata masuk, dinaiki anak-anak PAUD/TK yang mengenakan seragam sekolah gamis.
Museum
Trinil ternyata sangat mungil, jika dibandingkan dengan Museum Sangiran. Di
Trinil kita hanya menemukan 2 ruangan yang dipakai untuk memamerkan
penemuan-penemuan benda pra-sejarah. Trinil dipilih untuk lokasi membangun
museum untuk 'menghormati' bahwa di daerah sini untuk pertama kali E. Dubois
menemukan peninggalan benda pra-sejarah, benda-benda yang diharapkan bisa
menjelaskan missing link teori Darwin.
Kita ga
butuh waktu lama untuk menikmati 2 ruangan berisi pameran benda-benda
pra-sejarah. Waktu keluar ke halaman, aku melihat 2 kereta wisata yang berisi
anak-anak PAUD/TK itu meninggalkan museum. Satu hal yang mengherankan bagiku
adalah anak-anak itu menyanyikan lagu "Kartonyono medhot janji".
Mendengar lagu itu dinyanyikan anak-anak yang mengenakan busana gamis, entah
mengapa aku langsung tertawa terbahak-bahak. Ranz pun heran apa yang membuatku
tertawa seperti itu. Nah, waktu menjelaskan bahwa lagu yang dinyanyikan
anak-anak itu berjudul "Kartonyono medhot janji" karya Denny Caknan
(dikira Ranz yang nyanyi Didi Kempot) aku sekaligus menjelaskan mengapa aku
tadi memintanya memotretku di perempatan Kartonyono. Ranz pun super heran
bagaimana mungkin seorang Nana tahu lagu sejenis itu. Wakakakakaka …
Setelah
meninggalkan museum, dan kembali ke jalan raya, Ranz bertanya di antara 3
pilihan yang dia tawarkan, mana yang kupilih. Karena Ranz nampak enggan kembali
gowes ke arah (kota) Ngawi, aku memilih gowes ke Sragen, dengan catatan dia
harus sabar menungguku gowes, ga boleh ngomel jika aku lelet. Lol.
Tak disangka
tak diduga ternyata aku mendapatkan energi yang full seperti saat berangkat
hari Senin. Cieee … kali ini justru aku bisa menikmati trek rolling yang kita
lewati dibandingkan waktu berangkat. Kita mampir ke satu rumah makan swalayan
Mbak Henny untuk makan siang, meski saat itu baru pukul 11.30. Ranz bilang
rumah makan seperti ini tentu berkurang pengunjungnya setelah jalan tol jadi.
Orang-orang yang bepergian dari Solo ke Surabaya dan sebaliknya tentu lebih
memilih lewat jalan tol, dan beristirahat di rest area yang disediakan dalam
tol. Jadi lumayan lah ya, kita ikut melarisi.😊
Ketika
melewati hutan, kita sempat mampir ke Monumen Gubernur Suryo untuk foto-foto.
Ranz bilang tak jauh dari monumen itu ada wana wisatanya. Namun aku khawatir
jika kemalaman sampai Solo (aku sudah membayangkan kita jadinya gowes sampai
Solo, ga Cuma sampai Sragen kemudian memesan taksi online) aku menolak
jalan-jalan ke dalam wana wisata.
Setelah
melewati perbatasan Jawa Timur - Jawa Tengah, tak lama kemudian kita mulai
disambut gerimis. Ranz langsung mengajak menepi ketika dia melihat ada satu
'gubug' yang mungkin di hari lain dimanfaatkan untuk warung makan. Dia harus
melindungi kamera-kameranya. (Dia bawa 2 kamera!) aku sempat ragu akan
mengenakan mantel atau tidak, akhirnya kuputuskan tidak memakai mantel dengan
harapan gerimis ini ga akan berlangsung lama, dan berhenti.
Namun
harapan ini tak terkabulkan. Gerimis tetap gerimis, meski kadang sedikit
menderas, namun tak sampai menjelma hujan deras. Akan tetapi, bersepeda di
bawah gerimis seperti itu dengan menempuh jarak puluhan kilometer, kita tentu
tetap basah kuyub.
Setelah
melewati alun-alun Sragen, kemudian melewati taman kota yang ada tulisan KOTA
SRAGEN tempat aku sempat berfoto di hari Senin, aku merasa sudah cukup dekat
dengan area Palur. Aku lupa bahwa tentu kita harus melewati penanda
meninggalkan Sragen untuk kemudian masuk area Karanganyar. Pikiran bahwa kita
sudah dekat Palur ini benar-benar menyiksa: jarak tempuh terasa kian jauuuuh.
Aku merasa kedinginan dan lapar. Rasanya pingin nangis. Hihihi … Mungkin Ranz
menyadari ini hingga dia sempat mengingatkan aku jika aku pingin mampir ke satu
warung atau rumah makan (mungkin dia melihat body language-ku yang setiap kali
melewati rumah makan, aku menengok untuk ngecek masakan/makanan jenis apa yang
disediakan. Kekekekeke …
Di satu
traffic light, aku hampir saja menabrak mobil yang terasa mendadak berhenti,
dan aku tidak memiliki space untuk lewat. Aku langsung ngerem. Di pinggir
kulihat ada warung susu dan roti bakar. Aku sempat membayangkan roti bakar yang
hangat sebelumnya, maka aku langsung menoleh ke Ranz dan bilang, "Aku
pingin roti bakar." Ranz ga yakin jika penjualnya sudah siap. Ketika aku
melongok ke dalam, ternyata benar, di dalam warung belum ada apa-apa. Duh … aku
rasanya kian kedinginan. Padahal tentunya Ranz juga ya?
Aku akhirnya
melihat tanda-tanda bahwa kita telah sampai Palur. Waktu melihat ada rumah
makan Padang, tanpa pikir panjang aku langsung belok. Seperti tadi siang, kita
makan Cuma satu piring. Nasi yang hangat langsung terasa menghangatkan perutku,
membuat tubuhku lumayan nyaman. Wedang jeruk hangat yang kupesan juga kian
menghangatkan tubuhku. Jarak dari situ ke Laweyan masih sekitar 12 kilometer,
kata Ranz. Gerimis masih turun; namun dengan tubuh yang lebih hangat dibanding
sebelumnya, aku siap untuk melanjutkan perjalanan.
Setelah
masuk area Solo, Ranz mengajakku lewat jalan Kota Barat; dia pingin mampir ke
satu gerai yang berjualan sate taichan. Sementara Ranz menunggu pesanannya, aku nyempetin ngelop area situ;
aku kepingin jarak tempuh kita hari ini mencapai minimal 100 kilometer. Hohoho
… saat ini aku baru ngeh, gerimis sudah berhenti.
Ketika
sampai rumah Ranz, aku ngecek strava: jarak yang kita tempuh hari ini 'baru' 96
kilometer. Maka untuk menggenapinya, aku ngelop jalan Agus Salim ke arah
stasiun Purwosari kemudian belok kiri, belok kiri lagi dimana jalannya tembus
hingga pasar oleh-oleh Jongke. Aku menempuh jalan ini dua kali. Setelah kembali
ke rumah Ranz, strava menunjukkan jarak tempuh kita 100,7 kilometer. Yippeee.
It is enough!
Setelah
masuk rumah Ranz, ternyata dia sudah selesai mandi. Aku pun gantian mandi.
Perjalanan
kita usai sudah. Alhamdulillaaah.
PT56 23.23
03-Januari-2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.