Sabtu pagi aku bersepeda kulineran sendiri, sementara Ranz masuk kerja. Sudah cukup lama aku tidak menikmati sarapan soto segeer Hj. Fatimah yang warungnya terletak di Jl. Bhayangkara, seberang kantor LB - LIA Surakarta. 😊 biasanya aku terhalang rasa mager, untunglah kali ini tidak. 😛
Aku berangkat dari rumah Ranz yang terletak tak jauh dari pasar oleh-oleh Jongke - Laweyan sekitar pukul 08.00. Aku langsung menuju Jl. Bhayangkara. Ternyata warung ini terletak kurang lebih 3,1 kilometer dari rumah Ranz. entah karena itu hari Sabtu, atau karena bisa dikatakan hari masih cukup pagi, tidak kulihat banyak orang ngantri tempat duduk. 😎 tanpa kesulitan, aku langsung menemukan tempat kosong tak jauh dari pintu masuk. seperti biasa aku memesan soto ayam, untuk minum aku memilih teh panas. Honestly, soto ayam disini lebih enak dibanding soto segeer Mbok Giyem yang terletak di Salatiga. kuahnya mungkin sama-sama segar dan nikmat, namun karena ada taogenya yang menurutku tidak cocok berada di soto ayam yang berkuah bening, rasa nikmatnya jadi berkurang. 😏 karena suasana tidak begitu penuh, aku sengaja duduk-duduk cukup lama meski sotoku sudah habis. selain soto ayam satu mangkuk, aku juga makan tempe mendoan dan sosis Solo. setelah itu aku sempat memesan es teh manis. tehnya lumayan enak, meski tidak seenak es teh di warung soto langganan Pak Jokowi yang juga terkenal itu.
Setelah meninggalkan warung soto Hj. Fatimah, aku bersepeda ke arah Jl. Slamet Riyadi. Aku memotret Austin dengan latar belakang tulisan I 💓 SOLO, juga di trotoar yang lebar dan nyaman di dekat situ. Selanjutnya aku bersepeda ke arah Galabo. Di ujung Jl. Slamet Riyadi itu, aku belok kiri, terus lurus, sampai ada satu petunjuk STADION MANAHAN, aku belok kiri. Terus mengikuti jalan, aku sampai di flyover Jl. Kota Barat. Aku menaiki flyover ke arah kanan, turun, kemudian memotret Austin dengan background mural yang ada di dinding flyover.
Setelah itu, aku menyusuri jalan di pinggir rel kereta api. Ternyata jalan ini membawaku ke arah Kerten. Aku belok ke Jl. Slamet Riyadi, kemudian mlipir di pinggir rel kereta api lagi, di sisi yang berbeda, mencari lokasi pura Indra Prasta yang pernah "kutemukan" bersama Ranz beberapa bulan lalu. Dari sana, aku bersepeda ke arah Jl. Dr. Radjiman. Sesampai pertigaan pasar oleh-oleh Jongke, aku belok ke Jl. Agus Salim. Saat ngecek strava sudah berapa kilometer aku bersepeda, Ranz menawariku maksi di warung bakmi toprak. Aku langsung menuju kesana.
Honestly, aku tidak begitu bisa menikmati rasa mie toprak sejak pertama Ranz mengajakku mencoba makanan khas Solo ini di tahun 2011; meski aku terus berusaha mencari nikmatnya sebelah mana setiap Ranz mengajakku makan mie toprak. akhirnya aku 'menyerah' setelah membaca status seorang kawan yang tinggal di Solo setelah menikahi seorang laki-laki Solo sekian puluh tahun lalu: dia tidak bisa menikmati mie toprak, karena rasanya super campur-campur ga karuan. hihihi ... Kali ini, aku tidak memesan mie toprak. Sembari menunggu Ranz datang, aku memesan satu porsi es dawet gempol pleret.
es dawet gempol pleret |
sup matahari |
Setelah Ranz datang, dia heran mengapa aku hanya memesan minum. Aku beralasan perutku masih kenyang, (memang masih kenyang sih) Ranz pun memesan es dawet gempol (tanpa pleret), dan satu porsi mie toprak. semula aku hanya akan 'mencicipi' mie toprak pesanan Ranz; tapi setelah tahu bahwa warung itu juga menawarkan sup matahari, aku pesan sup matahari satu porsi. bayanganku sup matahari -- tanpa nasi -- tidak akan membuat perutku kenyang. 😊
Setelah itu Ranz kembali ke kantornya, aku kembali besepeda; perutku terlalu penuh jika aku langsung balik ke rumah Ranz dan siap-siap berangkat ke Sragen. Aku sempat bersepeda sejauh kurang lebih 9 kilometer, kemudian aku pulang ke rumah Ranz.
Kisah selanjutnya bisa dibaca disini. 😀
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.