Sejak tahun
2018, aku punya 'ritual' tahunan, yaitu bersepeda dari Semarang ke Solo; aku
berangkat sendiri sampai Bawen, Ranz menjemputku disana; Dari Bawen, kita baru
gowes bareng.
Kisah
bermula di tahun 2018 ketika aku dkk akan menghadiri acara ultah Seli Solo yang
ke-8, kita kehabisan tiket KA Kalijaga. Waktu itu belum ada KA Joglosemarkerto,
jadi jika tidak naik KA Kalijaga, alternatif moda transportasi lain adalah naik
bus. Honestly, jika bawa sepeda lipat, lebih nyaman naik kereta ketimbang naik
bus. Maka, ketika ditawari Avitt untuk gowes ke Solo, aku langsung mau. Tapi,
karena mereka berangkat hari Jumat, sedangkan aku baru bisa berangkat hari
Sabtu, Ranz mengalah dengan menjemput kita di 2 hari yang berbeda. Ranz
menjemput Avitt dan Hesti di terminal Boyolali, Ranz menjemputku di Bawen.
Di tahun
2019, Ranz menawariku bersepeda lagi; dia tetap menjemputku di Bawen. Kali ini
Ranz tidak bisa menjemput hari Sabtu, maka aku berangkat hari Jumat.
Aku dan Ranz
tercatat sebagai peserta launching komunitas sepeda lipat di Sragen -- mereka
memilih nama Lempitan Sragen -- yang diselenggarakan pada hari Minggu 12
Januari 2020. Semula aku berencana berangkat hari Sabtu 11 Januari 2020 naik KA
Joglosemarkerto (KA Kalijaga sudah berhenti dioperasikan :( ), namun ternyata
kelasku kosong di hari Sabtu, maka aku memutuskan berangkat hari Jumat. Semula
akan naik kereta yang berangkat pukul 14.50. Tapi, Ranz menyarankan aku naik
'travel' agar bisa berangkat pagi. Dan, begitu saja, aku berpikir mengapa ga
nyepeda saja? Yuhuuu … dalam rangka melanjutkan 'ritual tahunan gowes Semarang
- Solo'.
10 Januari
2020
Di pagi
hari, mendung menggayut di langit malu-malu. Well, tapi bukankah orang-orang
tahu bahwa mendung tak berarti akan turun hujan? Aku meninggalkan rumah
menjelang pukul 07.00, setelah menyelesaikan pekerjaan rumah di pagi hari.
Seperti biasa, di awal gowes, rasanya pasti masih aras-arasen (enggan, bahasa
Jawa, lol). Hawa mendung ini memiliki 2 fungsi yang berkebalikan (1) perasaan
kian males lol (2) untung tidak panas, jadi lumayan lah mengayuh pedal menuju
arah Selatan Semarang yang treknya didominasi tanjakan.
Sampai di
depan sekolah Don Bosco, Kaliwiru, aku mulai merasakan titik-titik gerimis.
Looooh, gerimis! Masih teringat waktu bersepeda pulang dari Ngawi menuju Solo,
gerimis yang tak kunjung habis, hingga sesampai Solo, jelas aku basah kuyub.
Kembali niatku (sedikit) mengendur, aku lanjut gowes ga ya? Tapi, aku ga yakin
apakah BRT mau mengangkut penumpang yang membawa sepeda lipat. Males jika harus
berdebat boleh atau tidak. Hmfttt …
Akhirnya aku
memilih terus mengayuh pedal. Untunglah sesampai pasar Jatingaleh, gerimis pun
berangsur menghilang.
Ranz
mengabariku dia telah sampai di terminal Bawen (dia naik bus) pukul 08.15.
padahal aku mengajaknya janjian bertemu disana pukul 09.00.
Akhirnya aku
sampai di Bawen pukul 09.10. istirahat sebentar, aku membeli air mineral karena
bidonku sudah kosong. Pukul 09.30 kita melanjutkan gowes ke arah Salatiga.
Sekitar
pukul 10.00 kita sampai di warung soto segeer Mbok Giyem yang terletak tak jauh
dari tugu bertulisan SALATIGA SMART. Sebenarnya pinginnya sarapan di warung
soto segeer Hj. Fatimah di Boyolali, tapi perut sudah telanjur keroncongan,
hihihi. Dan Ranz mengaku kedinginan dalam bus, dia butuh sesuatu untuk
menghangatkan tubuhnya.
Setelah
sarapan, kita melanjutkan perjalanan lagi. Aku suka bersepeda lewat kota
Salatiga, jadi ingat di tahun 2015 aku, Ranz, Tami, dan Om Dije gowes menuju
Solo untuk menghadiri jamselinas 5. Kita berhenti di satu gerai fastfood untuk
ngemil. Ga lama setelah melanjutkan perjalanan, ternyata kita masih kelelahan,
lol, kita berhenti lagi mampir di satu mini market, dimana aku beli cappuccino.
Kita sempat ngobrol bagaimana jika kita loading saja, lol. Tapi, kasihan Om
Dije kita tinggal sendiri, karena dia naik sepeda federal yang tidak bisa
dilipat. Lol. Kenyataannya tentu saja kita lanjut bersepeda sampai Solo saat
itu.
Jika tahun
lalu Ranz mengajakku mampir di satu toko yang berjualan gethuk di area kota
Salatiga, kali ini dia tidak mengajakku mampir kemana-mana. Kita terus mengayuh
pedal. Satu kenikmatan bersepeda di saat hari mendung, kita tidak mudah merasa
haus, dan tenaga tidak cepat habis karena diserap sinar matahari yang terik.
Tidak enaknya kali ini adalah, Ranz tidak sigap memotret, lol, kebiasaan
'buruknya' jika kita menapaki jalan yang sama lagi, dia tidak merasa perlu
memotret. Hadeeeh.
Mendung yang
menutupi seluruh langit dengan rata pun menutupi pemandangan gunung yang sempat
terlihat saat kita masih di Bawen. Tambah ga ada keperluan berhenti di pinggir
jalan untuk berfoto.
Aku berhenti
ketika kita sampai di gerbang Selamat Datang di Boyolali. Hwaaaah … cepet amat
yak rasanya. Lol. Aku berhenti untuk memotret Austin, namun ternyata di saat
yang sama, gerimis mulai terasa. Berpikir bahwa mungkin gerimis kali ini akan
tahan lama -- tidak seperti di pagi hari waktu aku masih di Semarang -- aku
menutupi tas pannier dengan 'tas kresek', dan aku mengenakan mantel.
Gerbang
Selamat Datang di Boyolali itu ternyata terletak di 'ujung' tanjakan Ampel
(jadi ingat waktu gowes Solo - Semarang di bulan Mei tahun 2012, waktu itu Ranz
bilang, "Jika kita sudah melewati tanjakan Ampel, trek berikutnya sudah
terasa lebih bersahabat, lol). Dari situ, trek turunan panjang menanti. Nah,
karena aku mengenakan mantel yang lumayan kebesaran ukurannya untuk tubuhku,
saat berpapasan dengan bus yang ngebut dari arah berlawanan maupun yang
menyalip dari belakang, kurasakan tubuhku oleng. Duh, ga aman banget. Itulah
sebabnya ketika kurasakan gerimis berhenti, aku berhenti untuk melepas mantel.
Sesampai
lokasi yang ada 'tugu' berupa patung sapi, aku mengajak Ranz berhenti untuk
foto-foto. Karena sudah pernah berfoto disini di tahun 2018 & 2019, Ranz
berpikir aku sudah ga ingin berfoto disini lagi. Lhooo … kan occasionnya beda!
Ya toh? Hihihi …
Jika di
tahun 2018 dan 2019 aku mengajak berhenti di satu mini market setelah foto-foto
di patung-patung sapi, kali ini kita ga merasa perlu berhenti di mini market.
Minuman di bidon masih ada, energi belum begitu terkuras karena tak ada sinar
mentari yang terik.
Melewati
pertigaan Kartasura, Ranz sempat bertanya apakah aku masih kenyang. Well, meski
tidak begitu terasa lelah, ternyata perutku lapar! Lol. Dan Ranz pun merasa
lapar. Tahun lalu kita makan di satu warung sate kambing, tapi tahun ini aku
merasa mulai butuh menghindari sate kambing, meski bisa dikatakan aku super
jarang makan daging kambing. Ketimbang bermasalah dengan kolesterol tinggi,
mending menghindari deh.
Ketika
sedang memilih-milih kira-kira mau berhenti di warung apa, mendadak ban
belakang Pockie -- sepeda yang dinaiki Ranz -- gembos. Bannya tidak tertusuk
paku, namun sesuatu yang tajam yang lebarnya sampai kira2 1 cm. Kebetulan tak
jauh dari situ, ada toko sepeda. Kusarankan beli ban luar dan dalam sekaligus
saja, namun Ranz yang sering berpikir ngirit bilang, "Aku tuh punya ban
luar untuk Pockie."
Aku
bertanya, "Di rumah?"
Ranz:
"Di kos Semarang."
Gubraaaaxxx.
Aku,
"Lha terus bagaimana? Kita nuntuk sepeda sampai rumahmu?"
Ranz,
"Naik BRT sampai Purwosari."
Aku,
"Ya sudah, kamu naik BRT, aku tak lanjut mengayuh pedal Austin. Ini
tinggal lurus saja mengikuti jalan dan kita akan sampai Purwosari kan?"
Ranz,
"hhhh … ya sudah, aku beli ban baru saja."
Xixixixixixi
…
Kita mampir
di satu toko sepeda, membeli ban sekaligus meminta dipasangkan di roda belakang
Pockie. Untuk ini, Ranz harus merogoh kocek Rp. 85.000,00 untuk ban luar, ban
dalam (merek swallow) dan biaya memasang.
Setelah
melanjutkan perjalanan, gerimis kembali terasa. Ranz pun ga jadi mengajakku
mampir ke satu warung makan karena khawatir kehujanan. Sampai kita di
Purwosari, ternyata gerimis tipis tetap tipis, syukurlah. Ranz mengajakku
mampir di satu warung makan dimana aku bisa memesan capcay Solo sedangkan dia
memesan gongso campur.
Usai makan,
kucek jarak di stravaku menunjukkan angka 98 kilometer. Ranz pun langsung
mahfum, mengajakku berputar sebentar, tidak langsung pulang menuju rumahnya,
agar stravaku mencapai angka 100 kilometer. Horraaay.
Kurang lebih
pukul 15.30 kita sampai rumah Ranz, dengan jarak tempuh di strava 100,9
kilometer. Setelah masuk rumah, terdengar suara bressssssss, turun hujan yang
sangat lebat!
Perjalanan
kita hari ini dikarunai dengan mendung yang sangat bersahabat, bahkan hujan pun
menunggu sampai kita sampai rumah. Alhamdulillah.
LG 15.08
13-Januari-2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.