Cari Blog Ini

Minggu, 24 Januari 2021

Grandfondo perdana 2021

 


Sudah cukup lama aku mager banget untuk keluar sepedaan di pagi hari. Musim penghujan dengan hawa sejuknya membuatku enggan meninggalkan kenyamanan tempat tidur nan hangat, lol. Terakhir aku nge-grandfondo tanggal 29 November 2020, bulan Desember 'blank', lol. (Sempat berharap saat bersepeda Solo - Jogja, Ranz mau kuajak sedikit 'ngaya' menambah jarak 30 km, ternyata malah dia sakit saat event gowes virtual Gamago.) mungkin ya tanggal 29 November itu terakhir aku bangun pagi, sebelum pukul setengah 6 pagi saat weekend, lol.

 

(Curhat: selama pandemi di pagi hari aku nganggur total. Meskipun begitu, aku tetap harus bangun pagi untuk nyiapin sarapan dan bekal Angie ke kantor. :D)

 

17 Januari 2021

 

Pagi itu aku masih sedikit mager, lol. Jam 5.15 kulihat lewat ventilasi jendela, di luar masih nampak gelap. Jam setengah enam aku baru ke kamar mandi, pipis. Sempat maju mundur mau keluar sepedaan atau menyibukkan diri di dapur saja, akhirnya aku memutuskan ganti baju dan keluar sepedaan.

 

Menjelang pukul enam pagi, aku menuntun Snow White keluar, masih dengan mood "ngepit sakmadya wae, ora usah ngaya". Dari rumah aku menuju jalan raya, kemudian belok kiri ke arah Kalibanteng. Memutari Kalibanteng, aku belok ke arteri, Jl. Yos Sudarso. Bersepeda sepanjang jalan ini memberiku sensasi positif negatif, lol. Positif karena rasanya seperti bersepeda antar kota karena 'kawan seperjalanan' adalah truck. Negatif karena truck-truck itu membuatku was was andai sopirnya tidak melihatku, posisiku sangat lemah. :( Dan, Ranz sangat tidak suka bersepeda barengan truck-truck seperti itu, lol.

 




Sesampai Kaligawe, aku masih mikir mau belok ke Bangetayu. Toh, kalau hanya sekedar mengejar angka 100 kilometer, aku tetap bisa melakukannya dengan nyepeda dalam kota. (tahun 2019 aku melakukannya 2 kali kalau tidak salah, naik Larung.) namun kemudian aku berpikir, jika aku ingin mengejar grandfondo di saat lain dengan bersepeda ke luar kota, aku harus mampu mengusir rasa mager besok-besok lagi, lol. Berangkat dari pikiran itu, aku tidak jadi belok ke Bangetayu, lurus menuju alun-alun Demak.

 





Aku beneran tidak ngaya, mengayuh pedal Snow White nyantai saja. Ketika menjelang sampai alun-alun, mungkin kurang 5 kilometer, aku melihat penampakan seorang kawan pesepeda dari Demak, aku melambaikan tangan dengan hangat. Eh, ga nyangka om Rona mengenaliku meski aku menutupi wajah dengan buff, lol. Dia mengejarku dan mengajak foto bareng, rupanya dia sedang bersepeda dengan istrinya.

 

Sesampai alun-alun Demak, aku memotret Snow White dengan latar belakang tulisan SIMPANG ENAM DEMAK, kemudian memindah Snow White ke depan masjid Agung Demak yang legendaris itu. Lah, disana aku melihat Kikie Qiut, seorang kawan sepeda dari Semarang, yang rupanya sedang 'angon' cewe-cewe yang lagi nyidam makan swikee katanya, lol. Juga ada kang Duryanto yang katanya juga bersepeda sendirian ke arah alun-alun Demak.

 





Dengan harapan aku tidak kehilangan hasrat untuk mengejar grandfondo, aku menolak diajak gowes balik bareng ke Semarang. Setelah Kikie memotretku dengan Snow White di depan masjid, aku pamit. Aku sarapan di warung soto ayam Semarang langganan sejak Gowes Kartini tahun 2016 lalu.

 





Pulangnya, setelah menyusuri jalan raya yang menghubungkan Demak - Semarang beberapa kilometer, aku belok ke jalan yang menuju Karangawen. (Jalan yang kulewati bulan November lalu, tapi dari arah yang berlawanan.) Namun entah bagaimana kisahnya, lol, aku memilik belokan yang akhirnya malah membawaku masuk Kecamatan Tegowanu, Grobogan. Loh, kok malah ke Timur lagi? Lol. Yang membedakan adalah, aku pede-pede saja dengan jalan yang kupilih secara intuitif, sama sekali tidak ngecek google map. (Ini jika dibandingkan dengan saat nge-grandfondo bulan November 2020 maupun  saat satu kali aku nge-grandfondo di akhir tahun 2019 dengan naik Cleopatra. Waktu itu aku sedikit khawatir andai aku justru akan keblasuk ke negeri antah berantah, lol.) jika sampai terjadi trouble di sepeda, aku yakin akan bertemu dengan orang-orang baik yang akan membantuku.

 





Dan, setelah bersepeda di antara persawahan nan hijau meneduhkan pandangan puluhan kilometer, aku sampai juga di jalan yang menghubungkan Gubug - Semarang. Guess what? Aku sempat takjub dengan intuisiku, lol. Dari jalan kecil tempat aku 'keluar' aku melihat 'tugu' penanda pertigaan GUBUG, oh mai god, sebegitu dekat aku ke pertigaan Gubug? Akhirnya kukayuh pedal Snow White ke arah pertigaan, untuk memotret Snow White dengan background tulisan I LOVE GUBUG itu. Jarak yang telah kutempuh sampai situ adalah 61 kilometer. Kalau tidak salah, dari pertigaan Gubug ini sampai Puspanjolo sekitar 35 kilometer. Wah, lumayan, aku ga perlu mutar2 lagi untuk menggenapinya sampai angka 100! Yeay!

 

Matahari bersinar cukup terik dibandingkan hari-hari sebelumnya. Hawa panas dan suhu tinggi begini biasanya bakal dengan cepat menguras energi, aku harus slow mengatur emosi, lol. Aku mampir ke satu minimarket yang terletak di seberang jalan yang menuju stasiun Tanggung yang kukunjungi saat nge-grandfondo bulan Agustus 2020.

 

Kayuhan pedal Snow White mulai terasa berat setelah aku sampai Mranggen, setelah menyeberang rel kereta api yang biasanya menyebabkan kemacetan ratusan meter: angin berhembus ke arah Timur dengan kuat membuatku merasa bersepeda menantang angin. 18 kilometer terakhir yang terasa berat, mana sang mentari tetap ramah sekali menjamah kulit tubuhku, lol. (padahal ini belum apa-apa dibandingkan bulan Agustus tahun lalu, aku masih ingat, cuaca waktu itu panas sekali saat aku mampir ke WISATA TENGAH SAWAH maupun mengayuh pedal ke arah stasiun Tanggung.)

 

Sesampai perempatan Milo (Jl. Dr. Cipto), aku belok kiri sampai pasar Peterongan, kemudian belok menyusuri Jl. Sriwijaya - Jl. Veteran - RSUP Dr. Kariadi - Jl. Dr. Soetomo - Tugumuda - Jl. HOS Cokroaminoto - Barusari - Suyudono - BKB - Puspanjolo Selatan. Sampai rumah jarak tempuh di strava menunjukkan angka 100,4 km. Alhamdulillah, tujuan grandfondo tercapai!

 

Semoga diikuti dengan grandfondo-grandfondo berikutnya di tahun 2021 ini. Amiiiin.

 

PT56 14.27 18-Januari-2021

 

Jumat, 01 Januari 2021

Dolan Jogja akhir tahun 2020 - 2

Selasa 22 Desember 2020

 

Aku bangun sekitar pukul setengah enam pagi. Iseng2 keluar, melongok jalan di Gang Kinanthi itu. Mendadak aku pingin jalan-jalan, aku pun balik ke kamar, mengambil kacamata, tab untuk menyalakan strava, dan aku pun keluar. Aku berjalan ke arah Barat, hingga tiba di satu perempatan, aku belok kiri. Jalan beberapa ratus meter, aku sudah sampai di pinggir Selokan Mataram, jika belok kanan aku akan melewati jembatan baru Selokan Mataram. Loh, Gedung Lengkung dimana ya? Ternyata gedung Pasca Sarjana ini terletak di sebelah kiri dari jalan tempat aku keluar. Aku pun berjalan hingga Jalan Kaliurang. Ketika melihat ada seorang penjual gudeg di pinggir jalan, aku beli satu bungkus dengan lauk telur, harganya sepuluh ribu rupiah.





 

Setelah itu, aku menyeberang, masuk ke arah jalan Kenari (kalau tidak salah), kemudian jalan hingga ada jalan kecil belok kiri, aku lewat situ. Terlihat ada dapur RM Gudeg Yu Djum disitu. Ketika keluar di satu gang, ternyata aku sudah sampai di Gang Megatruh, samping Gang Mijil mantan kos lamaku dulu. Aku balik ke arah Jalan Kaliurang, kemudian balik ke arah Gang Kinanthi, kembali ke penginapan. Saat sarapan, Ranz masih molor, lol. Kutawari sarapan, dia ga mau, padahal masakannya lumayan enak lho.


 

Sekitar pukul sembilan kita meninggalkan penginapan. Setelah menemani Ranz sarapan di satu warung makan di pinggir Selokan Mataram, kita mampir di satu gerai JNE untuk mengirim sebagian barangku ke Semarang, kita kembali susur selokan lagi, ke arah Timur. Ranz benar-benar sudah nampak fit. Dia tidak mengeluh punggungnya atau pun heart rate yang tercatat di smart watch yang dia pakai.






 

Kita sampai di Candi Sambisari sekitar pukul setengah 11. cuaca cukup mendung. Kita melihat lumayan banyak pengunjung Candi, padahal biasanya sepiii. To my surprise, Ranz menawariku masuk ke area Candi. Yeayyy. Kali ini ada tulisan peringatan pengunjung dilarang naik/masuk ke candi. Terakhir aku dan para gadis pelor kesini tahun 2016 kita masih bisa masuk candi.

 


Selesai mengitari candi, kita keluar, mampir jajan di angkringan 'langganan' tiap kita mampir kesini. Sekitar pukul setengah 12 kita lanjut ke arah Timur. Sayangnya Candi Sari ditutup untuk umum. :(  padahal aku sudah berencana untuk meditasi di dalam. Dari Candi Sari kita mampir jajan es dawet Ngudi Rasa yang terkenal itu.


 

Saat melanjutkan perjalanan ke Hotel Galuh, mendadak cuaca terasa panas. Awan hitam telah pergi dibawa angin. Tanpa kesulitan kita mendapatkan satu kamar di Hotel Galuh. Harga kamar standard dipatok pada harga Rp. 375.000,00. ternyata, saat itu, kita lah 'satu-satunya' tamu yang menginap.





 

Kita pun check in dan istirahat. Aku bilang ke Ranz untuk ke Candi Plaosan sekitar pukul empat sore.

 


Kita keluar jam setengah 4, makan siang/sore di satu RM yang berjualan bakso di pinggir jalan raya, entah mengapa Ranz ngidam makan bakso kali ini. Setelah makan bakso, kita ke Candi Plaosan. To our disappointment, di jalan sebelah Timur candi ramai orang nongkrong, ada yang membawa kamera lengkap dengan lensa tele, tapi banyak juga orang-orang yang 'hanya' nongkrong2. sebelum pukul enam sore, kita sudah balik ke hotel. I had to prepare myself for my online class at 19 - 21.


 

Rabu 23 Desember 2020

 

Sebenarnya aku ingin masuk ke Candi Plaosan, tapi aku juga ingin memanfaatkan kolam renang hotel, lol. Maklum sudah sekitar 2/3 tahun aku tidak berenang. Pandemi ini membuatku kian tidak berani ke kolam renang umum. Usai berenang, aku juga harus cepat-cepat mempersiapkan diri kembali ke Solo karena aku sudah janji pada Angie untuk pulang ke Semarang malam itu. Plus, aku ingin mampir ke 'Café' NGGONE MBAHMU, milik seorang kawan sepedaan.

 

Sekitar pukul sembilan kita meninggalkan hotel Galuh setelah sarapan nasgor dari hotel. Mampir di satu gerai oleh-oleh yang terletak tak jauh dari situ, kemudian balik lagi ke hotel karena topinya Ranz ketinggalan, lol. Setelah itu baru kita melaju ke arah kota Klaten.

 




Beda dengan bulan Oktober lalu, kita kehujanan dari area Plaosan sampai Solo, kali ini kita disinari sang mentari dengan terik. Panas sekali. Saking lamanya tidak merasakan sinar matahari yang terik, aku sampai terasa seperti diingatkan, "Begini lho Na rasanya bersepeda jarak jauh dalam kondisi panas terik," lol.

 




Sebelum pukul 10.00 kita sudah sampai di NGGONE MBAHMU COFFEE ROASTERY. Owh, ternyata bukan 'hanya' café usaha Om Purnama dengan istri tecintanya Nte Irwanti, namun 'coffee roastery'. Untunglah Om Pur ada di 'kantornya' itu, ternyata beliau tidak bertempat tinggal disitu. Om Pur menyambut kita dengan hangat, kemudian mengajak ngobrol tentang kopi, roasting, memilih biji kopi yang bagus, dll, dll.

 

Setengah 12 kita meninggalkan NGGONE MBAHMU, melanjutkan perjalanan. Ranz menawari apakah kita akan makan siang di Klaten atau nanti saja sesampai Solo. Ya tentu saja aku memilih langsung makan siang. Kita mampir di satu RM dengan salah satu menunya 'sop ayam', kita juga mampir disini,  saat bersepeda Solo - Jogja bulan Oktober lalu. Cuma waktu itu kita mampir sarapan, kali ini mampir makan siang, dan kita memilih menu yang sama. :)

 

Usai makan siang, kita terus menggeber sepeda sampai Solo. Pantatku tidak mengeluh pegal meski tetap duduk di sadel baruku yang cantik namun ukurannya sempit untuk pantatku yang lebar, lol. Ranz pun tetap nampak baik-baik saja.

 

Pukul dua siang kita sampai Jongke. Pukul empat sore kita makan (lagi!) lol di warung makan adiknya Ranz. Sekitar pukul enam lebih, kita ke pool travel. Tepat pukul tujuh malam, travel yang kunaiki meninggalkan pool. Selain aku, ada seorang penumpang lagi yang baru datang 5 menit sebelum travel berangkat. Cuaca cerah. Sampai Semarang pun cuaca tetap cerah. Alhamdulillah.

 

Tahun 2021 kira-kira kita dolan kemana lagi ya? Kondisi pandemi covid 19 yang belum mereda nampaknya belum memungkinkan komunitas2 sepeda lipat untuk mengadakan agenda 'gowes ultah komunitas'. Ya, apa boleh buat. Semoga kita semua tetap sehat, kuat dan terus 'dimampukan' dalam segala hal. Semoga Indonesia mampu melewati pandemi ini dengan tegar dan berhasil. Amiiin.

 

PT 56 18.35 28 Desember 2020

  

Dolan Jogja akhir tahun 2020 - 1

 

Ini kisah lanjutan Gamago Virtual Ride 2020.

 

Hari Minggu 20 Desember 2020, kita berempat -- Angie, Fitri, Ranz, dan aku -- dolan berempat naik motor. Angie dan Fitri berangkat ke Jogja naik sepeda motor sendiri-sendiri. Semula Angie pingin ke Museum Ullen Sentalu (tahun 2017 dulu karena tidak ada moda transportasi, kita tidak bisa kesana, meski kita sempat menginap semalam di kawasan Kaliurang ini), namun karena tata tertib yang dicanangkan oleh pihak pengelola museum untuk pengunjung di masa pandemi ini dirasa Angie rada ribet, lol, mana Fitri bilang dia ga akan ikut masuk karena dia sudah pernah masuk, membuatku menawari Angie dolan ke tempat lain: Stonehenge ala Merapi. :D


 

Siang itu Angie dan Fitri meninggalkan penginapan sekitar pukul 14.00 untuk kembali ke Semarang. Aku memutuskan untuk menginap semalam lagi disini, dan Ranz setuju.





 

Setelah Angie dan Fitri pulang, aku dan Ranz berjalan kaki ke arah Tlogo Putri, aku akan mengajak Ranz trekking nanjak ke gardu pandang Pronojiwo. Tapi ternyata sesampai sana, destinasi wisata satu ini tutup karena kondisi Gunung Merapi dinyatakan dalam kondisi 'siaga'. Kita berdua akhirnya berjalan2 di kawasan situ, masuk ke hutan lindung yang terletak di 'belakang' Villa Fluoride.


 

Senin 21 Desember 2020

 


Kita nyantai pagi ini. Aku tidak punya agenda apa pun selain dalam perjalanan turun ke Jalan Kaliurang km 4,5 aku ingin mampir ke Café Brick. Aku menawari Ranz sarapan di RM tempat kita telah makan beberapa kali bareng Angie dan Fitri, dia tidak mau, lol.


 

Dalam perjalanan aku mencari tempat praktek drg. Dian, seorang kawan di grup Kagama Virtual, di Jakal km. 13. saat tidak ketemu di km 14 - 13, aku penasaran karena saat 'turun' bulan Oktober lalu dalam kondisi ngebut aku bisa melihatnya, kali ini aku pelan2 kok tidak ketemu. :( ternyata, o, ternyata tempat prakteknya di Jakal km. 12. lol. Semula aku hanya ingin memotret Austin di depan tempat prakteknya, namun kala melihat kios 'burger DINAR' aku ingat, dia juga punya bisnis jualan burger. Aku pun menawari Ranz untuk beli burger. Saat menunggu burger dibuat ini Ranz bilang dia melihat petunjuk ke 'Blue Lagoon', satu destinasi wisata yang aku belum tahu. Ketika melihat foto-fotonya di instagram, aku pun mau diajak kesana. :D toh kita tidak ada agenda apa-apa.


 

Setelah burger jadi, kita makan satu, yang satunya lagi kita bawa menuju 'Blue Lagoon'. Untuk ke arah sini, kita harus balik nanjak sedikit, dari km. 12 ke km. 14, kemudian belok kanan, ke arah Timur. Dari sana, mungkin kita mengayuh pedal sejauh 3,5 kilometer. Tempatnya rada nylempit, tapi masih bisa ditemukan dengan mudah.

 


Usai foto-foto dan menikmati satu burger lagi, kita melanjutkan perjalanan. Kita harus kembali ke arah jalan utama, Jalan Kaliurang. Kita jadi mampir ke Café Brick, untuk ngopi (aku) dan nyoklat (Ranz) sekalian makan siang. Suasana Café Brick cukup ramai meski kita masih bisa menjaga jarak dengan aman dari pengunjung-pengunjung lain. Interior maupun eksterior café satu ini cukup menarik banyak orang mampir untuk foto-foto.

 


Setelah selesai makan dan foto-foto, kita melanjutkan perjalanan. Ranz telah booking satu kamar hotel RedD**** di Gang Kinanthi, gang yang terletak di seberang mantan kosku saat menyelesaikan tesis di tahun 2005. betapa aku kecewa ketika tahu bahwa hotel ini tidak memiliki tempat parkir yang memadai. Hiks. Kita 'hanya' diminta untuk memarkir sepeda di luar hotel, yang notabene juga merupakan jalan umum orang lewat gang itu. Hikkksss. Sebenarnya aku bilang ke Ranz tidak usah buking, nanti kita cari hotel saja on the spot. (Hotel tempat kita menginap di bulan Oktober lalu sudah fully-booked.) berburu hotel kan nikmat juga. Tapi Ranz yang masih kelelahan dari pekerjaannya, lelah tubuh dan mental sih dia itu, bersikeras tidak mau kuajak berburu hotel. Akhirnya ya itu, buking online, dan setelah lihat tidak ada tempat parkir yang layak, aku khawatir setengah mati. :(


 

Sore itu aku mengajak Ranz ke supermarket Manna Kampus lagi, nyari daster untuk oleh-oleh adik ragilku. Tapi aku ga mendapatkan daster dengan harga di bawah limapuluh ribu rupiah. Aku ogah kalau harus ke Malioboro yang saat weekend panjang bulan Oktober sebelumnya penuh sesak pengunjung dan menyebabkan jumlah penderita covid 19 di Jogja melonjak.


 

Dari Manna Kampus aku mengantar Ranz ke satu distro yang jualan kaos/jersey/outfit untuk olahraga yang terletak di perbatasan kampus UGM dan UNY. Ranz membeli 2 jersey disini. (Dia sedang rajin fitness 3 bulan terakhir ini.) Dari sana, aku mengajak Ranz memutar ke Jalan Gejayan. Saat lewat sini 2 hari sebelumnya, aku lihat ada satu toko jualan baju yang memajang daster di depan toko. Tapi, ternyata daster-daster itu ukurannya kecil2, mungkin hanya untuk remaja. Dengan patah hati, aku mengajak Ranz ke arah Jakal, lewat pinggir Selokan Mataram. Ranz mengajak makan malam di Café Maraville, tempat kita pernah ngopi di bulan Oktober lalu.

 





Sebelum sampai café Maraville, aku lihat ada satu fashion store di Jakal km 5 itu, seingatku dulu 'lapak' ini adalah persewaan VCD/DVD saat aku mengerjakan tesis di tahun 2005. aku mengajak Ranz belok kesini dulu. Dan …. Voila! I got what I wanted to buy! Daster cantik warna-warni dengan harga bersahabat! Tak jauh dari harga daster2 yang biasa dijual di Malioboro. Alhamdulillah!


 

Dari sana, kita makan malam di café Maraville. Ketika di Café Brick aku pesan spaghetti bolognese, kali ini aku lupa pesan apa ya, lol. Usai makan, kita balik ke penginapan. Kali ini, aku berhasil memprovokasi Ranz untuk mengamankan sepeda dengan membawanya naik ke lantai 2. iya, kamar kita terletak di lantai 2, dimana tangganya terletak di luar hotel, di pinggir jalan gitu deh. Tapi, tentu aku merasa lebih aman karena sepeda ada di DALAM hotel, tidak di LUAR hotel. Oh ya, harga sewa kamarnya murah meriah ya, di saat 'peak season' seperti ini, hanya Rp. 150.000,00.


 

Dengan lega aku bisa tidur dengan nyenyak, lol.

 


kisah lanjutannya ada disini yaaa. 

Gamago Virtual Ride 2020




Semula, menjelang bulan Desember 2020 aku tergoda ikut event menantang yang diselenggarakan oleh satu komunitas sepeda yang ber-homebased di Jakarta. Karena diselenggarakan secara virtual, peserta tidak perlu berangkat ke Jakarta. Event ini menggeber angka 1000 kilometer, jarak sepedaan yang dicapai selama satu bulan. Namun, setelah tahu bahwa jarak 1000 kilometer ini dicanangkan untuk kelompok, satu kelompok berisi 5 peserta, dimana masing-masing peserta minimal bersepeda (hanya) sejauh 150 kilometer selama satu bulan, minatku langsung kandas. Lol. Yaaah … sepedaan sendiri saja lah kalau begitu, lol.

 


Kalau tidak salah sekitar awal bulan November ada event 'menggoda' lain, yakni Virtual Ride yang diselenggarakan oleh komunitas Gadjahmada Gowes, dalam rangka merayakan ulang tahun Universitas Gadjah mada yang ke-71. aku belum pernah ikut event bersepeda yang diselenggarakan oleh Gamago dalam rangka merayakan ulang tahun kampus almamaterku, dan kali ini, begitu saja aku tergoda ikut. Biar aku ada alasan untuk dolan luar kota sih, lol. Well, meski hanya virtual alias bisa dilaksanakan dari jarak jauh, aku tetap ingin dolan, minimal ke Solo, dan bersepeda sejauh 71 kilometer bareng Ranz.


 

Ranz tidak hanya mengiyakan ajakanku ikut event 'Gamago Virtual Ride 2020 ini', dia juga mengusulkan untuk bersepeda Solo - Jogja untuk mencapai angka 71. well, meski sama dengan event yang mematok angka 1000 kilometer, sebenarnya jarak 71 kilometer ini boleh dicapai dalam waktu satu minggu, mulai tanggal 12 Desember sampai tanggal 19 Desember, pas tanggal kelahiran UGM, tidak wajib dicapai dalam sekali bersepeda.

 


Hari Jumat 18 Desember 2020 aku berangkat ke Solo dengan naik travel. FYI, sejak awal bulan, hujan sering mengguyur, tidak hanya kota Semarang namun juga Solo dan Jogja. Waktu berangkat ke pool travel, cuaca Semarang cerah cenderung panas. Travel yang kunaiki berangkat pukul 10.00 dan aku adalah satu-satunya penumpang! Wow. Dalam perjalanan sempat turun gerimis. Waktu travel keluar dari jalan tol di area Colomadu, gerimis sudah berhenti. Namun memasuki kawasan Kartasura, gerimis turun lagi, bahkan menderas. Karena fly over di kawasan Purwosari saat itu belum jadi, travel masih memutar ke arah Stadion Manahan. Setelah melewati fly over tak jauh dari kawasan Manahan, masuk ke Jalan Kota Barat, gerimis masih lumayan terlihat. Namun setelah kita sampai di pool, gerimis tinggal rintik-rintik. Aku tidak merasa perlu mengenakan mantel dalam perjalanan menuju rumah Ranz di kawasan Jongke, Laweyan.


 

Sabtu 19 Desember 2020


 

Satu hal penting yang harus kucatat disini adalah kondisi kesehatan Ranz yang kurang prima. Kesibukannya duduk di depan laptop/komputer selama berbulan-bulan, dan intensitasnya kian naik dalam 2 minggu terakhir menjelang tanggal 19 Desember membuat punggung Ranz yang memang sempat bermasalah (di bagian tulang belakang terutama) terasa sangat mengganggunya. Dia sudah sempat ke terapis langganan, dipijat kemudian dipasangi 'tape' di sepanjang punggung hingga tulang panggul, namun sebenarnya Ranz belum boleh melakukan gerakan fisik berat. (hwah, jadi ingat tahun 2017, waktu itu dengkul Ranz yang bermasalah sebelum kita berangkat ke Sidoarjo, kemudian lanjut ke Probolinggo dan Cemara Lawang.)

 


Sekitar pukul 07.00 kita meninggalkan Jongke. Kali ini Ranz memilih naik Astro, sepeda lipat polygon urbano 3.0 yang dia beli tahun 2017, aku tetap naik Austin. Di awal perjalanan, Ranz nampak sangat prima, dibandingkan saat kita gowes ke Jogja di bulan Oktober lalu dia naik Petir, seli wimcycle bazooka 14 inchi single gear. Saa itu dia mengayuh pedal Petri slowly but surely. Ban belakang Austin yang ternyata rada gembos membuatku terseok-seok mengejar Ranz, hingga aku sadar, ban Austin butuh angin. Setelah dipompa, aku bisa mengimbangi Ranz yang nampak perkasa.


 

Aku sempat mengajak mampir di satu minimarket karena aku butuh ke toilet. Sayangnya, ternyata air di toilet itu tidak mengalir. Aku kudu menahan pipi* lebih lama. Itu sebab ketika Ranz menawarkan mampir sarapan di satu rumah makan, aku setuju. Aku memilih menu sop ayam. Ternyata kita baru bertemu rumah makan dengan menu yang kuinginkan setelah kita bersepeda sejauh 5 kilometer, lol.  Untunglah aku tidak ngompol di tengah jalan, lol.


 

Usai sarapan, bukannya Ranz kian prima, malah kondisinya drop. Kayuhannya jauh lebih parah, bahkan jika dibandingkan ketika naik Petir. Berulang kali dia ngecek smart watch di tangannya untuk ngecek 'heart rate'nya yang tinggi :( dia mengayuh pedal Astro pelan, namun jantungnya tetap berdetak kencang, dengan heart rate tinggi, sampai angka 180. Kita hanya bisa bersepeda satu kilometer, kemudian berhenti agar Ranz bisa menata detak jantungnya, terutama jika jalan sedikit miring ke atas.


 

Bayangkan kapan kita akan nyampai Jogja jika kita harus berhenti setelah kita mengayuh pedal sejauh 1 kilometer. :( Hingga ketika kita sampai di perbatasan masuk kota Klaten, Ranz memohon untuk naik grab saja. :( aku patah hati. :( tapi kondisi Ranz yang buruk membuatku tak tahu harus bagaimana. Aku bahkan menawarinya untuk kembali ke Solo saja, karena dia bilang butuh ke terapisnya.


 

Saat kutawari naik taksi online balik ke Solo, Ranz menawar, agar kita naik grab ke Jogja sesampai alun-alun Klaten. I was broken-hearted. Aku sudah membayangkan akan mencapai jarak 71 kilometer di strava, untuk kemudian kupamerkan di medsos, aku bersepeda sejauh 71 kilometer, sesuai umur kampus almamaterku tercinta. Maka aku tawar, aku membiarkan dia naik grab sendiri ke Jogja, sementara aku terus mengayuh pedal Austin sendiri. You can guess, mana Ranz mau ninggalin aku sendiri bersepeda antar propinsi, dengan kondisi jalan yang penuh bus dan kendaraan2 bermesin berbadan besar lain. Dia sempat ngambeg saat tahu aku tetap keukeuh pingin lanjut bersepeda, lol. Sampai aku ingat, biasanya kalau dia ku'lulu' (bahasa Indonesia-nya apa ya? Lol), dia malah justru akan mau mengikuti apa yang kuingini, lol. Maka aku bilang ke dia, "Oke … kita naik grab sesampai pusat kota Klaten."

 





Ketika melewati alun-alun Klaten, aku berseru ke dia yang berada di depanku, "Ranz, aku berhenti sebentar untuk motret Austin." saat itu ada banyak orang yang mengenakan toga, entah universitas mana sedang mengadakan wisuda. Meski ternyata Ranz tidak mendengar seruanku, aku tetap berhenti untuk memotret Austin. Ga pakai lama sih, aku terus melanjutkan perjalanan, mengejar Ranz. Tidak kusangka ternyata Ranz sudah lumayan jauh di depanku, mungkin sudah sekitar 2 kilometer dia meninggalkanku. Saat aku sampai di lokasinya berhenti menungguku menyusul, dia nampak heran, kujelaskan aku memotret Austin di alun-alun. Kemudian aku bertanya, "Ini sudah sampai pusat kota Klaten. Kita mau naik grab dari mana?" eh, ternyata dia menjawab, "Mood bersepedaku sudah kembali bagus. Asal tidak ada tanjakan lagi, aku rasanya bisa bersepeda sampai Jogja.


 

OH YESSSSSSSS. Lol.

 

Setelah memastikan kondisi tubuhnya sudah tidak payah dan heart rate-nya tidak membahayakan untuknya, kita melanjutkan perjalanan. Sampai masuk Jogja. Alhamdulillah.

 





Dari Jalan Solo, kita belok kanan ke arah Jalan Gejayan. Ranz butuh mampir ke satu toko jualan accessories hp. Dari sana, kita memutar ke arah Jalan Kolombo, lewat jalan dalam UNY. Sesampai bunderan UGM, aku mengajak Ranz masuk Boulevard (begitu seingatku kita menyebut jalan masuk menuju gedung GSP). Kita menuju Balairung dimana panitia Gamago memasang baliho / hall of fame untuk event Gamago Virtual Ride 2020 ini.


 

Dari UGM, aku mengajak Ranz mampir ke supermarket legendaris yang berencana ganti nama menjadi Manna Kampus. Bulan Oktober lalu aku beli celana 3/4 untukku dan Angie disini, ternyata adikku juga pingin dibelikan, maka aku kesini lagi untuk beli. Setelah itu kita menuju area Selokan Mataram untuk makan siang. Kali ini kita tidak memilih menu gudeg, namun masuk ke RM Padang. Sudah lamaaa juga aku tidak makan nasi Padang.


 

Keluar dari RM Padang ini, jarak tempuh di strava menunjukkan angka 69 kilometer. Aku pun mengajak Ranz untuk lanjut mengayuh pedal sepeda kita sampai perempatan Kenthungan, Jakal km. 6. setelah mencapai angka 71,70 kilometer, kita berhenti, melipat sepeda, kemudian lanjut naik grab menuju Jalan Kaliurang km. 26, alias Tlogo Putri. Kita sudah janjian dengan Angie -- anakku -- dan Fitri, seorang karibnya untuk menginap di kawasan yang lumayan tinggi ini.


 

Alhamdulillaaaah. Kita telah 'memenuhi' jarak yang diminta oleh panitia Gamago Virtual Ride 2020, dan kita berdua pun bertemu dengan Angie dan Fitri yang telah mendapatkan penginapan untuk kita menginap, Hotel Srikandi, yang terletak mungkin hanya sekitar 200 meter dari patung Elang Jawa. Harga sewa kamar Rp. 200.000,00 per kamar dengan fasilitas kamar mandi dalam dengan air panas, tanpa sarapan. Namun kita mendapat minuman panas, boleh memilih teh atau kopi hitam.


 

To be continued.

 

28 Desember 2020