BROMO : WE ARE COMING!
Rabu 27 Desember 2017 ~ Day 3
Hujan deras semalam sempat membuatku ragu-ragu, pagi ini sang
mentari bakal terlihat jelas ga ya? Atau langit bakal disaput mendung kelabu?
Que sera sera aja deh.
Pukul setengah tiga dini hari aku sudah melek. Aku melongok
keluar, sesekali kulihat jeep lewat. Waaah ... para pemburu sunrise Bromo sudah
mulai menuju lautan pasir Taman Nasional Bromo Tengger
Semeru!
Menjelang pukul tiga aku dan Ranz sudah siap ikutan memburu
sunrise. (Tumben Ranz ga sulit diajakin berburu sunrise. Hihihi ... waktu kita
di Bali dan Gili Trawangan, aku harus menyeretnya keluar, dan sambil mata merem
mengayuh pedal sepeda menuju pantai. LOL.)
Mendekati gapura masuk Taman nasional Bromo Tengger Semeru,
puluhan jeep antri. Dengan lincah kita menyelip-nyelip di antara mereka.
Setelah membeli tiket di dekat gapura, kita menapaki jalan
menurun, menuju lautan pasir. ‘Rute’ menuju kawasan gunung Bromo dan gunung
Batok dan dilanjut menuju Pananjakan penuh dengan jeep dan motor. Para
pengunjung yang gagah berani naik motor sendiri-sendiri, sebagian yang lain
naik ‘ojek motor’ (mungkin ingin lebih merasakan petualangan ketimbang naik
jeep).
Meski baru pertama kali kesitu, dan dalam keadaan gelap
gulita, kita tidak akan tersesat karena pada jam-jam menjelang Subuh, rute itu
penuh dengan pengunjung. Mataku belor, tapi mata Ranz justru sangat awas di
kegelapan seperti itu.
Hujan deras semalam menyebabkan kubangan berisi air di
beberapa spot. Namun, di bagian lain, lautan pasir itu justru lebih
‘bersahabat’ dilewati, terutama oleh motor maupun sepeda onthel karena pasirnya
padat! There is always blessing in disguise! LOL.
Melewati lautan pasir, kemudian menuju Pananjakan, duh ...
namanya juga P-A-N-A-N-J-A-K-A-N; tanjakan mulu daaah. Karena trek yang tidak
lebar itu penuh jeep, aku dan Ranz dengan khusyu’ dan rela hati menuntun Austin
dan Astro. LOL.
kabutnya super tebal :D |
Entah seberapa jauh kita menapaki trek menuju Pananjakan itu,
sampai kita tiba di satu titik macet. Whe lhaaaa ... macet tidak hanya di kota
besar toh? L Mobil jeep berderet-deret
berhenti. Sebagian penumpang turun dan memilih melanjutkan perjalanan dengan
berjalan kaki. Padahal jika kita melihat ke atas, ujung Pananjakan masih cukup
jauh. Mata belorku tentu tidak bisa melihat, tapi aku bisa melihat kerlap
kerlip lampu dari jeep yang berjalan menapaki tanjakan!
Ranz akhirnya mengajakku berhenti di satu titik ketika dia
melihat kita akan menapati turunan, sebelum kemudian menanjak lagi. “I am exhausted enough! Ogah kalo setelah ini kita harus turun,
untuk kemudian nanjak lagi!” katanya. Aku setuju saja. Sudah lelah. LOL.
Aku melihat di daerah sekitar kita ada banyak orang yang nampaknya
juga sudah ‘menyerah’ untuk melanjutkan perjalanan. Sebagian sudah mulai
memasang tripod, berharap bisa menjaring sunrise. Waktu menunjukkan pukul
04.40. hmmm ... sebentar lagi matahari terbit nih.
Suasana benar-benar ramai di sekitar situ. Banyak juga ojek
orang lokal yang terus menerus menawari ojek buat mereka yang mungkin masih
ingin lanjut ke puncak Pananjakan. Yang paling menarik adalah tawaran, “Ojek toilet,
yak, ojek toilet. Mari yang kebelet, cukup duapuluh ribu rupiah saja!”
wow ... kekekekeke ... Selain para ojekers, ada juga yang menawari minuman,
kopi, teh, dll. Wah ... pastinya asyik ya minum kopi di gunung? Tapi, entah
mengapa, aku tidak membeli.
Sementara menunggu saat sang mentari muncul, berharap-harap
cemas pagi itu, kawasan Bromo akan cerah, ternyata yang datang menyapa adalah
... KABUT! Yes, kabut dataaaang! Awalnya sih cantik, lama-lama kian menebal,
(tambah cantik dong yak? Hihihi ...) Dan ... kabut yang tebal itu pun kemudian
meneteskan air sedikit demi sedikit. Hwaaaaaaaa ... LOL. Our lucky morning! J
Kondisi gelap di langit dan kabut di sekitar kita terus
menerus hingga kulihat waktu menunjukkan pukul setengah enam! Ok, fixed, saat
sang mentari muncul telah berlalu. LOL. Ranz pun mulai mengajak turun.
Baru beberapa meter turun, kita bertemu dengan penjual
gorengan. Kebetulan yang sudah tersedia di lapak adalah pisang goreng! Waaahhh
... lumayan nih! Kita pun berhenti, dan ngemil pisang goreng. “Sepuluh ribu
tiga!” kata si penjual kepada seorang calon pembeli. WHATTT? Baiklah, gapapa.
Ini di gunung, dalam kondisi berkabut dan menjelang hujan. Sudah untung kita
bisa menemukan penjual pisang goreng. Harga sepuluh ribu untuk tiga biji pisang
goreng pun terdengar masuk akal. LOL.
Setelah ngemil tiga biji pisang goreng (aku makan dua, Ranz
satu), kita melanjutkan menuruni trek yang ada. Berhubung turunan yang ada
sangat curam, dan basah, ditambah lagi, jeep-jeep yang antri turun, kita
memilih menuntun sepeda dengan tabah. LOL.
Sesampai lautan pasir, langsung terlihat Gunung Batok yang
berdiri anggun. Waaaah ... aku langsung memotret Austin dengan latar belakang
Gunung Batok. Aku dan Ranz pun mampir ke satu warung yang ada. Aku beli
secangkir kopi hitam, Ranz beli secangkir milo. Selain itu, kita juga pesan
satu porsi mie instan goreng untuk berdua. (Duh, sejak kemarin kita
mengkonsumsi makanan yang tidak sehat mulu. L)
Di daerah itu, ada beberapa tenda dengan warung-warung orang
lokal yang mengais rezeki dari para pengunjung. Si Ibu yang kita samperin
cerita dia berangkat kesitu setelah hujan lebat berhenti semalam sebelumnya
sekitar pukul sepuluh malam. Di tiap tenda yang ada, kulihat ada perapian yang
dibuat untuk menghangatkan badan.
Usai menghabiskan minuman dan mie instan yang kita pesan, kita
kembali mengayuh pedal. Lautan pasir yang pasirnya memadat sungguh menyenangkan
buat kita lewati; meskipun kadang aku tetap hampir terpeleset. LOL. Setelah
melewati Gunung Batok, kita pun melihat penampakan Gunung Bromo. Berderet-deret
jeep terparkir di samping patok-patok kayu yang dipasang. Mungkin itu semacam
garis yang boleh dilewati jeep. Untuk menuju (kawah) Gunung Bromo, pengunjung
boleh naik motor, naik sepeda, naik kuda, atau jalan kaki.
Untuk kali pertama aku baru ‘ngeh’ keberadaan pura yang
terletak di antara Gunung Batok dan Gunung Bromo itu. (pertama tahu dari
beberapa travel agent yang menawarkan paket tour ke Bromo yang menyebut pura
sebagai salah satu destinasi.) Kita terus menaiki sepeda dari patok pembatas
menuju Gunung Bromo. Aku mengajak Ranz berhenti di depan gapura pura. Ranz
menunggu di luar, aku masuk ke kawasan dalam pura. Aku masuk sampai di bagian
dalam, dimana ada altar sesajian dan beberapa orang yang mengenakan busana ala
orang Bali yang kutengarai mereka sedang melakukan sembahyangan. Aku sempat
memotret sampai tiba-tiba aku ditegur seseorang dengan nada suara yang kurang
enak didengar. “Siapa yang memberi izin Ibu untuk masuk kesini dan memotret?”
Duh ... ternyata ga boleh toh? Hihihi ... Setelah minta maaf, aku langsung
ngacir keluar. Aku ga bawa kamera sih, Cuma memotret menggunakan tab yang
kubawa.
Di luar, Ranz menungguku dengan sabar. Setelah aku bercerita
apa yang terjadi di dalam, dia langsung mencela, “Kamu itu loh ... mbok
lihat-lihat suasana dulu!” kekekekeke ...
Kemudian kita kembali mengayuh pedal sepeda, mendekat ke arah
kawah Bromo.
Melihat tangga menuju kawah Bromo yang cukup tinggi dan ramai
pengunjung, Ranz sedikit ragu-ragu. Hmmm ... sering di saat kita mbolang, Ranz
ragu-ragu menuruti keinginanku mengunjungi satu lokasi dimana kita harus naik
tangga yang tinggi. Contoh : waktu kita lewat Lasem tahun 2012 dulu dan aku
ingin ke Pasujudan Sunan Bonang. Saat itu, aku harus cukup puas dengan berfoto
di bawah tangga, di depan gapura selamat datang. Waktu kita ke Situs Ratu Baka
pertama kali di event Joglo Attack, dia awalnya juga keberatan kuajak masuk,
meski akhirnya kita tetap masuk waktu itu.
Meski ragu, Ranz tetap menuruti keinginanku. Sebelum mendekat
ke arah kawah Gunung Bromo, kita ditawari seorang tukang ojek untuk memarkir
sepeda di satu warung yang ada di daerah itu. Kita pelan-pelan berjalan ke arah
kawah, di tengah-tengah pengunjung lain yang banyak juga yang naik kuda. Ternyata
Ranz tetap ga yakin apakah dia akan terus mendaki gunung untuk melihat kawah Gunung
Bromo. Karena aku sudah pernah kesana dua kali, dan aku khawatir Ranz bakal
kelelahan, aku mengalah; membiarkan Ranz mengambil keputusan untuk lanjut atau
balik.
Setelah berjalan kurang lebih 15 menit, Ranz akhirnya
mengajakku kembali. Ini dengan catatan dia akan mengajakku kembali ke Bromo di
kesempatan lain. J ok,
deal. J
Kita balik ke warung tempat kita menitipkan Austin dan Astro. Kita
sempat duduk-duduk di situ sembari menikmati gorengan. Si penjaga warung yang
ternyata keturunan suku Tengger bercerita tentang bahwa tidaklah benar jika ada
yang mengatakan orang-orang suku Tengger adalah keturunan orang-orang Hindu
Majapahit yang melarikan diri dari kerajaan setelah Majapahit dikalahkan oleh
kerajaan Demak. Suku Tengger sudah ada sebelum Majapahit runtuh. Dia juga
bercerita tentang beberapa presiden yang pernah berkunjung ke Bromo dengan
gayanya masing-masing. J Ternyata
salah satu (eks) presiden ada yang pernah memaksa para orang-orang lokal untuk
berhenti berjualan di kawasan lautan pasir situ agar hanya ada turis di daerah
itu. Hmmm ... bukankah para pengunjung dan orang-orang lokal itu merupakan
partner yang baik ya? Para pengunjung butuh beli makanan dan minuman,
orang-orang lokal butuh mencari penghasilan.
15 menit kemudian kita melanjutkan perjalanan, kembali
mengayuh pedal sepeda melewati lautan pasir lagi. Banyak mobil jeep dalam
perjalanan kembali ke arah Cemara Lawang / Sukapura, kita tinggal ngikut trek
yang tertinggal. Ranz mengajakku ke satu spot yang pernah menjadi kontroversial
karena dianggap merusak pemandangan lautan pasir yang ada, namun toh tetap
menjadi rebutan untuk berfoto. J Dari
sana, Ranz langsung mengajakku kembali ke Cemara Lawang, tidak mencoba mencari
trek menuju Bukit Teletubbies maupun Pasir Berbisik.
Menjelang Cemara Lawang, kita harus menapaki tanjakan yang
cukup melelahkan, jika tubuh telah ‘lungkrah’ dikarenakan gowes Sidoarjo ke
Probolinggo kemudian lanjut Probolinggo menuju Cemara Lawang, dan dini hari
keesokan harinya masih lanjut menuju Pananjakan. Hanya di awal tanjakan kita
sempat mengayuh pedal, ketika kita sudah kelelahan, berhenti untuk
beristirahat, selanjutnya kita memilih menuntun sepeda kita saja. Saat ini Ranz
mulai mengeluh dengkulnya sangat sakit. Berjalan kaki sambil menuntun sepeda
lebih sakit untuk dengkulnya, namun mau gowes tenaga sudah habis. Aku pun
mengambil inisiatif menuntun Austin dan Astro gantian, agar Ranz hanya ‘terbebani’
tubuhnya sendiri berjalan tertatih menapaki tanjakan.
Untunglah tanjakan itu tidak panjang, mungkin hanya sekitar 1
kilometer. Selama menuntun, kemudian berhenti untuk menata nafas, kita bisa
memandang hamparan lautan pasir di bawah dengan Gunung Batok dan Gunung Bromo
dari kejauhan.
Setelah sampai Cemara Lawang, kita langsung kembali ke
penginapan, setelah membeli tolak angin di satu mini market yang ada di
pertigaan. Ini sekitar pukul 11.00. Di homestay, oleh si pemilik penginapan,
kita langsung disodori sarapan berupa nasi goreng dan telur ceplok. Kebetulan waktu
datang itu ada sepasang turis yang akan menyewa jeep untuk ke Kawah Bromo,
Pasir Berbisik, dll; karena mereka hanya berdua, yang menyewakan jeep menawari
apakah kita akan bergabung, share biaya. Aku tergoda, namun Ranz yang telah
merasa tubuhnya tidak sehat menolak dengan halus.
Setelah sarapan di ruang tamu, minum tolak angin, Ranz
langsung masuk kamar dan meringkuk di bawah selimut. Suhu tubuhnya meningkat. L Dia tidak hanya butuh dipijat di bagian punggung
dan kaki, namun juga harus dikerokin. L L Aku kerokin punggungnya menggunakan counterpain. Pahanya
juga kubalurin counterpain. Setelah itu dia tidur.
Sekitar pukul setengah tiga sore, suhu tubuh Ranz semakin
meninggi. L Ini gawat. L kutawari kucarikan paracetamol di minimarket yang
ada. Ranz pesan jika tidak ada paracetamol, dia minta kubelikan panadol karena
di dalamnya ada paracetamol-nya.
Cemara Lawang cukup sepi di sekitar jam tiga sore itu. Kawasan
ini justru rame saat dini hari, di jam orang-orang berburu sunrise
mempersiapkan diri menuju Pananjakan / kawah Bromo. Aku lesu. Memang kita ga
perlu buru-buru meninggalkan Cemara Lawang, bisa menunggu sampai kondisi Ranz membaik,
toh kita pesan tiket kereta kembali ke Solo tanggal 31 Desember 2017.
Setelah kembali ke penginapan, kuminta Ranz langsung meminum
panadol yang kubelikan. Sesudah minum panadol, kubiarkan Ranz tidur lagi.
Ranz bangun sekitar pukul enam sore; good news karena dia
merasa tubuhnya membaik. Syukurlah. Bahkan dia mengajakku keluar mencari makan.
Di malam kedua kita di Cemara Lawang ini kita (akhirnya) jadi beli sate ayam. Jika
sehari sebelumnya kita melihat antrian pembeli yang cukup panjang, sore itu
tidak ada yang antri. Waktu menunggu pesanan kita siap, kita melihat satu
keluarga bule, ayah ibu dan satu anak laki-laki mendekat, bertanya si penjual
jualan apa. Demi merayu si keluarga bule ini mau beli, si penjual menawari si
anak untuk mencicipi satu tusuk satenya. J rasanya
lumayan enak sih. Seperti biasa, kita beli satu porsi yang berisi 10 tusuk sate
dan lontong untuk berdua. Harganya masuk akal sih, Rp. 20.000,00.
Usai makan sate, kita berjalan kaki kembali ke penginapan. Waktu
melewati SEDULUR homestay (semula Ranz mau booking kamar di homestay ini, tapi
ternyata fully-booked), Ranz melihat ada yang jualan bakso, Ranz ternyata ingin
bakso, maka kita pun mampir. Aku langsung pesan satu porsi bakso ke si penjual,
tanpa ngeh
bahwa ternyata saat itu ada dua tukang jual bakso, tanpa kutahu Ranz telah
pesan pada si penjual yang satunya. LOL. Akhirnya yang kupesan aku makan
disitu, pesanan Ranz dibungkus, dibawa balik ke penginapan. LOL.
Aku bersyukur Ranz telah kembali doyan makan, ini pertanda
bagus. J
Malam itu, seperti biasa sebelum keesokan hari melanjutkan
perjalanan, kita packing. Well, Ranz yang packing, aku membantu (sedikit). LOL.
To be continued.
Yuuuk lagi yuk
BalasHapussiaaap
Hapus