BROMO : WE ARE COMING!
Aku sudah lupa mulai
kapan aku sangat ingin berkunjung ke Bromo lagi, jika memungkinkan tentu saja
dengan bersepeda. Tahun lalu seorang kawan sepeda menawari ikut satu event yang
dia rencanakan, aku sangat excited waktu itu, kita diajak blusukan di daerah
Jawa Timur dimana salah satunya adalah bersepeda di kawasan Taman Nasional
Bromo Tengger Semeru; tapi Ranz ogah-ogahan. Akhirnya sih rencana
itu kabur terbawa angin alias tidak jelas mengapa tidak jadi diselenggerakan.
(Kita malah bersepeda ke arah Jawa Barat, yakni Semarang – Cirebon bersama 3
gadis pelor lain, Dwi, Avitt, dan Hesti. Tami mbolos karena dia sedang
mempersiapkan ujian akhir skripsi.)
Menjelang akhir
tahun ini, out of the blue alias ujug-ujug Ranz bikin itinerary gowes ke Bromo.
Ranz menawarkannya padaku saat Semarang diguyur hujan tiap hari. Hmmm ...
betapa tidak seksinya dolan ke Bromo – mendapatkan foto sunrise yang
spektakuler adalah salah satu alasan utama orang kesana – di saat musim hujan
begini. Hhh ... gimana bisa mendapatkan foto sunrise kalo hujan mulu, coba? Aku
memang sangat ingin bersepeda ke Bromo ... tapi tentu saja ga di tengah-tengah
musim hujan lah yaaa.
Namun ternyata Ranz
serius je. LOL. Meski dia sempat menanyaiku jika tidak ke Bromo, kita mau dolan
kemana. Aku sudah menjabarkan sekitar 3 kemungkinan dolan lain. Dan ...
ternyata Ranz bergeming!
“Kalau tidak bulan
Desember ini, berarti kita mundur sampai libur semester genap nanti!” katanya,
setengah putus asa. LOL.
Well ... mengingat
aku juga sebenarnya sudah lama ingin ke Bromo (lagi), apalagi dengan naik
sepeda, akhirnya aku ‘mengalah’. LOL. Meski sedikit mengkhawatirkan kondisi
dengkul Ranz yang sebenarnya sedang harus terus menerus diterapi karena sesuatu
hal, karena terapisnya sendiri melarangnya bersepeda di
luar batas kemampuan dengkulnya. Meski sedang musim hujan (ada
sisi positifnya sih mbolang di musim hujan, ga kepanasan! LOL.) meski
akhir-akhir ini aku malas ‘latihan’ nanjak. Dan meski-meski yang lain. LOL.
23 – 24 Desember
2017
Sehari setelah kita
menyelenggarakan ‘segowangi’ ke-47, aku dan Ranz menuju Solo dengan mengendarai
KA Kalijaga. Waktu sarapan di warung dekat stasiun Poncol, mendadak ban
belakang Austin bocor. L Akhirnya
sesampai stasiun Balapan, Austin tetap dalam kondisi terlipat, kita pulang ke
rumah Ranz di kawasan Laweyan dengan naik taksi online. :D
Kita turun di satu
tukang tambal ban, tidak jauh dari rumah Ranz. Untunglah ban Austin hanya
bocor, bukan sobek atau yang lain, jadi bisa ditambal, ga perlu ganti ban
dalam.
Sekitar jam 19.00
kita meninggalkan Solo, menuju Sidoarjo. Tidak hanya kita berdua, namun bersama
keluarga besar Ranz! Wih ... sangar yak yang mengantar kita banyak? LOL. Ini
ide Ranz, berangkatnya kita nebeng keluarga besarnya yang memang akan
menghadiri arisan keluarga besar, yang untuk itu mereka menyewa sebuah bus
pariwisata. Nah ... ini satu alasan mengapa Ranz keukeuh kita mbolang ke Bromo bulan Desember 2017 รจ kita bisa (sedikit) mengirit biaya
transportasi pemberangkatan. Hohoho ...
Kita sampai rumah
mbak Deni – yang juga kita inapi di bulan Juli lalu sebelum bersepeda AKAP dariSidoarjo menuju Semarang – hari Minggu pagi sekitar pukul enam. (Dalam
perjalanan kita mampir ke Boyolali dan Sragen untuk menjemput anggota keluarga
lain, maka perjalanan Solo – Sidoarjo makan waktu cukup lama.)
Hari Minggu itu
acaranya makan-makan, jalan-jalan ke Tanggulangin, dan ... bobo-bobo ayam
(buatku! LOL.)
Senin 25 Desember 2017 – Day 1
Ini adalah hari
pertama kita bersepeda menuju Bromo. Yuhuuu ... Di perjalanan ini, kita kembali
menjodohkan Austin – downtube nova 20” yang telah menemaniku mbolang AKDP
maupun AKAP sejak tahun 2013 – dengan Astro – polygon urbano 3.0 20” – yang
baru dibeli Ranz di pertengahan tahun 2017. Ini adalah kali kedua mereka
berpasangan. Ehem ... (yang pertama waktu kita dolan ke Wonogiri dengan naik KA
Batara Kresna, pulangnya kita gowes.)
Keluarga Mbak Deni
yang akan menghadiri misa Natal pagi itu belum terlihat bersiap-siap saat kita
meninggalkan rumah mereka pukul 07.00. oh ya ... ini adalah kali pertama Ranz
memutuskan membawa tas (pannier) saddle dalam bikepacking kita, dan bukan tas
pannier yang telah menemani kita mbolang sejak tahun 2011. Alasan Ranz : Astro
terlihat kurang macho jika dipasangi rak boncengan! Baiklaaaaaaaaaaah! (padahal
Astro tetap saja dipasangi rak depan! Hihihi ...) Untuk ini, Ranz (untunglah
telah) membeli tas saddle dengan ukuran yang lebih besar ketimbang yang dia
bawa waktu bersepeda dari Sidoarjo ke Semarang. Meski alasan pertama waktu beli
itu adalah in case di masa datang
kita bakal berkesempatan mbolang naik mtb lagi.
Naaah ... agar
saddle Astro bisa dipasangi tas pannier itu dengan baik, posisi saddle
dikembalikan seperti aslinya, yang membuat jarak handle bar dengan saddle cukup
jauh. (Setelah beli, Ranz sempat memindah posisi saddle agar sedikit lebih
maju, untuk mengurangi jarak antara handle bar dan saddle.) Ternyata oh
ternyata ... jarak yang cukup jauh itu membuat punggung Ranz gampang pegal.
Meski di awal, dia tidak menyadarinya ...
Dari Wonoayu kita
bersepeda ke arah Tanggulangin. Baru 15 kilometer kita mengayuh pedal sepeda,
Ranz sudah menawariku mampir di satu warung kopi ketika dia melihat deretan
warung kopi. Hwah ... tumben amat yak Ranz yang menawari untuk berhenti.
(Biasanya aku kudu ngerayu-ngerayu dulu untuk beristirahat. Hohoho ...)
Di warkop sederhana
itu – namun dilengkapi ‘socket’ untuk ngecharga hape dan wifi – aku pesan kopi
hitam tanpa gula. (duh, jika si ‘itu’
baca ini, dia bakal mikir apa yak, kok si Nana tumben amat minum kopi hitam
tanpa gula. GE-ER detected. Kekekekeke ... padahal setahu dia aku biasanya –
duluuu – minum cappuccino) Ranz memesan es nutri****.
gunung yang terlihat ketika kita berdiri di dekat lapangan bekas lumpur Lapindo |
lapangan bekas lumpur Lapindo |
Ternyata Ranz yang
mendadak ‘baik’ dan ‘murah hati’ ini adalah tanda ada yang tidak beres dalam
tubuhnya, dimana jarak handle bar dan saddle yang kurang pas ‘hanya’ merupakan
salah satu ‘trigger’ kemampuannya menggeber sepeda berkurang.
15 menit di warkop
kita rasa cukup. Kita melanjutkan perjalanan. Pemberhentian berikutnya adalah
kawasan Lapindo. Beberapa kali melewati kawasan ini dengan naik KA Sritanjung
di tahun 2015 (dan penasaran what it is like), baru kali ini aku mampir karena
kebetulan lewat naik sepeda, plus Ranz sedang murah hati itu untuk
sering-sering berhenti untuk beristirahat.
Pemberhentian berikutnya
adalah alun-alun Bangil. Mumpung lewat, aku mengajak Ranz berhenti untuk
memotret Austin dengan latar belakang tulisan B-A-N-G-I-L. Waktu itu ada dua
orang perempuan yang katanya sedang ‘turing’ naik motor. Pagi itu mereka
berangkat dari Mojokerto. Ketika tahu aku pun sedang ‘mbolang’ dengan naik
sepeda (lipat), dia mengajakku foto bersama! Hihihi ...
Selanjutnya kita
berhenti di satu mini market, kita butuh beli air tambahan. Tak jauh dari mini
market ini, kita melewati satu rumah makan Padang, dan Ranz memilih tempat ini
untuk makan siang kita. Mengingat Ranz yang (lebih) milih-milih makanan untuk
dimasukkan dalam perutnya, aku setuju. Hihihi ... kita memesan satu porsi nasi
dengan lauk rendang daging. Kita tidak pesan minum, aku memilih minum air
mineral yang barusan kita beli di mini market.
Setelah itu kita
melanjutkan perjalanan. Ranz tetap dengan ‘kecepatan’ sedang.
Biasanya dalam
perjalanan aku sering memperhatikan petunjuk kilometer yang ada, untuk
‘hiburan’. LOL. Namun kali itu aku tidak melihatnya ... sehingga aku tidak bisa
memperkirakan masih berapa puluh kilometer lagi yang harus kita tempuh. Guess
what apa yang kujadikan ‘hiburan’ kali ini? Yak ... baliho-baliho yang tersebar
di sepanjang jalan yang kita lewati! Ngeri-ngeri sedap bagiku melihat ‘jenis’
baliho yang ada. Hhhh ... LOL. Untunglah tidak di Semarang! Ranz yang ‘sibuk’
memikirkan kondisi tubuhnya yang kurang fit tidak sempat memperhatikan apa-apa.
Kita berhenti lagi
di dekat satu ruang terbuka di tengah kota Pasuruan. Ketika Ranz sedang
memotretku, mendadak ada seorang gojek ‘driver’ nyamperin kita, kemudian dengan
ramah mengajak kita ngobrol, kita dari mana mau kemana, sampai hal-hal pribadi,
misal apakah ‘suami’ku tidak keberatan kutinggal mbolang, kekekekekeke ...
sampai bertanya aku berusia berapa. Waktu aku menyebut satu angka untuk
menjawab pertanyaan tentang umur itu, wajahnya terpana kaget. “Wah ... Ibu kuat
ya!” sahutnya.
Waktu tahu kita akan
ke Bromo, dia menunjukkan satu arah, “Ini lewat sini Bromo sudah dekat lho,
dari pada ke Probolinggo dulu. Kalo kesana, berarti njenengan memutar. Tapi,
memang sih tanjakan menuju Bromo kalo dari Pasuruan ini jauh lebih curam. Kalau dari Probolinggo, tanjakannya lebih landai.”
Kujawab bahwa kita
akan tetap menuju Probolinggo karena kita sudah booking satu kamar hotel untuk
menginap malam itu.
Dalam perjalanan
selanjutnya, kita sempat digodain hujan. Sempat ragu-ragu apakah gerimis yang
menemani akan membesar menjadi hujan atau hanya gerimis, kita jadi tidak
langsung mengenakan mantel. Ketika akan melewati gapura selamat datang kota
Probolinggo akhirnya kita mengenakan mantel. LOL. Meski ga lama ... karena
setelah kita mengenakan mantel, malah sang mentari nongol lagi, dalam kondisi
tetap gerimis.
satu spot foto di Probolinggo |
Probolinggo adalah
kota yang sadar bahwa di zaman instagram dimana orang butuh spot foto untuk
eksis. Hohohoho ... Dengan mudah kita menemukan tulisan P-R-O-B-O-L-I-N-G-G-O
untuk latar belakang foto. Trotoar yang didampingi dengan taman-taman kecil di
sisi kiri kanan menyambut kita memasuki kawasan kota.
Waktu sudah
menunjukkan pukul empat sore. Aww ... lamaaaaaaaaaa juga waktu yang kita
lewatkan dalam perjalanan Sidoarjo – Probolinggo yang hanya 87 kilometer. Kondisi
Astro yang kurang pas untuk tubuh Ranz menyebabkan Ranz tidak menampilkan
penampilannya yang prima.
Dan ... aku pun
ketar-ketir bagaimana keesokan hari perjalanan Probolinggo menuju Cemara Lawang
yang nanjak gila? Duh ... LLL
Kita sempat mutar-mutar
mencari Jalan Suyoso untuk menemukan homestay yang telah dibooking oleh Ranz. Keberadaan
satu rumah sakit yang dicari Ranz sebagai ‘tanda’ kita harus belok kiri dari
arah kita datang tidak dideteksi oleh Ranz. Hihihi ... walhasil kita kelewatan
lumayan jauh juga. Memutar balik ... cari-cari jalan sambil membaca peta di
google map ... akhirnya kita bertemu juga dengan homestay yang bernama sama
dengan nama jalannya.
Legaaaaaaaaaa.
Setelah check in,
kita menuju kamar yang telah disiapkan untuk kita, yang terletak di lantai 2.
Saat itu, suasana homestay cukup sepi, tidak terlihat banyak tamu lain.
Malam itu kita
keluar untuk makan malam, setelah mandi. Usai makan, aku membaluri punggung dan
paha Ranz dengan counterpain dengan sedikit pijatan.
Pukul sepuluh malam
kita matikan lampu kamar, tidur. (Aku terbiasa tidur dalam kegelapan, sedangkan
Ranz sebaliknya. Untung malam ini dia mau tidur dalam gelap.)
To be continued.
Wheeeh ada cameo si itu juga muncul
BalasHapuswakakakakakakaka
Hapus