WHEN THERE IS BEGINNING THERE IS END
(but we can always start
again :) )
Beberapa tahun lalu, di awal-awal kita memulai bikepacking
trips, aku dan Ranz sering heran jika melihat kawan-kawan pesepeda yang bisa
turing berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan. Pertanyaan kita adalah, “Apakah
mereka tidak bekerja?” “Darimana mereka mendapatkan uang selama turing?”
Bulan Mei 2013 dalam perjalanan Borobudur – Jogja seusai menghadiri
(baca è nonton) upacara Waisak
yang chaotic itu, kita bertemu Stephan, seorang bikepacker dari Jerman yang
pada saat itu sedang dalam perjalanan keliling Eropa dan Asia. Dia telah
berkelana hampir selama 2 tahun. Waktu aku berkunjung ke blognya di www.cyclingeurasia.com aku tahu bahwa
dia mendapatkan sponsor. Hmmm ... enak ya kalau bikepacking bisa mendapatkan
sponsor? Hehehehe ...
Kembali ke kondisi yang kita miliki. Selama ini paling lama
kita bikepacking hanya selama satu minggu saja. Ini waktu kita ke Blitar dan
Malang Juli 2014. Sebelum itu paling lama hanya 4 – 5 hari. Ga perlu lah kita
iri ke mereka yang bisa turing berbulan-bulan, atau bahkan bertahun-tahun. Kita
seharusnya cukup bersyukur mendapatkan kesempatan untuk bikepacking selama beberapa
hari dimana teman-teman pesepeda lain hanya bisa ngiler melihat kita kelayapan
naik sepeda sambil berwisata sampai berhari-hari. LOL. No need to curse the
bread just enjoy what we have. :)
Selasa 30
Juni 2015
Saat meninggalkan Gili Trawangan.
Semalam kita sudah packing sehingga pagi itu kita tidak perlu
repot membenahi barang bawaan kita. Kita masih sempat berburu sunrise lho, kali
ini kita bersepeda ke lokasi yang agak jauh dibanding sehari sebelumnya agar
kita bisa mendapatkan pemandangan sunrise tanpa terhalang pulau di seberang. Sekitar
pukul tujuh kita telah kembali ke penginapan untuk mandi dan beres-beres
terakhir.
Pukul setengah sembilan kita meninggalkan ANDI HOMESTAY yang
telah kita inapi selama 2 malam. Tamu dari Spanyol yang menginap di kamar
sebelah pagi-pagi telah pergi, mungkin mereka akan snorkeling di Gili Air atau
di lokasi lain. Kita langsung menuju dermaga dimana kita membeli tiket untuk
naik public boat. Tak lama setelah kita membeli tiket, sudah ada pengumuman
bahwa perahu untuk menyeberang ke Bangsal telah siap berangkat. Di dermaga Gili
Trawangan ini tidak ada barisan porter yang siap membantu kita membawa barang
bawaan kita. Namun petugas yang ngecek para penumpang meminta kita membayar
uang kelebihan bagasi ketika dia melihat kita membawa dua buah sepeda lipat. Untuk
uang ‘lebih’ itu dia menyuruh petugas yang ngecek tiket membantu kita
mengangkat seli ke perahu.
Berbeda dengan saat menyeberang dari Bangsal ke Gili Trawangan
dimana waktu kita menaikkan seli perahu masih sepi, kali ini perahu telah penuh
penumpang dan barang-barang bawaan penumpang lain. Untunglah kita masih bisa
menyelipkan seli dan kita berdua bisa duduk di tengah-tengah perahu.
Perjalanan menyeberang lancar.
Sesampai Bangsal, para porter yang membantu kita mengangkat
barang bawaan kita dua hari lalu langsung menyongsong untuk membawakan seli
kita. :)
Menurut rencana awal, sebelum kita berangkat bikepacking,
pulang dari Gili Trawangan kita akan gowes ke Mataram, kemudian menginap
semalam disana. Keesokan hari baru lanjut ke Lembar, menyeberang ke Padangbai
kemudian ke Denpasar. Meski ada Om Hel yang menawarkan penginapan gratis di
Mataram, kita memutuskan hari ini kita langsung balik ke Sanur. Baru 2 hari di
Mataram dan 2 hari di Gili Trawangan, kita telah kangen Sanur. LOL. Maka, demi
mengirit waktu (kalau gowes tentu kita butuh 2 hari dari Gili Trawangan ke
Sanur), kali ini kita menyewa taksi. Dari Bangsal kita langsung diantar ke
Lembar.
Kita sampai Lembar pukul 12.30 WITA. Tak lama setelah kita naik ferry, ferry pun berangkat. Ferry yang kita naiki kali ini kondisinya lebih bagus ketimbang ferry yang kita naiki sebelumnya namun kurang menguntungkan bagiku karena justru aku tidak bisa menyelonjorkan kaki dengan nyaman. LOL. Apalagi membaringkan tubuhku yang penat. LOL.
Kita sampai di Padangbai sekitar pukul setengah lima.
Kebetulan ada bus RASA SAYANG menuju Jakarta yang ada di ferry yang kita
tumpangi, maka, sekali lagi untuk mengirit waktu, kita naik bus menuju
Denpasar. Kita turun sebelum bus belok ke arah bypass. Dari sana kita gowes ke
Sanur, kurang lebih 5 kilometer.
Rencana kita akan kembali menginap di homestay Sri Deva. Namun
sesampai sana, kita tidak menemukan suami istri yang bertugas menjaga homestay
itu. Sembari menunggu mereka kembali, kita keluar ke rumah makan yang terletak
tak jauh dari sana, yang menyediakan masakan Jawa. Meski hanya menyediakan
masakan Jawa, yang datang tak hanya orang-orang Indonesia saja, banyak juga
bule yang datang dan makan disana.
30 menit kemudian kita balik ke Sri Deva. Kita tetap tak
menemukan suami istri itu. Dan kita lihat kamar ber-AC yang kita inapi waktu
kita di Sanur telah diinapi turis asing. Nampaknya kita memang tak lagi
berjodoh. LOL. Kita harus mencari penginapan lain. Sempat gowes kurang lebih
500 meter dari Sri Deva, namun akhirnya kita mendapatkan penginapan yang
terletak tepat disamping Sri Deva, yaitu Sanur Holiday. Jika di Sri Deva kita
membayar Rp. 300.000,00 untuk 2 malam, di Sanur Holiday kita membayar Rp.
350.000,00. Kamarnya lebih luas dan kamar mandi dilengkapi dengan bath tub.
Setelah check in, mandi, kita keluar. Ranz mau menraktirku
kopi di “Kopi Kiosk!” Kita sampai sana pukul 21.00, tepat saat mereka tutup!
LOL. Kita pun kembali ke penginapan, dan ngopi di cafe yang pemiliknya sama
dengan Sanur Holiday. :)
Pukul 22.30 kita balik ke kamar. Saatnya istirahat.
Rabu 1
Juli 2015
Setelah berdiskusi kita mau ngapain hari ini, Ranz menyetujui
keinginanku untuk gowes ke Ubud. Yippee ...
Sekitar pukul setengah sembilan kita meninggalkan kawasan
Jalan Danau Poso, kembali menyusuri jalan yang kita lewati ketika kita akan ke
Padangbai. Kali ini perjalanan lebih mudah karena kita berdua tidak terbebani
pannier. :)
Jarak yang “hanya” 26 kilometer, namun karena kita ‘buta’ trek
dan tak bisa memperkirakan kira-kira kita masih butuh berapa lama gowes,
rasanya gowes sejauh 26 kilometer itu jauh juga. LOL. Trek agak miring sedikit.
LOL. Namun ketika kita sudah mulai belok ke arah yang ada tulisan “Ubud” trek
mulai lumayan menantang rollingnya. LOL.
Yang ingin “kutemukan” di kawasan Ubud adalah pasar tempat aku
dan anak-anak belanja oleh-oleh waktu kita field trip tahun lalu. Selama belum
menemukan lokasi itu, aku tidak berhenti. Sementara Ranz yang ada di belakangku
mulai resah, “Kamu mau kemana? Ini kita sudah sampai Ubud!” bla bla bla ...
Sadar bahwa aku juga tidak tahu lokasi yang kucari, aku juga ga ngerti mau
jawab apa. LOL. Ketika kita berhenti di satu minimarket untuk istirahat, kita
berdua pun mengecek google map. Aku menunjuk “Ubud palace” sebagai lokasi yang
ingin kutuju karena di map, lokasi ‘Sacred Monkey Forest Ubud” nampaknya berada
di lokasi yang berbeda, dimana kita harus muter lagi, dan Ranz males kesana.
LOL. Ranz setuju kita lanjut ke “Ubud Palace”.
Setelah kita melanjutkan gowes, tak jauh dari situ, di satu
pertigaan, kita malah menemukan petunjuk arah “Sacred Monkey Forest” yang
terletak hanya 200 meter dari pertigaan itu. NAH! Yeaayyy.
Maka, selanjutnya kita menjelma sebagai turis, seperti ratusan
turis lain, baik turis mancanegara maupun dari dalam negeri, yang menikmati
segala tingkah polah monyet-monyet yang ada. Entah apakah karena waktu itu
masih siang sehingga kita bertemu banyak pengunjung – yang rata-rata datang
bersama keluarga, lengkap dengan anak-anak kecil – atau karena lokasinya yang
di Ubud, satu lokasi yang strategis dan merupakan salah satu lokasi wajib
kunjung para turis. Ini jika dibandingkan waktu kita berkunjung ke Sangeh yang
waktu kita datang, kita adalah satu-satunya pengunjung.
Jika di Sangeh kita melihat si fotografer amatir memberi
potatoe crackers kepada para monyet untuk menarik perhatian mereka agar bisa
difoto bersama pengunjung, di Ubud, pengunjung dilarang memberi makanan kecuali
pisang. Kebetulan di dalam lokasi ada beberapa ‘penjual’ pisang bertandan-tandan
yang memang disediakan untuk dibeli para pengunjung jika mereka ingin memberi
makan pada monyet-monyet yang ada.
Aku dan Ranz cukup menikmati suasana yang ada, berjalan
mengitari seluruh kawasan, (seolah-olah lupa bahwa kita kesana naik sepeda, dan
pulangnya kita masih harus mengayuh pedal sepeda sejauh 27 km!) memandangi
tingkah laku para monyet (dan juga pengunjung lain LOL) yang nampak cuek dengan
para turis yang sibuk memotret apa pun yang mereka lakukan.
Kita meninggalkan “Sacred Monkey Forest” di Ubud ini sekitar
pukul setengah dua. Kebetulan rute yang kita pilih saat pulang justru membawa
kita berdua ke lokasi yang kucari di awal aku mengajak Ranz gowes kesini: pasar
pusat oleh-oleh di Ubud yang terletak tak jauh dari “Ubud Palace”, dan ... aku
menemukan restoran tempat aku dan anak-anak makan siang setahun lalu “NOMAD”
namun kita tidak mampir.
Jalanan Ubud yang sempit dengan lalu lintas yang padat – tak
jauh berbeda dari Kuta, namun dengan trek naik turun – membuat Ranz kurang
menyukai Ubud. LOL. But you know, she is always sweet, jadi selalu siap
menemani kemana aku ingin pergi. :)
Perjalanan kembali ke Sanur sempat tersendat karena di
beberapa jalan lalu lintas terlalu padat sehingga terjadi kemacetan yang
lumayan panjang. Namun setelah kita terlepas dari kemacetan itu, perjalanan jauh
lebih lancar karena Ranz telah familiar dengan jalan yang kita lewati. :)
Sekitar pukul setengah empat sore kita telah sampai di Pantai
Sindhu. Namun karena suasana masih terlalu panas, kita meninggalkan pantai dan
masuk ke satu restoran waralaba. Hah, jauh-jauh ke Bali hanya untuk menikmati
mcflurry. LOL. Sama halnya dengan makanan, jauh-jauh ke Bali, kita tetap saja
menyambangi rumah makan Jawa. LOL.
Pukul lima sore kita kembali ke pantai. Penjual jagung bakar
dan sate ikan tak kelihatan di lokasi dimana kita bisa nongkrong. Hari itu
kebetulan sedang malam purnama, saat orang-orang (asli) Bali melakukan ritual
khusus menyambut malam purnama. Apa boleh buat?
Kita meninggalkan pantai Sindhu sekitar pukul setengah tujuh
malam. On the way ke penginapan, kita mampir ke ‘Kopi Kiosk’, Ranz memberiku
kesempatan menikmati cappuccino disini.
Sekitar pukul setengah delapan kita balik ke penginapan. Usai
mandi, aku menemani Ranz makan malam berupa sate kambing. Ada sebuah warung
berjualan sate kambing terletak tak jauh dari penginapan.
Pukul sepuluh malam kita balik ke penginapan. Saatnya istirahat.
Kamis 2 Juli 2015
Pagi terakhir di Sanur sebelum kita kembali ke Pulau Jawa kita
gunakan sebaik-baiknya untuk menjaring sunrise. Pukul enam seperempat seperti
biasa aku membangunkan Ranz untuk kemudian mengayuh pedal sepeda ke pantai. Pukul
tujuh kita telah kembali ke penginapan untuk mandi, beres-beres dan packing.
Pukul sembilan kita telah berada di sepanjang Jalan Danau
Tamblingan menuju Denpasar. Dengan terus menerus menekuni google map di
hapenya, Ranz memberiku instruksi apakah kita perlu belok kiri atau kanan
ataukah lurus terus untuk mencapai Terminal Ubung. Ya, kita memutuskan naik bus
untuk menuju Gilimanuk untuk menghemat waktu dan tenaga. :)
On the way kita sempat mampir sejenak ke Monumen Brajasandi,
yang ternyata merupakan tempat berkumpulnya para pesepeda Bali ketika mereka
gowes rame-rame. Kebetulan aja kita lewat di jalan dimana monumen ini terletak.
LOL. Tahun lalu aku juga kesini, namun aku dan Ranz tidak sempat masuk ke dalam
monumen, kita hanya memotret sepeda kita masing-masing dengan latar belakang
monumen. :) Tak lama kemudian kita
meneruskan perjalanan.
Meski ga mudah bagi kita berdua menemukan terminal Ubung –
Ranz harus terus menerus membaca peta di google map – kita akhirnya sampai
disana juga. Yippeee ... Tidak sulit bagi kita mendapatkan bus yang bersedia
mengantar kita – dengan barang bawaan kita yang segambreng LOL – ke Gilimanuk. Kita
cukup membayar Rp. 150.000,00 saja, meski dalam perjalanan kita terpaksa
dipindah ke kendaraan angkutan umum lain dua kali.
Trek naik turun Denpasar – Gilimanuk tak hanya membuat para
pesepeda berusaha keras melewatinya (seperti waktu kita berdua gowes dari
Gilimanuk ke Denpasar tanggal 22 Juni 2015), angkutan umum yang kita naiki pun
juga butuh waktu lebih lama ketimbang jika trek-nya hanya datar saja. :)
Kita sampai di Gilimanuk jelang pukul tiga sore. Ada rasa haru
waktu kita menaiki ferry, saat kita harus mengucapkan “good bye Bali ... au
revoir ... till we meet again” ... (lebay! LOL.) Mungkin bukan hanya kita harus
meninggalkan pulau yang indah ini, namun kenyataan bahwa kita harus segera
kembali ke “kenyataan”, yang membuat kita merasa berat. :)
FYI, ketika kita naik ferry meninggalkan Lombok, kita naik
ferry yang kondisinya lebih bagus dibandingkan ketika kita menuju Lombok,
sebaliknya waktu kita balik ke Ketapang, ferry yang kita naiki kondisinya lebih
mengenaskan ketimbang ferry yang kita naiki menuju Gilimanuk. LOL.
Pukul empat sore WIB kita telah menapakkan kaki di pulau Jawa.
Kita kembali menginap di “Wisma Mulia” karena kita baru balik ke Solo dengan
naik KA Sritanjung keesokan hari.
Jumat 3 Juli 2015
Pukul enam kurang seperempat pagi kita telah sampai di Stasiun
Banyuwangi Baru, namun pintu masuk peron masih ditutup. Pukul enam lebih
sedikit kita barus bisa masuk peron. Seperti bulan Mei lalu, kita juga bertemu
dengan petugas stasiun yang membuat kita kerepotan menaruh sepeda dalam kereta.
(Ranz harus mengangkat Pockie di rak di atas tempat duduk penumpang, sedangkan
Austin harus berbaring tak berdaya di bawah kursi penumpang. LOL.) Namun kali
ini si petugas tidak mengikuti kita naik kereta, dia hanya bilang, “Sepeda
ditaruh di bawah kursi ya Bu.” LOL.
Kita mendapatkan “kerepotan” setelah kereta api berangkat. Aku
lupa dimana tepatnya ketika para “polisi khusus KA” mengecek tiket dan barang
bawaan penumpang di gerbong yang kita naiki. Entah karena mereka kurang
“familiar” dengan peraturan yang telah dikeluarkan oleh PTKAI bahwa sepeda
lipat – asal dalam kondisi terlipat rapi – termasuk barang bawaan yang bisa
ditaruh dalam gerbong penumpang atau mereka tidak menyadari bahwa serapi apa
pun sebuah sepeda lipat terlipat, ukurannya tidak bakal bisa “setipis yang
mereka bayangkan”. LOL. Kecuali sepeda lipat merk “br*****n” kali ya ... yang
harganya tak kalah dengan sebuah sepeda motor keluaran terbaru. Lha sepeda
lipat milikku dan milik Ranz kan seli yang harganya cukup terjangkau bagi
rakyat “jelata”.
Anyway, peristiwa “tanya jawab” tentang sepeda lipat ini
memperkaya pengalaman kita naik KA dengan menenteng sepeda lipat. :)
Kita sampai di stasiun Purwosari tak jauh dari kediaman Ranz
pukul setengah tujuh malam. Setelah turun dari KA, aku sempat mampir ke rumah
Ranz sebentar untuk mengambil sesuatu. Kemudian kita berdua makan malam
bersama. Usai makan malam, Ranz mengantarku ke Kerten, menungguku hingga aku
mendapatkan bus. Sebelum pukul delapan malam aku telah berada dalam bus otw ke
Semarang.
Aku sampai rumah sekitar pukul sebelas malam.
Dan ... aku sudah kangen ingin bikepacking lagi. Hohohohoho
...
LG 17.51 28/07/2015
ceritanya sungguh menarik,,,, sayang untuk dilewatkan
BalasHapussuwun kunjungannya Anis Hidayah :)
Hapus