Cari Blog Ini

Selasa, 30 Juni 2020

Pajak Sepeda?

Beberapa hari lalu beredar kabar bahwa kemenhub akan menarik pajak dari para pemilik sepeda, menyikapi kian maraknya pengguna sepeda setelah pandemi covid 19. meski sehari kemudian sudah ada berita ralat bahwa yang benar adalah kemenhub justru akan mengeluarkan regulasi untuk mendukung keselamatan pesepeda.

 

 


Sebagai seorang pengguna sepeda sebagai moda transportasi -- tidak melulu hanya untuk alat olahraga -- dan sadar diri bahwa masih banyak tuntutan pesepeda yang belum dipenuhi oleh pemerintah (tuntutan ini mengacu ke UU lalu lintas no. 22 tahun 2009 pasal 62 ayat (1) pemerintah harus memberikan kemudahan berlalulintas bagi pesepeda; ayat (2) pesepeda berhak atas fasilitas pendukung keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran dalam berlalu lintas) saya tidak keberatan jika memang sepeda akan dikenai pajak, seperti halnya kendaraan bermotor.


 

Akan tetapi, mengacu ke UU no 22 tahun 2009 pasal 62 ayat 2, apakah pemerintah sudah memberikan dukungan keamanan, keselamatan, ketertiban dan kelancaran bagi pesepeda? Sekian dekade yang lalu, masih ada banyak jalur lambat di banyak ruas jalan-jalan protokol di Semarang; jalur lambat ini bisa dipakai oleh pesepeda maupun pengendara kendaraan tak bermesin lain, misal becak atau gerobak, dan mereka terpisah dari jalur cepat yang lebih digunakan oleh pengendaraan kendaraan bermotor. Dan penduduk Semarang tentu tahu, semakin 'kesini' semakin sulit mendapati jalur lambat ini. Jalur lambat dihilangkan dengan maksud melebarkan jalur cepat untuk mengurangi kemacetan. Namun apakah benar badan jalan yang lebar ini benar-benar efektif mengurangi kemacetan?

 


Kita lihat saja pemberlakukan 'satu arah' di beberapa ruas jalan di kota Semarang. Saya ambil contoh Jalan Pemuda yang biasa saya lewati. Apakah Jalan Pemuda yang lebar itu (dari Paragon Mall hingga Tugumuda) setelah diubah menjadi satu arah, benar-benar bebas dari kemacetan di jam-jam sibuk? Sebelum pandemi, jawabannya jelas TIDAK. Kemacetan tetap saja terjadi. Ketika seluruh ruas jalan diubah menjadi jalur cepat dengan meniadakan jalur lambat, lalu dimana para pengendara kendaraan non mesin bisa melaju dengan aman? Ketika semua badan jalan menjadi jalur cepat, tidak salah dong jika kemudian pesepeda pun memenuhi badan jalan, persis seperti kendaraan bermotor yang melakukan hal yang sama. Ketika selama ini pesepeda termarjinalkan, dan ketika saat jumlah pesepeda meningkat, mengapa orang-orang mengeluh dengan pesepeda yang memenuhi jalan? (Akhirnya, jika sampai sini, kebijakan SHARE THE ROAD memang yang paling tepat untuk diaplikasikan. Tidak perlu ada yang merasa lebih memiliki jalan raya.)

 

 

Kendaraan bermotor dikenai pajak, salah satunya mungkin, uang pajak bisa dipakai di sektor kesehatan mengingat polusi yang disebabkan oleh kendaraan bermotor kian tahun kian tinggi. Sementara sepeda dan kendaraan non mesin lain sama sekali tidak mengeluarkan polusi yang membahayakan lingkungan. Bukankah justru yang terjadi seharusnya ada apresiasi kepada rakyat yang menggunakan sepeda sebagai moda transportasi karena turut menjaga lingkungan? Beberapa negara di Eropa telah memberikan incentive kepada mereka yang menggunakan sepeda sebagai moda transportasi. Mengapa pemerintah Indonesia tidak meniru hal yang baik ini?

 

PT56 16.32 30-June-2020


Senin, 29 Juni 2020

Semarang - Kudus pp

Bersepeda Semarang - Kudus -- Semarang sendirian bukanlah hal yang 'wow' bagi saya. (Duh, bukan bermaksud sombong ya, apa sih yang disombongin dari gowes dengan trek datar melulu ini? Hihihi …) Meskipun begitu, kisah ini layak saya tulis sebagai satu apresiasi pada diri sendiri karena beberapa hal.

 


 

Sekitar 3 tahun yang lalu mendadak saya juga mendapatkan 'urge' untuk bersepeda ke Kudus, sampai alun-alun Simpang 7, sendiri, naik Cleopatra, sepeda hardtail polygon cleo 2.0 milik Ranz yang saya pinjam sejak tahun 2014. saya lupa dari mana dan mengapa saya mendapat 'urge' itu. ('urge' mungkin semacam 'desakan' dari dalam diri. Atau mungkin semacam 'obsesi' ya.) Sejak itu, sebenarnya pingin melakukannya lagi kapan-kapan, dan ternyata saya mewujudkannya baru di bulan Juni 2020 ini.

 

 


Yang membedakan dari perjalanan kali ini dengan perjalanan 3 tahun lalu tentu saja karena waktu itu naik sepeda dengan ban 26", sekali kayuh, sepeda langsung terasa melaju wuuuushhh, lumayan. Kali ini saya mendapatkan 'bisikan dari langit (halah) untuk naik Snow White, sepeda lipat polygon urbano 3.0. karena diameter ban hanya 20" hingga jelas, sekali kayuh sepeda melaju pelan. Lol.

 

 

Perjalanan ini terutama terdorong dari hasrat dolan bersepeda dari satu kota ke kota lain yang terpendam gegara pandemi covid 19. andai tidak ada pandemi, minimal saya akan menjalani bersepeda Semarang - Solo lagi (tentu saja dengan ditemani Ranz yang menjemput saya di Bawen) di sekitar bulan Maret atau awal Juni untuk menghadiri ulang tahun komunitas Seli Solo. Selain itu, Ranz dan saya sudah berencana untuk bersepeda menyusuri pantai Selatan setelah mengikuti Tour de Pangandaran yang akan dilaksanakan pada tanggal 4 Juli 2020.

 


 


Sudah biasa dolan antar kota naik sepeda, dan terpaksa menahan hasrat dolan seperti ini bisa bikin seseorang sakaw lho gaes. Seperti mereka yang kecanduan sesuatu yang lain. Lol. Dan karena saya dan Ranz termasuk rakyat Indonesia yang mematuhi himbauan pemerintah untuk tidak kumpul-kumpul dulu, atau dolan keluar kota dulu, tentu Ranz tidak bisa ke Semarang. Oleh karena itu, solusinya adalah saya bersepeda sendiri. Hohoho …

 

 

Bagi seseorang yang hanya tahu menaiki sepeda, tidak tahu harus ngapain jika terjadi hal-hal yang tidak diharapkan pada sepeda, memang hal ini termasuk satu hal yang nekad. Lha wong hanya masalah sepele, misal rantai lepas saja saya tergantung pada Ranz kok. Lol. Tapi ya itulah, saya memang termasuk kaum nekad.

 

 

Beberapa tips bagi mereka yang ingin bersepeda (rada) jauh sendirian (dan seperti saya tidak bisa membetulkan sepeda jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan):

 

  1. Siapkan sepeda sebaik mungkin. Harus yakin bahwa sepeda dalam kondisi prima untuk dinaiki
  2. Siapkan mentalmu jika terjadi hal-hal yang tidak diharapkan.
  3. Yakinkan diri bahwa kondisi tubuh fit. Untuk saya pribadi, malamnya saya harus tidur cukup.
  4. Siapkan uang yang cukup untuk antisipasi
  5. Siapkan bekal (makan dan minum) yang cukup siapa tahu tidak akan bertemu dengan warung makan atau minimarket

 

Untuk tip nomor satu, ini sebaiknya berlaku jika seseorang ingin melakukan perjalanan jauh, baik sendirian maupun rombongan ya. Untuk tip yang kedua ini MUTLAK wajib. Sebagai contoh, 3 tahun lalu saya bersepeda ke kawasan Candi Ngempon di daerah Pringapus (pasar Karangjati belok ke arah Timur). Saya terpelanting jatuh ketika melewati satu jalan yang licin. Waktu jatuh ini ternyata menyebabkan 'bb' patah. Karena kesulitan mendapatkan bengkel sepeda, saya menuntun Cleopatra sampai kurang lebih 6 kilometer dengan trek rolling. Ini pun saya terbilang beruntung karena menemukan seorang tukang tambal ban yang baik hati mau membantu di kawasan Lemahbang. Jika tidak, saya masih harus terus menuntunnya sampai pusat kota Ungaran dimana ada toko sepeda plus mekaniknya. Ketika hal ini terjadi, saya butuh tip nomor 2 dan 3.

 

 

Menjelang bersepeda Semarang - Kudus - Semarang saya yakin Snow White dalam kondisi baik-baik saja karena sejak lebaran, saya lebih sering naik Snow White ketika bersepeda di dalam kota. (Untuk sementara Austin dan Cleopatra saya istirahatkan.) karena ini pula lah, saya ingin bersepeda ke Kudus naik Snow White, dan bukan dengan Austin maupun Cleopatra meski keduanya juga dalam kondisi baik dan enak dinaiki.

 

 

Sabtu 27 Juni 2020

 

Saya meninggalkan rumah sekitar pukul 05.20, masih dalam kondisi mengantuk, lol. Masih belum yakin apakah saya jadi mewujudkan keinginan saya bersepeda ke Kudus hari itu. Namun setelah saya sampai Kaligawe, dengan yakin saya terus melaju menuju Demak. Kebetulan seminggu sebelumnya (hari Minggu 21 Juni)saya telah bersepeda ke Demak, jadi saya sudah tahu kondisi jalan, yang tidak terlalu mulus setelah melewati area 'Bates'. Sedikit berbeda dengan ketika bersepeda ke Demak, waktu itu 'mood' saya bagus jadi bisa bersepeda dengan kecepatan yang lumayan (untuk ukuran saya sendiri), waktu bersepeda ke Kudus ini mood saya biasa-biasa saja, jadi ya saya mengayuh pedal sepeda nyantai saja.

 

 


Mendekati alun-alun Simpang Enam Demak, jalan ditutup, namun sepeda masih bisa melaju. Ternyata di depan LP ada upacara, maka traffic dialihkan lewat jalan lain. Meski ada upacara, banyak orang yang berada di alun-alun tidak 'diusir' sehingga saya merasa aman tetap memotret Snow White dengan latar belakang tulisan SIMPANG ENAM DEMAK. Kemudian saya mlipir ke arah kiri, memotret Snow White dengan latar belakang Masjid Agung Demak. Dari sana saya belok ke jalan Muka Kabupaten (nama jalan yang unik, hohoho) hingga tembus ke pasar Bintoro, kemudian melaju ke arah Kudus.

 

 

Biasanya saya mampir sarapan dulu di satu warung soto ayam yang terletak tak jauh dari alun-alun, tapi di depan LP ada upacara, saya tidak kesana. Tentu saja selepas meninggalkan alun-alun, mata saya jelalatan mencari warung tempat saya bisa berhenti untuk sarapan. Namun ternyata hingga sampai perbatasan Kudus - Demak, saya tidak 'berjodoh' dengan satu warung pun untuk sarapan. Lol. Wow, saya bersepeda sejauh 52 kilometer tanpa minum! Air dalam bidon masih utuh. Istimiwir, biasanya paling pol saya minum sesampai alun-alun Demak.

 

 

Saya memang tidak berniat melanjutkan perjalanan hingga alun-alun SIMPANG 7 KUDUS, karena target saya hanya mencapai jarak tempuh 100 kilometer. (untuk 'membukukan' trophy virtual grandfondo di strava. Hihihi) Itu sebab setelah memotret Snow White di perbatasan Kudus - Demak, saya langsung kembali mengayuh pedal sepeda balik ke arah Demak. Nah, tak jauh dari situ, saya mampir satu minimarket untuk membeli air mineral dan roti.

 

 

Setelah istirahat sekitar 15 menit -- nunut ke toilet dan ngemil roti plus minum air mineral -- saya melanjutkan perjalanan. Thank god saya sama sekali tidak diganggu rasa kantuk padahal saya sering lho diganggu rasa kantuk jika sedang gowes jauh. Lol. Semula saya berencana untuk mampir di warung soto ayam Semarang yang ada tak jauh dari alun-alun Demak. Tapi ketika saya melewati resto ayam bakar 'Mbak Tari', saya mampir untuk sarapan. Saya ingat saya dan Ranz pun mampir di resto ayam bakar 'Mbak Tari', tapi yang berlokasi tak jauh dari pertigaan Trengguli ketika kita on the way dari Semarang ke Kudus untuk menghadiri pernikahan seorang sahabat, tahun 2014.

 

ayam bakar, tahu dan tempe goreng
 


Usai sarapan ayam bakar, dan minum segelas teh hangat, saya melanjutkan perjalanan. Sempat 'bertemu' kemacetan di kawasan Sayung, tapi masih ada ruang untuk sepeda agar bisa terus melaju. (Jadi ingat saya dan Ranz pernah juga bertemu kemacetan seperti ini sewaktu pulang dari Demak, karena terjadi kebakaran di satu lokasi.)

 

 

Thank god saya sampai rumah mungkin sekitar pukul 12.30. next time lagi ah gowes dengan Snow White. Lumayan 'mengobati' sakaw mbolang.

 

PT56 16.07 29-Juni-2020


Kamis, 25 Juni 2020

Bersepeda dalam peleton?

Sebagai seorang 'bike to worker' a.k.a pekerja bersepeda, jelas saya tidak punya banyak pengalaman bersepeda dalam peleton. Peletonan dengan siapa? Lol. Jam kerja saya berbeda dari kebanyakan orang yang mungkin memilih berangkat bekerja dengan naik sepeda. Misal: dulu waktu masih bekerja di satu sekolah yang terletak di bukit Gombel, saya biasa berangkat dari rumah pukul lima pagi jika naik sepeda. Di jalan kadang bertemu dengan orang yang bersepeda untuk berolahraga, tapi tidak banyak. Di sore hari saya bekerja di tempat lain, masuk jam 17.00, biasa meninggalkan kantor yang terletak di Gombel pukul empat sore, 30 menit kemudian sampai di kantor yang terletak di Jl. Imam Bonjol. Bukan jam berangkat bekerja yang lazim kan ya. :)

 

 

Akhir-akhir ini -- Juni 2020 -- pesepeda sedang banyak disorot orang karena mendadak pamor sepeda melonjak tinggi di tengah masyarakat yang jenuh terus menerus harus tinggal di rumah. Entah bagaimana awalnya, mendadak banyak orang beralih ke bersepeda sebagai alternatif olahraga yang cukup 'aman' karena bisa dilakukan sendirian, dan bukan dalam kelompok (misal: basket, voli, sepakbola, dll.) Namun ternyata, orang-orang itu tetap bersepeda dalam kelompok, kebanyakan dari mereka. Dan bayangan bahwa sepeda itu tidak perlu mengikuti peraturan yang ada untuk para pemotor/pengendara mobil "mentang-mentang" tidak bermesin itu tetap mereka imani; hasilnya? Mereka bersepeda bergerombol, namun ketika melewati lampu merah, mereka merasa tetap boleh menerabas lampu merah itu, tanpa peduli bahwa apa yang mereka lakukan akan mencelakakan diri mereka sendiri, dan juga orang lain.

 


 

Maka tidak heran jika postingan saya di grup Bike to Work Semarang tentang pentingnya SHARE THE ROAD viral hingga lebih dari 1200 kali dibagikan orang. Entah yang membagikannya itu juga pehobi sepeda, atau justru malah orang-orang yang kesal karena kian sering menemui kasus orang yang bersepeda memenuhi badan jalan, plus merasa lampu merah di traffic light itu hanya tanda untuk pemotor/pengendara mobil.

 

 

Di satu acara yang dipandu oleh majalah Intisari dan National Geographic Magazine Indonesia, Om Poetoet -- ketua umum Bike to Work Indonesia -- bercerita tentang satu kasus yang terjadi di Tangerang, kota tempat tinggalnya. Di satu pagi, ada rombongan pesepeda sedang latihan (dilihat dari jenis sepeda yang mereka naiki, plus outfit lengkap yang mereka kenakan) menerobos lampu merah. Pemotor yang datang dari arah yang lampunya telah berubah hijau, tidak menyangka bahwa peleton ini cukup panjang, hampir menabrak pesepeda yang berada di belakang. Dia berhasil menghindari menabrak sang pesepeda, namun ternyata dia menabrak pihak lain sehingga tetap menyebabkan kecelakaan.

 

 

Beberapa hari lalu, saya melihat beberapa kelompok peleton sepeda seperti ini di Jl. Dr. Cipto, jalan yang lumayan panjang di kota Semarang. Mungkin karena jalan ini panjang, banyak pesepeda suka 'latihan' kecepatan disini. Saya yang bersepeda santai pun kaget melihat kecepatan mereka. Ketika menjelang lewat perempatan dimana lampu merah sedang menyala, pesepeda yang paling depan terus mengayuh pedal dengan kencang, sambil berteriak, "terus … terus …". Di satu traffic light (yang lain), dari arah Barat saya lihat seorang pemotor melaju, untungnya dia pelan, sehingga tidak terjadi tabrakan. :(:(:(  Ini membuat saya berpikir, apa tidak sebaiknya mereka yang latihan kecepatan dalam peleton yang lumayan panjang ini memilih waktu yang 'tepat' (baca => sepi, masih jarang orang-orang berlalu lalang di jalan raya) atau area yang sepi, untuk meminimalisir terjadinya kecelakaan?


 

SHARE THE ROAD itu berarti semua orang berhak menggunakan jalan raya bersama, dengan saling menghormati pengguna jalan lain. Jangan mentang-mentang berada dalam satu kelompok besar, kemudian menguasai jalan untuk kelompok sendiri.

 

PT56 11.55 25-Juni-2020


Tulisan yang senada bisa diklik





Jumat, 19 Juni 2020

Keselamatan di Jalan Raya

Dari obrolan virtual yang diselenggarakan oleh National Geographic Magazine Indonesia pada hari Kamis 18 Juni 2020 yang saya ikuti, saya ingin menggarisbawahi apa yang disampaikan oleh Om Poetoet sebagai ketua Bike to Work Indonesia : keselamatan pengguna jalan raya itu tanggung jawab kita semua.

 

 


Mumpung sepedaan sedang ngetren setelah pemerintah Indonesia membuka diri menuju 'new normal' lifestyle, obrolan ini sangat menarik diikuti. Obrolan diawali oleh dokter Aristi yang seorang pesepeda dan peturing antarnegara menyampaikan pentingnya mengikuti protokol kesehatan yang ketat ketika bersepeda: memakai masker itu penting untuk melindungi diri sendiri, sekaligus juga melindungi orang lain, siapa tahu kita adalah OTG alias orang tanpa gejala. Selain itu, dia juga menyarankan mengenakan face shield agar kita merasa lebih aman dari 'serangan' droplet orang-orang yang mungkin kita temui di jalan. Selain mengenakan masker (dan face shield), kita juga sebaiknya bersepeda sendirian, atau maksimal dengan 4 orang lain, itu pun kalau bisa ya orang-orang yang serumah dengan kita, yang kita tahu pasti kesehariannya bagaimana, apakah dia positif/negatif covid. Memilih rute yang sepi dan waktu yang tepat juga penting agar kita bisa terhindar dari kemungkinan ketularan covid 19.

 

 

Om Poetoet yang diberi kesempatan untuk berbicara setelah dokter Aristi menyoroti pentingnya menjaga keselamatan diri dan orang lain.

 


 

"Saat kita keluar rumah kita harus memastikan bahwa dalam perjalanan nanti kita tidak celaka -- ini ada hubungannya dengan persiapan yang harus kita lakukan, misal ngecek sepeda yang prima kita naiki dll -- juga kita jangan sampai menyebabkan orang lain celaka disebabkan oleh kita."

 

 

Seperti yang kita tahu bahwa sepedaan yang ngetren beberapa minggu terakhir ini tentu melibatkan para 'pemain baru'. Para 'newbie' yang sedang senang-senangnya sepedaan (dan biasanya mereka melakukannya beramai-ramai, yang berarti melanggar kebijakan new normal (karena justru berkerumun) nampaknya berpikir bahwa mentang-mentang sepeda ini tidak memiliki mesin, mereka bisa sesuka hati melanggar lampu lalu lintas. (Eh, bukan  hanya newbie ya yang melanggar lampu merah? Lol) Mereka juga kadang terlihat enak saja bersepeda berjajar tiga sampai empat orang hingga memakan badan jalan dan pengguna jalan lain kesulitan untuk menyalip.

 

 

Hal ini membuat jagad dunia maya seolah terbelah menjadi tiga: orang-orang yang sama sekali tidak tertarik bersepeda mengatakan para pesepeda ini semacam hama di jalan raya sehingga mereka harus dibasmi (duh, rasane pingin ngumpat 'your grandpa!"); pesepeda yang secara inosen mengajukan 'excuse' "loooh, kita kan pesepeda, boleh dong ga ngikutin aturan?" dan jenis ketiga: pesepeda yang mengikuti aturan sehingga mereka terjepit antara kelompok satu dan dua.

 

 


Mengacu ke keluhan orang-orang dari kelompok pertama, Om Poetoet mengambil sikap, "ya silakan kalau pesepeda juga akan ditindak jika melanggar lalu lintas, tapi ingat, pesepeda juga dilindungi UU loh." UU lalu lintas nomor 22 tahun 2009 pasal 62 mengatakan bahwa (ayat 1) pemerintah harus memberikan kemudahan berlalu lintas bagi pesepeda; (ayat 2) pesepeda berhak atas fasilitas pendukung keamanan, ketertiban dan kelancaran berlalu lintas; dalam hal ini bisa berupa jalur sepeda.  Pasal 106 ayat 2 menyatakan "setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor dengan tidak mengutamakan keselamatan pejalan kaki atau pesepeda dipidana dengan pidana kurungan paling lama dua bulan atau denda paling banyak Rp. 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah)".

 

 


Nah, jika tidak ada jalur sepeda, terpaksa pesepeda memakai jalur umum yang dipakai oleh kendaraan bermotor. Secara hirarki, di jalan raya, di Indonesia pejalan kaki dan difabel itu pihak yang paling harus dilindungi, yang kedua adalah pesepeda. Trotoar dibangun utamanya untuk pejalan kaki dan difabel, namun jika tidak ada jalur sepeda, pesepeda boleh menggunakan trotoar, terutama jika trotoar dalam kondisi memungkinkan pesepeda untuk lewat trotoar (pas jarang ada pejalan kaki atau difabel) dan badan jalan dipenuhi kendaraan bermotor. Kendaraan bermotor roda di atas 4 yang seyogyanya berada di jalur kanan yang paling harus menghargai keberadaan kendaraan bermotor roda 4 dan roda 2.

 

Keluhan mereka yang tidak bisa memahami pesepeda biasanya disebabkan mereka merasa ruang gerak mereka di jalan raya berkurang karena pesepeda. Nah, setelah tahu UU lalu lintas nomor 22 tahun 2009 harusnya paham dong bahwa pesepeda juga manusia, eh, pesepeda juga BERHAK menggunakan jalan raya bersama pengendara kendaraan bermotor.  Seandainya ada jalur sepeda namun pesepeda menggunakan jalur kendaraan bermotor, sila ditilang. Sebaliknya juga pengendara kendaraan bermotor menggunakan jalur sepeda, mereka juga harus ditilang.

 

Mengenai mereka yang melanggar traffic light saat lampu merah menyala, kira-kira berapa jumlah pesepeda / motorist yang melanggar? Mana yang lebih banyak? Lol. But, anyway, kita semua tahu bahwa melanggar lampu merah bisa jadi akan mencelakakan diri kita, namun bisa juga justru akan mencelakakan orang lain. Kembali ke pernyataan Om Poetoet, saat di jalan raya, jangan sampai kita mencelakakan diri kita, maupun mencelakakan diri orang lain. Kita SEMUA BERHAK selamat sampai tujuan.

 

PT56 16.04 19 Juni 2020


Kamis, 18 Juni 2020

Pemotor versus Pesepeda

Kebanyakan pemotor itu bisa naik sepeda, namun belum tentu pesepeda bisa naik motor; minimal saya punya dua orang kawan yang bisa naik sepeda, kuat mengayuh pedal sepedanya hingga lebih dari seratus kilometer sehari, namun tidak bisa mengemudikan kendaraan bermotor dengan lancar. :)

 

 


Tetapi, pemotor yang mungkin waktu kecil dulu bersepeda, apakah mereka masih bersepeda di masa dewasa? Kalau iya, apakah mereka bersepeda untuk berolahraga? Atau mereka memanfaatkan sepeda sebagai moda transportasi? Beda lho pengalamannya, meski sama-sama bersepeda.

 

 

Ini pengalaman pribadiku ya.

 

 

Kalau tidak salah, pertama kali aku dibelikan sepeda oleh ayahku saat aku duduk di kelas 4 SD, setelah aku bisa naik sepeda, dengan mencoba sepeda milik kakakku. Tentu saja sepeda ini hanya kumanfaatkan untuk bermain-main saja, karena sekolahku terletak hanya sekitar 200 meter dari rumah, jadi tidak perlu moda transportasi. Awalnya, ibuku tidak keberatan melihatku bermain sepeda, hingga aku ikut-ikutan kawan saat bersepeda aku duduk di bangku boncengan di belakang, jadi kakiku menjulur ke depan untuk mengayuh pedalnya. Nampaknya karena khawatir terjadi sesuatu pada selaput daraku -- gegara cara dudukku yang tidak lazim -- ibuku akhirnya sering melarangku sepedaan.

 

 

Kalau tidak salah, ketika aku duduk di bangku SMP, aku sudah sangat jarang sepedaan. Aku juga lupa apakah sepedaku masih ada di rumah, atau mungkin sudah berpindah pemilik entah siapa. Kakakku yang masih rajin bersepeda, dia berangkat sekolah dengan naik sepeda, juga mengantarku sekolah (SMP) dengan naik sepeda. Oh ya, aku pernah sekali naik sepeda ke sekolah waktu duduk di bangku kelas 3 SMP dengan alasan sepele: cowo gebetanku yang duduk di bangku kelas 1 naik sepeda ke sekolah. Lol.

 

Sejak kelas 2 SMA aku mulai naik motor. Kakakku juga sudah mulai naik vespa. Entah kemana sepeda-sepeda saat kita kecil itu.

 

Sekitar tahun 1990 kakakku pindah ke Cirebon, ternyata kesukaannya bersepeda berlanjut, dia membeli sepeda federal, yang saat itu sedang booming. Setelah itu, dia membeli satu sepeda lagi, yang dia kirim ke Semarang untuk adik-adiknya. Maka, terkadang aku sepedaan lagi, hanya untuk berolahraga, meski jarang sekali.

 

Tahun 2008, aku dijawil oleh beberapa kawan medsos untuk bersama 'membentuk' wadah pesepeda ke kantor di kota Semarang, Bike to Work Chapter Semarang. Karena merasa turut serta bergabung dalam satu komunitas pesepeda, aku pun mulai mempraktekkan bersepeda ke kantor, menggunakan sepeda yang dikirim oleh kakakku ke Semarang di tahun 1992 itu. Dan … aku mulai memperhatikan bagaimana tingkah laku pemotor terhadap pesepeda, tidak seperti dulu waktu kecil.

 

Tahun 2008 itu, sepeda masih merupakan satu moda transportasi yang tidak begitu lazim, (Well, duluuuu mungkin sepeda pernah menjadi 'raja jalanan' ya, dekade2 sebelum 1980-an. Ayahku pernah bercerita beliau pernah bersepeda keliling Jawa Tengah di dekade 1960-an, mungkin sebelum menikahi Ibuku.) terasa banget para pemotor itu -- baik naik kendaraan bermotor roda 2 maupun roda 4 -- tidak menganggap pesepeda itu berhak menggunakan jalan raya; apalagi kendaraan bermotor yang lebih besar, misal bus dan truck.

 

 

Bukan satu hal yang lebay jika kukatakan dengan terbentuknya wadah pesepeda, tahun-tahun berikutnya kian banyak orang bersepeda, meski bukan untuk berangkat kerja ke kantor. Kian banyak pihak-pihak tertentu yang menyelenggarakan event fun bike. Ini adalah satu kemajuan yang bagus karena aku sendiri mulai merasakan bahwa pengguna jalan lain mulai memperhatikan pesepeda. Jika di tahun 2008 aku sering diklakson orang ketika menyeberang jalan, semakin 'kesini' semakin kulihat mereka sedikit bersabar dengan menekan rem kendaraan mereka ketika melihat seorang pesepeda menyeberang.

 

 

Satu kali hal ini menjadi obrolan dengan kawan-kawan pesepeda. Jika seorang pemotor beralih menjadi pesepeda -- meski mungkin hanya seminggu sekali -- dia akan menjadi lebih sabar di jalan raya ketika naik motor dan berpapasan dengan pesepeda. Dia tidak akan grusa grusu melihat pesepeda menyeberang jalan, atau ketika ada rombongan pesepeda di depannya.

 

 

Aku pikir (well, berharap) bahwa akan kian banyak orang yang semakin menghormati keberadaan pesepeda di jalan raya. Namun nampaknya ini hanya menjadi angan-anganku belaka, entah sampai kapan. Ketika kaos lawas disain seorang kawan mendadak viral , komentar-komentar yang ditulis menunjukkan ketidaksadaran orang-orang bahwa bagaimana pun juga, saat lingkungan kian terpolusi, saat jumlah BBM kian menipis, sepeda adalah pilihan moda transportasi yang paling handal, apalagi di tengah pandemi covid 19 ketika orang-orang disarankan untuk mengurangi ketergantungan pada moda transportasi massal. Bersepeda ke tempat kerja atau dimana pun kita melakukan kegiatan adalah pilihan yang paling tepat: (1) kita berolahraga sehingga kita bisa meningkatkan imun tubuh (2) kita menjaga jarak dari orang lain karena tidak naik moda transportasi massal (3) tetap mengurangi polusi yang terbuang ke udara (4) tetap mengurangi ketergantungan pada BBM sekaligus mengirit keuangan.

 

 

Jadi, bagi para pemotor yang tidak pernah memahami pesepeda, bagaimana kalau anda mencoba bersepeda ke tempat kerja, minimal satu minggu saja, dan rasakan sendiri bahwa frasa "SING PINTER NGEREM SING GOBLOK NGLAKSON" itu memang benar adanya.

 

 

PT56 16.23 18/06/20


Selasa, 16 Juni 2020

PESEPEDA DAN ADAB SOPAN SANTUN

'Gerakan moral' Bike to Work Indonesia secara resmi berdiri pada tahun 2005, setelah para 'founding fathers' berkumpul untuk membahas dan menggodog gerakan ini sejak satu tahun sebelumnya. Mereka yang bergabung dalam 'founding fathers' ini adalah mereka yang hobi bersepeda dan ingin menyalurkan hobi ini dalam bentuk memanfaatkan sepeda sebagai moda transportasi sehari-hari, dan bukan melulu sebagai alat olahraga. Mereka berpikir bahwa jika mendirikan sebuah 'wadah' resmi seperti komunitas mereka akan bisa memiliki kekuatan hukum ketika berhadapan dengan pihak-pihak yang mungkin bisa diandalkan untuk membantu memasyarakatkan kegiatan yang sangat berorientasi ke masa depan -- misal: dengan bersepeda kita mengurangi polusi udara, kita juga mengirit penggunaan BBM.

 



Setelah B2W Indonesia 'terjun' ke masyarakat dan mengajak komunikasi pihak yang memiliki otoritas -- pemerintah -- UU lalu lintas no 22 tahun 2009 menyertakan beberapa ayat yang melindungi pesepeda.

 

Pasal 62 ayat (1) pemerintah harus memberikan kemudahan berlalulintas bagi pesepeda.

Pasal 62 ayat (2) pesepeda berhak atas fasilitas pendukung keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran dalam berlalu lintas.

Pasal 106 ayat (2) setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan wajib mengutamakan keselamatan pejalan kaki dan pesepeda.

Pasal 122 ayat (3) Pengendara gerobak atau kereta dorong yang berjalan beriringan harus memberikan ruang yang cukup bagi kendaraan lain untuk mendahului.

 

Khusus untuk pasal 122 ayat (3) di atas, pesepeda juga termasuk ya, apalagi jika sedang bersepeda berombongan.


 


Selain itu masih ada PP no 79 tahun 2013 pasal 114 (58) yang berbunyi:

  1. Trotoar disediakan khusus untuk pejalan kaki
  2. Trotoar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat digunakan pesepeda apabila tidak tersedia jalur sepeda
  3. Penyedia trotoar sebagaimana dimaksud: (a) keamanan (b) keselamatan © kenyamanan dan ruang bebas gerak individu dan (d) kelancaran lalu lintas.

 

Nah, setelah mendapatkan perhatian dari pemerintah (better than nothing, ya gaes) kita harus tahu adab sopan santun di jalan raya dong ya.

 

SHARE THE ROAD

 

Sudah sekian tahun B2W Indonesia mengusung jargon SHARE THE ROAD alias berbagi jalan. Jika kita tidak mau pengendara kendaraan bermotor memenuhi jalan tanpa menyisakan ruang bagi pesepeda, (misal sama sekali tidak ada jalur lambat atau jalur sepeda)  maka selayaknyalah pengendara kendaraan bermotor menyediakan ruang bagi pesepeda.

 

Apakah kemudian pesepeda bisa sewenang-wenang memenuhi badan jalan?

 

Ya jelas TIDAK. Layaknya, pesepeda memilih jalur yang paling kiri. Jika ternyata ada yang menempati -- misal pejalan kaki karena tidak tersedia trotoar -- pesepeda bisa memilih jalur yang agak ke kanan. Yang paling penting disini adalah pesepeda memanfaatkan jalan raya dengan mengutamakan keselamatan untuk diri sendiri, juga untuk pengguna jalan lain. UU no. 22 tahun 2009 pasal 122 ayat (3) cukup memberi info yang jelas.

 



Akan tetapi, tidak semua pesepeda mengayuh pedal sepedanya pelan-pelan, ada atlit sepeda yang harus rajin latihan naik sepeda dengan kecepatan yang kadang menyamai kendaraan bermotor, misal dengan kecepatan sampai 30-40 km perjam. Khusus untuk rombongan ini, mereka diizinkan untuk mengambil lajur kanan, tentu dengan melihat kondisi jalan ya. Yang penting disini adalah saling menghormati pengguna jalan yang lain. Pengendara kendaraan bermotor menghormati pengendara kendaraan tidak bermotor, dan begitu juga sebaliknya.

 

Jangan sampai apa yang pernah terjadi di satu negara luar beberapa tahun lalu juga terjadi di Indonesia: ketidaksukaan pengendara kendaraan bermotor kepada para pesepeda membuat mereka menabrak pesepeda yang memenuhi jalan, ketika mereka mengikuti satu event sepedaan!

 

PT56 16.26 15-June-2020


Minggu, 14 Juni 2020

Pandemi Covid 19 dan Pesepeda

Di "awal2" pandemi (pertengahan bulan Maret 2020, saat pemerintah mulai menghimbau rakyatnya untuk 'stay at home') beberapa kawan yang berbisnis sepeda mengeluh penjualan mulai seret. (Well, sebenarnya (hampir) semua usaha seret ya? Tapi di tulisan ini saya cuma fokus ke bisnis penjualan sepeda.) Baik mereka yang memiliki toko sepeda (fisik) maupun mereka yang berjualan sepeda online.

 


Yang mengherankan mendadak sekitar awal /pertengahan bulan Mei seorang kawan menulis status di timeline-nya, "maaf, yang menelpon tidak bisa saya layani karena saya sibuk di toko." Selidik punya selidik ternyata saat itu mulai banyak orang tertarik membeli sepeda. Dan saya mulai memperhatikan jika saya sepedaan di pagi hari setelah sahur, apalagi jika di hari Minggu, saya berpapasan dengan banyak pesepeda.

 

Selepas Idul Fitri 24 Mei 2020, jalanan kian ramai dengan pesepeda, pagi dan sore, apalagi jika hari Sabtu/Minggu. Kebetulan hari Minggu 14 Juni 2020 saya lewat Kota Lama Semarang, yang menjadi destinasi wisata idola baru setelah direnovasi oleh pemerintah Kota Semarang. Situasinya ramai sekali, banyak pesepeda lewat, apalagi yang nongkrong untuk berfoto-foto. Selepas Kota Lama, sepanjang jalan Pemuda hingga Tugumuda pesepeda bertebaran dimana-mana, tidak jauh beda dengan kondisi ketika ada funbike.

 

Ini adalah fenomena yang menarik untuk dikaji menurut saya. Ada apa?

 

Saya sempat ngobrol tentang hal ini dengan adik saya yang juga memilih sepeda sebagai moda transportasi untuk pergi ke tempat-tempat yang tidak terlalu jauh dari rumah, sekaligus berolahraga.

 

Kota Lama 14 Juni 2020 pagi


Untuk anak-anak yang masih usia sekolah -- sekitar 8 - 18 tahun -- mungkin mereka telah mencapai titik jenuh untuk terus berada di rumah. Bermain game online pun lama-lama membosankan. Akhirnya mereka memilih keluar rumah dengan bersepeda. Dua tiga anak, akhirnya mereka menularkan kegiatan satu ini ke kawan-kawan yang lain. Sekelompok anak-anak mengundang berkelompok-kelompok anak lain untuk melakukan hal yang sama. Yang mengherankan, ini tidak hanya terjadi di satu kota. Semarang, Solo, Pemalang, Bandung, dan mungkin juga kota-kota lain terjadi hal yang sama. Ranz yang tinggal di Solo bilang harga sepeda di Solo meningkat tajam!

 

Bagaimana dengan mereka yang berusia dewasa?

 

Beberapa hari lalu kebetulan saya membaca status seorang kawan facebook: dia berhasil 'ngompori' kawan-kawan sekolahnya dulu untuk bersepeda! Tentu ini ada hubungan dengan pandemi dimana pemerintah menghimbau rakyatnya untuk jaga jarak. Beberapa lokasi yang biasa menjadi tujuan untuk berolah raga (misal di Semarang lapangan 'Tri Lomba Juang' yang juga sempat menjadi primadona tempat berolahraga yang murah meriah) tutup; kolam renang umum juga tutup. Sementara itu, rakyat diharapkan untuk meningkatkan imun tubuh dengan salah satu caranya adalah berolahraga.  Bersepeda adalah salah satu solusi yang lebih menyenangkan ketimbang jalan kaki atau jogging. Dengan bersepeda kita bisa mencapai jarak yang lebih jauh dengan mudah ketimbang jalan kaki atau jogging, terutama bagi pemula. Selain itu, jogging lebih memberatkan tubuh dibandingkan bersepeda. Bersepeda santai -- misal dengan kecepatan rata-rata 10km/jam -- lebih disarankan untuk dilakukan mereka yang sudah berusia di atas 40 tahun ketimbang jogging.

 

Bersepeda sangat disarankan untuk dilakukan di masa pandemi seperti sekarang ini terutama jika kita melakukannya sendirian, atau maksimal dengan sekelompok orang tak lebih dari 5 orang, dan tetap menjalankan protokol kesehatan yang ketat: mengenakan masker, memilih tempat yang sepi, waktu yang tepat, biasanya di pagi hari setelah Subuh dimana hawa masih segar dan belum banyak orang beredar di jalan raya. Usahakan untuk tidak mampir kemana-mana, misal angkringan/warkop; jika sampai harus mampir, lakukan protokol kesehatan seperti cuci tangan yang bersih menggunakan sabun dan air mengalir sebelum mulai makan/minum, dan selalu ingat untuk tidak menyentuh hidung, mulut, dan mata dengan tangan yang belum dicuci.

 

Pantai Cipta 14 Juni 2020


Sampai pertengahan Juni ini, saya masih tetap memilih bersepeda sendiri. Eh, lha memang biasanya sendiri, kecuali jika sedang bikepacking dengan Ranz. Dan kecuali-kecuali yang lain. Lol.

 

PT56 17.00 14-Juni-2020


Tata cara gowes New Normal bisa diklik disini


Senin, 08 Juni 2020

Gowes SMART menyambut NEW NORMAL

Le génie humain a des bornes, Mais la sottise n’en a pas.

 

"Humans genius has its limits, but stupidity does not." (Alexander Dumas)

 



Entah mungkin pemerintah 'hanya' latah untuk mengaplikasikan 'new normal' karena negara-negara lain mulai mengaplikasikannya, atau memang pemerintah telah mempertimbangkannya secara masak-masak saat menyatakan Indonesia akan segera memasuki era new normal.

 

Mengapa saya mengatakan begitu? Karena seperti kita tahu sampai tanggal 7 Juni 2020 peningkatan jumlah pasien positif covid 19 ada 672, sedangkan penambahan jumlah pasien yang dinyatakan sembuh ada 591; sehari sebelumnya tanggal 6 Juni 2020 malah peningkatan jumlah pasien positif covid 19 ada 993, nyaris mencapai angka seribu, sedangkan peningkatan jumlah pasien sembuh ada di angka 464. (Data yang disampaikan oleh Bapak Achmad Yurianto.)

 

Satu alasan yang pasti mengapa pemerintah sudah ingin memberlakukan 'new normal' adalah untuk menyelamatkan keterpurukan sektor ekonomi. Seperti contoh yang saya tulis di artikel sebelum ini, contoh keterpurukan sektor ekonomi di daerah saya tinggal, Semarang, seorang pedagang soto ayam yang sebelum masa pandemi biasa memasak nasi 5 kilogram sehari dan habis dibeli orang, setelah masa pandemi dia memasak hanya 1,5 kg saja kadang tidak habis dia jual. Contoh lain banyak orang yang terpaksa dirumahkan dari tempat mereka bekerja karena memang perusahaan tempat mereka bekerja mendapatkan pesanan barang yang jauh berkurang ketimbang sebelumnya; satu portal berita memberitakan banyak PRT yang tidak lagi dipekerjakan karena banyak keluarga yang terpaksa mengirit  pengeluaran bersama dengan menurunnya income keluarga.

 

Akan tetapi nampaknya banyak masyarakat yang berpikir bahwa pemberlakuan new normal menandakan bahwa virus corona tak lagi semengerikan seperti yang digembar-gemborkan media di awal ditemukannya pasien pertama covid 19 di Indonesia. Apalagi dengan viralnya beberapa tulisan orang di media sosial tentang ketidakpercayaan mereka bahwa virus corona ini benar-benar ada, dan menuduh pemerintah hanya menakut-nakuti rakyat. :(

 

Entah karena masyarakat mulai bosan 'dikurung' terus dalam rumah, bosan merasa takut pada hal yang tak terlihat (virus), atau alasan yang saya tulis di paragraf sebelum ini, new normal ini ditandai dengan kembalinya jalan-jalan ramai (dan macet!), lokasi-lokasi tertentu dipenuhi masyarakat (misal GBK dikunjungi puluhan ribu orang pada hari Minggu 7 Juni untuk melakukan olahraga).

 

PESEPEDA

 

Kekhawatiran bahwa new normal akan membawa 'gelombang kedua' covid 19 (lah, gelombang pertama saja jumlah pasien covid 19 belum menurun!) kawan-kawan yang berkecimpung dalam gerakan moral BIKE TO WORK mengadakan diskusi virtual mengenai apa-apa yang sebaiknya dilakukan oleh para pesepeda untuk membantu pemerintah menekan laju penyebaran covid 19. ini disebabkan melihat kian banyak para pesepeda yang melakukan kegiatan bersepeda beramai-ramai dengan komunitas masing-masing.

 

Dokter Aristi (yang juga seorang pesepeda senior) merumuskan gowes SMART.

 

S merupakan singkatan dari Solo (sendirian) atau Small group; jangan bergerombol. Kalau pun kebelet bareng, jangan lebih dari 5 orang. Jaga jarak sekitar 2 meter antar pelari atau 20 meter antar pesepeda. Pak Yuri mengatakan bahwa ada sekitar 80% penderita covid 19 itu OTG (orang tanpa gejala). Bisa bayangkan bahayanya jika kita bersepeda ramai-ramai karena kita tidak tahu bahwa selalu ada kemungkinan OTG dalam peleton kita.

 

M merupakan singkatan dari Masker; bawalah dan biasakan pakai masker. Jika kita bersepeda di satu jalur yang cukup ramai dilewati orang, kemudian ada seorang pemotor / pesepeda lain menyalip kita, dan kebetulan dia tidak mengenakan masker, plus mendadak dia bersin, atau mungkin meludah, minimal kita telah melindungi diri sendiri dengan mengenakan masker. Bagi para pesepeda profesional -- mungkin atlit yang butuh latihan olahraga dengan serius -- masker bisa dibawa, dan dipakai saat dibutuhkan. Jika kita bersepeda menyusuri sawah yang sepi, ya boleh lah masker kita lepas untuk sementara.

 

 

A merupakan singkatan dari Arm protection; kenakan jersey lengan panjang atau gunakan manset. Pesepeda bisa pakai gloves. Hindari virus menempel di kulit lengan. Kalau memungkinkan, kita tidak perlu mampir warung ya, bawa minum sendiri. Jika butuh cemilan ya bawa sendiri dan ngemil saat melewati tempat yang sepi. Cuci tangan dengan sabun jika hendak makan. Nah, jadi tambah kudu bawa sabun deh. Lol. Ya, pokoknya kalau dirasa butuh mampir warung, dan yakin bahwa warung itu terjaga kebersihannya, kita tetap harus mencuci tangan dengan sabun.

 

 

R merupakan singkatan dari Rute; pilih rute atau lintasan yang tidak ramai. Hindari keramaian, agar tidak berpapasan dengan orang banyak. Jika memungkinkan, perhatikan zona-zona merah di daerah kita, hindari lewat zona-zona tersebut.

 

 

T merupakan singkatan dari Timing; pilih waktu lebih pagi, jam 05.00 - 06.00, jam segini biasanya belum terlalu banyak orang yang keluar rumah, dan udara pun juga masih segar. Jika bersepeda untuk meningkatkan imun tubuh, kita tidak perlu melakukannya sampai lebih dari 60 menit kan ya. Satu jam dengan kecepatan rata-rata 15 km / jam sudah cukup. Jika targetnya lebih dari 15 menit, bisa berangkat lebih pagi lagi, setelah shalat Subuh jam 04.30, kita bisa langsung keluar rumah, dengan catatan pilih rute yang aman, dan jangan kenakan/bawa aksesoris yang tidak penting untuk menghindari kejahatan seperti penodongan.

 

 




Dokter Aristi sebenarnya telah mencoba memasyarakatkan ide "Gowes SMART" ini via media sosial sekitar sejak awal Juni 2020, kemudian diviralkan oleh kawan-kawan pesepeda lain, entah lewat facebook, instagram, maupun twitter. Ini karena dia gemas melihat masih banyak postingan kawan2 pesepeda yang bersepeda dalam gerombolan dengan jumlah orang yang cukup banyak, kemudian berfoto bersama sambil nampak haha hihi tanpa mengenakan masker, konon DEMI EKSIS. Jika yang melakukan ini para pesepeda baru alias baru bersepeda setelah pandemi atau mungkin baru 1-2 tahun terakhir, masih bisa dipahami, (meski juga mengesalkan) mungkin karena mereka butuh eksis. Namun jika yang melakukannya para pesepeda yang sudah lama bersepeda -- entah untuk olahraga entah untuk yang lain -- kira-kira di atas 6 tahun, rasanya memang membuat tangan gatal, untuk mengetik kata-kata kasar di keyboard. Lol.

 

Melalui tulisan ini, saya menghimbau, mari kita yang waras, lol, turut serta memasyarakatkan ide "Gowes SMART" ini, demi Indonesia yang lebih sehat dan membaik secara ekonomi maupun di sektor-sektor yang lain. Be genius. No need to spread stupidity.


LG 14.55 08 June 2020  

 




Jumat, 05 Juni 2020

Pantai-pantai di Kota Semarang

Sebagai kota yang terletak di pinggir utara Pulau Jawa bagian tengah, selayaknya Semarang memiliki garis pantai yang cukup panjang. Akan tetapi sayangnya sampai sekarang, Semarang hanya memiliki satu pantai yang bisa dikatakan cukup diperhatikan oleh pemerintah dan layak dikunjungi; yakni Pantai Marina.

 


  1. PANTAI MARINA

 

Aku lupa mulai kapan Pantai Marina ini direnovasi kemudian dibuka untuk umum. Yang aku ingat, aku kesini tahun 2007 bersama kakakku + istrinya, dua adikku, dan Angie anakku. Waktu itu lumayan lah untuk refreshing, meski pantai ini tidak memilik area berpasir yang luas. Ada satu kompleks perumahan yang dibangun disini dengan rumah-rumah berukuran besar dan design yang cukup keren. Sayangnya beberapa tahun kemudian gegara rob, areanya sering dipenuhi banjir. Dan seperti biasa, untuk menghalau air banjir, kawasan ini ditinggikan. Yang dulunya ada area untuk bermain tamiya jelas tertutup urugan tanah. Dan … deretan rumah di pinggir pantai yang dulu sempat membuatku ngiler, lol, tertutup urugan tanah ini, sehingga tak lagi nampak indah dipandang. Aku membayangkan jika dulu para penghuni bisa langsung menikmati pemandangan laut lepas begitu keluar rumah, sekarang yang mereka lihat ya gundukan tanah.

 

Aku menyayangkan tidak adanya perhatian dari pemerintah untuk mengelola pantai ini dengan lebih profesional.

 

  1. PANTAI MARON

 

Semenjak mengenal sepedaan tahun 2008, aku mulai mengenal beberapa pantai lain yang ada di Semarang. Yang pertama adalah Pantai Maron. Pantai Maron terletak di 'belakang' bandara A. Yani yang lama. Dulu pengunjung bisa lewat area bandara, atau jl. Jembawan. Pertama kali kesini tahun 2008, area berpasir masih lumayan luas, yang membuatku berpikir Maron ini lebih menarik dikunjungi ketimbang Marina. :) Bahwa permukaan jalan dari bandara menuju pantai sangat tidak bersahabat dengan mobil sedan, karena terdiri dari tanah yang bertaburan batu, tidaklah mengapa buatku, karena sejak tahun 2008 sampai sekarang, aku selalu kesini naik sepeda. Lol.

 


Abrasi yang terjadi terus menerus akhirnya menggerus area berpasir Pantai Maron. Satu kali, deretan ruang untuk berbilas orang-orang setelah bermain air di pantai pun mundur hingga lebih dari 10 meter. Demikian juga deretan warung-warung yang berjualan berbagai jenis makanan dan minuman. Beberapa saat kemudian, area ini direklamasi, hingga garis pantai kembali menjorok ke laut lagi. Meskipun begitu, area ini tak lagi semenarik pertama kali aku ke Pantai Maron.

 

Meski dibuka untuk umum, beberapa tanda yang dipasang di daerah ini memberi info bahwa daerah ini dipakai untuk latihan militer. (Tempat untuk 'pembaretan'.) inilah alasan utama mengapa setelah Bandara Ahmad Yani dipindah ke tempat yang baru, Pantai Maron tertutup untuk umum. Padahal pabrik Phapros sempat membuat area penanaman mangrove yang dibuat cukup instagrammable (sekian tahun lalu, kurleb tahun 2016) untuk menarik pengunjung.

 

  1. PANTAI TIRANG

 

Aku tahu pantai ini semenjak mengenal Pantai Maron karena letaknya berseberangan dengan sungai yang menuju ke laut. Kukira dulu juga bagian dari Pantai Maron, ternyata bukan. Jika di tahun 2008 dulu masih ada jembatan yang menghubungkan jalan masuk menuju Pantai Maron dan jalan masuk yang menuju Pantai Tirang, beberapa tahun kemudian jembatan ini ditutup aksesnya. Setelah akses jembatan ini ditutup, hanya ada satu jalan masuk (via darat) untuk menuju Pantai Tirang, yakni lewat perumahan Graha Padma.

 

vlog besutan Ranz


Permukaan jalan masuk menuju Pantai Tirang, selepas meninggalkan kawasan perumahan Graha Padma, jauh lebih menantang ketimbang jalan masuk menuju Pantai Maron, apalagi jika setelah turun hujan lebat. Dan, karena harus melewati satu jembatan sempit yang menghubungkan antara perumahan GraPad dan jalan masuk menuju Pantai Tirang, mobil tidak bisa menuju area pantai.

 

Tahun 2017 waktu dolan kesini bersama kawan2, area berpasirnya masih cukup luas. Meski areanya dipenuhi sampah (yang nampaknya berupa sampah dari laut yang dibawa ombak ke garis pantai), masih lumayan lah untuk dikunjungi dan menghasilkan foto-foto yang layak ditampilkan di instagram. Namun ketika aku kesini bulan Mei 2020 kemarin, area berpasir dipenuhi dengan tanaman enceng gondok. :(

 

Kembali aku mempertanyakan komitmen pemerintah, apakah pantai yang ada tidak layak mendapatkan perhatian dari pemerintah? Apakah karena jalan masuk ke pantai ini harus lewat perumahan Graha Padma, pantai ini otomatis menjadi milik perumahan? Dan pemerintah tak punya hasrat untuk membuatnya layak untuk dijadikan satu destinasi wisata? Hiks …

 

  1. PANTAI CIPTA

 

Aku tahu pantai ini gegara Ranz yang penasaran mencari pantai Baruna, saat satu kali dolan berdua dengan Tami, mungkin sekitar tahun 2015. Tami mengaku dia sering dolan kesini ketika dia kecil, saat pingin ngelangut, lol. Maka ketika Ranz mencari lokasi pantai Baruna, Tami mengajaknya ke pantai Cipta, karena justru Tami tidak tahu pantai Baruna. (FYI, saat itu mereka dolan berdua karena aku ada kegiatan lain.)

 

Oh ya, yang penasaran letak pantai Cipta, ini ada di balik 'pelabuhan peti kemas', di sebelah Timur pantai Baruna. Karena merupakan 'pelabuhan peti kemas', bayangkan sampah yang berserakan di daerah ini. Sayangnya terakhir aku dolan kesini sudah cukup lama, mungkin sekitar tahun 2016 karena banyak truk-truk yang bersliweran di area menuju pantai, aku enggan kesini.

 

  1. PANTAI BARUNA

 

Pertama kali aku diajak kesini oleh seorang kawan tahun 2008, aku belum kenal sepedaan, maka aku kesini naik motor. Waktu itu, jalan setapak di pinggir pantai masih ada, mungkin panjangnya sekitar 500 meter. Awal mengenal sepedaan, kadang aku kesini sendiri, namun karena jalannya bakal becek jika hujan turun, aku jarang kesini, masih mending ke Maron waktu itu.

 

Aku dan Ranz kesini mungkin sekitar tahun 2015 ketika Ranz bercerita ke aku mencari pantai Baruna malah ketemu pantai Cipta. Pertama kita berdua kesini naik motor. Yang berikutnya kita naik sepeda. Sekitar bulan Oktober/November 2015 Ranz sempat merekam perjalanan kita kesini dengan kameranya dan membuat video pendek.

 

Sekitar tahun 2016 aku mengajak Angie kesini. Ilalang yang tersebar di area yang cukup luas cantik diabadikan dalam kamera. Tahun 2017 aku kesini bareng kawan-kawan dan baru tahu bahwa tak jauh dari pantai ada satu lokasi yang cukup penting mencatat sejarah pertempuran 5 hari di kota Semarang; yakni Monumen Ketenangan Jiwa. Semenjak itu, aku cukup sering bersepeda kesini, dengan catatan di musim kemarau, karena hujan akan membuat jalan yang kulewati bakal becek sebecek-beceknya. Lol.

 

Lihat, minimal ada 5 pantai lho di Semarang ini. Apakah kira-kira pemerintah tidak pernah memasukkan pantai-pantai ini dalam rencana renovasi untuk dijadikan destinasi wisata yang layak?

 

LG 15.36 05-Juni-2020