Setelah mengikuti ‘kampanye bersepeda’, beberapa anggota b2w—Triyono, Ndaru, Agung, Eka, Yoni, Drajat, Hidayat, Kholik, Nasir dan aku sendiri—melanjutkan nggowes ke Pantai Maron yang terletak tidak jauh dari bandar udara Ahmad Yani Semarang. Mengingat hari-hari terakhir ini hujan turun setiap hari di Semarang, yang nota bene matahari jarang bersinar, aku sudah memperkirakan medan off-road setelah lepas dari kawasan bandara akan menjadi sangat berlumpur, mungkin ada kubangan air di sana sini, sehingga menjadi sangat menantang bagi mereka yang melewatinya.
baru masuk ke kawasan lumpur |
aku di depan :) |
the only woman arrived at the beach :-D |
Perjalananku terakhir ke Pantai Maron yakni tanggal 23 Nopember. Meskipun sudah memasuki musim hujan, seingatku pada hari Sabtu 22 Nopember, seharian tidak turun hujan, dan matahari lumayan bersinar. Itu sebabnya meskipun jalannya licin di sana sini, masih ‘enak’ dilewati.
Namun perjalanan ke Maron tanggal 21 Desember ini meninggalkan kesan yang jauh lebih mendalam karena beberapa hal, selain karena seorang Agung Tridja ikut kali ini. (Dasar narsis, sebelum pulang dia sempat berbisik kepadaku, “Pokoknya event apa pun akan sangat berkesan kalo aku ikut!” LOL.)
Pertama berbelok ke areal off-road, teman-teman yang berada di belakangku (aku berada di depan karena aku sudah berpengalaman ke Maron beberapa kali) bersorak gembira, “Akhirnya kita sampai juga ke areal yang kita rindui!”
Baru beberapa meter berjalan, kita bertemu dengan banyak orang yang sedang berjalan berlawanan arah dengan kita. “Jalanan buruk mbak, ga bakal nyampe ke pantai! Mending berbalik saja!”
Aku tersenyum sambil menjawab, “Terima kasih.”
Kadang aku berkata, “Oh? Di sana jauh lebih buruk ya kondisinya?”
aku menuntun sepeda Eka, Eka duduk di atas Orange, di atas ada Yoni |
Ketika bertemu dengan seseorang yang dengan terang-terangan memprovokasi aku untuk kembali, sekaligus menunjukkan pesimisnya bahwa aku akan patah semangat di tengah jalan, aku bilang, “Ya gimana ya? Tuh teman-teman di belakang saya malah suka dengan kondisi jalan yang seperti ini!”
Klakep. LOL
Sesampai di separuh perjalanan, dimana ada sebuah jembatan yang menghubungkan jalan menuju ke sebuah perumahan, jalanan semakin memburuk. Tanpa kuketahui sebagian dari kita ada yang mengambil jalur kiri, termasuk mas Nasir, my savior dalam perjalanan XC ke Kedungjati.
Eka berusaha menaklukkan lumpur mengendarai Orange, sepedaku :) |
Aku sempat hampir patah semangat tatkala kaki kiriku terperosok ke lumpur, seluruh sepatu kiriku terbenam. Eka yang berada di belakangku tak henti-hentinya menyemangatiku, “Ayo mbak Nana, angkat kakinya, lanjutkan perjalanan. Kayuh terus pedalnya, jangan lupa stel girnya agar kayuhan ringan.” Ketika melihatku lebih memilih menuntun sepeda (aku mulai kehilangan kepercayaan diri bahwa aku mampu menaikinya), Eka pun menawarkan sepedanya kunaiki, “Mbak Nana naik sepedaku aja. Ini bannya mencengkeram!” Dan ternyata benar. Enak sekali nggowes di jalanan berlumpur seperti itu menaiki sepeda hasil rakitan Eka sendiri ini.
Beberapa saat kemudian aku baru menyadari beberapa dari kita—Triyono, Nasir, Hidayat, dan Drajat—memilih jalur kiri, yang konon katanya kondisinya tidak ‘semengerikan’ jalur kanan. I was a bit unhappy for this karena ‘saingan’ berebut untuk bernarsis ria di depan kamera akan berkurang. LOL. “Kita ga bisa foto bareng nanti di pantai!” rajukku, sambil setengah berteriak, agar mereka mendengar.
“Lha gimana lagi? Jalanan di situ parah banget!” komentar mas Nasir, setengah berteriak pula.
Beberapa saat kemudian ...
Setelah melihat air laut yang membiru dari kejauhan, menandakan bahwa ‘etape’ pertama kita akan berakhir, uh ... leganya hatiku. LOL.
“Jalanan becek berlumpur dan licin yang berat dilalui ini setara dengan lima tanjakan!” kata Agung hiperbola. LOL.
Wah, aku lebih memilih jalanan becek berlumpur ini Gung, dibandingkan lima tanjakan yang setinggi Gombel. LOL. Aku pun lega Darmawan tidak jadi ikut karena istrinya ga berani ‘menanggung resiko’. Poor her kalau harus berjuang melawan jalanan seperti ini.
Baru kali ini aku melihat pantai Maron sepi pengunjung. Warung penjaja makanan dan minuman pun hanya ada dua yang buka.
Perjalanan menantang yang cukup melelahkan ini, meskipun tidak jauh, telah membuat perut kita kelaparan. Apalagi aku yang lupa membawa minum. I was very thirsty!
“Tahu ga mbak, beda antara enak dan lapar itu tipis?” kata mas Ndaru, waktu kita menunggu pesanan makanan kita datang.
“Well, orang bilang lapar adalah lauk yang paling lezat..” jawabku.
Ini adalah kali pertama aku makan di salah satu warung di Pantai Maron. Maklum, untuk melanjutkan ‘etape’ yang kedua—yakni balik lagi ke jalan raya—kita semua tentu butuh asupan makanan dan minuman yang cukup.
“Will you directly post this in your blog tonight?” tanya Agung, sebelum kita melanjutkan perjalanan.
“How about if I write a poem for this?” tanyaku balik.
Agung manggut-manggut sambil bilang, “Bercinta dalam lumpur...”
“Hey ... that’s a superb idea!” komentarku.
(Namun ternyata meskipun telah nongkrong di depan monitor beberapa lama, tak jua muncul kata-kata yang bisa kupakai dalam puisiku, sehingga aku malah menulis ‘laporan perjalanan’ ini dalam bentuk esei.)
Kholik yang ada keperluan telah meninggalkan kita berlima seusai makan. Namun ternyata, dalam perjalanan balik, dia kurang beruntung, ‘letter S’-nya patah. Itu sebab tak lama kemudian kita berlima telah menyusulnya. Segera Eka mengeluarkan peralatan yang dia miliki, setelah kita memilih satu tempat di pinggir, di atas rumput. Aku menonton sambil terkagum-kagum karena yang bisa kulakukan dengan sepeda hanyalah menaikinya. LOL. Agung dengan cekatan melakukan ini itu. Mas Ndaru membantu memberi instruksi ini itu. Demikian juga Eka. Sedangkan Yoni ngadem di bawah rerimbunan, takut warna kulitnya tambah gelap, LOL, karena pada saat itu, sekitar tengah hari, matahari mulai memancarkan sinarnya.
Cukup makan waktu lama untuk membuat sepeda Kholik bisa dinaiki secukupnya. Sementara itu ternyata dia telah menelpon seseorang untuk menjemputnya yang kemudian datang naik sepeda motor. Sepedanya pun dia taruh di tengah.
Tak lama kemudian, sepeda Yoni yang hampir mengalami peristiwa yang hampir serupa dengan Kholik. Bedanya adalah Yoni segera menyadarinya, sehingga bisa segera pula dibetulkan, di bawah instruksi Eka, sehingga tidak sampai ‘letter S’-nya patah.
Tatkala menunggui kedua kakak beradik ini, aku sempat meprovokasi sepasang kekasih untuk kembali ke jalan raya saja, karena terlihat keragu-raguan di wajah kedua orang tersebut. Apalagi kulihat si perempuan mengenakan sepatu ‘feminin’ berhak sekitar 3 cm lancip.
“Sepatumu dilepas saja,” kata si laki-laki. “Lihat saja jalanan seperti ini.” Mungkin terbayang kalau dia terpaksa meminta kekasihnya turun dari motor.
Si perempuan ragu-ragu.
“Ya, lebih baik sepatunya dilepas saja.” Kataku, ikut campur. LOL. “Sayang kalau kotor, apalagi rusak,” kataku lagi.
“Tuh kan ...” kata si laki-laki berusaha meyakinkan kekasihnya.
“Atau lebih baik lagi balik aja ke jalan raya. Kondisi jalan di sebelah sana jauh lebih ‘buruk’ dibandingkan kondisi jalan di sini,” provokasiku.
Aku ingat provokasi orang-orang tatkala aku mulai memasuki medan ‘off-road’ gagal total menghentikan gowesanku.
Namun provokasiku berhasil dengan mudah. LOL. Si lelaki pun segera memutar sepeda motornya. Kembali ke jalan raya.
Si Orange memimpin sepeda-sepeda lain, xixixixi |
Setelah Yoni dan Eka berhasil membetulkan gear sepedanya, kita bertiga segera menyusul Agung dan mas Ndaru yang terheran-heran ada apa kok kita tertinggal lumayan jauh.
Sesampai di jalan raya, kita berlima sepakat mencari tempat cuci sepeda motor, agar sepeda kita bisa segera dibersihkan. Kita menemukan tempat itu di sebuah gang Anjasmoro, setelah bertanya kepada seorang tukang parkir di Jalan Anjasmoro Raya. Kebetulan yang memiliki usaha sedang ‘nganggur’ alias tidak ada pasien, sehingga sepeda-sepeda kita pun segera ditangani. Semula si Bapak pemilik usaha akan menolak, karena belum pernah mendapatkan ‘sepeda’ sebagai pasien. Namun, ternyata mas Ndaru’s authoritarian voice (baru tahu aku ternyata dia memiliki kemampuan para politisi ini LOL) membuat si Bapak menerimanya without any reservation. LOL. Untung di depan tempat cuci sepeda motor ini ada sebuah warung kecil tempat kita bisa nongkrong, minum dan makan snack, sambil ngobrol.
Untuk ‘lebih melengkapi’ kesan perjalanan kali ini, ban sepeda mas Ndaru bocor!!!
Menunggu proses cuci sepeda lima biji ini ternyata lumayan lama. Agung sempat pamer tubuh (bagian atas doang!!!) karena ga tahan panas. Angin sepoi-sepoi yang kadang berhembus membuat mata pun mengantuk.
“Ingat ga waktu kecil dulu kita paling malas kalau disuruh tidur siang? Kalau ga tidur siang, nanti dislentik telinganya!” kata mas Ndaru.
full team, kecuali Ndaru, sang photographer :-D (ki-ka: Yoni, Agung, aku, Eka, Kholik) |
Aku langsung ketawa ngakak karena ingat masa kecil dulu. Seingatku aku ga pernah membangkang kalau disuruh tidur siang. Tapi kakakku pernah punya ‘kasus’ dengan bokap gara-gara ga mau pakai sandal. Kita diharuskan memakai sandal, meskipun berada di dalam rumah, demi menjaga kebersihan kaki dan kesehatan tubuh. Kakakku paling malas memakai sandal hingga satu hari bokap marah-marah waktu pulang dari kantor. Melihat kakakku tersayang dimarahi, aku pun menangis keras-keras. Bokap pun heran; orang yang dimarahin kakaknya, ini kenapa si adik yang nangis? LOL. Nyokap yang mencup-cup aku pun bilang, “Yang dimarahin bukan Nana kok. Udah cup diem.” Aku tetap saja menangis, sehingga bokap pun akhirnya berhenti marah. LOL.
“Betapa enaknya tidur siang itu. Nyesel deh kenapa waktu kecil dulu aku suka mbeling kalau disuruh tidur siang. Maunya main melulu. Sekarang? Tidur siang di kantor jelas diomel-omelin bos. Bisa tidur siang adalah sebuah anugrah ...” Kata mas Ndaru lagi lebih lanjut. LOL.
aren't my sneakers lovely? :0D |
Ban bocor sepeda mas Ndaru ditangani sendiri karena kebetulan dia membawa persediaan untuk menambal ban bocor, dan Eka membawa pompa kecil yang dari jauh nampak seperti vibrator. Wakakakaka ... (Suwer, aku ngelihatnya HANYA di salah satu serial “Sex and the City”, belum ngeliat yang asli. LOL.) Ajaibnya, yang melakukan penambalan adalah Yoni. (Yon, kamu bisa buka usaha tambal ban! LOL.)
“In this off-road trip, Eka is your savior...” kata Agung, sebelum kita meninggalkan tempat.
“Yup, you are absolutely right!” jawabku.
Aku bersyukur tempat tinggalku tidak jauh dari Anjasmoro. Yoni dan Eka lumayan masih harus menggowes sepedanya dalam waktu beberapa lama. Agung dan mas Ndaru yang perjuangannya paling ‘poll’, karena tinggal di ujung Semarang bagian Tenggara.
*****
Dari perbincangan sejenak aku tahu bahwa keempat orang yang mengambil jalur kiri gagal mencapai laut karena suatu ‘rintangan’. Demi kemaslahatan bersama, akhirnya mereka memutuskan untuk kembali.
PT56 23.45 211208
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.