Cari Blog Ini

Selasa, 31 Agustus 2021

13 tahun berbike-to-work

To our disappointment, tahun ini, ternyata kondisi Indonesia -- khususnya -- (dan mungkin juga sebagian negara di luar) tidak jauh berbeda dari tahun lalu. Gegara Covid 19 varian Delta merajalela sekitar awal Juni 2021 di hampir seluruh Pulai Jawa, Madura, dan Bali, Pemerintah memberlakukan PPKM darurat, dimana kondisi jalan raya mirip dengan kondisi di awal pandemi Covid 19 masuk ke Indonesia: pertengahan Maret 2020 sampai Pemerintah memberlakukan "new normal" di bulan Juni 2020. Jalan raya nampak lengang kecuali saat rush hour. Jika di masa "normal" dulu (baca => sebelum pandemi Covid 19) rush hour itu terjadi beberapa kali selama satu hari: saat anak-anak berangkat/pulang sekolah, plus saat para pekerja berangkat/pulang kerja. Di masa "new normal" praktis rush hour terjadi hanya 2 kali sehari: saat para pekerja (yang terpaksa harus work from office).

 




Bagi seorang bike-to-worker seperti saya, sangat menarik mencermati bagaimana kondisi tahun lalu jauh berbeda dengan kondisi tahun ini: tahun lalu, pandemi menarik orang untuk beralih dari kendaraan bermotor ke sepeda sebagai moda transportasi. Banyak portal berita mewartakan hal ini, tidak hanya di Indonesia, namun juga di banyak negara luar. Selain itu, berbondong-bondong di akhir pekan orang-orang bersepeda sebagai alternatif olahraga yang (seharusnya) bisa dilakukan secara mandiri, bukan kolektif karena menghindari kerumunan merupakan satu protokol kesehatan untuk mengurangi penularan Covid 19.

 

Gegara fenomena itu, harga sepeda melambung tinggi, di luar batas kewajaran. Harga spareparts sepeda juga mengalami lonjakan harga gila-gilaan. Banyak toko sepeda sampai harus menutup pintu masuk, untuk membatasi pengunjung yang berniat untuk membeli sepeda. Pabrik-pabrik sepeda sampai harus ngebut merakit sepeda baru untuk memenuhi pasar yang menggila. Tahun lalu.

 

Entah apa yang terjadi tiba-tiba di awal tahun 2021 trend ini menurun drastis. Pabrik-pabrik sepeda telanjur memproduksi sepeda secara masif, namun peminat justru berkurang. Banyak kawan yang memiliki bisnis jual beli sepeda bilang, "Kondisi ini sama sekali di luar ekspektasi kami. Okelah jika laju penjualan menurun, tidak lagi seperti pertengahan tahun 2020, dan kembali ke masa sebelum pandemi. Tapi ini gila. Susah sekali kami mendapatkan pembeli. Sebelum pandemi, masih mending lah, sebulan saya bisa mendapatkan pembeli 1 - 2 orang, bahkan lebih. Sekarang belum tentu dalam sebulan saya bisa menjual sebuah sepeda," keluh seorang kawan.


 




Saya hanya seorang bike-to-worker, bukan pebisnis, dan hanya mengamati postingan kawan-kawan di medsos. (Sejak awal pandemi Maret 2020, saya menghindari sepedaan ramai-ramai dengan kawan-kawan.) Mungkin orang-orang yang tahun lalu mendadak sepedaan itu tidak menemukan keasyikan "between their legs" saat bersepeda sehingga tidak mampu melakukannya secara istiqamah? Mungkin mereka yang sempat bersepeda ke tempat kerja (tahun lalu) untuk menghindari kerumunan dalam alat transportasi massal merasa, "duh, ga asyik ternyata bersepeda ke kantor: melelahkan!"

 

Apakah kira-kira kesenjangan sosial antara sepeda mahal dan sepeda tidak mahal (misal: sepeda lipat bromp*on versus sepeda lipat lokal paci**c, atau sepeda balap merk tertentu yang jelas harganya puluhan kali lipat ketimbang sepeda lipat merk lain) mempengaruhi menurunnya trend orang bersepeda?

 

Sementara itu, memasuki tahun ke-13 saya mengklaim diri sebagai seorang bike-to-worker, saya tetap bersepeda ke pasar tradisional, minimarket, supermarket, toko buku, optik, dll. Sebelum varian Delta merajalela, saya sempat bersepeda ke kantor sesekali. Setelah varian Delta menggila, PPKM darurat berlaku, saya kembali fully work from home.

 

HAPPY 16th ANNIVERSARY B2W INDONESIA!

 

Semarang, 01 September 2021