Cari Blog Ini

Kamis, 14 Desember 2017

MERAMBAH KOTA LAIN DENGAN BERSEPEDA

MERAMBAH KOTA LAIN DENGAN BERSEPEDA

Beberapa minggu terakhir (Desember 2017) dunia persepedaan Indonesia sedang ‘heboh’ memperbincangkan tentang seorang pesepeda bernama Nafal Quryanto. Nafal menemui ajalnya saat mewujudkan impiannya untuk bersepeda menuju Nepal, setelah bermimpi selama kurang lebih 3 tahun.

Setelah mempersiapkan segalanya selama tiga tahun – menabung, merencanakan rute perjalanan, sekaligus tentu saja menyiapkan fisik serta mental, dll – Nafal meninggalkan kota tempat tinggalnya Bogor di bulan Mei 2017. Beberapa berita di media utama mengangkat kisahnya menjadi headline setelah terdengar kabar Nafal harus menghentikan perjalananannya antara India dan Nepal karena kecelakaan yang merenggut nyawanya.
Ada juga sebuah media yang menulis opini tentang berbahayanya bersepeda seorang diri menempuh jarak jauh, apalagi dengan trek yang sulit, misal harus melewati pegunungan. Hmm ... barangkali mereka belum tahu kisah sang legendaris turing sepeda, Paimo? Dia telah mengunjungi banyak negara dan tentu juga gunung dengan naik sepeda, sendirian juga. Nepal pun telah dia kunjungi mungkin sekitar 10 tahun yang lalu. Barangkali Nafal pun ngefans pada Paimo dan menjadikannya sebagai role model, selain AristiPrajwalita, sang peturing perempuan, yang ikut membantu Nafal merencanakan perjalanannya bersepeda ke Nepal.

waktu kita ke Pantai Klayar, Agustus 2013

Aku dan Ranz

Delapan tahun yang lalu, waktu diajak seorang kawan untuk menyambut 3 orang b2c-er (bike to campuser) dari Jakarta menuju Jogja, dan lewat Semarang, aku terkagum-kagum melihat mereka menempuh jarak ratusan kilometer hanya bertiga. Waktu aku bercerita tentang hal ini pada seseorang, dia mengatakan bahwa perjalanan jauh akan jauh lebih mudah (direncanakan maupun dijalani) jika dilakukan hanya berdua, atau bertiga. Maksimal berempat lah. Jika lebih dari itu, akan lebih sulit menyatukan keinginan.

Dan ... ternyata benar adanya! Aku telah membuktikannya dengan bersepeda ke beberapa propinsi hanya berdua dengan Ranz. Berdua tentu lebih nyaman karena kita tidak akan begitu kesepian dalam perjalanan. J (Bahwa aku adalah seorang loner tidak berlaku disini, aku butuh navigator, pembaca peta, mekanik, tukang foto, sekaligus porter dong. Semua itu ada di satu orang, Ranz. LOL.) dan karena kita berdua sama-sama perempuan, kita ga perlu khawatir bakal ditolak jika kita mampir menginap di satu hotel syariah. LOL.

di perbatasan Solo - Klaten, dalam perjalanan ke Purwokerto, Maret 2013

Di satu tulisan di media kubaca bahwa Paimo menyatakan satu perjalanan baru bisa disebut turing jika jarak yang ditempuh minimal 5000 kilometer. Syukurlah selama ini kita tidak pernah menyatakan diri melakukan turing, lol, cukup berbikepacking.  Di tahun 2012 waktu kita bertemu dengan seorang teman facebook yang telah tinggal di Amerika selama puluhan tahun, yang kebetulan dolan ke Semarang, menyebut kita sebagai bike traveler.  Menurutku Om Ling Tan ada benarnya juga. Dalam tiap perjalanan yang kita jalani, kita selalu menyempatkan diri untuk mengunjungi satu atau dua destinasi wisata, (makna traveling kan dolan untuk berwisata kan? :D) ga melulu bersepeda dari satu kota ke kota lain. Jika di blog aku menggunakan gowes tour sebagai satu tag, itu berarti dalam kegiatan bersepeda itu, kita mampir ke satu destinasi wisata, bukan turing seperti yang didefinisikan oleh Paimo. J

di Lombok
di Gili Trawangan
menuju Pantai Serangan - Bali

Sebelum mengakhiri tulisan (yang ditulis gegara baper ini LOL) aku menyatakan turut berdukacita atas meninggalnya Nafal. Semoga dia bahagia karena meninggal saat melakukan satu hal yang telah lama dia idam-idamkan. Bagi mereka yang bermimpi untuk melakukan perjalanan bersepeda dalam jarak jauh, jangan khawatir, kita semua akan mati kok jika waktunya tiba. Yang penting kita harus tahu diri kekuatan dan kemampuan kita dalam bersepeda, tidak usah ngoyo di luar batas.

(Trust me, biking long distance makes us addicted!)

IB180 18.38 14/12/2017


 N.B.:

Kisah tentang Nafal Quryanto bisa dibrowsing dengan mudah. :)

Rabu, 13 Desember 2017

Dolan ke Jogja demi sebuah nostalgia

Dolan ke Jogja demi sebuah nostalgia

Latar belakang dolan ini adalah ketika aku aplot beberapa foto reuni bersama kawan kuliah Sastra Inggris di grup KAGAMA. Seorang Radit bertanya, “itu foto ‘bonbin’ di Lembah kah?” kujawab, “Tidak, ini di belakang fakultas Sastra /Ilmu Budaya.” Kemudian Radit memberitahu bahwa sekarang kantin bonbin telah pindah ke Lembah (UGM). Dia juga mengomporiku untuk dolan ke UGM, bukan hanya sekedar lewat, tapi khusus blusukan di UGM.

the 'hotspot' for taking picture :D

Sabtu 9 Desember 2017

Di hari dimana seorang Dany Saputra (kawan sepedaan dari Komselis)  dan Febi Setyaningsih (kawan sepedaan dari @selisolo) melakukan akad nikah, aku mengajak Ranz dolan ke Jogja. Setelah sempat keberatan, Ranz mengiyakan ajakanku. Pukul setengah tujuh pagi kita telah sampai stasiun Purwosari, untuk membeli tiket KA Prameks. Kita sekaligus beli tiket pulang pukul 14.41. (aku berhasil mengajak Ranz ke Jogja, tapi gagal ngomporin dia untuk gowes aja baliknya.)

Pukul 07.31 kita telah berada di satu gerbong KA Prameks. Suasana gerbong sangat penuh. (Setiap hari ada puluhan ribu orang pulang pergi Solo – Jogja nampaknya.) Kita turun di stasiun Lempuyangan sekitar 15 menit sebelum pukul sembilan. Dari sana kita langsung ke arah Bulaksumur.


Seperti biasa, yang pertama kali kita tuju sebagai spot foto adalah gerbang masuk dimana ada tulisan UNIVERSITAS GADJAHMADA. Jika kita beruntung, di satu hari nan cerah, kita bisa memotret diri dengan latar belakang tulisan itu dengan penampakan Gunung Merapi nan megah. Namun, hari itu Jogja diselimuti mendung, meski tetap hawanya terasa panas. (Nah lo! LOL.)

Owh ya, kita juga sarapan di dekat situ: kita bawa bekal mie goreng dan gorengan dari rumah. J Lumayan mengirit kan? Waktu foto-foto, ada juga beberapa orang lain yang melakukan hal yang sama: foto-foto dengan latar belakang tulisan UNIVERSITAS GADJAHMADA.

Dari sana, kita pun masuk ke arah boulevard. Sesampe seberang gedung UC, Ranz melihat ada tulisan “ALUMNI UGM” terpampang di satu rumah, di belakang gedung UC. Aku pun belok kesana, untuk memotret Austin. :D Dari sana, aku langsung menuju Utara, ke kampus Fakultas Ilmu Budaya, kemudian belok kanan untuk menuju Masjid Kampus.
Keberadaan tempat parkir khusus sepeda yang terlihat di samping (belakang?) FIB tentu saja membuatku terpana. Aku harus mampir untuk memotret Austin, yang kuparkir disitu. Ada beberapa sepeda yang sudah diparkir disitu; yang paling mencolok adalah keberadaan sepeda fe**ral yang groupset-nya masih terlihat gres. Selain itu ada sepeda p***gon dan w**cycle; juga sepeda ‘inventaris’ yang telah sekian tahun lalu kulihat di tempat parkir sepeda Gelanggang Mahasiswa.

tempat parkir sepeda di FIB

Sebelum meninggalkan lokasi, seorang satpam yang berjaga di FIB menyapaku, kita pun ngobrol sebentar. Aku lulus S1 di tahun 1993, dan ternyata di tahun itu juga si bapak satpam memulai bekerja disitu. J

Dari sana kita menuju Masjid Kampus. Entah mengapa aku tidak memotret Austin disitu, karena aku tidak menemukan spot yang tepat untuk memotret. L zaman aku kuliah S1 dulu, MasKam ini belum ada. Waktu masih kos di daerah Jakal Km. 5, kadang aku dan kawan2 kos ikut shalat tarawih di Gelanggang Mahasiswa. (Lho, kok di Gelanggang Mahasiswa? Iya, lha MasKam belum ada? LOL.)

di Lembah UGM

Dari sana, kita ke Lembah. Aku hafal lokasinya di daerah situ, tapi benar-benar pangling dengan penampakannya. Daerah itu tak lagi berupa ‘lembah’. Radit bilang dulu pernah ada 5 lapangan bola basket, sekarang tak lagi ada. Yang nampak mencolok – menurutku – adalah kantin yang berjejeran. Di ujung Selatan, kantin ‘bonbin’ (pindahan dari FIB) terletak.

Yang menarik untuk dijadikan spot foto adalah danau di dalam kawasan lembah itu. Di sekitar danau dibangun trek untuk jogging. Waktu aku dan Ranz disitu, kita melihat beberapa orang sedang jogging. (Zaman kuliah S1 dulu, aku biasa jogging di lapangan yang sekarang menjadi tempat parkir Gedung Sabha Pramana. Waktu kuliah S2, kulihat banyak orang yang jogging di tempat parkir GSP yang cukup luas itu.)

Aku dan Ranz ngobrol cukup lama di kawasan danau itu, sambil menunggu Radit datang. Setelah Radit datang, dan ngobrol bertiga selama beberapa menit, kita keluar dari kawasan itu. Aku bilang aku pingin ke Gedung Pusat. Dia pun mengajak kita ke arah jalan Humaniora, di samping Fakultas Psikologi, kita masuk lewat situ. Saat lewat FEB dan FISIPOL, aku baru memperhatikan bahwa fakultas-fakultas itu tak lagi memiliki pagar. Pagar hanya ada di bagian ‘luar’. Setelah foto-foto di Gedung Pusat, Radit mengajak kita menyeberang jalan ke arah Barat, menuju fakultas MIPA. Aha ... sudah lamaaaaa aku tidak lewat situ, aku selalu lewat boulevard kalau mau keluar dari UGM. J Setelah melewati fakultas Biologi, belok kiri sedikit, kemudian belok kanan, kita pun sampai di kawasan ‘hutan’. Waaah ... dulu aku kadang juga jalan lewat sini, ketika masih ngekos di Jl. C. Simanjuntak, untuk menuju Gedung Lengkung, yang terletak di pinggir Selokan Mataram. (Terakhir kali ke Gedung Lengkung tahun 2011, pertama kali aku mengajak Ranz ke area UGM.)


Setelah keluar dari area UGM, di seberang RS Dr. Sardjito, kita ke arah Selatan, melewati perumahan dosen Sekip, menuju Blimbing Sari. Disini kita mampir ke satu angkringan untuk beli minum, kita sangat haus, dan butuh yang segar-segar. Dan ... ternyata ... es teh-nya enak bangeeettt! J ga pake lama, aku langsung habis 2 gelas es teh! :D Ranz hanya minum satu gelas es teh, sedangkan Radit es jeruk.

Dari sana, Radit mengajak lewat satu daerah (yang aku lupa namanya LOL), tapi duluuuu dilewati bus kuning A3 dari Jombor menuju Condong Catur. Mungkin daerah situ juga disebut Terban? Di satu gang yang kita lewati, aku pernah ngekos daerah itu ketika menjelang lulus kuliah S1. Radit mengajak kita blusukan lewat satu gang kecil setelah kita melewati jembatan Kali Code.

Setelah blusukan itu kita pun sampai Jl. AM Sangaji (kalo ga salah ingat namanya), melewati Tugu, kemudian masuk Jl. Mangkubumi (eh, kayaknya namanya sudah diganti, tapi aku lupa namanya apa.) Spot foto selanjutnya adalah di ujung kanan, sebelum masuk ke stasiun Tugu. Disitu ada patung punakawan, dengan tulisan di bawahnya STASIUN YOGYAKARTA.

di ujung Jl. Mangkubumi, sebelum stasiun Tugu


Setelah selesai foto-foto, Radit mengundurkan diri, aku dan Ranz ke Malioboro. Kita ga jauh-jauh sih, hanya motret sepeda di seputaran situ saja (ga sampai pol jalan Malioboro / Ahmad Yani). Kemudian mampir makan siang sambil minum es teh lagi.
Sekitar pukul setengah dua kita menuju stasiun Tugu. Dalam perjalanan pulang, KA Prameks yang kita naiki pun kembali penuuuuuh.

Masih banyak sebenarnya yang ingin kujelajahi, hanya di kawasan UGM saja. Next time lagi deh. J


LG 12.24 13/12/2017 

ini ada di sekitar Stadion Kridosono

"hutan" di belakang kampus Fak. Biologi

patung ini diberi nama "Petangguh" untuk mendeskripsikan orang2 Jogja yang tangguh


Kamis, 16 November 2017

Threesome : wawancanda B2W Semarang + Komselis + Tribun Jateng

Threesome : wawancanda B2W Semarang + Komselis + Tribun Jateng

Minggu 12 November, kita janjian dengan Rahmah, reporter Tribun Jateng. Tayux memilih Taman Pandanaran sebagai tempat kita bakal ngobrol bareng.

Aku dan Ranz (plus Kalis yang sedang pulang kampung) sampai di TamPand sekitar pukul 06.30. Tak lama kemudian muncul juga Tayux dan Da, disusul Yuniar yang mengajak duo jagoannya plus ditemani sang adik, yang jarang ngumpul bareng. Setelah itu Surya, Iin, Tedjohn, dan Mizan bergabung. Ngobrol-ngobrol sendiri kita karena Rahmah belum muncul. Avitt datang belakangan.

Menjelang pukul 08.00 barulah Rahmah datang. Berhubung sudah pada kelaparan, kita pindah lokasi ngobrol, setelah kita berfoto bersama, untuk dokumentasi.


Di satu warung soto tak jauh dari TB Merbabu, kita sarapan sambil ngobrol bareng.
Sebagai seseorang di ‘kerumunan’ ini yang paling lama berkecimpung di B2W Semarang, aku membuka obrolan dengan menceritakan sedikit kisah berdirinya Komselis. (Seharusnya cerita akan lebih lengkap jika ada om Tunggal, om Budenk, dan om Triyono.) B2W Semarang berdiri di bulan Juni 2008. Saat itu untuk pertama kali dalam hidupku aku melihat wujud sepeda lipat. Kebetulan om Budenk adalah orang pertama di B2W Semarang yang memiliki sepeda lipat; sebuah sepeda yang diyakini (waktu itu) hanya bisa dimiliki oleh orang-orang kaya karena harganya yang jutaan rupiah. (Sshhhttt ... sepeda lipat om Budenk waktu itu konon harganya 3 juta rupiah waktu itu, harga yang fantastis untuk membeli sepeda, di tahun 2008, apalagi buat seorang newbie sepertiku yang tahunya sepeda itu harganya murah, paling kitaran ratusan ribu rupiah doang.)

Tahun 2009, seingatku om Tunggal beli sepeda lipat baru. Mungkin setelah itu ada obrolan antara dia dan om Budenk untuk membentuk komunitas sepeda lipat di Semarang. Di acara ulang tahun Komselis yang ketiga di tahun 2012, om Tunggal memberi penghargaan khusus kepada om Budenk sebagai seorang pencetus ide membentuk komunitas sepeda lipat Semarang.

Keberadaan Komselis di kota Semarang merupakan ‘kepanjangan’ tangan dari B2W Semarang, yakni mengajak masyarakat kota Semarang bersepeda. B2W Semarang tentu lebih menitikberatkan penggunaan sepeda sebagai moda transportasi sehari-hari. Sedangkan Komselis mengajak warga Semarang untuk bersepeda. Untuk mengantisipasi ‘terrain’ kota Semarang yang berbukit-bukit, keberadaan sepeda lipat sangatlah membantu kelancaran bersepeda. Jika dirasa tak mampu lagi melanjutkan bersepeda, kita tinggal melipat sepeda yang kita naiki, dan naik kendaraan umum, entah bus atau angkot lain; atau telpon anggota keluarga untuk menjemput kita. J

Saya ingat kisah seorang kawan di tahun 2009. Namanya om Agus Setiawan. Dia tinggal di Pudak Payung. Hampir tiap hari dia bersepeda ke kantor. Berangkat sekitar pukul lima pagi, kantornya berada di daerah Kaligawe. FYI, Pudak Payung terletak di dataran tinggi, sehingga jika berangkat menuju Kaligawe, treknya kebanyakan berupa turunan. Pulangnya, om Agus menaiki sepeda lipatnya sampai di ujung Jalan MT Haryono, di depan Java Mall. Disana, dia akan naik bus sampai Pudak Payung.

Dalam wawancara, kembali Tayux mengungkapkan bahwa Komselis mengajak warga kota Semarang untuk bersepeda, baik sendiri-sendiri, berkelompok dengan grupnya masing-masing, maupun bersama kawan-kawan yang tergabung dalam Komselis, ketika mereka mengadakan event bersama. Yang paling penting adalah bersepeda, bukan sepedaan bersama kawan-kawan Komselis. Apa pun jenis sepeda (lipat)mu, apa pun komunitas yang kau ikuti, mari bersama menjaga bumi, dengan bersepeda.

Di luar obrolan yang kutulis di atas, Rahmah juga secara khusus mewawancarai Avitt (Rahmah kuberi keterangan bahwa Avitt adalah salah satu panitia termuda dalam event besar 7amselinas bulan September lalu) dan Iin yang dijuluki sebagai ‘menteri luar negeri’ Komselis; Iin cukup sering mengikuti event-event di luar kota Semarang, mewakili Komselis.

Apa yang ditulis oleh Rahmah tentang kita semua? Yuk, kita tunggu terbitnya koran Tribun Jateng yang memuat tentang Komselis.

LG 10.55 15/11/2017 

Bersama Austin, dolan ke Masjid Kapal

Bersama Austin, dolan ke Masjid Kapal

Setelah dua kali nyambangi masjid kapal yang terletak di daerah Palir (nama daerahnya, aku lupa) naik Cleopatra, aku kepingin mengunjunginya dengan naik Austin. Ini judulnya aku mulai ga pede apakah aku masih mampu nanjak naik sepeda lipat 20”. :D


Untuk mengisi perut agar bertenaga menapaki tanjakan sepanjang jalan selepas pertigaan pasar Jrakah, aku mampir beli burjo di Jalan WR Supratman. (burjonya enak, pas untuk seleraku. Sayangnya, karena jalan ini sedang diperbaiki, sekarang si penjual burjo pindah, entah kemana, dan aku belum berani pindah ke lain hati. LOL.) setelah itu, langsung tancap gas, eh, pedal ke arah Barat. Dari Kalibanteng menuju pertigaan Jrakah, jalan lumayan ‘bergelombang’, untuk pemanasan.

Setelah belok kiri selepas pasar Jrakah, trek mulai didominasi tanjakan, meski ada turunan juga. Alhamdulillah aku masih mampu melewati tanjakan BPI maupun Esperanza tanpa berhenti.

Aku sengaja tidak langsung belok kanan setelah bertemu jalan belok yang ada tulisan “VILLA LON JATEN”. Aku terus ke arah BSB, untuk memotret Austin di kawasan yang ditata indah itu. Aku juga sempat belok ke arah danau buatan milik perumahan BSB. Setahun yang lalu aku bersama beberapa kawan kesini, tapi ga menunggu lama, seorang satpam langsung menegur kita, dan meminta kita pergi. J namun, kali ini ga ada seorang satpam pun yang datang mengampiriku. Mungkin karena aku sendirian ya? J


Aku sempat memotret Austin dengan latar belakang danau dua kali. Setelah mengaplotnya ke sosmed, aku melanjutkan perjalanan, kembali ke arah semula aku datang. Aku mengambil jalur yang sama, ke jalan belokan menuju villa Lon Jaten. Jika terakhir kesini naik Cleopatra aku beberapa kali berhenti memotret Cleopatra dengan latar belakang ‘hutan’, kali ini aku terus saja. Tidak pake berhenti.

Aku lupa jam berapa sampai di masjid kapal. Tapi kulihat sudah ada satu dua warung yang buka. (Pertama kali kesini sekian bulan lalu, aku sampai sini belum ada jam 07.00 pagi, belum ada satu warung pun yang buka.) Aku tidak masuk ke masjid karena sudah pernah. Aku hanya memotret Austin dengan latar belakang masjid. (Ini hukumnya wajib! J untuk dokumentasi.)


Usai memotret Austin, aku mampir ke satu warung makan, beli es teh, dan pecel tanpa nasi. Semangkuk burjo yang kumakan sebelum berangkat, sudah menguap dalam perjalanan. LOL.

Sampai aku meninggalkan lokasi, kulihat area masjid kapal masih sepi. Mungkin karena bukan hari Minggu.

Aku kembali mengambil trek yang sama dengan sebelum ini, yakni begitu keluar dari area masjid, aku belok kanan. Mengikuti jalan yang ada, sampai di satu lokasi, belok kanan. Terus menyusuri jalanan yang ada, aku sampai ke satu perempatan, dimana ada petunjuk jalan. Jika lurus, kita akan sampai di kawasan Kedungpane, belok kanan Palir, belok kiri Mangkang. Terakhir kali lewat sini, aku memilih lurus. Kali ini, karena masih ingin dolan, lol, aku belok kiri, menuju Mangkang, tinggal siapin mental saja jika ternyata ketemu dengan tanjakan. Lol.


Jalannya lumayan sempit, meski masih bisa jika dua mobil berpapasan. Di kiri kanan hutan, yang berarti jalan ‘alternatif’ ini dibuat dengan memapras hutan. L meski trek sedikit ‘bergelombang’, kebanyakan trek turunan, bonus dari tanjakan sepanjang Jrakah menuju BSB.

Aku pun melewati jembatan yang di bawahnya sedang dibangun jalan tol yang menghubungkan Batang – Semarang. Wuiiiih.

Di ujung jalan, trek menyempit, dan ... aku muncul di samping pasar Mangkang. Ahhh ... dulu, ada seseorang yang ngompori aku untuk mencoba tanjakan Palir (aku sudah lupa siapa LOL), dengan belok ke jalan di samping pasar Mangkang. Namun, waktu itu, aku ragu-ragu, melihat jalan yang sangat sempit. Apalagi itu dekat pasar, sehingga penuh dengan orang-orang yang lalu lalang. Dan ... ternyata memang benar jalan itu! J

Dengan pede, aku belok kanan, menuju kota Semarang, meski aku kepengen memotret Austin dengan latar belakang tulisan KOTA SEMARANG. Setelah mengayuh pedal beberapa kilometer, aku ga menemukan tulisan itu, aku baru ngeh, aku salah. Seharusnya aku belok kiri waktu keluar dari jalan sempit itu. LOL.


Setelah mampir di satu pom bensin untuk ke toilet, aku kembali ke arah Barat, ketemu dengan tulisan KOTA SEMARANG, memotret Austin, dan ... lega. LOL.

Aku sempat mampir ke satu warung untuk minum es teh sambil menonton kendaraan2 yang lewat (segerombol polisi sedang mengadakan razia, tak jauh dari tempat aku duduk, entah razia apa, karena waktu itu belum saatnya OPERASI ZEBRA.)

Kalau tidak salah itu masih sekitar pukul 10.00, tapi panasnya terasa seperti sudah pukul 12.00. L

Setelah habis satu gelas es teh, dan puas menonton kendaraan yang lewat, aku kembali mengayuh pedal Austin, kembali ke arah kota.

Sepedaan sendirian, di bawah terik sinar matahari, dengan traffic yang padat, kita harus tabah. LOL.

Ketika melewati Jalan Tapak (sebelah kiri), aku ingat, aku ingin mampir kesini, tapi panasnya hawa siang itu, dengan mudah menyedot tenagaku. LOL. Akhirnya kuputuskan terus saja, langsung pulang. J


LG 14.54 15/11/2017 

Selasa, 14 November 2017

Gowes Menengok Tapak dan Candi Tugu

Kawasan mangrove yang terletak di Tapak - Jrakah telah menjadi salah satu tujuan kita gowes sejak beberapa tahun lalu, baik hanya aku dan Ranz, maupun bareng-bareng yang lain. (Kisah gowes narsis ke Tapak empat tahun lalu bisa dibaca di link ini.)

Sekian tahun berlalu. Awal November kemarin, akhirnya aku mengadakan acara bersepeda bareng di hari Minggu pagi kesana lagi karena ternyata oh ternyata, seorang Hesti belum tahu dimanakah lokasi mangrove Tapak itu. LOL. (Well, beberapa bulan terakhir ini aku semakin malas mengadakan migoreng a.k.a hari Minggu Pagi Gowes Bareng, malah seringnya sepedaan sendirian, gegara Ranz jarang ke Semarang. Ini bukan ngeles. LOL.)

Tanggal 5 November 2017 itu pun kita sepedaan tanpa Ranz, ga ada yang motretin kita. Om Budenk -- salah satu fotografer handal kita di event 7amselinas -- ikut, tapi beliau berangkat agak siang, sehingga menyusul. Well, mungkin bukan om Budenk yang kesiangan, kita aja yang berangkatnya kepagian. LOL.

Dan ... seperti yang kita lakukan empat tahun lalu, setelah bersepeda ke kawasan Tapak (berhubung sehari sebelumnya turun hujan yang cukup deras, kita ga sempat blusukan sampai ke dalam), kita mampir ke Candi Tugu dalam perjalanan pulang.

Catatan untuk Candi Tugu : lokasinya kian menyedihkan, dengan rumput ilalang yang tumbuh disana sini, nampaknya kurang mendapatkan perhatian dari pemerintah kota Semarang. :(









Rabu, 01 November 2017

Segowangi 45

Penyelenggaraan segowangi di bulan Oktober 2017 ini berbeda dengan sgowangi di bulan Oktober tahun-tahun lalu. Biasanya aku stuck dengan tema halloween, kali ini aku menggunakan tema BERSEPEDA TUNGGAL IKA. Well, istilah ini bukan asli buatanku. Sekian tahun lalu beberapa kawan pesepeda dari B2W Kudus telah menggunakan istilah ini ketika membuat kaos bertema bike to work mereka. BERSEPEDA TUNGGAL IKA ... dengan makna naik sepeda dengan berbagai jenis sepeda yang kita miliki, tetap saja kita ngonthel bareng. :)

Segowangi ke-45 kita selenggarakan pada hari Jumat tanggal 27 Oktober 2017. Seperti biasa kita berkumpul di Balaikota, baru kemudian bersama-sama kita bersepeda keliling kota Semarang.

Hujan sempat cilukba dengan kita malam itu, sehingga bisa dipahami jika tidak begitu banyak kawan pesepeda yang datang.

Di ujung sepedaan, kita diajak mampir ke warung ayam geprek Om Tatang (kembarannya Om Leo) yang beralamat di Jalan Gajahmada no. 7 Semarang. :)






Selasa, 31 Oktober 2017

Vlog Biketrekking to Semirang Waterfall

Below is the vlog of our biketrekking to Semirang waterfall :) Enjoy it

while the writing can be viewed here.


Selasa, 17 Oktober 2017

Menjemput Minul

Menjemput Minul

Latar belakang

Hari Minggu 8 Oktober 2017 aku menemani Ranz membawa kembali dua sepeda lipatnya ke Solo, yang dia bawa ke Semarang beberapa minggu sebelumnya untuk dipakai dalam 7amselinas. Pockie – sepeda lipat pocket rocket 20” – dipakai oleh Dwi karena Oddie – sepeda lipat miliknya – telah dia bawa ke Tangerang. (Dwi pindah ke Tangerang sejak Juli 2017 demi menyongsong masa depan.) Astro – sepeda lipat terbaru milik Ranz; polygon urbano 3.0 – untuk dinaiki Ranz sendiri. Ternyata ketika tahu kita berdua akan ke Solo pagi itu, Avitt ngikut, mengajak Minul, sepeda lipat urbano 2.0.

Ternyata hari Minggu malam waktu kita NR, ban depan Minul bocor. L ketika kita memutuskan tetap berangkat NR : aku naik Pockie, Ranz naik Jean Grey, dan Avitt naik Shaun, ternyata hujan kembali turun. Terpaksa kita tidak jadi keliling Solo. Kita hanya makan malam ayam geprek, kemudian mampir ke wedangan Pak Basuki yang kelezatan teh nasgitel-nya tidak ada duanya. Keasyikan ngobrol disini lah – bersama dua kawan pesepeda dari Solo, Awan dan Fuad – kita pulang terlalu malam, dan tukang tambal ban tempat kita menambalkan ban depan Minul sudah tutup. Akhirnya Senin pagi aku dan Avitt balik ke Semarang tanpa membawa sepeda. J

Jumat 13 Oktober 2017


Ranz berinisiatif membawa Minul ke Semarang, dan tidak menunggu Avitt menjemput ke Solo. Dan, kita ngedate di Kampung Kopi Banaran. J Ketika aku bilang ke Ranz ingin naik Cleopatra dari Semarang, dia menahanku melakukannya. Sebagai ganti, dia minta aku loading saja, dan ini berarti aku membawa Austin. Aku setuju, sekalian aku ingin ‘berdandan ala’ peserta 7amselinas. J Sejak mendapatkan goodie bag berisi pernak-pernik peserta 7amselinas, jersey peserta 7amselinas belum kupakai. Ranz pun setuju mengenakan jersey peserta 7amselinas. DEAL!

Austin di Gombel

Aku berangkat dari kawasan Banjirkanal Barat sekitar pukul 06.30. Perjalanan lancar sampai Sukun, sekitar satu jam kemudian. Di Gombel tidak ada kemacetan. Sesampai Sukun, kebetulan ada sebuah bus jurusan Solo yang sedang ngetem, aku langsung naik. Sedikit ketidaknyamanan karena mendadak Austin sulit dilipat ternyata tidak membuatku kesulitan; sang kondektur malah memintaku tidak usah melipat Austin, kecuali setangnya. Akhirnya Austin pun naik ke dalam badan bus (bukan di bagasi) dan diletakkan di antara deretan kursi paling belakang dengan kursi yang ada di depannya. Aku pun duduk di bangku di deretan belakang. Aku cukup membayar Rp. 10.000,00. Wah ... J

FYI, suasana bus cukup sepi. Mungkin karena sudah bisa mengira bahwa bus bakal sepi, sang kondektur menyuruhku langsung menaikkan Austin ke dalam bus, tanpa perlu melipatnya.

Bus sampai di terminal Bawen sekitar pukul setengah sembilan. Setelah turun dari bus, aku melihat 2 bus Trans Jateng sedang ngetem. Wah ... andai boleh membawa sepeda lipat ke dalam bus Trans Jateng, para lipaters dari kota Semarang bagian bawah ga perlu repot menaiki sepedanya ke Sukun yak? J


Setelah keluar dari terminal Bawen, trek turunan menyambutku, menuju Kampung Kopi Banaran. J ini berarti aku harus siap-siap menanjak waktu meninggalkan KaKoBa nanti. J

Aku sampai di KaKoBa sebelum jam sembilan. Ranz datang sebelum jam 10. Dan ... ternyata dia tidak loading! Dia naiki Minul dari Solo ke KaKoBa. Hmft ... curang dia! Aku ga dia bolehin nyepeda dari Semarang, dia sendiri ngonthel. Hadeeeeh ...





Kita meninggalkan KaKoBa sekitar pukul satu siang. Perjalanan menuju Semarang kita disuguhi cuaca yang sangat variatif: mulai dari panas, mendung, hingga hujan. Untunglah hujan tidak pernah turun terlalu lama, hingga kita tak perlu repot-repot merasa perlu mengenakan mantel. Kita memang harus berhenti, namun agar Ranz bisa menyelamatkan kamera yang dia bawa ke dalam tasnya yang water proof.

Kita sampai kos Ranz sekitar pukul setengah empat sore, sempat mampir ke angkringan dua kali. Yang pertama di Ungaran, yang kedua di jalan Suyudono.

LG 13.48 17/10/2017

Ini dia penampakan Minul :)



Rabu, 11 Oktober 2017

Video 7amselinas 2017

Di bawah ini bisa kita saksikan video resmi dari panitia, Komunitas Sepeda Lipat Semarang.

Jika tidak anda temukan wajah anda di video ini, jangan putus asa. Carilah di video-video lain yang diunggah oleh para peserta 7amselinas 2017. Search ajah di youtube. :)



7amselinas 2017 Day 3

Day 3 Minggu 17 September 2017

Khusus di hari ketiga ini, panitia menyediakan dua pilihan acara. Yang pertama, gowes Minggu pagi nyantai ke Maerakaca miniatur Jawa Tengah yang pernah sangat terkenal di pertengahan dekade sembilanpuluhan, namun kemudian terbengkalai sepuluh tahun kemudian. Syukurlah setelah para pesepeda kembali dolan kesini, membuat foto-foto ngehits – thanks to sosial media – membuat pemerintah kota Semarang kembali melirik tempat ini lagi. (Ge-er boleh dong ya? LOL.) Tahun 2017 ini Maerakaca kembali bersolek. Area mangrove yang telah ada pun dihiasi dengan jembatan bambu yang nampak artistik jika difoto.

Pilihan kedua adalah bersepeda 7up, alias 7 tanjakan. Adalah satu kebetulan jika angka 7 ini pas dengan penyelenggaraan jamselinas ketujuh di Semarang. J 7 tanjakan itu yakni Jalan Kawi, Jalan Siranda, Jalan Sumbing, Jalan S. Parman (yang juga dikenal sebagai jalan Gajahmungkur), Jalan Bendan yang melewati Stikubank, Jalan Bendan yang melewati Unika, dan terakhir yang paling terkenal yakni Gombel. Di antara ketujuh tanjakan ini, yang terkenal paling curam adalah jalan Sumbing. Khusus untuk pilihan kedua ini, peserta hanya dibatasi sejumlah 125 orang, karena akan ada reward khusus bagi yang lulus 7up.

Karena pilihan kedua ini diusulkan oleh om Ariyanto, maka dia lah yang mengurusi hal ini. Dan karena waktu pelaksanaan ini tidak meminta bantuan dari panitia lain, selain fotografer (Om Budenk dan Om Agung Tridja menyediakan diri menjadi fotografer). Panitia lain pun tumplek bleg menuju Maerakaca. Meskipun yang lain tumplek bleg, jumlah kita jauh lebih sedikit ketimbang ratusan peserta yang ikut ke Maerakaca. Jadi, jika di antara peserta yang merasa kurang dibantu dalam hal difoto maupun diberitahu titik-titik bagus mana untuk berfoto ria di dalam Maerakaca, mohon maaf.

Setelah Maerakaca, kita kembali melanjutkan perjalanan, menuju Kota Lama, untuk memberi kesempatan mungkin ada yang belum sempat berfoto-foto waktu night ride Jumat malam, bisa memuaskan diri untuk foto-foto kali ini.

Peserta bubar di Kota Lama. Mereka pun kembali ke hotel masing-masing untuk persiapan check out dan kemudian kembali ke kota tinggal masing-masing.

Setelah meninggalkan Kota Lama, aku dkk sempat mampir ke hotel Novotel dimana Om Mada menginap, untuk melihat kondisinya. Dari sana, sebagian dari kita mampir ke hotel Amaris, untuk melihat kondisi terakhir Shabrina.

‘Pesta’ naik haji para lipaters Nusantara yang ketujuh telah selesai digelar. Semoga kenangan-kenangan indah terus dikenang. Jika ada yang mengganjal di hati, mohon dimaafkan. Seperti kata pepatah, tak ada gading yang retak; sekuat apa pun panitia mencoba mempersiapkan acara ini, tentu ada bolong disana sini.

Thanks a million all folding bike lovers. WE ROCK!


LG 15.07 10 / 10 / 2017