Cari Blog Ini

Selasa, 28 Juli 2020

Turing di tengah pandemi covid 19

Bagi orang yang sudah 'biasa' dolan jauh dengan bersepeda -- atau istilah kerennya turing, yang bukan singkatan dari turu miring lho yaaa -- tentunya sudah kangen bersepeda antar kota antar propinsi dong ya setelah semenjak Maret 2020 terpaksa ngendon di rumah saja mematuhi himbauan pemerintah. Aku tentu hanya salah satunya di antara ribuan turinger lain.

 

Setelah pemerintah memberlakukan 'new normal' sudah amankah kita turing? Atau satu diksi yang biasa kupilih: bikepacking.

 

Mulai awal bulan Juni aku sudah mulai berani bersepeda rada jauh -- minimal 20 kilometer sekali mengayuh sepeda -- setelah selama bulan Maret - April - Mei aku mengganti kegiatan bersepeda dengan berjalan kaki di sekitar rumah. 20 kilometer itu ga jauh asal kita membawa bekal minum sendiri hingga kita tidak perlu mampir minimarket atau warung untuk beli minum. Pertengahan bulan Juni aku memberanikan diri bersepeda ke Demak, sekali mengayuh pedal aku menempuh jarak sekitar 30 kilometer hingga alun-alun Demak. Dengan nekad, aku mampir satu warung soto ayam karena kalau hanya minum air dari bidon yang kubawa kurang. Warung dalam kondisi cukup ramai pengunjung, dan Demak termasuk zona merah loh. Alhamdulillah aman. (entah jika aku mendadak jadi OTG ya, tapi setelah seminggu berlalu, aku baik-baik saja, demikian juga orang rumah.) Seminggu setelahnya aku kembali nekad bersepeda ke Kudus. Sempat mampir minimarket untuk membeli air mineral dan rumah makan untuk sarapan. Aku 'hanya' mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir sebelum masuk minimarket/rumah makan dan setelah selesai. Alhamdulillah aman.

 

di situs Watumeja, Purwokerto, 2016



Namun, ternyata hasrat dolan antar kota yang lebih jauh -- hingga butuh menginap semalam atau dua malam di penginapan -- terus menggelora. :( Ranz masih belum berani menyanggupi ajakanku ini. :( meski dia sudah berani dolan ke Semarang, seperti dia berani menerimaku yang menginap di rumahnya.

 


Kebetulan pada hari Minggu 26 Juli 2020 dokter Aristi Madjid (pendiri 'Bianglala Tour'), seorang kawan pesepeda senior yang juga hobi turing bersepeda (antar negara!) dan Nugroho F Yudho (pendiri Jelajah Lintas Nusa) mengadakan zoominar dengan tema "JLN Ngobrol Bike: Touring Sepeda di Era New Normal, Amankah? Protokol Pencegahan Covid 19 Saat Bersepeda". Mari simak apa kata mereka berdua.


 

Sebagai seorang dokter yang berjibaku langsung dengan kasus-kasus covid 19, jelas dokter Aristi lebih menganjurkan untuk tetap tinggal di rumah saja. (haha … anti climax kaaaan.) Dolan bersepeda antar kota itu bukan kebutuhan primer, juga bukan kebutuhan sekunder. Well, mungkin untuk beberapa orang tertentu turing termasuk kebutuhan tersier; tapiiii Cuma tersier loooh, dimana tanpa memenuhi kebutuhan tersier ini orang masih tetap bisa survive. :D Ini mengingat banyaknya OTG bertebaran dimana-mana, kita tidak akan pernah tahu bahwa orang yang kita temui di jalan adalah OTG, bahkan jangan-jangan kita sendiri adalah carrier yang mungkin akan menularkan ke orang-orang yang kita temui.

 


"Beberapa hari lalu 80 persen pasien yang positif covid 19 adalah OTG setelah dirapid-test maupun di-swab." katanya.

 

Bikepacking ke Ngawi, Desember 2019



Lah, kalau dokter Aristi menganjurkan tetap tinggal di rumah saja, berangkat turingnya menunggu hingga new normal yang sesungguhnya tercapai alias kasus baru covid 19 turun hingga ke angka 0, yang sudah kadung kebelet dan sakaw (seperti aku) bagaimana dong?

 

Dokter Aristi menyarankan hal-hal berikut ini, ga jauh-jauh amat sih dari praktek GOWES SMART

 

  1. Pergi sendiri atau dalam kelompok kecil

 

Kalau berani pergi sendiri menempuh jarak ratusan kilometer, sila. Yang tidak pede, sila mengajak soulmatenya atau handai tolan atau kawan sepedaan, asal jumlah dalam satu kelompok tidak lebih dari 5 orang. Idealnya 2-3 orang deh. Jelas harus memilih rute yang aman -- sepi -- jangan ke lokasi yang ramainya seperti kumpulan orang dalam car free day.

 

  1. Perhatikan rute

 

Kalau bisa, lewatlah kota yang aman dilewati, yakni yang berzona hijau, atau oranye; jangan seperti 'ula marani gebuk' alias malah memasuki kota yang berzona merah tua. Ini jika kota yang berzona hijau itu bisa dimasuki mereka yang penduduk di kota berzona merah ya. (Siapa tahu masih diberlakukan PSBB di kota-kota tertentu.) Usahakan untuk lebih sering berada di ruang terbuka.

 

  1. Membawa perlengkapan

 

Selain sepeda jelas harus dalam kondisi prima, dan perlengkapan 'biasa' saat turing di luar masa pandemi, perlengkapan untuk memenuhi protokol kesehatan jelas juga wajib dibawa. (a) masker kain yang berlapis, bawa lebih dari satu. Jika dalam perjalanan butuh mampir minimarket atau rumah makan sila sediakan masker medis.

 

Selain masker, perlu juga membawa hand sanitizer dan disinfektan yang berbentuk spray. Ketika mampir ke rumah makan, atau hotel, untuk memastikan tempat yang akan kita pakai untuk makan/menginap hygienis, kita bisa menyemprotkan disinfektan. Disinfektan juga kita butuhkan untuk memastikan bahwa sepeda dan tas pannier yang kita bawa aman dari percikan droplet orang lewat.

 

Turinger juga dianjurkan membawa obat-obatan dan termometer digital, jika perlu. (duuuuh, ribetnyaaa)

 

  1. Melakukan rapid test atau swab test

 

Nah lo. Ini mungkin jika kita pergi dalam kelompok besar ya, meski kemudian dibagi-bagi lagi dalam kelompok-kelompok kecil. Misalnya JLN mengadakan turing bersama, tentu saja pesertanya ingin diyakinkan bahwa tidak ada peserta dalam kelompok mereka yang positif covid 19. (Kalau 'Bianglala Tour' kan tidak akan mengadakan turing dalam waktu dekat, orang dokter Aristi sendiri menganjurkan untuk tetap tinggal di rumah dari pada dolan tanpa juntrungan, lol.)

 

bikepacking Sidoarjo - Semarang, 2017



Kalau aku yang hanya akan 'mbolang' berdua dengan Ranz saja, ga perlu lah rapid test test atau swab test. Kecuali jika ketika pulang kita akan naik angkutan umum, semisal kereta api. Sekarang sebelum naik kereta api kita diminta menunjukkan hasil negatif rapid test atau swab test kan ya. Tapi kalau berangkat gowes pulang juga gowes ya tidak perlu dokumen negatif covid 19 ini.

 

Laluuu, kapan aku dan Ranz akan bikepacking lagi? Entaaaah. Hmft …

 

PT56 11.59 28/07/2020


Senin, 27 Juli 2020

Snow White versus Austin

Note:

 

Snow White adalah nama sepeda lipat saya merk polygon urbano 3.0 yang dibelikan oleh kakak di tahun 2010. Sedangkan Austin sepeda lipat saya merk downtube nova yang saya beli di tahun 2011.

 

 

Awal mula saya 'bikepacking' (baca => dolan dari satu kota ke kota lain dengan naik sepeda) saya 'mengajak' Snow White. Ranz -- soulmate biking saya -- naik Pockie, sepeda lipat pocket rocket yang dia beli di tahun 2009. Pertama kali kita 'mbolang' bareng di bulan Juni 2011, dari Solo ke Jogja. Karena waktu itu, Pockie tidak memiliki rak boncengan, hingga tidak bisa membawa tas pannier, Ranz mempersilakan saya naik Pockie, sedangkan dia naik Snow White yang kita 'bebani' tas pannier di rak boncengan.

 

 

Austin di Kota Lama


Situasi yang sama -- saya naik Pockie sedangkan Ranz naik Snow White -- kita lakukan lagi dalam 'petualangan' bersepeda Solo - Pantai Nampu yang terletak di perbatasan Wonogiri dan Pacitan di bulan September 2011, saat bersepeda Solo - Tawangmangu di bulan Desember 2011. pertama kali dalam petulangan kita berdua saya naik Snow White dan Ranz naik Pockie -- yang telah dipasangi rak boncengan sehingga bisa membawa tas pannier ketika kita bersepeda dari Semarang menuju Tuban, bulan Agustus 2012. Yang berikutnya saat kita bersepeda dari Solo ke Surabaya di bulan November 2012.

 

Snow White 


 

Mulai tahun 2013, tepatnya bulan Maret, saya ganti naik Austin dan 'membiarkan' Snow White jaga kandang. Ha ha … alasannya sepele: Austin hak milik saya hingga jika terjadi 'kerusakan' karena sering dibawa keluar kota, naik turun bagasi bus (biasanya saya dan Ranz pulang bikepacking naik bus, hanya waktu berangkat saja kita bersepeda), saya sendiri yang menangis pilu. Lol. Snow White bisa dikatakan milik bersama -- saya dan adik-adik saya -- karena kakak saya yang membeli sepeda ini. Di bulan Maret 2013 itu saya dan Ranz bersepeda dari Solo ke Purwokerto.

 


Enakan mana naik Snow White atau Austin?

 

 

Sepeda keluaran polygon memiliki kekuatan dalam hal stabil saat kita bawa 'lari' di jalan panjang. Ini berdasarkan pengalaman saya naik Snow White dan Cleopatra -- sepeda polygon cleo 2.0 yang memiliki ban 26". Ini berarti Snow White cocok diajak 'turing' menempuh jalan panjang, terutama jika trek tidak begitu rolling alias naik turun ya. Kelemahannya di awal akan mulai mengayuh pedal, Snow White terasa lebih berat jika dibandingkan Austin.

 

 

'Berat' Austin lebih ringan ketimbang Snow White, jadi lebih enak membawa Austin saat saya harus sering menggotongnya; misal naik turun kereta api. Well, saya belum pernah menimbangnya sih, hanya 'terasa' saat menggotong. Karena lebih ringan. Austin pun terasa lebih ringan ketika dinaiki dan meluncur di jalan raya. Tetapi, karena ringan inilah, Austin terasa lebih mudah terdorong angin saat menapaki jalan panjang; akibatnya larinya terasa kurang stabil.

 

 

Karena lebih ringan pula Austin lebih enak dinaiki saat melewati tanjakan, dibandingkan Snow White. Hal ini menimbulkan sugesti dalam diri saya sendiri saat naik Snow White saya bakal ngos-ngosan berat jika harus nanjak. Eh, padahal naik Austin nanjak ke Umbul Sidomukti juga saya ngos-ngosan banget, dan nuntun di beberapa tanjakan. Hahahah … apa kabar jika saya naik Snow White? :D

 

 

Ah ya, ada satu 'kelebihan' lain dari Snow White: frame yang melengkung ke bawah membuatnya lebih nyaman dinaiki buat mereka yang memiliki kaki yang pendek, seperti saya dan adik-adik saya.

 

 

Untuk kunci lipatan; baik Snow White maupun Austin sama-sama aman. Snow White yang hampir berusia 10 tahun dan Austin yang hampir 9 tahun memiliki kunci lipatan yang bisa diandalkan. Meskipun begitu, Austin lebih mudah dilipat hingga tidak butuh waktu lama. Tapi, eh, Snow White terakhir saya lipat itu di tahun 2013, saat saya bawa field trip ke Jogja bersama siswa-siswa saya. Jadi bisa dibayangkan susahnya melipat Snow White sekarang.

 

 

Berbicara tentang upgrade, Austin lebih 'siap' di-upgrade karena di frame sudah disediakan 'dudukan' ketimbang Snow White. Jika ingin upgrade Snow White ya harus beli 'dudukan' terlebih dahulu, lumayan lho harganya ratusan ribu rupiah. (Ini dalam konteks 'biasa' ya bukan dalam konteks pandemi covid 19 yang mendadak memviralkan sepeda; dimana-mana orang mendadak bersepeda membuat harga sepeda -- dan spare parts yang menyertai -- gila-gilaan.

 

 

PT56 11.50 23-Juli-2020

Selasa, 14 Juli 2020

Wiken di Solo setelah pandemi

Ternyata aku dolan ke Solo lagi pada hari Sabtu 11 Juli 2020; bahkan kali ini aku sempat menginap semalam di rumah Ranz.

 

 

Sabtu 11 Juli 2020

 


Seperti seminggu sebelumnya, aku naik Xtrans yang meninggalkan poolnya di Jalan Menteri Supeno pukul 09.00. Jika seminggu sebelumnya, hanya ada 4 penumpang, kali ini ada 10 penumpang; hampir penuh travelnya. 'Untung'nya di tiap baris, dua kursi dipisahkan dengan 'alley' sehingga dua penumpang tidak duduk berjejeran; jaga jarak tetap bisa kita praktekkan.


 


Kali ini aku turun di pool Xtrans di Jalan Radjiman Solo; karena Ranz masih berada di kantornya selama beberapa jam ke depan. Sambil menunggu Ranz bisa meninggalkan kantornya, aku mengayuh pedal Austin ke arah fly over Manahan; aku naik fly over meski kata seorang teman yang tinggal di Kerten sepeda tidak boleh naik fly over. Lha gimana, aku cari-cari gambar petunjuk tanda sepeda dicoret sebelum naik fly over, ga ada kok. :D

 



Setelah memotret Austin di bawah fly over, aku menyusuri jalan Sam Ratulangi di pinggir rel kereta api dari arah stasiun Purwosari menuju Kerten. Sesampai sana, aku bingung, jalan menuju stasiun Purwosari ditutup karena sedang ada pembangunan fly over, lol. Aku masuk satu gang yang ada tulisan 'PAJANG - LAWEYAN'. Masuk ke jalan itu, aku mendapati gedung Universitas Aisyiyah (kalau tidak salah) di sebelah kiri. Di 'ujung' bangunan universitas ini, ada jalan kecil ke arah kiri, aku mengikuti jalan itu; namun kemudian aku menemukan jalan buntu disebabkan pembangunan fly over itu. Meski naik sepeda, aku sebaiknya tidak mengganggu kesibukan para pekerja, ye kan. Lol. Akhirnya aku menyeberang rel di belakang universitas, dengan menggotong Austin. Nah, sesampai sini, aku sudah tahu jalan menuju rumah Ranz.

 



Dari sana, aku kembali ke daerah Penumping; Ranz setuju kuajak ketemuan di warung Timlo Sastro. Setelah aku menghabiskan satu porsi timlo lengkap, Ranz baru menyusulku. Setelah Ranz menyelesaikan makan siangnya, kita pulang ke rumah Ranz. Kondisi warung lumayan sepi, jadi jaga jarak disini sangat mungkin dipraktekkan.

 



Sorenya, setelah maghrib, kita berjalan kaki ke Wedangan Pak Basuki; aku sudah kangen teh nasgitelnya. Usai makan disini, kita berjalan kaki lagi, sampai mencapai jarak tempuh 3,5 km.

 

 

Minggu 12 Juli 2020

 


Karena sudah lama tidak mampir ke warung soto segeer Bu Hj. Fatimah di Jl. Bhayangkara Solo, aku mengajak Ranz sarapan disana. Hmm … menurut lidahku, kesegaran kuah sotonya memang tak terbantahkah, bagi mereka penyuka soto berkuah bening. Kondisi warung ramai, seperti sebelum pandemi; meski tidak sampai harus ngantri seperti dulu. Yang 'baru' adalah Austin dan Petir bukan dua-duanya sepeda di tempat parkir; ada beberapa sepeda lain yang juga diparkir disana.



 

Dari Jl. Bhayangkara Solo kita kembali mengayuh pedal sepeda ke arah Solo Baru; kita menuju Sukoharjo, untuk makan siang di rumah makan ayam goreng Mbah Karto - Tembel. Ranz sedikit komplain mengapa kita harus bersepeda 'jauh' hanya demi seporsi ayam goreng dan lalapannya kan ada rumah makan yang sama yang ada di Solo. Ya kujawab bukannya kita kangen sepedaan jauh? Lol. Yang istimewa dalam perjalanan kali ini kita berpapasan dengan banyak pesepeda dari arah Sukoharjo menuju Solo; sebagian dari mereka berombongan; kebanyakan naik sepeda yang masih nampak kinclong; sepeda-sepeda yang masih baru. Kita juga melihat 4 orang perempuan yang naik sepeda onthel (sepeda 'lawas') dimana keempat perempuan (yang telah nampak berusia senior) mengenakan kaos warna putih kembar dan topi model topi pemain tenis. Ranz yang jarang keluar sepedaan terheran-heran melihat banyaknya orang-orang yang bersepeda. Tahun lalu ketika bersepeda ke arah Sukoharjo, kita jarang berpapasan dengan pesepeda, tahun ini, orang-orang yang bersepeda itu, nyaris tanpa jeda! Tapi mereka nampak rapi kok, berbaris satu satu.



 


Sesampai RM Mbah Karto, ternyata di dalam juga sudah lumayan ramai. Kita kebagian duduk di teras, di atas tikar. Seperti biasa, aku memesan dada sedangkan Ranz paha. Untuk minum, aku pesan es teh, sedangkan Ranz pesan es jeruk.




 

Otw balik ke Solo, sesampai Solo Baru, aku mengajak Ranz mampir satu gerai restoran fastfood, aku pingin iced coffee. Setelah itu, baru kembali ke Laweyan.


 

Sore, aku kehabisan tiket travel Xtrans 😞 untunglah aku mendapatkan tiket travel Kencana. Jika tidak dalam kondisi pandemi dimana kita harus jaga jarak; armada travel Kencana enak tuh, namun kita tidak bisa jaga jarak. 😔 "untung" aku mendapatkan tempat duduk di belakang; dimana ada 4 kursi berjejer, namun hanya ada 2 orang yang duduk. Austin masuk ke dalam mobil, tidak di bagian bagasi. Seperti Xtrans, Kencana juga masuk tol jadi perjalanan tidak memakan waktu lama. Pukul tujuh malam aku sudah sampai rumah.

 


Kira-kira kapan ya aku bisa dolan keluar kota lagi? 😆


 

PT56 15.15 14-Juli-2020


Minggu, 05 Juli 2020

Dolan perdana ke Solo setelah pandemi

Pandemi covid 19 benar-benar memisahkan aku dan Ranz secara fisik, (lebay yaaa) meski tentu dengan mudah kita tetap bisa berkomunikasi lewat WA. Kekhawatiran bahwa akan sulit untuk keluar kota, atau memasuki kota yang bukan terdaftar sebagai kota tempat tinggal kita membuat kita tidak berusaha untuk saling mengunjungi; selain tentu kekhawatiran jika di tengah jalan kita akan berpapasan dengan OTG covid 19 dan malah tertular.

 

 

Dan out of the blue di hari Sabtu 4 Juli 2020 aku harus ke Solo, karena sesuatu hal.

 


 

Sekitar pukul 08.45 aku sampai di pool travel Xtrans yang terletak di Jl. Menteri Supeno. Dengan mudah aku membeli tiket untuk berangkat ke Solo jam 09.00. dan mobil yang kunaiki meninggalkan pool jam 08.58. Mobil yang kita naiki ini sampai di pasar oleh-oleh Jongke pukul 10.35! (cepat ya, karena mobil lewat jalan tol.) dari sini, aku mengayuh pedal Austin kurang dari 500 meter. Oh ya, jelas aku mengajak Austin dong, karena lebih nyaman naik sepeda. Dari rumah ke pool, naik travel Xtrans, sepeda gratis, tidak dikenai biaya bagasi, dan setelah turun dari mobil, aku bisa melanjutkan perjalanan ke rumah Ranz naik sepeda lagi.

 

 

Apa kemudahan aku pergi keluar kota ini karena pemerintah telah menyatakan kesiapan menyambut "new normal"? Xtrans pun tidak ribet menanyakan surat negatif covid 19 karena tentu Xtrans telah mengalami dampak covid 19 selama beberapa bulan.

 


 


Sesampai rumah Ranz, tidak lama kemudian dia pulang dari kantornya. Setelah Ranz ganti baju, dia langsung mengajakku keluar untuk makan malam. Tanpa pikir panjang aku langsung memilih menu selat Solo. Aku memilih warung selat yang tak jauh dari rumahnya Ranz, ga sampai harus ke warung selat Mbak Lies yang terletak di Serengan. Aku ga lama di Solo, entar kalau kuajak maksi ke tempat yang agak jauh, Ranz komplain. Kaliiii. :D

 

 

Menurut pengamatanku sekilas, suasana kota Solo -- jalan-jalan yang kulewati -- tidak seramai jalan-jalan yang kadang kulewati di Semarang ketika bersepeda. Apa karena ini hari Sabtu ya? Biasanya sih hari Sabtu tidak seramai hari Minggu. Tapi karena kota Solo tidak termasuk daftar zona merah di Jawa Tengah -- menurut catatan pak Ganjar -- mungkin memang benar, penduduk kota Solo tidak sendableg penduduk Semarang. :D meski seorang kawan di medsos yang tinggal di daerah Kerten komplain orang-orang naik sepeda dengan memenuhi badan jalan sehingga menyusahkan pengguna jalan yang lain.

 



 

Setelah selesai melakukan urusanku di Solo, sorenya aku langsung balik ke Semarang. Sebenarnya Ranz ngiming-ngimingi jajan di 'angkringan' Pak Basuki -- yang di lidahku teh nasgitelnya juara! -- malam itu, tapi apa boleh buat, di hari Minggu pagi aku sudah telanjur janji COD dengan beberapa kawan yang akan membeli bike tab b2w edisi 15 tahun B2W Indonesia. Aku harus balik ke Semarang. Mana Angie nampak keberatan aku dolan keluar kota. Ealaaaah nduk … kan sudah lamaaa Emakmu ini ga keluar kota toh. Hadeeeh.

 

 


Next time, mari dolan lagi! :D

 

 

PT56 20.01 05-Juli-2020