Cari Blog Ini

Senin, 22 Juli 2013

WEEKEND BIKE TRAVELLER

Post ini juga bisa dibaca di link di wego, dengan editan dari pihak redaksi :)


WEEKEND BIKE TRAVELLER

Mimpi mengalami petualangan seperti para backpacker – mereka yang bertravelling dengan berjalan kaki dari satu tempat ke tempat lain atau jika beruntung mendapatkan tumpangan orang-orang yang baik hati – yang kumiliki semenjak mengenal istilah ‘backpacker community’ akhirnya menjadi kenyataan setelah mendapatkan ‘soul mate’ untuk melakukan perjalanan bersama di pertengahan tahun 2011. Namun aku tidak benar-benar berjalan kaki, melainkan naik sepeda lipat hingga lebih menghemat waktu perjalanan. Mengapa sepeda lipat? Sepeda lipat jauh lebih praktis ketika terjadi hal-hal yang membuat kita memutuskan untuk mencari tumpangan atau naik kendaraan, demi lebih mempercepat perjalanan, dibandingkan sepeda jenis lain. Sepeda lipat tinggal kita lipat dan kita masukkan ke bagasi. Problem solved! :)

Maka, aku dan Ranz – soul mate-ku itu – menyebut diri sebagai seorang bikepacker dan bukan backpacker.

Dua hal penting bagi seorang bikepacker sebelum memulai perjalanannya adalah sepeda dan tas pannier. Kita harus memastikan bahwa sepeda kita dalam kondisi prima. Akan sangat membantu jika kita juga membawa ‘tools’ andai terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dan hal itu terjadi ketika kita jauh dari bengkel. Sedangkan tas pannier yang biasa diletakkan di rak boncengan akan sangat meringankan para bikepacker ketimbang membawa backpack atau tas punggung. Dalam perjalanan bersepeda jarak jauh memang sebaiknya tubuh kita tidak terbebani apa pun.

Dalam tulisan ini, aku akan berbagi kisah ketika gowes libur weekend tanggal 21 – 23 Juni 2013.


di luar pagar Candi Klero

Hari Jumat 21 Juni 2013 aku memulai perjalananku dari Sukun – Semarang pukul 07.00. Austin – sepeda lipat yang kupilih menemani perjalananku kali ini – sudah duduk manis di bagasi bus, beserta tas pannier yang berisi beberapa baju, perlengkapan mandi, dll. Sementara Ranz memulai perjalanannya dari rumahnya dari kawasan Laweyan Solo sekitar pukul 05.30. Dia memutuskan untuk gowes, ditemani Pockie sepeda lipatnya. Kita janjian bertemu di Klero – sekitar 10 kilometer dari terminal Tingkir Salatiga ke arah Boyolali.

bersama Austin di dalam kawasan Candi Klero

melongok ke dalam Candi Klero

Kita bertemu di Klero sekitar pukul 09.00. Tujuan utama hari ini adalah Candi Klero, yang terletak tak jauh dari jalan raya Semarang – Solo, sekitar 500 m. Jika kita dari arah Semarang, kita belok ke kiri. Candi Klero terletak bersebalahan dengan sebuah kompleks makam desa.

Lumpang di luar Candi Klero

Candi yang nampaknya kurang terkenal sebagai daerah kunjungan wisata ini terjaga rapi dan bersih oleh seseorang yang memang diberi tugas untuk melakukannya. Adanya yoni di dalam candi menunjukkan bahwa candi ini merupakan Candi Hindu walau ada juga yang meragukannya dikarenakan di lokasi hanya ada satu buah candi. Biasanya candi Hindu akan ada satu candi induk dan candi perwara lain sebagai pendamping.

Candi Klero berbentuk sederhana, tanpa banyak dekorasi berupa relief maupun patung-patung lain. Oleh karena itu Candi Klero dipercaya usianya lebih tua dari Candi Prambanan. Meski kurang terkenal sebagai daerah kunjungan wisata, Candi Klero masih tetap digunakan untuk beribadah terbukti dari sesajen yang terlihat di altar di dalam Candi ketika aku melongok ke dalam.


on the way :)

di Boyolali :)

Sekitar tigapuluh menit kemudian, aku dan Ranz melanjutkan perjalanan: gowes ke Solo yang jaraknya kurang lebih 45 kilometer dari Klero. Bagi yang mungkin belum pernah memperhatikan, trek Boyolali – Solo didominasi turunan sehingga sangat menyenangkan bagi pesepeda, hanya ada sedikit tanjakan, itu pun tak seberapa.

Malam itu aku menginap di rumah Ranz.

Hari Sabtu 22 Juni 2013 kita meninggalkan Laweyan Solo sekitar pukul 06.30. Barang bawaan kita yang ga begitu banyak telah kita packing ke dalam tas pannier malam sebelumnya. Tujuan kita: Jogja! Jarak yang kita tempuh pada hari Sabtu itu kurang lebih 65 kilometer dengan trek datar plus ini adalah gowes Solo – Jogja yang ketiga buatku (namun kelima buat Ranz) sehingga perjalanan ini tidak terlalu mendebarkan hati. J

Seperti biasa kita mampir di sebuah rumah makan yang dekat dengan Candi Prambanan untuk makan ‘brunch’. Usai makan dan istirahat selama kurang lebih 30 menit, kita melanjutkan perjalanan. Kita menyempatkan diri mampir ke Candi Sari yang lokasinya tidak terlalu jauh dari jalan raya. Candi Sari yang letaknya dekat dengan Candi Prambanan yang merupakan Candi Hindu ini konon dulunya adalah biara untuk para pendeta Buddha. Candi Sari berbentuk persegi empat, di dalamnya terdapat tiga bilik yang berjajar dan terhubung dengan pintu masuk. Pada tiap sisi candi terdapat jendela sehingga suasana di dalam candi tidak terlalu gelap. Kemungkinan Candi Sari dibangun pada abad 8 Masehi.


stupa di atas Candi Sari

salah satu 'jendela' di Candi Sari

Candi Sari

Keluar dari Candi Sari, kita langsung gowes menuju Malioboro Jogja. Kita merencanakan untuk menginap di satu hotel di Jalan Dagen. Setelah meletakkan tas pannier di dalam kamar hotel, kita gowes ke arah Tamansari. Kita sampai disana sekitar pukul 12.00.

Tamansari terletak tak jauh dari Keraton Ngayogyakarta. Jika kita tidak tahu lokasi pastinya, kita bisa bertanya pada penduduk sekitar yang tentu dengan baik hati akan menunjukkan arah. Tamansari dulu berfungsi sebagai tempat peristirahatan keluarga Sultan Ngayogyakarta, selain untuk bersemedi. Kolam yang ada dulu konon dipakai untuk mandi para selir raja dan juga raja sendiri jika berkenan. Ada kamar-kamar tempat raja beristirahat, juga bersemedi.  Ada juga dapur tempat memasak. Di Tamansari juga ada bilik-bilik di bawah tanah yang dulu juga berfungsi sebagai tempat persembunyian keluarga raja jika keadaan genting.


kolam tempat mandi Tamansari

hiasan di salah satu gerbang di Tamansari

tempat bersemedi raja-raja zaman dulu

Jika untuk masuk Candi Klero dan Candi Sari kita tidak dipungut biaya, di Tamansari kita perlu membeli tiket, satu orang Rp. 3000,00. Banyak turis baik dari dalam negeri maupun manca negara yang berkunjung di Tamansari ketika kita kesana.

Malamnya kita menikmati suasana Malioboro yang sangat padat pengunjung. Bahkan bersepeda pun kita tidak bisa melaju dengan lancar di jalan yang paling terkenal seantero nusantara ini. Kita sempat makan malam dua kali. J Yang pertama kita memilih satu warung lesehan yang terletak tak jauh dari Malioboro Mall dengan menu penyetan. Yang kedua nasi goreng magelangan, ditraktir oleh Mas Totok, teman gowes yang berdomisili tak jauh dari Malioboro.

Hari Minggu 23 Juni 2013 kita gowes pagi ke kawasan Bulaksumur UGM untuk sarapan di Pasar Pagi, sekaligus bernostalgia buatku. :)

Siangnya kita ikut event yang diadakan oleh sebuah perusahaan pemroduksi kaos yang lumayan kondang di Jogja: raceplorer. Raceplorer sejenis fun bike keliling Jogja namun kita harus menemukan empat lokasi (dari 5 tempat) yang dijadikan ‘soal’. Kelima lokasi itu – setelah berusaha memahami narasi yang diberikan panitia dengan sedikit mumet LOL – adalah Museum Anak Kolong Tangga yang terletak di Taman PintarMuseum Sonobudoyo IIMuseum BahariMuseum Ki Hajar Dewantoro, dan Museum Pusat TNI AD. Masing-masing kelompok yang terdiri dari 3 pesepeda akan diberi ‘tugas’ untuk dikerjakan maupun ‘soal’ untuk ‘dipecahkan’ sesampai di keempat lokasi tersebut.


UGM! :D

mejeng di 'wall of fame' Dagadu raceplorer

mejeng rame-rame

Kita tidak mengikuti acara hingga pengumuman pemenang yang dilaksanakan usai shalat maghrib karena kita tidak ingin kemalaman pulang ke Solo. Namun ternyata kita tetap (agak) kemalaman karena rencana kita mau naik kereta api tidak bisa kita lakukan: antrian pembeli tiket kereta sangat amat panjang! Dan kita khawatir tidak akan diijinkan naik kereta karena kita membawa sepeda. Maka, gowes balik ke Solo adalah salah satu pilihan yang (kurang) menyenangkan. hahahaha ... Apa boleh buat?

Kita sampai di rumah Ranz di kawasan Laweyan pukul 21.30.

Hari Senin 24 Juni 2013 aku balik ke Semarang dengan naik bus. Sepeda terlipat rapi di bagasi. :)


IB 20.40 16/07/13

p.s.:
ditulis ulang untuk dikirim ke wegoindonesia.com 

Senin, 15 Juli 2013

Gowes di Jalan Tol

Well, kisah lama sebenarnya, tapi belum sempat kutulis di blog. Kebetulan barusan 'nemu' foto-fotonya di album milik teman, langsung 'kuculik' dan ... kuabadikan di blog ini. :)

Alkisah event fun bike ini diselenggarakan pada tanggal 27 Februari 2011. Fun bike konon diikuti oleh lebih dari 10.000 orang yang ingin menggores kenangan gowes di jalan tol. :) Jalan tol Semarang - Ungaran sudah siap dioperasikan. Nah, sebelum diresmikan penggunaannya, pada tanggal tersebut sebuah event organizer menyelenggarakan acara fun bike di jalan tol, yang konon treknya mencapai sepanjang kurang lebih 20 kilometer (kayaknya hehehehe ...) dengan tanjakan plus turunan yang lumayan menantang. Dikarenakan tanjakan dan turunan itulah panitia melarang para pengguna sepeda fixie ikut khawatir in case terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

Aku sendiri adalah peserta yang menyelundup, alias tidak daftar. Tidak ngejar hadiah, hanya mengejar kesempatan yang belum tentu bakal terjadi dalam waktu dekat: GOWES DI JALAN TOL. :) Ikutnya pun mendadak. Malam penyelenggaraan fun bike, aku disms Mas Nasir yang nawarin mau ikut ga, karena kebetulan dia ditawarin teman lain -- Mas Budenk -- untuk nebeng mobilnya, dengan catatan harus bawa seli biar ringkes untuk dimasukkan ke dalam mobil. Aku langsung setuju. (seingatku sih begitu. LOL.)

On the D-day, aku ke rumah Mas Budenk yang tidak jauh dari rumahku sekitar pukul 05.30. Setelah loading, kita langsung berangkat. Ada empat orang dalam mobil, tiga seli, satu mtb.

Dalam perjalanan nanjak Gombel kita melihat banyak partisipan fun bike yang sedang gowes nanjak Gombel. Namun ada juga yang naik ojek dan sepeda ditaruh di tengah antara si tukang ojek dan penumpang. :) Waktu itu BRT koridor 2 belum dioperasikan jadi naik ojek adalah satu-satunya kemungkinan jika tidak ingin repot gowes tanjakan Gombel. hehehehehe ...

Usai mengikuti fun bike, aku pulang gowes berdua Mas Nasir. Karena 'kekacauan' suasana -- terlalu banyak partisipan -- kita berdua kehilangan jejak Mas Budenk + anaknya. Ya sudah gapapa, toh pulangnya tinggal nggelondor pulang. Maka ... hari itu adalah debutku menuruni bukit Gombel dengan naik seli. Waktu itu aku 'baru punya' Snow White, seli polygon urbano 3.0. :)

Berikut foto-foto yang kuculik dari album Mas Budenk di facebook. hehehehehe ..

cool pic, isn't it? :)

Boil dan istri

aku, Farrel, Mas Nasir

yeay! :)

yang narsis sedang beraksi :D

lulus nuandjak gombel :D

Ipoet dengan siapa ya? :D

Farrel in action :)

IB 180 20.36 150713

Rabu, 10 Juli 2013

B2W : biking with confidence

Entering the sixth year of my biking to work

This July 2013 I have been doing the so-called ‘saving environment’ effort : bike to work for more than five years! This writing is, in fact, the English version of my writing a year ago. You can click the Bahasa Indonesia version here. :)

It all started on 26 June 2008 where some people including me gathered together at Budianto’s (also nicknamed ‘Budenk’) house, not far from my dwelling. There were around 10 people at that time, but I don’t really remember who they were. Some people I remember were Budianto, Triyono, Nasir, Firman, my sister, and me. I didn’t have my own bike yet, just a bike given by my brother in the beginning of 1990s.

Using that bike – brand ‘winner’, produced around the same era when ‘federal’ bike was booming in Indonesia – I started my ‘history’ to bike to work. It was not an easy decision to make though since I thought biking to work was a not popular thing to do (yet). It would be a ridiculous thing to do for a teacher, like me. :( However, since biking to work was an obligatory for someone who joined a ‘bike to work community (so I thought), I decided to do it. It was not easy for the very first time, having to answer people’s questions why I did that, having to bear people’s looking at me weirdly, and stuff like that. J I felt a bit shy if my students asked me, “why biking to work?” J

first time joining offroad biking 

In the middle of November 2008, I got a loving surprise from my buddies in B2W Semarang community: a mountain bike made by wimcycle! Wow! (Read the post here, n bahasa Indonesia) They had two reasons to buy this cute bike I nicknamed ‘Orange’ at the beginning then I changed it into ‘Orenj’ (just exactly like the pronunciation of ‘orange’ LOL) because I wanted to avoid the confusion of the meaning of ‘Orange’. In English ‘orange’ means the color of orange, just like the color of the bike. However, in informal Bahasa Indonesia, ‘orange’ means ‘the person’. The first reason was the ‘winner’ bike was too high for me who is only 150 cm tall. J The second reason was they wanted me to be able to join them in offroad adventure since ‘winner’ was no longer in good condition. At that time, spending Sundays going offroad biking was the favorite thing to do.

You can say maybe because I got a new bike, I got more enthusiastic to bike to work! With ‘bike-to-work’ tag under the seatpost, I felt like I was one heroine to save the environment since I tried reducing the pollution as well as the dependency on the fossil fuel. I should be proud to do that, shouldn’t I? J I didn’t need to feel shy to bike to work, did I?

FYI, I work for two institutions. In the morning, I work for a Permata Bangsa International School. The school is located quite far from my house, around 9 kilometer, and the location is around 190 m above sea level. In the evening, I work for LIA English course. The course is located very close to my house, only around 2,5 kilometer and the track is flat. As a newbie, I could not easily bike to the school due to the location which is 190 m above sea level. As a result, I biked to work only in the evening, only to the English course.

B2W Semarang community became more active in making Semarang roads be more friendly toward cyclists since we saw that there were more and more cyclists. It means more and more people realized to participate in reducing pollution and using fossil fuel. We proved it by having talk show to force Semarang municipal government to have bike lanes. We did it twice in 2010. Finally we proudly announced that the bike lanes were indeed made come true in the end of 2011.

Meanwhile, I started being challenged to bike long distance. With more people joining B2W Semarang community – with its new division ‘Komselis’ (folding bike cyclists Semarang community) – I participated in some events held out of town. Let us say JOGJA ATTACK event held 5-6 March 2011 where the participants biked from Jogja to Borobudur temple Magelang.  Then, B2W Semarang community itself held long distance biking, such as biking from Semarang to Kudus (April 2011) and Semarang to Jepara (May 2011).

By joining some events I mentioned above, I met a ‘partner’ in biking: Ananda Ranz from Solo. With Ranz, since June 2011, we biked from one town to another, only both of us. Since we did it for days, we called our experience as ‘bikepacking’ (‘quoting’ from backpacking traveler). We went bikepacking from Solo – Jogja; Semarang – Jepara – Karimun Jawa – Jepara – Semarang; Solo – Wonogiri – Nampu beach – Solo, Semarang – Tuban, etc.


With more experiences in biking, I challenged myself to – eventually – bike to work to the school where I work in the morning! In the middle of 2012, I started challenging myself to do it around twice until three times a week. Biking for 9 kilometer and going uphill until 190 m above sea level (now 230 m above sea level after the school moved to the new location which is higher than the previous one) to go to work is no longer impossible to do. Hope I can inspire more people to bike to work despite the track!

This is my second writing to celebrate my biking to work ‘anniversary’. Keep biking. Keep the environment clean. Keep being healthy.


GG – IB 15.55 10/07/13

P.S.:

Versi Bahasa Indonesia bisa dilihat di link ini

Selasa, 09 Juli 2013

Gowes Semarangan 29 Juni 2013

Sabtu 29 Juni 2013 aku dan Ranz gowes santai karena siangnya kita ada undangan makan-makan. Aku ga nyalain sports tracker di hape jadi ga tahu pasti berapa kilometer jarak yang kita tempuh pagi itu. Tapi, sungguh, ga jauh kok. Meskipun ga jauh, seumur hidupku semenjak lahir di kota Semarang, aku belum pernah menginjakkan kaki di kawasan ini. Hehehehehe ...

Dari kos Ranz yang terletak di kawasan Jalan Suyudono, kita melaju ke arah Sungai Banjirkanal Barat, terus ke arah Gedung Batu Sam Po Kong. Dari SPK, kita terus ke arah Selatan, ke kawasan Phapros. Kita hanya mengikuti jalan itu, hingga kita bertemu dengan pertigaan, dimana jika belok kanan kita akan menanjak ke Panjangan. Nah, kali ini kita terus lurus ke arah Selatan. 

Btw, sepanjang perjalanan, kita menyusuri pinggiran Sungai Banjirkanal. 'Petualangan' usai saat kita sampai di satu daerah yang memiliki nama sama dengan (mantan) penyanyi yang menjadi istri muda salah satu anak presiden kedua RI: Mayangsari. :) 

Karena tidak benar-benar menyesatkan diri, kita hanya memutar di 'perumahan' Mayangsari itu, dan kita kembali menyusuri jalan yang sama ketika kita berangkat, untuk kembali ke 'peradaban'. Hahahaha ...

Berikut foto-foto yang sempat kejepret waktu itu. 


kiri Febby tunggangan Ranz, kanan Orenj sepeda yang kunaiki kali ini :)
memasuki 'goa' dimana di atasnya adalah jalan tol :)
Ranz :)
jalan masuk ke satu gang yang berupa single track
pulangnya mampir mejeng di luar Gedung Batu Sam Po Kong :)
di belakang Sam Po Kong :)
narsis jalan teruuusssss


Unfortunately di libur kenaikan ini aku hanya mendapatkan libur dari sekolah satu minggu, dan Ranz juga sibuk di tempat kerjanya, sehingga kita ga bisa bikepacking. Huuuuu ... apa boleh buat? kapan-kapan lagi deh ... :)

Ciao.
IB 180 16.33 090713

Senin, 08 Juli 2013

Catatan B2W 4 & 8 Juli 2013

Kamis 04 Juli 2013

Aku masih kangen gowes Orenj, maka pagi ini kupilih Orenj (lagi) untuk mengantarku ngonthel menyang kantor. Seperti hari Senin 01 Juli lalu, aku meninggalkan rumah sekitar pukul 04.55. Karena baru 3 hari lalu aku memotret Orenj di lokasi jembatan yang menghubungkan Pusponjolo dan Lemah Gempal, kali ini aku merasa tidak perlu memotret Orenj di lokasi yang sama. Aku juga melewatkan lokasi di seberang RS William Booth dan jelang tanjakan Gajahmungkur. Aku baru mulai motret Orenj setelah sampai di depan kampus lama yang beralamat di Jalan Gombel Lama no. 7.

Check the following pictures yah? :)

di depan kampus lama

di sebelah kiri jalan Gombel baru

jelang tanjakan Gombel Lama

di gerbang Gombel Golf course

Orenj di kampus baru

Orenj di halaman sekolah

Senin 08 Juli 2013

Kali ini aku memilih ditemani Austin. Jatah dia narsis hari ini. LOL. Setelah beberapa minggu aku mengayuh pedal Orenj, mtb dengan ban 26", awal naik Austin rasanya agak kaku bagaimana begitu. hihihihihi ... "Kok rodanya kecil yak? Aku bisa ga ya nanjak naik Austin?" beberapa pertanyaan konyol menghinggapiku. heheheheh ...

Entah mengapa pagi ini ada keinginan gowes nanjak Gombel (baru) sampai puncak, baru belok kanan menuruni Jalan Gombel Lama. Namun, karena merasa butuh mampir ke si ibu penjual sarapan di jalan Gombel Lama yang bakal kulewati jika aku 'melipir' dari bawah, akhirnya aku membatalkan keinginan nanjak Gombel, dan tetap mengambil jalur seperti biasa: sesampai Pasar Jatingaleh, di kaki bukit Gombel, aku menyeberang, untuk kemudian mampir ke kampus lama sejenak, dan mulai melipir.

Dan ... ternyata sesampai di lokasi si ibu penjual sarapan, beliaunya memilih libur jualan hari ini. Huuuuu ... Alamat 'puasa' gorengan hari ini. hahahahaha ...

Check these pictures of Austin yak?

Austin mejeng di jembatan Banjirkanal :)

Austin di seberang RS William Booth

Austin jelang tanjakan Gajahmungkur

Austin mau masuk Jalan Sultan Agung

Austin di pertigaan Kaliwiru

di depan kampus lama

Austin jelang nanjak Jalan Gombel Lama
Austin di kampus baru
Btw, selama bulan Ramadhan nanti, semoga aku masih bisa menyempatkan diri bike to work ke kampus baru. :)

JALAN RAYA : MILIK SIAPA?

JALAN RAYA : MILIK SIAPA?

JALUR SEPEDA DI KOTA SEMARANG

Dengan semakin semaraknya jalan raya dengan para pesepeda, dan juga rasa ‘iri’ terhadap beberapa kota lain di Indonesia yang telah memiliki jalur sepeda, di tahun 2010 (tanggal 11 April dan 6 Juni 2010) Komunitas B2W (Bike to Work) Semarang mengadakan talk show yang diberi tajuk DESAK PEMERINTAH SEMARANG UNTUK MENYEDIAKAN JALUR SEPEDA DI KOTA SEMARANG. Di talk show yang kedua, Ari Purbono, selaku ketua Komisi B DPRD Jawa Tengah waktu itu (yang juga diajukan sebagai calon wali kota Semarang oleh sebuah Partai Politik) berjanji bahwa jalur sepeda akan segera direalisasikan. Guntur Risyadmoko, salah satu keynote speaker dari Dinas Perhubungan mengiyakan pernyataan ini, paling lambat akhir tahun 2011.

Awal tahun 2012

jalur sepeda di Semarang, foto dijepret 7 Juli 2013

Jalur sepeda akhirnya memang ada di Semarang! Untuk mewujudkan janji menyediakan jalur sepeda, pemerintah memilih Jalan Pemuda, Jalan Pandanaran, Jalan Pahlawan, Jalan Ahmad Yani dan kawasan Simpang Lima, jalan-jalan utama kota Semarang. Jalur sepeda yang ditandai dengan marka garis berwarna kuning, dengan gambar sepeda di tengah-tengah, berada di sisi paling kiri, lebar sekitar satu meter. Jalur sepeda ini bisa didapati di dua jalur yang berlawanan, misal di Jalan Pemuda, di jalur yang menuju arah Utara, maupun di jalur yang menuju arah Selatan.

Akan tetapi ketika ditelusuri, jalur sepeda itu tidak benar-benar bisa dinikmati oleh para pesepeda, karena sering jalur itu justru dipakai untuk parkir mobil maupun motor. Apalagi di Jalan Pandanaran dimana terletak toko-toko yang berjualan makanan oleh-oleh asli Semarang. Di depan toko-toko tersebut, tak lagi terlihat jalur sepeda, karena dipenuhi dengan mobil yang berderet parkir.

Maka kemudian muncul tuduhan bahwa jalur sepeda ini akan mematikan ladang rezeki tukang parkir. Atau menyulitkan para pemilik usaha untuk menyediakan lahan parkir karena terbatasnya ruang yang ada.

Jika kemudian jalur sepeda itu tidak benar-benar dimanfaatkan untuk melajunya para pesepeda, lantas untuk apakah jalur sepeda itu disediakan? Hanya sekedar untuk menghamburkan uang rakyat? Lalu bagaimana menyelesaikan masalah parkir?

REBUT RUANG KOTA

Mulai pertengahan tahun 2010, ada gerakan “menyepedakan masyarakat” dengan jargon REBUT RUANG KOTA! Tidak jelas siapa yang melontarkan ide yang menggunakan istilah “critical mass” ini. Di Semarang event ini disebut “Semarang Critical Mass Ride” yang dilaksanakan setiap hari Jumat terakhir tiap bulan. Para pesepeda berkumpul di Jalan Pahlawan pukul 19.00 dan kemudian bersepeda bersama-sama keliling kota, sesuai rute yang dipilih pada hari itu.

nite ride 30 Juli 2010

Sesuai dengan jargonnya, gerakan ini konon diharapkan akan mampu merebut ruang kota hanya untuk para pesepeda, tak lagi ada tempat untuk mereka yang menaiki kendaraan bermotor. Di awal penyelenggaraannya, ratusan pesepeda yang hadir benar-benar memenuhi badan jalan di seluruh rute yang dilewati, hingga tak menyisakan tempat bagi pengguna jalan lain, tanpa ada “road captain” yang memimpin, tanpa “marshall” yang mengawasi para pesepeda, juga tanpa “sweeper” yang mengecek apakah ada peserta yang ketinggalan.

Bisa dibayangkan betapa kesalnya para pengguna jalan lain jika melihat kearoganan ini. Bukankah jalan raya itu milik bersama? Para pengendara kendaraan bermotor, pesepeda, juga pejalan kaki? Alih-alih menarik orang untuk beralih naik sepeda dan meninggalkan kendaraan bermotor mereka, justru gerakan “rebut ruang kota” ini akan membuat orang tak simpatik dengan para pesepeda. Akibatnya mereka akan tetap berkendaraan bermotor, tetap membutuhkan bahan bakar yang bakal habis satu saat nanti, dan terus menyebabkan polusi udara.

Sekitar dua tahun kemudian, “Semarang Critical Mass Ride” tak lagi ada pengikutnya. Entah mengapa.

JALUR SEPEDA DI PURWOKERTO

Bulan Maret 2013 aku dan Ranz berkesempatan gowes di kota Purwokerto, dalam rangkaian bikepacking Solo – Purwokerto. Kita sangat terkesan dengan jalur sepeda yang ada disana. Di salah satu jalan utamanya, Jalan Jendral Sudirman, kita dapati jalur sepeda hanya di satu sisi. Di jalan yang sama, di jalur yang berlawanan arah, di sisi paling pinggir kiri digunakan untuk parkir kendaraan bermotor. Maka, tak ada kendaraan bermotor yang menghalangi pesepeda menggunakan jalur yang disediakan buat mereka. Di beberapa tempat, kita menemukan poster yang bertuliskan “keselamatan jalan tanggung jawab kita semua; beri kesempatan pesepeda menggunakan lajurnya.”

beri kesempatan pesepeda menggunakan lajurnya

Ini adalah ide yang bagus untuk diterapkan di kota Semarang, mungkin juga di kota-kota lain. Jalur sepeda tetap ada dan dimanfaatkan oleh para pesepeda; lahan parkir di satu jalan pun tetap ada sehingga tidak mematikan ladang rezeki para tukang parkir. Para pengendara kendaraan bermotor pun tidak perlu bingung mencari tempat parkir.

PENUTUP

Undang-undang Republik Indonesia nomor 22 tahun 2009 pasal 106 ayat 2 menjelaskan bahwa “Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor wajib mengutamakan pejalan kaki dan pesepeda.” Ayat ini jelas mengatakan bahwa jalan raya itu milik semua yang menggunakannya, para pengendara kendaraan bermotor, pesepeda, juga pejalan kaki.

Dalam prakteknya, meski UU ini disahkan empat tahun lalu, ayat tersebut kurang dikenal masyarakat dengan bukti masih banyak ditemukan arogansi para pengendara kendaraan bermotor kepada para pesepeda, juga pejalan kaki. Sebagai seorang praktisi bike-to-work maupun pehobi bikepacking, terlalu banyak pengalaman tersingkirkan di jalanan, demi keselamatan diri dikarenakan hanya dipandang sebelah mata oleh pengguna jalan lain. Namun, tetap, semua orang berhak menggunakan jalan raya bersama-sama, dan saling menghormati pengguna jalan lain.

Nana Podungge
seorang bike-to-worker dan bikepacker


PT56 19.00 070713

Kamis, 04 Juli 2013

Bikepacking Libur Lebaran 2012 : Gowes AKAP Semarang ke Tuban

BIKEPACKING LIBUR LEBARAN 2012 : GOWES AKAP SEMARANG KE TUBAN

Bikepacking (baca è kegiatan bersepeda yang membutuhkan lebih dari satu hari) sebenarnya mudah dilakukan oleh siapa saja, terutama bagi mereka yang telah terbiasa mengayuh pedal sepeda sejauh puluhan atau ratusan kilometer per hari. Akan tetapi, bikepacking tidak mudah dilakukan bagi mereka yang tidak punya waktu luang. Mungkin karena mereka tidak bisa mendapatkan cuti dari kantor tempat mereka bekerja, atau mungkin mereka tidak mudah mendapatkan izin dari keluarga. Hal ini biasanya penyebabnya adalah dalam keluarga tidak ada yang memiliki ‘passion’ yang sama dalam bersepeda.


jelang berangkat, dengan Lawangsewu sebagai background

Maka, bikepacking adalah satu hobi yang mewah bagi sebagian orang. Pun buatku dan Ranz, soul mate sepedaanku. Libur lebaran tahun 2012 kita pilih untuk merealisasikan salah satu rencana bikepacking kita, meski itu berarti kita menghabiskan libur lebaran dengan keluarga masing-masing hanya 3 hari (pertama) 19 – 21 Agustus. Bahkan buat Ranz hanya 2 hari, karena pada hari Selasa 21 Agustus Ranz telah memulai bersepeda dari Solo menuju Semarang. Tanggal 22 Agustus kita akan memulai bikepacking kita : bertamasya dari Semarang ke Tuban dengan naik sepeda lipat (gegara obsesi gowes antar kota antar propinsi! :) )

Penampilan Pockie (dengan tas panniernya) dan Snow White

Hari pertama Rabu 22 Agustus target kita adalah mencapai kota Rembang yang terletak sekitar 125 kilometer dari Semarang. Kita bertemu di dekat Tugumuda – salah satu landmark kota kelahiranku – pukul 06.00. Setelah membetulkan tas pannier yang beratnya mencapai 25 kg di rak boncengan Pockie – seli pockrock 20” – beberapa jepret untuk dokumentasi, kita berangkat menuju Demak. Dalam perjalanan ini aku naik Snow White – seli urbano 3.0 20”.


di Masjid Agung Demak
Jalur pantura lumayan ramai. Pemberhentian pertama adalah alun-alun Demak, 30 kilometer dari Tugumuda. Kita mampir ke sebuah mini market untuk beli beberapa botol air mineral dan istirahat. Entah mengapa Ranz terlihat kurang fit dalam mengayuh Pockie, meski dia tetap terlihat excited. Kurang lebih setengah jam kemudian kita melanjutkan perjalanan, setelah foto-foto di depan masjid agung Demak yang dibangun oleh Sunan Kalijaga. Selain kita berdua, banyak orang lain (yang mungkin juga pemudik yang sedang lewat) juga menggunakan kesempatan untuk bernarsis ria.

bersama beberapa polisi yang bertugas di alun-alun Kudus

aku berdua Cipluk di teras rumahnya - Kudus

Kurang dari 10 kilometer setelah itu Ranz kuajak mampir ke sebuah rumah makan yang berjualan menu utama ayam bakar untuk sarapan karena kulihat Ranz sangat kepayahan menggowes Pockie, kupikir tentu karena dia lapar. (Sesampai Tuban hari Jumat baru ketahuan kalau Ranz ternyata tidak sehat.)
Sesampai Kudus kita mampir ke rumah Cipluk, seorang teman gowes. Waktu menunjukkan pukul 11.45. Ternyata Cipluk telah menyiapkan makan siang yang lezat buat kita berdua: sup sosis dan nugget kesukaan Ranz. Inilah nikmatnya bersilaturrahmi. J Usai makan sembari ngobrol, beristirahat dan shalat Dzuhur, kita melanjutkan perjalanan ke Pati pukul 13.00. Matahari bersinar panas, namun posisinya sekarang berada di belakang kita karena kita menuju Timur.
rest area dii halaman pabrik kacang Dua Kelinci

ke Rembang? atau ke Jepara? :)

Rezeki berikutnya adalah secangkir kopi lezat! Dalam rangka libur lebaran, pabrik kacang Dua Kelinci yang berlokasi di Pati menyediakan rest area yang nyaman dan secangkir kopi bagi para pemudik yang mampir. Ini adalah cara pemasaran yang jitu karena tentu banyak dari para pemudik itu akan membeli merchandise atau pun kacang yang disediakan di sebuah ‘counter’ di rest area tersebut.
Ranz di alun-alun Juwana - Pati

berdua di Rembang malam hari

Usai menikmati secangkir kopi dan beristirahat sepuluh menit kita melanjutkan perjalanan. Lepas dari alun-alun Juwana sayangnya jalannya rusak: berupa makadam sejauh 20 kilometer! Perbaikan jalan yang dilakukan sejak beberapa bulan sebelum lebaran belum selesai.

Kita sampai di pusat kota Rembang selepas waktu Isya. Malam pertama ini kita menginap di Hotel Kencana yang terletak tak jauh dari Pantai Dampo Awang (Kartini Rembang).


sebagian penjual tiban di Pantai Dampo Awang

becak air di dalam Pantai Dampo Awang

Hari kedua Kamis 23 Agustus kita putuskan sebagai hari santai untuk berwisata. Usai menikmati sarapan lezat yang disediakan hotel, kita berkunjung ke Pantai Dampo Awang yang amat ramai pengunjung. Kata resepsionis hotel Rembang memang selalu ramai semenjak lebaran hari pertama hingga perayaan ‘Kupatan’ yang jatuh tepat seminggu kemudian. Banyak penjual tiban mengais rezeki di luar maupun di dalam kawasan pantai. Mereka berjualan mulai dari pakaian, mainan anak, berbagai macam camilan ringan hingga peralatan dapur.
Dari pantai, kita berkunjung ke Museum Kartini. Museum ini sangat layak dikunjungi bagi mereka yang tertarik dengan sejarah kehidupan Ibu Kartini terutama setelah beliau menikah. Di museum ini kita bisa melihat kamar tidur, tempat tidur dan meja riasnya, kamar mandi dan bathtub, juga peralatan dapur yang dulu dipakai Kartini. Juga banyak foto diri, baik yang sendirian maupun dengan keluarganya.

di museum Kartini Rembang

bak mandi milik Kartini (dulu)

Setelah puas menjelajahi museum kita melanjutkan gowes ke arah Lasem. Dalam perjalanan kita melihat penunjuk arah ‘wisata pantai’ yang ketika kita ikuti, kita sampai ke Pantai Gedong Berseri Caruban. Pantai berpasir putih ini nampak masih perlu dipublikasikan karena waktu kita mampir kesana, suasana sangat sepi. Pasir putihnya sangat lembut sehingga akan sangat nyaman jika berkunjung kesini di sore hari untuk menikmati angin sepoi-sepoi dan pemandangan laut lepas. Pantai ini terletak kurang lebih 4 kilometer dari jalan raya pantura. Sepanjang perjalanan kita akan menikmati hamparan tambak garam.

ada kamu di kacamataku :D

di Pantai Gedong Berseri - Caruban
Lasem, we are coming!

Sekitar pukul 14.00 kita sampai di hotel Wijaya Lasem dimana kita akan menginap semalam. Setelah meletakkan tas pannier, kita keluar lagi untuk menikmati kota Lasem yang juga dikenal sebagai “Le Petit Chinois” alias kota Tiongkok kecil. Kita berkunjung ke Kelenteng Tjoe An Kiong dan Gie Yong Bio yang konon adalah kelenteng yang paling tua di Pulau Jawa. Kita juga eksplor jenis pintu yang ada di kota ini yang menunjukkan ‘sisa-sisa’ bukti kejayaan pengaruh budaya China.

Pockie di depan Klenteng Tjoe An Kiong

contoh salah satu pintu khas di Lasem

Jika di hari pertama kita gowes sejauh 125 kilometer, di hari kedua kita gowes kurang dari 30 kilometer demi memenuhi hasrat berwisata.

Hari ketiga Jumat 24 Agustus kita meninggalkan hotel pukul enam pagi. Target jarak yang akan kita tempuh adalah 90 kilometer. Tanpa sarapan – kita hanya diberi segelas kopi dan segelas teh – kita melaju ke arah Timur. Tempat wisata pertama yang kita kunjungi adalah “Pasujudan Sunan Bonang” dimana di lokasi yang sama kita juga akan menemukan “Makam Putri Cempo”.

mejeng dulu di Sentra Terasi Desa Bonang - Lasem

di pintu gerbang menuju Pasujudan Sunan Bonang

Salah satu enaknya berbikepacking di musim libur lebaran kita mudah menemukan tempat untuk beristirahat. Banyak pom bensin maupun kantor polisi atau perusahaan yang menyediakan rest area yang nyaman. Maka, perjalanan agak ‘tersendat’ untuk istirahat sekaligus foto-foto narsis! Ini karena dalam perjalanan berikutnya kita terus dimanjakan dengan pemandangan pantai di sebelah kiri. Indah sekali!

salah satu angkutan umum di kota kecil yang kita lewati

Setelah melewati gerbang perbatasan Jawa Tengah – Jawa Timur yang terletak tak jauh dari pantai berpasir putih, kita mampir ke sebuah rumah makan yang lumayan besar untuk ‘brunch’. Jelang masuk kota Tuban, kita mampir lagi di sebuah rest area yang disponsori oleh sebuah perusahaan mie instan karena tergoda umbul-umbul mie instan tersebut.  hahaha ... Lucky us karena setelah itu trek sedikit rolling naik turun. :)


masuk ke Propinsi Jawa Timur

pantai di dekat gerbang perbatasan
selamat datang di kota Tuban! :)
saat melewati hutan nan meranggas gegara kebakaran

rest area dengan sponsor produk mie instant

Sekitar pukul empat sore kita memasuki kota Tuban dimana kita tergoda untuk mampir (lagi!) ke pantai yang terletak di pinggir jalan, meski pasirnya tak seputih Pantai Gedong Bersinar. Banyak pemudik juga yang mampir menikmati suasana pantai sore hari. Sekitar pukul lima kita telah memasuki Kelenteng Kwan Sing Bio yang konon adalah kelenteng terbesar se Asia Tenggara. Keistimewaan kelenteng ini selain bangunannya yang besar, juga letaknya tepat di hadapan laut lepas, dan di atas gerbang masuk kita akan menemukan patung kepiting besar dan bukannya ular naga seperti di kelenteng-kelenteng lain.


trek yang rolling

pantai di senja hari, di dekat terminal lama Tuban
siluet pantai senja hari, di lokasi yang sama 

pantai di seberang Kelenteng Kwan Sing Bio
mejeng dulu di depan gerbang Kelenteng Kwan Sing Bio, meski dengan wajah lusuh :P

Malam ketiga ini kita menginap di hotel Basra yang terletak di Jalan Basuki Rahmat. Malam ini suhu tubuh Ranz meninggi. Terjawab sudah mengapa di hari pertama gowes Semarang – Rembang Ranz nampak kurang bersemangat gowes Pockie: tubuhnya sedang berperang melawan virus!

Hari keempat Sabtu 25 Agustus jatah kita menjelajah Tuban yang dikenal sebagai “kota seribu goa”. Yoni – rekan gowes yang sedang pulang kampung – bersedia mengantar kita keliling. Untunglah pagi itu suhu tubuh Ranz telah turun setelah minum obat dan istirahat semalam penuh. J
berdua Ranz di depan pintu masuk ke kawasan wisata Goa Akbar

di lorong, antara pintu masuk ke Goa Akbar

Setelah berdiskusi, kita setuju untuk berkunjung ke Goa Akbar. Goa ini terletak di tengah kota, dimana lokasinya ada di bawah tanah. Dan di atas goa ada bangunan pasar. Pemerintah kota Tuban telah memoles Goa Akbar sebagai salah satu tempat layak kunjung untuk memperoleh pendapatan dari sektor pariwisata. Sesampai disana, banyak pengunjung yang datang berombongan. Harga tiket hanya Rp. 5000,00.

menuruni tangga untuk masuk ke goa

tangganya lumayan curam ya?

Di pintu masuk goa, telah dibangun tangga dan pagar di sisi kiri kanan sehingga memudahkan pengunjung masuk ke goa. Di dalam goa kita bisa melihat keindahan stalagtit stalagmit. Sudah ada jalan setapak di dalam goa sehingga kita mudah menyusuri goa. Pengunjung tidak perlu membawa senter karena di sana sini telah disediakan lampu temaram warna warni hingga suasana tidak gelap gulita. Di beberapa titik atap goa ada air yang menetes. Dan di beberapa titik lain ada sumber air yang mengalir deras yang oleh pengelola diatur dengan memasang kran. Di dekat pintu keluar, ada sebuah musholla yang disediakan bagi pengunjung yang ingin beribadah.

ambang pintu goa

di dalam Goa Akbar

langit-langit goa

Goa ini cukup akbar (alias besar) karena kita bertiga butuh waktu satu jam untuk mengelilinginya, sambil foto-foto tentunya.

Kita meninggalkan Goa Akbar pukul satu siang. Yoni mengajak kita mampir makan di sebuah warung sederhana yang harganya murah! Untuk makan kita bertiga siang itu dengan menu nasi pecel, mendoan, telur ceplok (untukku), ikan pindang (untuk Ranz), dua gelas es teh, satu gelas es kacang hijau, dan satu gelas teh panas, kita hanya bayar Rp. 17.000,00. Wah!

Karena waktu yang tidak memungkinkan kita tidak mampir ke tempat lain. Pukul empat kita meninggalkan Tuban naik bus. Seli kita lipat rapi, kita dudukkan di bangku bagian belakang. Kita sampai Semarang pukul sepuluh malam dengan hati gembira!

What a memorable bikepacking!


PT56 20.04 030713

P.S.:
Ditulis ulang untuk mengikuti Lomba Menulis "Kisah Perjalanan Bersepeda" yang diselenggarakan oleh www.nationalgeographic.co.id 

Kisah yang lebih lengkap dan beserta foto-foto bisa diklik di hari pertama, hari kedua, hari ketiga, dan hari keempat. Suwun.