Cari Blog Ini

Rabu, 20 Juli 2022

14 tahun berbike-to-work

 


Sebagai seseorang yang tidak bertangan dingin dalam berkebun, namun ingin membantu mengurangi polusi udara yang kian menggerogoti Bumi yang kita huni bersama, maka bersepeda ke tempat beraktifitas adalah satu langkah yang paling tepat, bagi saya.

 

Bersepeda semula hanyalah satu cara berolahraga yang lumayan menyenangkan bagi saya sekian puluh tahun yang lalu. Olahraga yang paling saya sukai sendiri sih berenang. Berkenalan dengan beberapa orang yang hobi bersepeda di tahun 2008 dan mereka memiliki keinginan untuk turut serta membantu pemerintah mengurangi ketergantungan pada konsumsi bahan bakar minyak selain juga membantu mengurangi polusi udara akhirnya membuat saya berpikir ulang: sepeda ternyata bukan melulu merupakan alat olahraga, sepeda juga bisa menjadi moda transportasi yang bisa diandalkan. Pada tanggal 26 Juni 2008 saya dan beberapa kawan bersama-sama membentuk Komunitas Bike to Work Semarang. Konsekuensinya? Ya saya harus mengaplikasikannya dalam kehidupan saya, meski tidak mesti setiap hari.

 


 

 Awal Juli 2008 adalah titik mula saya mempraktekkan gaya hidup sehat -- tanpa polusi tanpa konsumsi bahan bakar minyak -- dengan naik sepeda ke tempat saya bekerja. Tentu ada kendala di awalnya; satu hal yang sekarang saya anggap sepele namun 14 tahun lalu itu membuat saya berpikir berkali-kali sebelum melakukannya: ja-im pada siswa-siswa saya. Mosok gurunya datang ke tempat bekerja naik sepeda? Hahahaha … Namun, seperti hal-hal lain, jika yang pertama kali telah kita lakukan, yang berikutnya menjadi mudah. Apalagi setelah saya memasang bike tag "BIKE TO WORK" di bawah sadel sepeda, saya pun mendadak merasa menjadi pahlawan lingkungan. Hahaha …

 

Kebetulan waktu itu jarak rumah ke kantor tempat saya bekerja di tahun itu dekat, hanya sekitar 2,5 kilometer, dengan trek datar, jadi sama sekali bukan masalah. Mulai bulan September 2008 saya bekerja di satu sekolah yang terletak di lereng bukit Gombel, jarak dari rumah kesana sekitar 8 kilometer, namun dengan tanjakan yang cukup bikin nyali ciut, apalagi saya waktu itu masih newbie, belum berani nanjak.

 


 

Satu tahun kemudian saya baru berani bersepeda ke tempat saya bekerja yang terletak di lereng bukit Gombel itu. Mengapa saya nekad tetap bersepeda kesana? Toh, meski saya mendaku sebagai seorang bike-to-worker, saya tidak wajib melakukannya. Alasan saya dua: pertama, penasaran apakah saya mampu tetap bersepeda ke tempat kerja meski lokasi bekerja saya jauh dan saya harus 'ngoyo' nanjak beberapa bukit sebelum sampai lokasi. Kedua: saya benar-benar ingin mempraktekkan hal yang membuat saya tetap mengurangi polusi udara dan ketergantungan pada BBM. Awalnya sih sebulan sekali saya bersepeda ke lereng bukit Gombel ini. (Di tempat bekerja saya yang satunya, saya tetap berangkat naik sepeda. Waktu itu ada jeda 2 jam bagi saya untuk pulang ke rumah dulu dari Gombel baru berangkat ke tempat bekerja saya yang satunya.) setelah saya lancar bersepeda di tanjakan, saya bersepeda ke lereng bukit Gombel minimal seminggu sekali, kadang tiga kali seminggu. FYI, untuk bersepeda kesini saya harus berangkat dari rumah pukul lima pagi, karena saya butuh kurang lebih 45 menit perjalanan, kemudian 15 menit untuk mandi di kantor dan ganti baju, sarapan, dan memulai bekerja pukul 07.00. :)

 

---------

 

Sekitar tahun 2015 Bike to Work Indonesia melakukan 'redefinisi' istilah 'bike to work' tidak hanya sebagai bersepeda ke tempat bekerja, namun meluas sebagai bersepeda ke tempat beraktifitas. Apa pun dan dimana pun kita melakukan aktifitas, jika kita berangkat dan pulang naik sepeda, kita bisa dikategorikan sebagai pelaku bike to work. Misal, kita bersepeda untuk pergi belanja ke pasar, beli makan di warung, pergi ke toko buku, ke apotik, hingga mungkin mengurus perpanjangan STNK/ SIM, dll. Maka, ketika pandemi covid 19 melanda dunia, dimana banyak orang 'terpaksa' work from home, orang tetap bisa mengklaim diri sebagai praktisi bike to work saat mereka tetap menggunakan sepeda sebagai moda transportasi. Ini saya banget.

 

 

Tentu saja jika yang melakukan 'bike to work' ini hanya satu dua orang saja di satu area, pengurangan polusi maupun konsumsi BBM tidak akan begitu terasa.  Bumi akan tetap kian rusak dengan polusi udara yang dihasilkan oleh kendaraan bermotor yang tak pernah berhenti melaju di jalanan. Butuh kerja sama jutaan orang di dunia untuk meninggalkan kendaraan bermotor mereka agar Bumi tak lagi nelangsa dipenuhi karbon dioksida sepanjang hari/tahun.

 

So, jika berkebun bukanlah passionmu, bergabunglah bersama saya menjadi praktisi bike to work, demi kualitas udara agar lebih baik.

 

PT56 10.10 2 Juli 2022

 

Jumat, 15 Juli 2022

Solo Sunmori ke Demak

 


19 Juni 2022

 

'keberhasilan' ngikut event ultah Seli Solo yang ke-12 membuatku tergerak untuk berani bersepeda 'keluar kota' sendirian lagi. (FYI, sejak aku cedera kaki akhir Desember 2021, terapis yang menangani tidak membolehkanku bersepeda. Sebagai ganti, aku disarankan untuk berenang. Dia sempat heran waktu dengar aku cerita di tahun 2021, aku sama sekali tidak pernah absen berolahraga selama 365 hari, mostly sepedaan, kadang jalan kaki.) karena itu, sekitar dua bulan, blas aku tidak keluar sepedaan. Ketika mulai sepedaan lagi, paling hanya ke pasar krempyeng dekat rumah, hanya sekitar 3-4 kilometer, ini pun sudah plus muter. Tapi, aku berani sepedaan Solo - Jogja di bulan Mei karena ada Ranz yang menemani, hihihi. Kalau ada trouble on the way kan ada Ranz.

 

Nah, seminggu setelah ngikut event ultah Seli Solo, (Ranz tidak mendampingiku setelah sampai check point 1 hingga Bale Rantjah), I tried my luck to bike to Demak. Kebetulan waktu itu aku juga merasa kakiku lumayan mendukung. :)

 

Aku berangkat dari rumah sekitar pukul 05.30, tanpa ada persiapan apa pun. Bangun tidur, pipis, ganti baju, langsung keluar rumah. Sempet mempertimbangkan mau naik Austin atau Cleopatra, akhirnya aku memilih ditemani Austin. Entah mengapa. Hahahah …

 

Rasanya rada ngoyo sih awal-awal. Rasanya Austin kok lelet banget yak. Hihihi … tapi, aku mikir, aku tergantung mood saja deh. Jika sesampai Kaligawe moodku ngepit ke Demak pupus, ya sudah entar belok ke Jalan Wolter Monginsidi saja. :) 

 

Ternyata aku 'lulus' dari godaan rasa malas, wkwkwkwk … sesampai pertigaan Genuk itu, aku memilih mengayuh pedal Austin untuk lanjut menuju Demak. Selepas kawasan Sayung, menuju daerah Karang Tengah, aku melihat kemacetan di jalur yang menuju Semarang. Gile, ini masih pagi, tapi kok sudah macet seperti itu ya? Nampaknya pembangunan jalan tol yang sedang dilakukan membuat titik-titik kemacetan di tempat-tempat tertentu.

 

Aku tidak berniat untuk 'memaksa diri' untuk grand fondo (terakhir grand fondo Mei 2021, aku belok ke arah Karangawen kemudian tembus sampai pertigaan Gubug), kakiku masih harus kueman soalnya, lol, so, aku memantapkan hati dalam perjalanan balik ke Semarang aku akan 'bergabung' dengan kendaraan-kendaraan berbadan besar yang harus merayap.

 

 


 

Sekitar pukul 07.30 aku sampai Simpang Enam. Situasi ramai seperti sebelum pandemi. Well, aku sudah mengantisipasinya sih. Setelah memotret Austin di depan Masjid Agung Demak, aku langsung menuju tempat biasa aku dkk sarapan soto ayam jika lewat Demak.

 

 


Perasaan aku ga nongkrong lama di warung soto ayam 'langganan' itu, tapi ternyata ketika ngecek jam berapa setelah aku selesai sarapan, waktu menunjukkan pukul pukul 08.40. lama juga. Hihihi …

 

As predicted, memasuki kawasan Karang Tengah, aku langsung 'bergabung' dengan deretan kendaraan-kendaraan berbadan besar yang melaju lambat sekali. Alhamdulillah meski tidak bisa mengayuh pedal Austin dengan leluasa, aku ga sampai harus berhenti tanpa bisa melaju sama sekali sampai bermenit-menit.

 

Sekitar pukul 11.00 aku sudah sampai rumah. Alhamdulillah.

 

Kapan-kapan diulangi lagi ah. Siapa tahu mendadak aku tergoda grandfondo. Hihihi …

 

PT56 14.14 8 Juli 2022

 


Jumat, 01 Juli 2022

Bikepacker's Lifestyle

 


 

Sekian waktu lalu ada seseorang mengunggah fotonya yang sedang naik sepeda lipat dimana di boncengannya nangkring sebuah tas pannier. Si Om menulis status yang 'sialnya' diksinya nampak provoking, lol. Kalau tidak salah redaksinya begini, "Kenapa sih orang-orang yang naik sepeda lipat tidak membawa tas pannier? Apa karena ATM-nya tebal ya jadi ga perlu membawa bekal barang2 yang dibutuhkan dalam perjalanan?"

 

Bukan hanya aku yang terprovokasi, lol, banyak orang lain lagi juga, yang membuat mereka menulis komen sambil mengunggah foto sepeda lipat plus pannier. Aku juga lah, meski yang kuunggah foto Pockie, sepeda lipat Ranz yang (duluuu) biasa membawa tas pannier yang cukup besar, saat kita dolan antar kota (plus antar propinsi).

 

Kemudian, di bawahku, si penulis status menulis komen, "kok ternyata banyak yang memahami status saya dengan salah ya? Maksud saya, banyak orang kaya disini, jadi hanya cukup bawa ATM yang tebal, maka perjalanan pun lancar." (kata-kata persisnya aku sudah lupa, tapi ya mirip2 begini lah.)

 

Si 'thread starter' bukan seseorang di friendlist-ku ya. Aku baca ini di satu grup sepeda lipat di facebook.

 

Membaca komen berupa ralat dari si Om itu, aku jadi teringat satu status yang menurutku juga cukup provoking di satu grup sepeda lain. Seseorang menulis status, "Belajar hidup sederhana dari bersepeda jarak jauh." Satu komen yang sangat menarik perhatianku adalah, "Cukup hanya dengan uang limaratus ribu rupiah saya bisa bersepeda dari Malang ke Palembang."

 

Gile, murah amat yak? Si penulis komen bercerita dia butuh waktu sekitar 10 hari bersepeda dari Malang ke Palembang, dan dia cukup mengeluarkan dana sejumlah Rp. 500.000,00. Karena penasaran, aku membahas hal ini dengan Ranz. "Mosok sehari dia hanya mengeluarkan duit limapuluh ribu perak?" bagaimana mungkin? Makan tiga kali berapa duit? Menginap? Beli air mineral? Dll.

 

Ternyata oh ternyata, di komen2 di status itu, si TS menulis dalam perjalanan dia sering bertemu orang baik yang menraktir dia, yang memberinya penginapan gratis, bahkan kadang ada yang memberinya uang saku tambahan.

 

Aku pun lanjut ngerumpi dengan Ranz, lol. Beberapa tahun lalu pernah muncul keluhan di medsos tentang kelakuan oknum2 tertentu yang mereka lakukan saat 'turing'. Mereka melakukan sepedaan dari satu kota ke kota lain, bahkan dari satu pulau ke pulau lain, demi 'passion' mereka, tapi dalam perjalanan bergaya ala orang miskin.

 

You can guess, di status yang kumaksud di atas, komen2 yang muncul adalah orang2 yang saling bersaing memamerkan betapa 'murah' perjalanan yang mereka lakukan karena 'kebaikhatian' orang-orang yang mereka temui di jalan.

 

Di tengah-tengah obrolan orang yang saling 'pamer' itu, muncul satu komen dari seseorang. "Setiap saya melakukan perjalanan jauh dengan naik sepeda, saya hanya butuh uang tigaratus ribu rupiah."

 

Seseorang pun bertanya, "Uang tigaratus ribu rupiah itu untuk perjalanan berapa lama? Dari mana kemana?"

 

Orang ini menjawab, "Pokoknya, uang di dompet saya maksimal ada tigaratus ribu rupiah. Jika uang itu sudah habis, saya mampir ATM, ambil uang sejumlah tigaratus ribu rupiah lagi. Begitu terus. Cukup tigaratus ribu rupiah saja."

 

Isn't it hilarious? Lol.

 

Dua grup sepeda yang berbeda. Dua gaya hidup yang berbeda pula, lol. Meski sama-sama tentang melakukan perjalanan bersepeda dari satu kota ke kota lain, atau dari satu propinsi ke propinsi lain.

 

18.00 24/11/2020