Cari Blog Ini

Selasa, 26 September 2017

Gomingpai ke Masjid Kapal

Gomingpai  ke  Masjid  Kapal

Hari Minggu 24 September 2017 sebenarnya aku janjian dengan om Hien dan Surya untuk bersepeda ke Masjid Kapal yang terletak di kitaran Palir / Pandaan; waktu tahu ini, om Soegy pun ingin ikut. Aku mengajak ketemuan di depan museum Mandala Bhakti pukul 06.00. namun, ternyata jam segitu, aku baru selesai mengerjakan tugas pagi di dapur, (maklum, emak-emak LOL).


Pukul 06.20 aku sampai di depan museum, tidak mendapati siapa pun. Waktu aku bertanya ke om Hien lewat WA jadi atau tidak, dia malah punya agenda lain (Nah lo!), sementara Surya dan om Soegy di Simpanglima. Waktu Surya kuminta ke museum, dia malah memintaku ke Simpanglima. LOL. Aku malas ke Simlim, terlalu penuh orang, malah ga jadi sepedaan entar, Cuma nongkrong doang. LOL. Akhirnya kuputuskan sepedaan sendiri.

Sempat kepikiran bersepeda ke arah Mangkang saja, sudah lama tidak narsis di tulisan KOTA SEMARANG disana. LOL. Namun setelah sampai pertigaan Jrakah, aku tetap mengambil jalur belok kiri. LOL. Mendaki ‘bukit’ perumahan BPI, kemudian lanjut ke tanjakan Silayur, yang sebenarnya sekarang aku lebih suka menyebutnya ‘tanjakan Esperanza’ karena ada perumahan Esperanza di sebelah kanan, agar terkesan kebarat-baratan. LOL.


Sesampai ‘icon’ perumahan BSB, aku berhenti, memotret Cleopatra. Kemudian aku bingung mau lanjut kemana, mau ke masjid Kapal, barusan beberapa minggu lalu aku kesana, sendirian juga. Mau lanjut ke arah Mijen, kemudian belok kiri, turun lewat TPA Jatibarang, atau lanjut ke arah Cangkiran, dan belok kiri ke arah kilometer 0 Gunung Pati, atau kemana? Hingga akhirnya aku sadar, aku lapar. LOL. Jika melanjutkan perjalanan yang lebih menguras tenaga, aku butuh asupan makanan terlebih dahulu. Sempet berpikir akan sarapan soto, di daerah situ ada beberapa warung soto, namun akhirnya aku mampir ke satu warung bubur ayam, karena ga ingin membuat perutku terlalu kenyang.

Usai sarapan, aku melanjutkan perjalanan. Entah apa yang menuntunku, aku memilih belok kanan, ke satu jalan sempit yang di ujung jalan ada petunjuk LON JATEN VILLAGE. Yang penting muter deh, dan melewati trek sempit yang cukup eksotis pemandangannya ini. Jalan ini merupakan jalur alternatif yang menghubungkan daerah Pandaan dan Ngaliyan, jalanan cukup sepi dari kendaraan yang lewat, jadi cukup nyaman. Di beberapa kilometer awal, permukaan jalan aspal yang cukup halus, namun jika diteruskan kita akan mendapati beberapa titik dimana aspalnya sudah terkelupas hingga agak menyulitkan jika naik sepeda dengan ban yang slick. 


Ternyata, akhirnya, aku mengarahkan Cleopatra menuju masjid kapal. LOL. Jika beberapa minggu lalu aku sampai sini baru pukul tujuh pagi, suasana masih sepi, belum ada satu pun warung makanan / minuman buka, kali ini aku sampai pukul 08.45. Kulihat sudah ada beberapa mobil pengunjung yang terparkir di halaman dalam masjid, selain kendaraan roda dua. Warung-warung pun sudah buka.

Aku tidak stay lama, hanya memotret Cleopatra dari dua titik yang berbeda, aku pun tidak tertarik untuk masuk ke dalam masjid. (Yang pertama, aku sempat masuk dan naik sampai lantai 3 masjid.) Sebelum meninggalkan lokasi, aku mampir ke satu warung yang terletak tak jauh dari pintu masuk, aku butuh minum es teh.

Waktu menikmati es teh, aku mendengar seorang pengunjung yang akan meninggalkan lokasi bertanya ke tukang parkir arah ke Semarang. Tukang parkir menunjukkan arah ke kanan, setelah keluar dari masjid. Waaahhh ... Trek baru niiih. Yang pertama dulu, aku memilih trek kembali menuju arah Desa Wonolopo, berputar, hingga sampai ke pasar Mijen, kemudian turun lewat TPA Jatibarang.

Setelah menghabiskan es teh yang kubeli, aku meninggalkan masjid Kapal, dengan memilih jalur ke arah kanan. Trek di awal cukup bersahabat, datar, hingga bertemu dengan turunan yang lumayan tajam. Wah, kalo berangkat lewat sini berarti harus melewati tanjakan curam nih. Setelah itu sedikit rolling. Sesampai satu perempatan, belok kanan. Lurus terus sampai lewat satu perempatan lagi yang sempat membuatku heran. Duh, pilih arah yang mana ya jika mau ke arah Ngaliyan? Untunglah di perempatan itu ada satu petunjuk; jika dari arah aku datang, jika belok kiri, kita akan menuju Mangkang, jika belok kanan, ke arah Palir, jika lurus, ke Kedung Pane/Ngaliyan. Hokeee ... aku pilih jalan yang lurus terus.


Jalan yang kulewati ini cukup lebar. Aku sempat berpapasan dengan bus pariwisata. Hmmm ... berarti para ‘wisatawan’ yang menuju ke masjid Kapal, lewat jalan yang ini. Teruuuus saja hingga aku muncul di kawasan Ngaliyan / tanjakan/turunan Silayur. Haseeek, aku sudah sampai satu daerah yang aku kenal. LOL.

Sampai rumah, cyclometer di setang Cleopatra menunjukkan jarak yang kutempuh hari itu adalah 40 kilometer, berangkat 22 km, pulang 18 km.

LG 13.06 26/09/2017



Jumat, 22 September 2017

Check rute 7amselinas : Gowes Bareng, Sikil Kemeng, Ati Seneng

Kawan-kawan panitia, bersama para marshall, (berencana) mengadakan cek rute 7amselinas untuk hari Sabtu 16 September 2017 pada hari Minggu 27 Agustus 2017. Dikarenakan pada hari itu, aku harus berada di kantor karena ada LIA ENGLISH COMPETITION, aku melakukan cek rute sendiri. :) Well, sebenarnya sebelum memasuki bulan Ramadhan, beberapa dari kita telah cek rute, namun tanpa marshall, dan waktu itu dari Waduk Jatibarang, kita langsung balik ke arah perumahan Greenwood. Plus, aku naik Cleopatra. (Check this link, please.)

Jumat 25 Agustus 2017, aku meninggalkan rumah sekitar pukul 05.40, naik Austin. Dari Pusponjolo, aku langsung belok ke arah Simongan, melewati Sam Poo Kong, kemudian setelah lewat jembatan, belok kanan, ke Jalan Kelud. Lurus langsung menuju Sampangan. Selepas jembatan besi (Kretek Wesi), belok kanan, melewati Jalan Dewi Sartika.

Sesampai perumahan Grand Greenwood, nah ... siap-siap tanjakan maut. LOL.


Setelah 3 tahun berlalu aku tak lagi lewat tanjakan Greenwood ini naik Austin, terus terang, aku harus berjuang secara ekstra. LOL. Jika naik Cleopatra aku bisa langsung sampai gapura Waduk Jatibarang tanpa henti -- meski di tengah perjalanan harus ngomel-ngomel LOL sembari terus mengayuh pedal -- waktu naik Austin, aku butuh berhenti dua kali di tanjakan selepas Greenwood ini. LOL. Ga hanya untuk memotret Austin di jalan miring itu, namun tentu untuk mengembalikan nafas yang ngos-ngosan. LOL.

Aku sampai di gapura Waduk Jatibarang pukul 07.00, aku butuh waktu sekitar 1 jam 20 menit, jarak yang kutempuh kurang lebih 12 kilometer (saja!) LOL.

Aku tidak stay lama disitu, hanya memotret Austin dan sedikit menata nafas. Aku melanjutkan perjalanan mengayuh pedal Austin ke arah Kandri karena obrolan di grup WA Panitia Jamselinas, rutenya dibuat menjadi kian nggemesin. LOL. Selepas gapura Waduk Jatibarang, trek kembali menanjak.



Aku mulai diserang rasa lapar, hingga aku harus 'berdamai' dengan rasa lapar dan trek yang terus menerus rolling. LOL.

Sebenarnya kawan-kawan panitia merencanakan rute pulang lewat Pongangan, namun karena aku khawatir tersesat, lol, aku meneruskan perjalanan hingga mendekati titik 0 Gunung Pati. Aku berhenti untuk sarapan di warung soto Mbak Tiah, langganan kawan-kawan pesepeda kawasan Gunung Pati.



Pukul sembilan aku melanjutkan perjalanan. Catatan : rute ini sama dengan rute yang telah kulewati beberapa kali, namun dibalik, nanjak lewat Unnes, turun lewat Sadeng. Meskipun begitu, aku sempat hampir tersesat gegara ada satu jalan yang ditutup untuk satu perayaan, entah kondangan pernikahan atau yang lain. Aku perlu bertanya pada beberapa orang yang kudapati di jalan. LOL.




Di turunan dari Unnes, ternyata jalannya sedang dicor. Hmmm ... Ada dua jalan yang sedang dicor, berarti. Satu, setelah melewati Jalan Dewi Sartika (di belakang perumahan Greenwood), satu lagi setelah lepas Tangkil.

Aku balik menuju Lemah Gempal, sampai di kos Ranz pukul 10.30. Legaaa!

IB180 12.22 23/09/2017

Rabu, 20 September 2017

Dolan ke Waduk Gajahmungkur

Kita -- aku dan Ranz -- sudah pernah mampir ke waduk Gajahmungkur, waktu bikepacking ke Pantai Nampu, Wonogiri, September 2011. Salah satu kisah kita yang super dramatis, lol, dikarenakan kekurangpersiapan kita akan trek yang akan kita lewati. Namanya juga cuma mampir, tentu saat itu kita hanya sebentar saja, yang penting cukup ada dokumentasi kita disitu.

Hari Jumat 18 Agustus 2017 lalu, Ranz kembali mengajakku ke Wonogiri, sekalian memamerkan padaku nikmatnya naik KA BATARA KRESNA, gerbongnya lumayan nyaman, sementara harga tiket sangat murah, hanya Rp. 4.000,00.


Hari itu kita telah sampai di Stasiun Purwosari pukul 07.30. Meski hari itu termasuk long wiken, seusai tanggal 17 Agustus, suasana stasiun tidak penuh (calon) penumpang, tidak seperti yang dikhawatirkan oleh Ranz. :) Dengan cepat, Ranz mendapatkan tiket yang kita butuhkan, kemudian kita segera menuju pintu masuk ke peron. Setelah kita lipat sepeda yang kita bawa -- Austin dan Astro -- kita masuk ke dalam peron.

KA Batara Kresna masuk ke dalam peron menjelang pukul 08.00. Aku dan Ranz bergegas masuk karena khawatir tidak mendapatkan tempat duduk, karena tiket yang kita beli tidak menyertakan nomor kursi, ini berarti siapa cepat, dia dapat. Namun, sekali lagi, kekhawatiran kita tidak beralasan, KA yang memiliki 3 gerbong itu sepi; kita bisa memilih dengan leluasa mau duduk di gerbong yang mana, di kursi yang mana.


Tepat pukul 08.00, KA Batara Kresna meninggalkan stasiun Purwosari. Di gerbong yang kita pilih, hanya ada 5 penumpang, kita berdua, ditambah 3 penumpang lain yang berupa suami istri dan anak. Setelah kita sampai di stasiun Solo Kota atau Sangkrah, ada sekitar 10 penumpang baru masuk ke gerbong kita. Dari lagak laku mereka, kita menengarai bahwa mereka naik KA Batara Kresna ini untuk berwisata. Hmmm ... seperti banyak orang yang naik KA Kedungsepur dari Stasiun Poncol ke Stasiun Ngrombo - Purwodadi. Sepanjang jalan 10 orang ini nampak sangat ceria dan ramai berceloteh, sambil berbagi bekal makanan. Senang sekali melihat mereka.


Rel kereta yang kita lewati sering kali melewati daerah pemukiman, ini sebab kereta berjalan dengan sangat pelan. Tidak heran jika jarak yang hanya kurang lebih 40 kilometer harus kita tempuh dalam waktu satu jam 45 menit. :) Pukul 009.45 kita sampai di stasiun Wonogiri.

Sesampai stasiun Wonogiri, karena mendadak aku mengantuk sekali, aku minta Ranz kita mampir ke satu warung yang terletak tak jauh dari pintu keluar stasiun, aku memesan segelas kopi hitam, sedangkan Ranz memesan segelas es teh. Setelah itu, kita melanjutkan perjalanan, mengayuh pedal sepeda lipat kita menuju arah Waduk Gajahmungkur.


Musim kemarau sedang menunjukkan 'kuasanya', sinar matahari sangat murah, apalagi Wonogiri terkenal sebagai kawasan yang kering. :) Kita nikmati saja laaah.

Pepohonan yang sedang meranggas selalu nampak cantik; satu hal yang kontradiktif, kering, kekurangan air, namun cantik dan eksotis. :) Dan karena ini bukan kali pertama kita bersepeda ke arah sini, kita tak lagi dikagetkan dengan trek yang full rolling. Cukup menabahkan hati saja. LOL.

Aku lupa berapa kilometer jarak yang kita tempuh dari stasiun Wonogiri ke waduk Gajahmungkur :( (ini karena aku ga segera menulis kisah ini. LOL), namun kita sampai gerbang masuk waduk pukul 11.30.





Kita mengeluarkan biaya Rp. 12.000,00 untuk dua buah tiket masuk. Setelah masuk, kita langsung memilih satu warung lesehan dimana kita bisa makan siang sekaligus istirahat. Untuk menambah kesan bahwa kita sedang makan siang di pinggir waduk, tentu kita memilih menu ikan bakar, plus lalapan dan sambal bawang yang enaaak. :)

Entah mungkin karena panas, atau karena membayangkan pulangnya kita harus mengayuh pedal sejauh kurang lebih 40 kilometer di bawah terik sinar matahari, selama kita nongkrong disitu, kita ga kepikiran untuk berjalan kemana-mana. :) Hanya duduk manis, makan, sambil ngobrol.

Suasana di sekitar kita lumayan sepi, Dari beberapa warung lesehan yang buka, tak kita lihat pengunjung lain yang sedang makan siang. Namun, setelah pukul 13.00, kulihat satu per satu pengunjung mulai berdatangan, ada yang hanya berdua, ada juga yang datang berombongan. Oh ya, rombongan ibu-ibu yang berada di gerbong KA Batara Kresna, setelah sampai di stasiun Wonogiri, kita lihat mereka keluar stasiun, kemudian mereka menuju ke mobil yang ukurannya cukup besar, entah mereka akan melanjutkan perjalanan kemana.

Aku dan Ranz meninggalkan lokasi sekitar pukul 13.40.

Perjalanan pulang ke Solo lancar. Trek menuju perbatasan masuk kota Wonogiri tetap rolling. Namun begitu kita sampai di tugu selamat datang di kota Wonogiri, trek datar sampai Solo. :)

Memasuki kawasan Solo Baru, menjelang pukul empat sore, aku mengajak Ranz mampir di satu restoran fast food The Park, aku butuh ngopi! Rasa kantuk melandaku lagi. LOL. Kali ini aku beli iced coffee, karena butuh yang dingin segar. :) Disini kita bertemu dengan Julius Disa, kawan sepeda dari Solo juga yang menjawil kita untuk ikut night ride hari Sabtu 19 Agustus, menemani kawan-kawan yang datang dari Bandung dan Surabaya.

Jelang Maghrib aku dan Ranz sampai di Laweyan, daerah rumah Ranz yang tak jauh dari stasiun Purwosari.

Well, meski jarak yang kita tempuh waktu mengayuh pedal tidak seberapa, tapi lumayan lah buat refreshing, ketimbang tidak mbolang sama sekali. :D

IB180 20.20 20/09/2017

Rabu, 13 September 2017

Segowangi 43

Pelaksanaan Segowangi yang ke-43 terselenggara pada hari Jumat tanggal 25 Agustus 2017. Dengan mengambil tema BIKE TO WORK DAY dalam rangka ulang tahun BIKE TO WORK INDONESIA yang ke-12, aku menentukan dress code berupa busana kerja dengan warna merah/putih, karena bulan Agustus. :)

Masih memasukkan unsur tanjakan -- yaitu tanjakan Pamularsih -- sehingga seorang newbie lain (Nia, kawannya Hesti) keteteran. Hihihi ... maaf ya Nia? Jangan kapok yaaa? :)

Berikut adalah foto-foto yang dijepret oleh Ranz. :)














Biketrekking ke Curug Semirang jilid 2

Ada satu kesamaan lagi antara aku dan Ranz : kita tidak anti mengunjungi tempat yang sama lagi. :) Beda dengan Dwi jika kutawari dolan -- naik sepeda -- ke tempat yang sudah pernah kita sambangi, dia menolak. LOL.

Sekian minggu yang lalu aku menulis status di fb bahwa aku sakaw trekking. Pingiiin banget trekking lagi, plus bersepeda. Maka, satu tempat yang bisa kita kunjungi dengan tanpa harus melewati tanjakan-tanjakan curam yang tak kunjung usai adalah Curug Semirang. (Dibandingkan dengan, well, let's say Nglimut atau Curug Lawe/Benowo). Karena kesibukan Ranz yang lebih dibandingkan tahun lalu, baru di bulan September 2017 ini, aku keturutan biketrekking lagi: ke Semirang. :)

Demi menyambut 7amselinas yang tahun ini diselenggarakan di Semarang, Ranz membawa Astro -- sepeda lipat urbano 3.0 keluaran tahun ini -- ke Semarang. Pucuk dicinta, ulam tiba! :) Aku dan Ranz janjian bertemu di alun-alun Ungaran. Aku bersepeda dari Semarang, Ranz membawa Astro naik bus.

Tepat seminggu sebelum pelaksanaan 7amselinas, aku dan Ranz bertemu di alun-alun Ungaran, sekitar pukul 08.10. Perjalananku dari Semarang ke Ungaran naik Cleopatra baik-baik saja. Sempet mampir di Taman Tabanas dan 'tugu' Watugong yang terletak di halaman Vihara Avalokitesvara untuk mendokumentasikan Cleopatra.

watugong sebagai latar belakang

Setelah bertemu dengan Ranz, aku butuh mampir ke satu minimarket untuk membeli kebutuhan perempuan, karena mendadak aku 'kebanjiran' dan butuh pembalut. LOL. Duh .. mendadak beneran deh. Dari sana, kita mampir ke satu warung makan yang sering kita ampiri untuk sarapan saat lewat Ungaran. :)

Sekitar jam 08.59 kita meninggalkan warung makan itu, dan mampir ke satu tempat lain lagi untuk membeli kebutuhan perempuan lain lagi. LOL.

Pukul 09.20 kita melanjutkan perjalanan masuk kota Ungaran. Trek masih sangat bersahabat :) Setelah melewati hotel Ungaran Cantik, kita belok ke kanan (seberang hotel). Kita akan melewati kampus Ngudi Waluyo. Kita sempat berhenti di satu lapangan sepakbola untuk memotret sepeda dengan gunung Ungaran (?) di belakang kita yang nampak begitu majestic, menghasilkan pemandangan ala-ala di Baluran. Hihihihi ...


Dari lapangan itu, trek mulai kian menantang. Tanjakan tak putus-putus, hingga kita sampai di tempat parkir. Dan ... siang itu, panash sekali!!! Aku mengisi bidon-ku full dari rumah. Aku kembali mengisinya sesampai kawasan Srondol. Dan ... ketika sampai di gerbang masuk Curug Semirang, air dalam bidon habis. Aku bilang ke Ranz untuk turun ke satu toko kelontong yang terletak tak jauh dari tempat parkir, tapi Ranz bilang tidak usah. Baiklah ...

Seusai membeli tiket masuk (per orang Rp. 6.000,00), kita memarkir sepeda di dekat loket penjualan tiket. Kita pun mulai berjalan.



Trekking di bulan September ternyata adalah saat yang sangat menyenangkan, karena trek sama sekali tidak licin karena hujan. (Meski di Semarang bawah, hujan telah mulai turun kadang-kadang.) Yang terkadang membuat licin adalah daun-daun kering yang bertebaran di segala penjuru. Yang kurang menyenangkan adalah hawa panas yang hampir tak bisa terelakkan, meski kita berjalan di bawah pohon-pohon rindang.

Ternyata, trekking -- yang hanya sekitar 1 kilometer -- tanpa membawa bekal air minum, di saat musim kemarau sangat 'menantang'. LOL. Seingatku ini adalah kali pertama kita trekking tanpa membawa air minum. Untunglah, jarak yang harus kita tempuh hanya 1 kilometer, dan pohon-pohon rindang lumayan menaungi. Namun, rasa haus tetaplah tak hilang begitu saja.


Dalam perjalanan, aku dan Ranz membayangkan sesampai tujuan, kita bisa minum es teh bergelas-gelas. LOL. Bayangan es teh ini memompa semangat kita untuk segera sampai air terjun, meski di sisi lain aku ingin menikmati pemandangan hehijauan di depan mata. :)

Jika Ranz bilang bahwa harapan membuat kita terus bersemangat menapaki hidup. Namun, kita pun harus menyadari bahwa harapan bisa jadi sangat mematahkan saat yang kita harapkan hanyalah berupa fatamorgana. (lebay ya biar. LOL.)

Sesampai tujuan, ternyata tak satu pun warung buka! Eaaaaaaaaaa ... Sekitar jam 11.25.

Honestly, I was broken-hearted. Duuuhhh ... dalam kondisi kehausan, dan cuaca semakin siang semakin panas, kita masih harus berjalan lagi sejauh 1 kilometer, kembali ke gerbang masuk/keluar, kemudian mengayuh pedal sepeda menuju toko kelontong terdekat untuk membeli air minum.

Bahkan aku pun kehilangan semangat untuk berfoto-foto dengan latar belakang air terjun. Hhhhhh ...

Ranz menyemangatiku untk mencoba membasahi bibir dengan air yang turun dari curug. Yes, that was the best choice! Aku juga sudah berpikir kesitu, tapi, nanti lah, aku masih ingin menikmati patah hati terlebih dahulu. LOL. Kita duduk-duduk di satu warung kosong sambil ngobrol. Sambil menyesali mengapa dulu-dulu kita ga pernah mampir beli sesuatu di warung yang ada. LOL.

Well, tentu saja akhirnya aku minum air yang mengalir beberapa teguk dari curug. Air yang sangat menyegarkan dan tidak berasa namun sangat membangkitkan semangat untuk berjalan kembali ke arah kita datang tadi. Yeayyyy!

Ah yeah, dalam perjalanan trekking, Ranz sambil menggendong backpack yang cukup berat di punggungnya, dan aku menggendong backpack yang meski kecil tentu tetaplah berupa beban. hihihi ... Untunglah trek tidak licin gegara hujan.

Setelah meninggalkan gerbang, kita menikmati turunan yang cukup curam, tapi masih aman dilewati. Di awal turunan, Ranz sempat mengeluh karena rem Astro kurang bekerja dengan baik. Namun untunglah kemudian Astro baik-baik saja.

On the way balik ke Semarang, kita mampir alun-alun untuk beli es kelapa muda, di sekitar situ tidak ada yang berjualan es teh. :D Balik ke Semarang, Ranz mengayuh pedal Astro dengan santai, aku pun terbawa iramanya. :)

Kita sampai kos Ranz sekitar pukul 15.00.

IB180 20.00 13/09/2017

Gowes Waduk Gajah mungkur via Batara Kresna





Untuk mengisi kekosongan jeda tanpa kesempatan mbolang, aku dan Ranz mengunjungi Waduk Gajah Mungkur - Wonogiri pada hari Sabtu 19 Agustus 2017.



Untuk kisah yang lebih lengkap, tunggu mood-ku bagus untuk menulis yaaa? :D



IB180 16.32 13092017

Segowangi #42 Nanjak Rinjani





Demi mengabulkan keinginan seorang Surya, seorang newbie yang sedang ingin latihan mengayuh pedal di tanjakan, segowangi kali ini kita tapaki tanjakan Rinjani, kemudian turun di Jalan Kawi. :)



Untuk tulisan, bisa dibaca di link ini ya? :)