Cari Blog Ini

Selasa, 25 April 2017

TdP8 : a series of dramas we've got to go through (Day 3)

Minggu 23 April 2017 ~ hari ketiga

Aku mengajak anak-anak untuk berburu sunrise pagi ini. Sekitar pukul 05.00, semua memulai aktifitas – ke toilet – dll. Sayangnya Avitt memilih untuk melanjutkan mlungker di tempat tidur. Sekitar pukul 05.20 kita meninggalkan penginapan menuju pantai Timur.


Kita cukup beruntung mendapatkan sunrise, karena tak lama setelah kita sempat mengabadikan beberapa jepretan matahari terbit, sang matahari kembali tertutup awan. Sekitar pukul 06.30 kita menuju cagar alam Pangandaran, tak jauh dari tempat kita berburu sunrise. Hesti sempat menelpon Avitt untuk menanyakan apakah dia ingin bergabung. Namun karena Avitt tidak menjawat telpon, kita menyimpulkan bahwa Avitt masih tidur, kita pun masuk cagar alam tanpa menjemputnya terlebih dahulu.

Tiket masuk lumayan mahal, menurutku. Per orang kita harus membayar Rp. 20.000,00. (Bandingkan dengan Taman nasional Baluran yang begitu luas hanya Rp. 15.000,00.) tapi, well, namanya juga keinginan, tentu mahal harganya. Aku penasaran ingin masuk ke dalamnya.



Di dalam ada beberapa jenis binatang. Minimal yang kita temui adalah monyet dan rusa. Meski nampak penasaran dengan kita, monyet-monyet itu tidak melakukan tindakan yang ‘anarkis’; misal mendadak mengambil kacamata yang kupakai atau apa lah. J Kita lumayan kecewa ketika kita akan masuk ke satu goa, disana ada ‘petugas’ yang menjaga, yang dengan sigap ‘memohon’ kita – bagaimana pun cara yang mereka gunakan – untuk memasukkan uang ke dalam kotak yang telah mereka sediakan. Di satu goa – konon namanya ‘parkat’ alias ‘keramat’, ada ‘petugas’ yang setengah memaksa kita masuk dengan menyewakan lampu batere seharga Rp. 10.000,00, sambil akan menjadi guide kita jalan memasuki goa yang gelap itu. Di balik goa, kita akan sampai di pantai berpasir putih.

Anak-anak kesal dengan ‘palakan’ dengan cara halus itu. Mereka menolak. Kita terus berjalan ke dalam, hingga kita pun sampai di balik goa keramat tersebut, sempat berfoto-foto di pantai berpasir putihnya. Padahal ya ga jauh-jauh amat lho. Hadeeehhh ...

Penjelajahan kita sampai di titik ujung, di satu ‘situs’ yang disebut ‘Rengganis’ (aku ga begitu hafal kisah yang konon diambil untuk memberi nama ‘rengganis’) Air yang ada disitu konon bisa membuat mereka yang mencuci wajahnya dengan air yang ada nampak awet muda. Tak lupa, tak jauh dari situ, ada satu kotak untuk mengisi uang.

Dari sana, kita langsung berjalan ke arah keluar cagar alam. Setelah mengambil sepeda lipat, kita kembali ke penginapan. Saatnya kita mandi, packing, dan siap2 meninggalkan penginapan.


Sekitar pukul 10.30 kita meninggalkan penginapan. Yang pertama kali kita tuju adalah titik finish. Untunglah ‘wall of certificate of completion’ masih ada. Kita masih diberi kesempatan untuk berfoto –ria, tanpa perlu ngantri. J Yippeee ...



Kita juga menyempatkan diri foto-foto di pinggir pantai. Kita bertemu dengan rombongan dari Batam, plus rombongan om Aryo dari Lampung, beserta om Julius dan om Rudy dari B2W Pusat. Kita sempat foto-foto bareng mereka.



Sekitar pukul 12.30 meninggalkan pantai pangandaran, setelah having brunch. Kita menuju terminal bus yang terletak di sebelah kiri dari pintu gapura keluar pantai. Untunglah waktu itu ada satu bus menuju Tasikmalaya yang masih ngetem. Setelah sepakat dengan biaya yang harus kita bayar –  Rp. 80.000,00 untuk satu orang plus satu seli – kita dibantu oleh sang kondektur untuk menaikkan sepeda dan tas pannier kita.

Sekitar pukul 13.20 bus yang kita naiki meninggalkan terminal. Perjalanan yang panjang namun lancar memakan waktu hampir empat setengah jam. Capeee. Memasuki kota Tasikmalaya ternyata Tasik sedang diguyur hujan yang sangat deras. Wahhh ... gagallah keinginan kita untuk berfoto-foto dulu di alun-alun dll sebelum menuju stasiun. Untunglah, kondektur bus berbaik hati mengantar kita langsung ke stasiun, hingga kita tidak sangat basah kuyup.

Malam itu kita sempat makan malam nasi goreng dan bakmi rebus, membeli dari seorang penjual yang lewat. Syukurlah perut kita cukup kenyang sebelum masuk stasiun.

Kereta kita meninggalkan stasiun Tasikmalaya pukul 21.05, sesuai waktu yang tertera di tiket. Gerbong yang kita naiki super penuh. Kita berenam terbagi di tiga lokasi. Aku berdua Ranz di kursi nomor 3 A dan 3 B. Dua perempuan paruh baya yang menempatinya telah memenuhi ‘space’ yang ada dengan barang-barang mereka. L Kelelahan secara psikologis kian parah ini nampaknya. L L

Kereta Kahuripan yang kita naiki sampai di stasiun Purwosari – Solo pukul 03.41. kita harus memasang sepeda lagi, mengayuh pedal lagi ke arah stasiun Balapan (hadeeehhh ...). kita berlima masih harus melanjutkan perjalanan, sementara Ranz tinggal mengayuh pedal Astro kembali ke rumahnya.

KA Kalijaga meninggalkan stasiun Balapan pukul 05.20. alhamdulillah tempat duduk kita lumayan nyaman, ga dipenuhi barang orang lain. :D Perjalanan lancar, kita sampai stasiun Poncol sekitar pukul 08.15.

WE NEED TO SLEEP FOR LONG HOURS!!! LOL. Now that all dramas were over ...


LG 16.09 25/04/2017

TdP8 : a series of dramas we've got to go through (Day 2)

Sabtu 22 April 2017 ~ hari kedua

Aku terbangun sebelum pukul 04.00. aku membuka WA dan mendapati kabar dari Hesti. Di bus dia bertemu dengan Om Rusli dari Magelang. Kebetulan om Rusli juga akan menuju hotel Abadi. Lega mendengar kabar itu. Akan tetapi, tak lama kemudian, sekitar pukul 04.30, Hesti mengirim kabar bahwa busnya terhenti di pertengahan antara Majenang – Wanareja selama 2 jam karena ada trailer terguling di depan. Wedew. รจ drama pertama di hari kedua! Akhirnya, pak Suryadi memutuskan untuk turun dari bus dan mulai bersepeda menuju Banjar. Haduwww, padahal trek disitu full rolling, didominasi tanjakan.
 
sarapan : nasgor rasa manis :p
Pukul enam pagi, kita berlima telah siap. Di lantai bawah kita lihat para penghuni hotel lain – yang kebanyakan juga peserta TdP8 – telah menikmati sarapan. Kita pun turun dan sarapan. Saat sarapan ini, om Chandra dari Federal Tangerang nyamperin dan menyapa. Oh, rupanya kita menginap di hotel yang sama J

Pukul 06.30 kita meninggalkan hotel Abadi, menuju titik start, tak jauh dari alun-alun Tasikmalaya.

di depan hotel Abadi
penampakan hotel Abadi

Seperti bisa diperkirakan, ribuan peserta tumplek blek disitu. Kita bahkan tidak sempat menuju gedung telkom untuk berfoto di ‘wall of fame’ dengan mengenakan jersey resmi TdP8 yang berwarna hijau ngejreng. Namun, kita sempat berfoto (lagi) dengan si pembalap perempuan yang ramah, Kusuma Yazid, yang penampilannya jauh dari kata garang, meski dia saat itu mengenakan jersey resmi keluaran polygon. J kita juga bertemu dengan Hendrit, dari B2W Batang, sweeper kita waktu kita bersepeda dari Batang ke Pemalang, dalam event Tour de Cirebon bulan Desember lalu.  

bersama nte Lies (sebelah Ranz), "reunian" Gowes Kartini 2016 nih :)

bersama Kusmawati Yazid, sang pembalap :)

Pukul 08.00 ‘pasukan’ TdP8 diberangkatkan. Di barisan depan, di belakang voojrider nampak Ridwan Kamil, walikota Bandung yang ‘terkenal’ suka membully para jomblo. (Emang enak dibully? LOL.) bisa dibayangkan betapa tersendatnya ribuan peserta mengayuh pedal mereka masing-masing.

Sementara itu, atas saran Ranz, Hesti dkk ga perlu menuju Tasikmalaya. Mereka cukup bersepeda hingga Banjar, dan menunggu kita sampai sana, dan kita bisa bergabung.








Perjalanan lancar hingga kita masuk perbatasan Tasikmalaya – Banjar, dimana banyak orang berhenti untuk berfoto, sebagai bukti kita sampai disana. Aku dan rombongan pun mulai clingak clinguk mencari Hesti. Sayangnya Hesti tak bisa kita hubungi saat itu. Hesti yang mengaku ketinggalan charger hp, tentu harus bisa secara bijak mengirit batere hape agar tetap bisa terhubung dengan kita di saat-saat genting.

Setelah menunggu selama kurang lebih 10 menit tak ada kabar dari Hesti, kita melanjutkan perjalanan, meninggalkan gapura selamat datang di kota Banjar. 

Drama kedua di hari kedua terjadi saat kita sampai di tanjakan yang mengagetkan – Tepung Kanjut. Well, sebenarnya tidak terlalu mengagetkan, beberapa ratus meter sebelum sampai, kita mulai melihat banyak pesepeda yang mendadak menghentikan mobil pickup untuk evak, menandakan di depan akan ada tanjakan yang dihindari oleh banyak peserta.

Beberapa meter sebelum mulai tanjakan ada dua – tiga panitia yang mengibar-ngibarkan bendera sembari memperingatkan agar para peserta hati-hati karena ada tanjakan yang cukup curam, setelah kita dimanjakan dengan trek turunan puluhan kilometer. Saat memindah gear ke gear yang lebih rendah.

Ranz mencoba mengecek apa yang terjadi

Mendadak di depanku kulihat Dwi terjatuh, tepat di jalan yang miringnya mungkin mencapai 60 derajat di sisi kiri. Dia terguling ke kiri, jatuh bersama Oddie; ‘untungnya’ langsung disamperin salah satu panitia yang tadi mengibarkan bendera. Aku langsung panik. Tanjakan itu tidak seberapa curam ketimbang tanjakan menuju Sekaran, Dwi telah lolos nanjak Sekaran dengan naik Oddie! So? What is the problem?

Aku pun langsung meminggirkan Austin. Yang lain – Ranz, Tami, dan Avitt – pun melakukan hal yang sama. Dwi menjelaskan bahwa di saat genting, di tanjakan yang curam itu, mendadak pedal Oddie berhenti berputar. Dwi yang tidak bisa mengantisipasi keadaan, langsung kehilangan keseimbangan, mana di sisi kiri sepedanya kemiringannya cukup ‘killing’.

Seperti biasa, Ranz langsung mencoba mencari penyebab pedal Oddie mendadak tak mau berputar. Mungkin sekitar 20 menit. Ada om Sugeng dari B2W pusat yang ikut berhenti dan mengamati Ranz yang mencoba memperbaiki Oddie. Ketika akhirnya pedal Oddie bisa berputar lagi, kita pun melanjutkan perjalanan. Tanjakan Tepung Kanjut masih berlanjut.

Aku terus mengayuh pedal Austin melewati tanjakan hingga sampai di lokasi yang cukup datar. Ketika kulihat di belakangku tidak ada penampakan Ranz, Tami, Avitt, dan Dwi, aku pun berhenti, menyiapkan Andro, untuk memotret mereka melewati tanjakan. Kutunggu hingga lebih dari 7 menit, hanya kulihat Hendrit yang menyusul. Aku pun meninggalkan Austin di pinggir jalan, aku berjalan kembali ke arah tanjakan, tetap mempersiapkan diri untuk memotret mereka. Setelah melewati tikungan, mereka tetap tidak terlihat. Khawatir atas apa yang telah terjadi (lagi), aku pun memutuskan mengambil Austin, dan turun untuk mengecek.

Ternyata pedal Oddie tetap tidak mau berputar. Saat itu ada satu peserta lain yang mencoba membantu mencari permasalahan. Hingga akhirnya Ranz menyadari bahwa pelindung ‘crank’ yang patah telah menjadi penyebab utama pedal Oddie tidak mau berputar. Hadeeehhh ... kita sempat mengira kerusakan di bagian sproket atau RD, atau BB, ternyata oh ternyata ... Maka, pelindung crank itu pun dilepas.

Tak diduga ... saat itulah kita melihat penampakan Hesti dan 2 pengawalnya. J Mereka “sempat” menunggu pasukan TdP8 di jalan yang tak dilalui peserta TdP8, makanya mereka tak melihat penampakan peserta satu pun. Setelah, kita memberi tahu Hesti lokasi kita (melalui aplikasi ‘share location’ di WA), Hesti beserta Pak Suryadi dan Om Rusli pun menuju jalur yang dilewati peserta TdP8.

Setelah pak Sur ‘menyerahkan’ Hesti kepada kita, dia pun langsung ngacir.




Barangkali kita telah melewatkan hampir 1 jam untuk membenahi Oddie. Tak apalah. Yang penting, kita berenam telah bergabung kembali. Hesti yang kepayahan, meminta kita mampir untuk membeli minuman. Waktu menunjukkan pukul kurang lebih jam 12.00. Hmmm ... kita baru menempuh jarak sekitar 40 km. Padahal tahun lalu aku dan Ranz sampai di Toserba Samudra – tempat makan siang – pukul 11.30. Masih ada jarak sekitar 25 km menuju Toserba Samudra. Hhhhhh ...

Setelah menemani Hesti dan Avitt minum segelas es teh (yang tidak berasa tehnya) dan satu porsi es kelapa muda, kita melanjutkan perjalanan. Namun, kembali kita harus mengalami drama ketiga : ban belakang Pockie bocor! Untuk meyakinkan apakah ban bocor atau hanya sekedar gembos, kita pinjam pompa kepada seorang peserta TdP8 yang kebetulan berada di warung terdekat. Setelah dikayuh beberapa ratus meter, ban kembali gembos, kita pun yakin bahwa ban belakang Pockie bocor.

Untung tidak sulit bagi kita untuk menemukan tambal ban.

Kita merasa bahwa kita adalah peserta yang paling belakang. L Tidak mengapa, meski tertatih-tatih, kita yakin bahwa kita akan mampu mencapai titik finish TdP8. Akan tetapi ternyata pedal Oddie masih sering kumat, mendadak tak mau dikayuh. Begitu terus berulang kali. Drama selanjutnya adalah Hesti terlihat tak lagi mampu mengayuh pedal Rockie secepat yang lain. Dia kelelahan. Tak bisa beristirahat dengan penuh semalam, kemudian harus gowes dari pertengahan Majenang – Wanareja menuju Banjar, dia tak bisa menunjukkan performa aslinya. L Ranz pun menawarkan untuk bertukar sepeda: Ranz naik Rockie, Hesti naik Astro.

(Intermezzo: dalam event ini, seperti biasa, aku naik Austin, downtube nova 20”; Avitt tetap setia mengajak Minul, urbano 16”; Dwi naik Oddie, foldx 20; Tami naik Pockie, pocket rocket 20” (dia naik Pockie karena Sunkis bakal lelet di trek yang penuh turunan); Hesti naik Rockie; police 20”; sedangkan Ranz naik sepeda lipat terbarunya, urbano 20” yang dia (akhirnya) beri nama Astro. Berpikir bahwa Astro akan lebih ringan dikayuh, ketimbang Rockie, Ranz mengajak Hesti tukeran sepeda.)

Kata Hesti, Astro memang lebih ringan dikayuh ketimbang Rockie. Namun, tetap Hesti tak bisa menunjukkan performa aslinya. L Demi mengirit waktu – khawatir ga bakal kebagian makan siang karena sampai di pitstop Toserba Samudra melebihi batas waktu – Ranz pun terus mendampingi Hesti untuk mendorongnya. FYI, tas pannier Ranz cukup berat, mungkin lebih dari 10 kg. (isinya selain baju, ada sleeping bag, laptop, tools, air mineral, dll.) Sementara itu, Dwi pun direpotkan oleh pedal Oddie yang setiap sekian puluh kilometer kumat tidak mau muter. L Sungguh drama-drama  yang tak kunjung berhenti. L


Pukul 13.35 kita sampai juga di Toserba Samudra. Disana kita lihat ada satu truk evak. Kita pun memutuskan untuk evak bersama. (1) Kita tidak tahu apakah Oddie akan bisa terus menerus dipaksa dikayuh hingga Pangandaran. Jika akhirnya benar-benar ngadat dan kita ketinggalan truk / pickup evak, kita bakal repot. (2) Hesti juga sudah merasa di ujung limit kemampuannya mengayuh pedal Astro maupun Rockie. Kupikir, toh tahun lalu aku dan Ranz telah berhasil menjalani jarak 107 km dengan baik, jadi tidak apa-apa lah menemani anak-anak evak. Tami yang merasa nyaman naik Pockie dan Avitt yang tidak bermasalah dengan Minul pun setuju. Kita berada di propinsi tetangga, mending kita kesampingkan ego untuk tampil ‘lebih dari yang lain’, kita lebih memilih kompak: evak!

Waktu memutuskan untuk evak, aku berharap kita akan bisa mengirit waktu, bisa sampai titik finish sekitar pukul 16.00, pokoknya kurang dari pukul lima sore lah, agar kita bisa punya waktu untuk bermain di pantai, dan memotret sunset. Namun ternyata harapan tinggal harapan. Di sepanjang perjalanan, banyak titik yang sangat penuh kendaraan, hingga jalannya truk tersendat-sendat, macet disana sini. L Kelelahan psikologis ini justru lebih ‘killing’ ketimbang kelelahan fisik. L



Pukul lima sore, truk yang membawa sepeda dan mobil pickup yang membawa sebagian peserta berhenti di satu tempat, dekat sebuah masjid. Aku yakin, titik finish tidak jauh dari sini, mungkin sekitar 2 km lagi. Kupikir kita memang diturunkan disitu, karena kita diberi kesempatan untuk gowes, toh titik finish tak jauh lagi. Namun ternyata aku salah. L mereka berhenti untuk memberi kesempatan sopir (dan mungkin juga peserta) untuk shalat ashar. Hhhhh ... Untunglah ada ‘sedikit hiburan’ waktu itu. Saat bengong menunggu, kita melihat penampakan Zen Shinoda (entah nama sebenarnya siapa. LOL.) Zen adalah seorang kawan dari Semarang yang telah pindah ke Bandung semenjak beberapa bulan lalu. Kita pun ngobrol ramai, tak lupa foto-foto selfi, tuk menghibur diri. LOL.

Kita semua akhirnya sampai titik finish sebelum suasana benar-benar gelap. Kita masih sempat berfoto di “wall of certificate of completion”, setelah ngantri.


Setelah itu, mengumpulkan kupon door prize, mengambil jatah makan malam, dan menemui seseorang yang menawarkan penginapan. Kita telah memesan penginapan di sekitar situ, mungkin kurang lebih 1 km dari titik finish. Seluruh tubuh mulai terasa gatal, pingin segera mandi, ganti baju, dan membaringkan tubuh. Setelah melalui serangkaian drama, menginginkan minuman es teh yang nikmat namun tidak kita dapati, yaaa ... minimal segera sampai penginapan lah.

Pukul 19.00 akhirnya kita sampai di penginapan. Kita memesan dua buah kamar non ac untuk kita berenam. Kita dijemput oleh om Acuy yang kita kenal lewat grup WA TdP8. Dia meminta dua orang yang naik motor untuk membawa kita ke penginapan. Setelah sampai sana, kita diantar ke kamar no. 20, sambil diberitahu bahwa kamar yang kita dapatkan yaitu kamar no. 20 dan kamar no. 27. Kamar no. 20 di lakitantai 1, kamar no. 27 di lantai 2. Kita sempat meminta untuk ganti kamar, agar kita tidak berjauhan, namun katanya semua kamar fully-booked. Ya sudah. Kita mengalah.

Namun, setelah masuk ke kamar no. 20, kita baru ‘ngeh’ ternyata yang dimaksud ‘kamar’ ini berupa rumah kecil, berisi satu ruang tamu, dua kamar tidur, dan satu kamar mandi. Plus, kamar tidurnya ber-ac. Wahhh ... mungkin ini adalah ‘hiburan’ dari semesta setelah serangkaian cobaan eh, drama yang kita hadapi? Ranz sempat menelpon om Acuy untuk membatalkan kamar no. 27 karena ternyata kita cukup menyewa satu kamar saja. Namun, kita tidak diperkenankan membatalkan perjanjian. Ya sudahlah.

Penginapan itu penuh. Mungkin seluruh kamarnya terisi para peserta tour de Pangandaran karena sepeda ada dimana-mana, meski hanya kita yang membawa sepeda lipat. J


Lebih dari pukul 20.00 kita kembali ke titik finish, mengikuti acara pembagian door prize. Saat itu hujan sempat turun. Hujan tinggal gerimis ketika kita mulai mengayuh pedal menuju lokasi pembagian door prize. Malam itu, alhamdulillah Avitt mendapatkan door prize berupa seperangkat alat shalat, eh, seperangkat kamera cctv. Great! J


Pukul 23.00 kita kembali ke penginapan. Capeeeeeeeeeeeee. 

TdP8 : a series of dramas we’ve got to go through (Day 1)

Berbekal pengalaman mengikuti tour de Pangandaran ketujuh tahun 2016, semuanya berjalan lancar, tahun ini aku dan Ranz berminat untuk ikut lagi. kebetulan para gadis pelor lain (Semarang velo girls) mengutarakan keinginan mereka untuk ikut juga – mencari pengalaman mengikuti event di propinsi sebelah – jadilah kita berenam mendaftarkan diri untuk ikut tour de Pangandaran kedelapan yang diselenggarakan pada hari Sabtu 22 April 2017.

Bahwasanya akan terjadi drama demi drama yang mengguncangkan jagad bumi kita berenam (lebay mode on) tentulah ada di luar kuasa kita.

Jumat 21 April 2017 – hari pertama

Untuk mengirit biaya transportasi, kita setuju untuk naik KA Pasundan yang meninggalkan stasiun Purwosari – Solo pukul 13.05. untuk ini, kita berangkat ke Solo dengan naik KA Kalijaga yang meninggalkan stasiun Poncol pukul 09.00.

Kebijakan pihak KAI yang berlaku semenjak awal April 2017 bahwa KA Kalijaga tak lagi sampai Stasiun Purwosari – pemberhentian terakhir di Stasiun Balapan – merupakan ‘cobaan’ pertama. Ini berarti, kita tak bisa ongkang-ongkang kaki, setelah turun dari KA Kalijaga, kita harus ‘unfold’ sepeda kita, kemudian menaikinya menuju stasiun Purwosari. Meski tidak terlalu jauh jarak kedua stasiun ini, namun, tetaplah, kita harus mau lebih repot. -_-

Pagi yang cerah. Hati kita berempat bungah. Avitt, Dwi, dan Tami telah sampai di stasiun Poncol dan melipat Minul, Oddie, dan Pockie, ketika aku tiba disana. Ranz menunggu kita di Solo, sedangkan Hesti harus menyelesaikan tugas negaranya terlebih dahulu pagi itu, sehingga tidak bisa berangkat bareng kita. Dia akan menyusul kita, naik bus Budiman bersama Pak Suryadi Selimania Jumat sore.

dalam gerbong KA Kalijaga

KA Kalijaga meninggalkan stasiun Poncol tepat pukul 09.00, sesuai rencana. (mundur 15 menit, semenjak kebijakan baru diturunkan awal April ini.) Namun, belum lama berselang setelah melewati stasiun Tawang, kereta api mendadak berhenti. Kita baru saja melewati daerah Kaligawe kalau tidak salah. Setelah KA berhenti, lewat jendela kita melihat banyak orang berlari-lari, kemudian berjongkok, seolah ingin melihat ada apa di kolong gerbong kereta.

Banyak penumpang dari gerbong tempat kita duduk pun turun untuk mencaritahu. Avitt pun turun. Dari mulut ke mulut, kita mendengar kabar yang sangat tidak menyenangkan: telah ditemukan remukan sepeda motor di bawah gerbong! Rupanya, ada sebuah sepeda motor yang melintas di rel kereta tatkala KA Kalijaga yang kita naiki lewat. Remuklah motor itu! WHATTT? Kita pun shocked! L lalu kemana pengendara sepeda motor itu?

Antara ingin tahu namun ngeri, kita hanya mampu saling pandang. Kita diam-diam berharap sang pengendara sepeda motor sempat menyelematkan diri sebelum motornya tergilas kereta api.

KA Kalijaga berhenti di lokasi kejadian selama kurang lebih 30 menit. Setelah merasa shocked karena kereta yang kita naiki meremukkan sebuah sepeda motor, kita mulai merasa khawatir bakal ketinggalan KA Pasundan yang akan menuju Tasik/Bandung. Kita lebih shocked lagi waktu tahu dari berita online bahwa ada 3 korban meninggal dunia pada peristiwa itu.

Ranz yang menunggu di Solo pun was-was. Jika kedatangan kereta kita terlalu molor, kita bakal ketinggalan KA Pasundan. Kita harus segera menyusun plan B. (1) menukar tiket kereta dengan KA yang berangkat di sore/malam hari. (2) kita harus berganti moda transportasi: bus.

Alhamdulillah, KA Kalijaga sampai di stasiun Balapan pukul 12.05, molor 20 menit dari yang tertera di tiket kereta. Segera kita membuka lipatan sepeda, keluar dari stasiun. Di luar, Ranz sudah menunggu. Kita langsung mengayuh pedal secepatnya menuju stasiun Purwosari. Pukul 12.35 kita telah melewati pemeriksaan tiket, ktp, dan barang bawaan kita di stasiun Purwosari. Alhamdulillah.

Pukul 12.55, KA Pasundan memasuki stasiun. Kita pun buru-buru memasukkan sepeda lipat dan tas pannier kita masing-masing. Hampir terlambat, karena dari pengeras suara telah terdengar “KA Pasundan bersiap meninggalkan stasiun Purwosari”, kulihat Tami baru akan mengangkat Pockie ke dalam gerbong. Aku pandang wajah Tami dari pintu gerbong sebelah, dia nampak sedikit pucat. Wew. Untunglah kita semua akhirnya bisa lega, duduk manis berlima bersama di gerbong enam.

dalam gerbong KA Pasundan

Perjalanan lancar. Alhamdulillah. Meski, kita ‘baru’ sampai di stasiun Tasikmalaya pukul 20.00, mundur 12 menit dari yang tertera di tiket kereta.

bersama Kusmawati Yazid, mengenakan kaos merah

Kebetulan stasiun Tasikmalaya terletak tidak jauh dari gedung Telkom, tempat start tour de Pangandaran. Kita bersepeda kurang dari 7 menit, kita telah sampai di titik start. Sesampai disana, kebetulan kita langsung bertemu dengan beberapa personil B2W Pusat, misal : Om Poetoet, Nte Ria, Om Sugeng, dan Mbah Tekad, sang pencetus ide mendirikan ‘wadah’ Bike to Work untuk memasyarakatkan gerakan bersepeda ke kantor. Selain mereka, kita juga bertemu dengan om Aryo dari B2W Lampung, selain om Wahyu, contact person pendaftaran TdP8 dan om Eka, dari B2W Tasikmalaya.

Malam itu, mengikuti keinginan anak-anak untuk ‘ngemper’, demi mengirit uang, kita berencana untuk menginap di plasa Telkom, atau musholla terdekat. Alhamdulillah, mendadak nte Ria menawari kita 3 kamar di hotel Abadi, kurang lebih 1 kilometer dari gedung Telkom. Rejeki anak-anak yang hobi bersepeda. Hihihi ...

Malam itu, kita menikmati hidangan yang disediakan oleh panitia. Nasi tutug oncom, singkong rebus, dll. Lumayan. Bisa mengirit uang buat makan malam. J

Sebelum pulang, Om Poetoet mengenalkan kita pada seorang pembalap perempuan, Kusmawati Yazid yang asli Pangandaran. Tami yang ternyata telah ‘berteman’ di sosmed sekian tahun baru ngeh bahwa si pembalap ini tubuhnya sama mungil dengan kita. Hihihi ... (Jadi ingat kata seorang kawan sosmed yang pernah bertemu denganku. Dia bilang, “Ya ampuuun, ternyata kamu mungil ya? Kalo melihat ukuran tubuhmu, tentu orang ga akan mengira kamu bakal kuat bersepeda melintasi Pulau Bali sampai Lombok.” Hohoho ...)

Pukul 21.30 kita meninggalkan gedung Telkom menuju hotel Abadi, yang ternyata tempat Ranz menginap di event Srikandi tahun 2012.

Sementara itu ... Hesti mulai meninggalkan kota Semarang sekitar pukul 18.00. Menurut prakiraan, dia baru akan sampai di Tasikmalaya jelang Subuh.


Selasa, 18 April 2017

Spoiler: Viking Biking

Viking Biking, one event to promote healthy lifestyle => bike to work, which has been carried out in Jakarta for some time, will come to Semarang in May 2017.

Stay tuned for further information. 

Jumat, 14 April 2017

Segowangi 38

SEGOWANGI 38

Segowangi ke-38 mungkin adalah salah satu segowangi yang ditunggu-tunggu, terutama oleh mereka yang mengikuti lomba foto yang diselenggarakan pada event segowangi ke-37 karena pada pelaksanaan segowangi ke-38 kita umumkan pemenangnya sekaligus menyerahkan hadiah pada para pemenang.

Segowangi ke-38 kita selenggarakan pada hari Jumat 31 Maret 2017. Seperti biasa, kita berkumpul di depan balaikota, mulai pukul 18.45. Saat itu, balaikota ramai sekali. Rupanya ada event lain di halaman dalam: balaikota dipenuhi para supporter PSIS Semarang. Yuhuuu. Di event seperti ini, kita pun tahu bahwa PSIS tetap memiliki ribuan fans. :D



Kali ini, rute segowangi ke arah Barat. Setelah meninggalkan balaikota, kita ke arah Tugumuda belok ke arah Jl. Sugiyopranoto. Setelah melewati jembatan sungai Banjirkanal Barat, kita terus ke arah Barat, sampai bunderan Kalibanteng. Disini kita belok ke arah Jl. Pamularsih. Untuk menghindari tanjakan – kasihan teman-teman komunitas lowrider jika harus nanjak :D – kita belok ke arah Puspowarno, kemudian mlipir hingga kita sampai di gereja Bongsari. Di ujung Jl. Puspanjolo Selatan, kita belok kanan ke arah Jl. Simongan. Kita hanya melewati Sam Poo Kong tanpa berfoto-session disana. Kita langsung ke arah Jl. Kaligarang. Dari pertigaan, kita belok ke kiri, Jl. Dr. Sutomo. Sesampai Tugumuda, kita ke arah Jl. Imam Bonjol, belok ke Jl. Pierre Tendean, kemudian balik ke Jl. Pemuda untuk kembali ke balaikota.

Namun ternyata pecinta PSIS benar-benar membludak. LOL. Kita tak diberi ruang untuk kembali. Akhirnya kita mlipir, lanjut hingga di ujung Jl. Pemuda. Kita berhenti di depan Lawangsewu. Disini kita foto-foto lagi, plus penyerahan hadiah kepada pemenang. Selain itu juga pembagian merchandise segowangi edisi ultah ketiga kepada mereka yang telah memesan.

Suwun semua yang tetap setia mengikuti segowangi. J


LG 15.35 11042017













NIGHT RIDE EARTH HOUR 2017

NIGHT RIDE EARTH HOUR 2017

Jika tahun lalu B2W Semarang mengadakan gowes malam untuk ikut menyambut EARTH HOUR sendiri, dengan mengundang para pecinta gowes malam, kali ini, kita digandeng oleh komunitas EARTH HOUR untuk berkolaborasi.

Hari Sabtu tanggal 25 Maret 2017 kita berkumpul di depan Balaikota Jl. Pemuda pukul 18.30. Seperti biasa, jika kita mengadakan gowes malam di hari Sabtu – bukan hari Jumat saat segowangi – kita akan mendapati wajah-wajah yang tak biasa kita lihat. J

Pukul 19.00 kita telah berfoto bersama – untuk dokumentasi – kemudian meninggalkan lokasi kumpul pukul 19.10. Rute yang kita tempuh selepas meninggalkan balaikota, kita menuju Tugumuda lanjut ke arah RSUP Dr. Kariadi. Di pertigaan, kita belok ke arah Jl. S. Parman. Untuk menghindari tanjakan yang cukup curam, kita kemudian memilh belok ke arah Jl. Rinjani, tembus ke Jl. S. Parman lagi, lurus sampai traffic light AKPOL. Disini kita belok kiri. Tujuan kita adalah hotel Grand Candi karena acara utama akan diselenggarakan di halaman belakang hotel.

Oleh kawan-kawan dari komunitas EH, kita diharapkan sampai di lokasi paling lambat pukul 20.00. syukurlah, pukul 19.45 kita telah sampai di lokasi.

Hotel Grand Candi menyiapkan ruang terbuka dekat dengan kolam renang di bagian belakang hotel. Ada sekitar 50 pesepeda, bergabung dangan beberapa komunitas lain. Sesampai disana, manager hotel sendiri yang menyambut kedatangan kita. Kita pun bisa langsung menikmati hidangan yang disediakan oleh hotel/panitia : jagung rebus, singkong rebus, kacang rebus, dan beberapa jenis gorengan.

Acara utama dibuka sekitar pukul 20.10 dengan beberapa sambutan. Setelah itu, ada hiburan dari beberapa komunitas. Lampu dipadamkan tepat pukul 20.30. satu acara yang ditunggu-tunggu kita semua setelah lampu padam adalah pelepasan puluhan lampion ke langit lepas. Setelah lampion-lampion itu diterbangkan, acara hiburan dilanjutkan kembali.

Mari mencintai bumi dengan (1) sesering mungkin gunakan moda transportasi yang ramah lingkungan dalam kegiatan kita sehari-hari : sepeda (2) hemat listrik dengan mematikan lampu-lampu yang tidak perlu kita nyalakan. Matikan televisi ketika kita tidak menontonnya. Dlsb.

Jika tidak memulainya dari diri kita sendiri, siapa lagi?


LG 11.50 11042017