Cari Blog Ini

Selasa, 20 Oktober 2020

Strava (lagi)

 

#strava

#stravacycling

#kalori terbakar

 

Bagi sebagian kawan, mencatat kegiatan berolahraga adalah satu kegiatan mubazir dan tidak penting. Namun, bagi sebagian kawan lain -- termasuk aku -- hal ini penting untuk mengecek kedisplinan diri sendiri. Mungkin orang2 lain memiliki alasan yang berbeda. Just feel free ya?

 

Sebelum Ranz iseng download strava di gadgetku menjelang gowes Sidoarjo - Probolinggo - Cemara Lawang menjelang akhir Desember 2017, aku pakai sportstracker. Aku pakai itu hanya untuk mengetahui jarak bersepeda yang telah kutempuh dan waktu yang kubutuhkan, jadi jika aku ingin napak tilas rute yang sama aku sudah tahu seberapa jauh jarak yang akan kutempuh, seberapa lama waktu yang kubutuhkan, dan seberapa tinggi tanjakan yang akan kulewati, jika ada. Biasanya sih catatan ini kutulis di blog jadi mudah bagiku untuk ngecek.

 

Aku belum memanfaatkan sportstracker untuk menjadikannya medsos: untuk berinteraksi dengan "atlit" lain.

 

Aku baru ngeh strava bisa jadi medsos kira2 setahun yang lalu, ketika seorang kawan men-screenshoot- "club leader" di satu grup sepeda alumni yang aku ikuti. (Aku memang gabung club sepeda alumni di strava, iseng2 saja awalnya.) Namaku tercantum di 10 "atlit" yang bersepeda paling banyak kilometernya. Aku heran, lha aku kan cuma nyepeda ke kantor? Kok bisa termasuk 10 teratas pesepeda paling "ngoyo"? Hihihi ... ini pasti karena orang2 di grup alumni itu bukan orang2 yang hobi gowes jauh setiap hari. Di grup "B2W Indonesia" jelas peringkatku di atas angka 100. 🤪🤪🤪maklum, kawan2 b2wer yang tinggal di Jakarta itu bersepeda ke kantor bisa menempuh jarak 50 kilometer pp sehari je. Hwaaaa😓😰🤣

 

Naaah, akhir2 ini aku baru ngeh memperhatikan satu fitur di strava: kalori.

 

Seorang kawan di satu grup alumni mengadakan healthy life challenge yang berupa berolahraga minimal 30 menit setiap hari selama 4 bulan. Semula dia mengajukan satu syarat saja: yang paling rajin akan mendapat hadiah utama, yakni sebuah sepeda lipat. Yang paling rajin berarti yang selama 4 bulan tidak ada hari off sama sekali plus setiap hari yang paling banyak menitnya. Simpel kan ya? Maka aku pun semangat sekali untuk memenangkan challenge ini.

 

Namun, out of the blue, kawan ini menambah satu point penilaian lagi: KALORI.

 

Aku perhatikan laporan kawan2 yang menyetorkan hasil workout mereka. Gile, kok bisa ya kalori yang "terbakar" bisa sampai ribuan kcal? Padahal dengan jarak dan waktu tempuh yang tidak jauh beda, stravaku mencatat kaloriku yang terbakar mentok hanya, misal, 600 - 700 kcal.

 

Kebengonganku ini dijawab oleh seseorang. Satu kali dia bertanya, "Mbak pakai gadget samsung ya? Gadget satu itu memang terkenal pelit untuk mengeluarkan catatan kalori yang terbakar. Saya pakai XOSS. Jika di samsung kalori terbakar saya mungkin hanya tercatat 650 kcal, di XOSS bisa sampai 2400 kcal." NAH LO.

 

Karena merasa hal ini tidak adil, aku curhat lah pada seseorang. 🤭🤭🤭dia bilang, "kok aneh gitu Miss? Tapi sakjane, sing bener ki kalori sing tenan terbakar ning njero awake dewe ki pira? Sing tercatat ning gadget samsung? (Utawa gadget hp liyane.) Apa sing sebangsane smart watch? Misale XOSS ngono kuwi?"

 

Lha embuh 🤭🤭🤭

 

Ini kuberi contoh. Seseorang bersepeda dengan menyalakan strava di 2 gadget yang berbeda. Anggap saja yang satu di gadget samsung, satunya lagi pakai XOSS. Catatan kalori yang terbakar jauh kan? Dan, karena orang ini (he is NOT in my friendlist 🤪) menyalakan 2 gadget yang berbeda, setelah selesai bersepeda, dia melakukan sinkronisasi, hasilnya adalah, di catatannya dia menempuh jarak bersepeda 2 kali lipat jarak yang sesungguhnya dia jalani. Ga usah heran jika di hari ini dia tercatat ada di posisi klasemen 10 besar tertinggi. Hihihi 🤪🤪🤭

 

Btw, busway, tulisanku ini lebih fokus ke masalah kalori yang terbakar ya? Barangkali ada yang bisa menjelaskan sebenarnya kalori yang terbakar di tubuh kita itu yang tercatat di smart watch atau di gadget? Barangkali ada yang bisa menjelaskan. Matur nuwun. 🙏





 

Senin, 19 Oktober 2020

Rumah Sepeda Indonesia

"Gerakan moral" BIKE TO WORK INDONESIA secara informal telah diinisiasi sejak tahun 2004, dan 'diformalkan' sejak tanggal 27 Agustus 2005 oleh para pecinta sepeda yang ingin membuat Indonesia lebih baik. Lebih baik dalam hal apa? Minimal dalam rangka usaha membuat orang untuk 'kembali' menggunakan sepeda sebagai moda transportasi utama seperti sebelum dekade 1980-an. Jika banyak orang bersepeda, minimal polusi lingkungan akan menurun, dan negara bisa menghemat dalam penggunaan BBM selain tentu saja perawatan fasilitas umum yang lebih murah karena polusi menurun.

 

 

Om Poetoet ketua B2W Indonesia

Om Sinar dari Sinar Bike, yang menyediakan ruang untuk RSI cabang Semarang

Agar gerakan moral ini tidak hanya terhenti di ibukota, para founding fathers membuka kesempatan pada pecinta sepeda di daerah-daerah yang memiliki visi dan misi yang sama untuk membentuk koordinator wilayah di kota masing-masing. Kota Semarang menjadi 'kepanjangan' tangan B2W Pusat pada bulan Juni 2008.

 

 

Setelah bergerak selama 15 tahun, B2W merasa bahwa jalan kita untuk menciptakan Indonesia memiliki lingkungan tak berpolusi masih panjang dan lama: dibutuhkan orang-orang yang berintegritas, memiliki persistensi dan konsistensi untuk terus menerus menggelorakan semangat para pesepeda pada khususnya dan rakyat Indonesia pada umumnya untuk menggunakan sepeda sebagai moda transportasi utama sehari-hari. Dan yang tak kalah penting lagi adalah dana. Untuk kampanye tentu butuh dana yang tidak sedikit.

 



Setelah 15 tahun, B2W Indonesia merasa sudah tiba waktunya untuk merangkul para pengusaha UMKM untuk kian eksis -- apalagi setelah dunia dihantam pandemi covid 19 -- sekaligus untuk mendapatkan dana yang dibutuhkan untuk kampanye. Untuk inilah RUMAH SEPEDA INDONESIA hadir! Di RSI para pesepeda bisa saling bersilaturahmi, kemudian saling mengedukasi, saling mendukung untuk kampanye penggunaan sepeda sebagai moda transportasi. Atau para penggiat sepeda bisa bekerja sama untuk menyelenggarakan acara-acara untuk mengedukasi sekaligus mengkampanyekan gaya hidup sehat dengan menggunakan sepeda sebagai moda transportasi utama. Untuk biaya yang dibutuhkan, para penggiat sepeda bisa memanfaatkan keuntungan dari penjualan merchandise yang dihadirkan oleh pengusaha UMKM. Para pengusaha UMKM yang ingin bekerja sama dengan RSI untuk menjual produk-produknya tentu saja yang ada kaitan erat dengan sepeda dan pernak perniknya ya.

 

Berikut ini misi-misi yang disebutkan oleh Om Poetet sebagai ketua B2W Indonesia saat ini:

 

1.     Misi advokasi: memberikan hak atas rasa aman bagi pesepeda di jalan raya, sebagai pengejawantahan UU nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Beserta UU turunannya.

2.     Misi edukasi: memberikan pemahaman dan meningkatkan kesadaran pesepeda akan haknya, sekaligus tanggung jawabnya dalam mematuhi peraturan lalu lintas.

3.     Misi kampanye: menjadikan sepeda sebagai bagian aktifitas sehari-hari yang merupakan solusi tanpa polusi, membantu mengurangi beban jalan, mengurangi angka kecelakaan lalu lintas, mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fossil, mengurangi biaya subsidi BBM, menyehatkan masyarakat, dan langkah nyata menuju peradaban baru yang ramah lingkungan

4.     Misi sosial: menjadikan wadah B2W sebagai bagian dari aktifitas yang memberi kebaikan dan manfaat pada sesama.

 




 

Setelah membuka Rumah Sepeda Indonesia di Jakarta pada tanggal 27 Agustus 2020 -- tepat di hari jadi b2W Indonesia yang ke-15, Om Poetoet meresmikan RSI cabang kota Semarang pada tanggal 10 Oktober 2020. Semoga keberadaan RSI benar-benar bisa memberi manfaat pada para pegiat sepeda untuk kian melakukan hal-hal terbaik untuk mewujudkan Indonesia yang lebih baik. Amin YRA.

 

PT56 13.13 20-10-2020

  

Minggu, 11 Oktober 2020

Healthy Life Challenge

 

Seperti yang pernah kutulis di link ini, akhir tahun 2019 aku dengan sepenuh excitement mengikuti challenges yang ada di strava, salah satunya adalah challenge untuk bersepeda sejauh 1250 km per bulan. Bulan Desember 2019 itu, aku ternyata tetap gagal untuk bersepeda sampai 1250 km. hihihi … Ternyata, begitu masuk tahun 2020, excitement-ku menghilang begitu saja. Aku tak lagi merasa tertantang untuk ngecek 'club leaderboard' di beberapa grup yang kuikuti.


 

Apalagi setelah pandemi, aku sempat ga berani bersepeda. Sebagai ganti sepedaan, aku berjalan kaki di pagi hari, di sekitaran rumah, sekitar 4 - 5 kilometer setiap pagi. Ini berlaku dari pertengahan bulan Maret 2020 sampai Mei 2020. Awal Juni, saat mulai diberlakukan 'new normal', aku mulai bersepeda lagi, masih tetap ga berani lama-lama, paling sekitar 20 kilometer saja, ini pun maksimal.


Snow White otw ke Demak

 


Tapi menjelang akhir Juni, aku mulai berani agak jauh, Semarang - Demak pp, sekitar 60 kilometer. Kemudian dilanjut Semarang - Kudus pp, sekitar 100 kilometer. Tetap sendiri, dan terus berusaha menghindari kerumunan. Ini tentu saja didasari pada rasa sakaw yang melandaku: sakaw ngepit antar kota.


Austin di trotoar yang lebar di Jl. Slamet Riyadi Solo

 


Dan, mendadak seorang kawan di grup alumni -- Kagama -- di bulan September menawarkan 'challenge' berupa berolahraga setiap hari minimal 30 menit, selama 4 bulan, dimulai dari tanggal 1 Oktober 2020 sampai 31 Januari 2021. WAW! Kesempatan aku menantang diri sendiri! FYI, seingatku, sejak awal tahun 2020 sampai sekarang, belum pernah sekalipun aku 'absen' tidak sempat menyalakan strava. Bahkan jika ketika seharian aku ga dapat mood untuk olahraga, dan habis maghrib hujan, aku tetap memaksa diri keluar untuk berjalan kaki, sejauh 2 - 3 kilometer dengan membawa payung. :D pokoknya sehari aku harus menyalakan strava meski hanya sekitar 20 - 30 menit.


 

Aku memang strava addict, apa boleh buat? Lol. Seperti yang pernah kutulis di blog, bulan Januari lalu waktu gadgetku hilang ketika bersepeda ke Ungaran, sehingga catatan bersepeda dari rumah sampai Ungaran hilang, aku minta Ranz yang bersepeda bersamaku, untuk download strava di playstore di gadgetnya, dan menyalakan strava dengan akunku, agar tercatat jarak bersepeda balik dari Ungaran ke rumah. Hohoho … aku tetap terobsesi by the end of the year 2020, saat menerima raport dari strava, aku akan melihat di raportku bahwa selama setahun ini, aku tidak pernah bolos sama sekali. :D


 

PT56 13.51 09/10/2020

 

Kamis, 08 Oktober 2020

Virtual Jamselinas X: Sunmori ke Alas Bromo Karanganyar

Minggu 04 Oktober 2020

 

 

Sempat ragu-ragu hari ini jadi bersepeda ke Alas Bromo - Karanganyar atau tidak gegara dadaku yang terasa sakit setelah terjatuh kemarin, makanya aku rada malas bangun pagi. :D Ranz juga. Namun, toh akhirnya kita berangkat juga. Jika sehari sebelumnya kita berangkat meninggalkan rumah Ranz pukul 07.30, hari ini kita baru berangkat pukul 07.50.

 


 


Melewati Jalan Slamet Riyadi yang panjang, yang sebelum pandemi merupakan area 'car free day', aku mengacungkan jempol pada rakyat Surakarta yang tidak nampak berkerumun di jalan ini di Minggu pagi itu. Di Semarang, ada maupun tidak ada 'car free day' setelah pandemi berjalan kurang lebih 2 bulan, area Simpanglima tetaplah ramai di hari Minggu pagi. Pak Ganjar sempat mengunggah vlog di instagram pribadinya menegur orang-orang yang tetap saja berkerumun tanpa mengenakan masker di Simpanglima maupun area Kota Lama di hari Minggu pagi, dan memberi edukasi, namun toh rakyat Semarang tetap saja ndableg. Makanya tidak heran jika Semarang termasuk zona merah pandemi covid 19, sedangkan Surakarta tidak.

 

 

Sesampai di kawasan Jebres, saat melewati sebuah warung makan yang berjualan timlo, selat, dll, Ranz menawariku berhenti untuk sarapan. Aku setuju. 'Langganan' kita sarapan di kawasan Karanganyar jika kita bersepeda ke arah sini terasa jauh sekali, soalnya. Lol.

 

 

Oh ya, di hari Sabtu 03 Oktober 2020, aku dan Ranz sama-sama mengenakan jersey resmi jamselinas X. Namun strava di gadget Ranz error, karena kegaptekan Ranz cara mengoperasikannya, lol. Maka di hari Minggu ini, aku menyemangati Ranz untuk mengenakan jersey itu lagi, kebetulan jersey miliknya sudah sempat dicuci dan cukup kering untuk dikenakan lagi. Di hari kedua ini, aku pastikan strava di gadget Ranz bekerja dengan sebagaimana mestinya, agar dia bisa setor hasil sepedaan ke panitia jamselinas X. hohoho …

 

 

Setelah sarapan dan melanjutkan perjalanan, Ranz mencoba mencari peruntungan barangkali akan berpapasan dengan para peserta jamselinas X lain, mereka yang juga mengenakan jersey resmi. Tapi, ternyata ga ketemu juga, lol.

 

 

Sudah lama tidak bersepeda ke arah sini, ternyata kantor bupati Karanganyar terletak lebih jauh dari yang kuingat, wkwkwkwkwk. Heran kok ga sampai-sampai yaaa. Padahal kita sudah cukup beruntung lho karena mendung sehingga sinar mentari tidak bersinar begitu terik. Beberapa kali kita mampir ke pom bensin karena Ranz butuh ke toilet berkali-kali. :D

 

 

Ketika akhirnya kita sampai di pertigaan dimana jika mengambil jalan di sebelah kanan kita akan menuju Karangpandan, dan ke kiri ke arah jalan alternatif ke Sragen, aku nyicil ayem, kita sudah hampir sampai. Akan tetapi, ternyata treknya kok naik turun naik turun yang lumayan bikin deg degan yak gegara RD Austin bermasalah. Mana kata Ranz roda belakang Austin nampak goyang ketika dikayuh. Waduwww … mana kita mau masuk hutan kok malah Austin bermasalah.

 

 

Setelah sempat ketar ketir selama beberapa kilometer karena mulai terdengar suara-suara yang tidak kuharapkan dari crank Austin, karena aku sering memindah-mindah gear pas tanjakan/turunan (dibandingkan sehari sebelumnya, bersepeda ke Sukoharjo yang flat treknya), akhirnya kita sampai di Alas Bromo. Alhamdulillaaah.

 

 

Pintu masuk ke Alas Bromo nampak tertutup. Waduw, apa sekarang orang awam dilarang masuk yak? Sementara aku memotret Austin di papan nama Alas Bromo, aku melihat 3 motor berhenti di jalan raya, tak jauh dari pintu masuk ke Alas Bromo. Ada beberapa gadis remaja yang duduk-duduk di atas motor itu. Ranz sempat khawatir kita bakal dilarang masuk. Ketika Ranz sedang memotret Petir, aku melihat 2 petugas Alas Bromo sedang ngobrol di dalam. Kemudian aku melihat 3 - 4 motor trail keluar dari arah dalam hutan. Lah, mereka yang naik motor trail saja boleh menjelajah, mosok kita yang 'Cuma' naik sepeda onthel tidak boleh? Tapi, eh, siapa tahu mereka 'kerabat petugas' ya? Meskipun begitu, aku mencoba peruntungan dengan bertanya pada petugas, apakah kita diizinkan masuk untuk foto-foto. Dan … ternyata BOLEH! Leganyaaaa.

 

 

Kita pun masuk. Tak lama kemudian, beberapa motor pun masuk, termasuk 3 motor yang kulihat sebelumnya. Mereka nampak nyantai memarkir motor di balik pagar, kemudian ngobrol dengan petugas. Mereka mengenakan baju ala orang-orang yang sedang latihan olahraga beladiri. Di antara mereka ada yang membawa kamera dslr, mungkin juga akan foto-foto di dalam sambil mengenakan baju latihan bela diri.

 



 

Lumayan lama kita berada di dalam, Ranz asyik sekali memotret Petir dan Austin, hohoho … saat keluar, kita kembali menyusuri jalan yang 4 tahun lalu juga kita lewati. Dari jalan 'setapak' kita masuk, kita terus lurus sampai bertemu dengan sungai (treknya naik turun). Setelah bertemu sungai, trek naik, sampai bertemu belokan, kita belok kanan, kemudian ngikutin jalan, sampai di satu perempatan, kita belok kanan lagi. Tak jauh dari situ, kita melihat perkampungan, kita pun belok menuju perkampungan. Tak jauh dari situ, kita bertemu pintu masuk menuju Waduk Tirtomarto. Namun ternyata pintunya terlihat ditutup, akhirnya kita tidak lewat situ, kita lewat jalan yang dekat perkampungan penduduk.

 

 


 

Otw balik ke arah pertigaan dimana jika belok kiri kita ke arah Karangpandan, rantai Austin mogok. Bukan hanya lepas rantainya, Ranz telah memasangnya kembali namun tetap susah memutar. Kata Ranz RD-nya Austin bermasalah. Untunglah Ranz masih bisa mengakalinya sehingga aku tetap bisa mengayuh pedal Austin.

 

 

Kita mampir makan di sebuah rumah makan yang menu utamanya ayam goreng, mirip dengan rumah makan Mbah Karto Tembel. Kita sampai sini pukul dua siang. Pukul tiga siang kita selesai makan. Kemudian kita langsung kembali ke arah Surakarta.

 

 

Sekitar pukul lima kurang seperempat, kita sampai di daerah Purwosari. Ranz menawariku sekalian booking travel untuk balik ke Semarang. Aku memilih pemberangkatan pukul tujuh malam. Pukul sembilan malam aku telah sampai rumah Semarang. Alhamdulillah.

 

 

Kapan-kapan dolan lagiiiii. :D tanpa dolan, hidupku hampa. Uhuk.

 

 

PT56 17.46 05-Oktober-2020

  

Virtual Jamselinas X: Samori ke Tara Farm Sukoharjo

 Samori ke Tara farm, Sugihan Bendosari Sukoharjo


 


Akhirnya, waktu yang ditentukan oleh panitia Jamselinas X Magelang untuk bersepeda dalam rangka berjambore namun (disarankan) sepedaannya di kota masing-masing pun tiba! Yippeee!  Aku bisa saja sih bersepeda di kota Semarang, sendiri. Akan tetapi, aku memilih dolan ke Solo, dan bersepeda bersama Ranz di kota kelahirannya itu.

 

 

Sebenarnya panitia 'mewajibkan' para peserta jamselinas X untuk hanya sekali bersepeda dengan jarak tempuh minimal 30 kilometer, tanpa ada batasan minimal/maksimal waktu bersepeda. Namun, aku dan Ranz menyempatkan diri bersepeda dua kali, hari Sabtu 03 Oktober 2020 dan Minggu 04 Oktober 2020.

 

 

Sabtu 03 Oktober 2020

 

 

Dengan semangat bersepeda namun terhalangi rasa malas bangun pagi, lol, pagi itu aku dan Ranz baru meninggalkan rumahnya yang terletak di Laweyan pukul setengah delapan. Aku sudah ketularan Ranz malas bangun pagi saat weekend. Hihihi …

 

 

Seperti biasa, kita sarapan di rumah makan soto Hj. Fatimah yang terletak di Jl. Bhayangkara, sekitar 2,5 kilometer jauhnya dari rumah Ranz. Aku yakin rasa nikmat soto ayam disini mengalahkan rasa nikmat soto ayam dimana pun juga. Hohoho … saking nikmatnya, aku tak merasa perlu menuangkan kecap dalam mangkuknya. Es teh/teh hangat disini pun khas rasa nikmat teh Solo yang ada rasa sepet namun sedap itu. Setelah sarapan, kita langsung melanjutkan perjalanan menuju arah Sukoharjo. Satu tujuan kupilih karena aku tergoda setelah melihat unggahan satu akun di instagram, yakni Tara Farm yang terletak di kawasan Sugihan, Bendosari, Sukoharjo.

 

 

Baru bulan Agustus 2020 lalu kita bersepeda ke Wonogiri -- yang jika kesana kita lewat Sukoharjo -- maka rasanya (sebenarnya) kurang ada greget bersepeda ke arah sini (lagi dan lagiiii). Akan tetapi, rasanya aku sudah dipelet rasa ayam goreng Mbah Karto Tembel je, yang membuatku selalu ingin mengajak Ranz kesini. Hihihi … untunglah aku 'menemukan' Tara Farm, hingga, well, minimal kita ada tujuan baru.

 

 

Ranz sama sekali tidak merasa perlu ngecek google map, hingga kita masuk daerah 'perkotaan' Sukoharjo. Tak jauh dari kantor Bupati Sukoharjo, Ranz baru mengajak aku berhenti sebentar untuk ngecek google map. Setelah ngecek peta, kita melanjutkan perjalanan, Ranz mengajak belok kiri lewat Universitas Veteran Bangun Nusantara, yang kebetulan terletak tak jauh dari kita berhenti untuk ngecek google map.

 

 

Setelah beberapa kali ngecek google map, dan foto-foto dong dalam perjalanan mencari lokasi Tara Farm, akhirnya tibalah kita berdua di satu dukuh yang namanya membuatku terpesona: 'Sugihan'. Apakah nama ini serupa doa agar orang-orang yang tinggal di dukuh itu menjadi 'sugih' alias kaya? Hihihi … daerah yang benar-benar masih mengesankan desa! Meski tentu jalan menuju kesana telah diaspal, kecuali jalan yang menuju Tara Farm, kurang lebih 500 meter.

 

 

Tara Farm merupakan satu kebun jahe, banyak tanaman jahe di lokasi wisata utama disitu. Untuk dekorasi agar lokasi tersebut cukup instagrammable, pengelolanya (orang-orang lokal?) memasang payung-payung cantik selain hiasan seperti bola-bola yang digantung. Untuk masuk ke lokasi utama, seorang pengunjung hanya dibebani membayar duaribu rupiah. Di samping lokasi utama, ada lokasi kuliner sederhana, jenis makanan yang dijual misal cilok, mie ayam, bakso, kethoprak,; sedangkan jenis minuman seperti es teh, es degan, es nutrisari, dll. Untuk parkir, pengunjung bebas memberi uang berapa saja asal ikhlas.

 

 

Kita disini sekitar satu jam, untuk jajan dan foto-foto. Setelah itu, kita melanjutkan perjalanan, kembali ke arah kita datang, di jalan raya propinsi yang menghubungkan Surakarta dan Wonogiri. Ranz menawari untuk mampir makan siang di satu gerai fastfood di Solo Baru, tapi aku tetap memilih ke rumah makan ayam goreng Mbah Karto dong. Gerai fastfood itu ada dimana-mana, Semarang juga banyak. Tapi rumah makan ayam goreng Mbah Karto kesayangan Jan Ethes cucu presiden Jokowi, hanya ada di Sukoharjo! Hahahahah …

 

 

Ketika kita berada di Tara Farm, sempat gerimis sebentar, namun ternyata di pusat kota Sukoharjo hujan yang turun cukup membuat genangan air di banyak lokasi! Dan, saat aku dan Ranz makan siang, hujan pun turun lagi. Usai makan, hujan telah berhenti, kita pun melanjutkan perjalanan, kembali ke Solo.

 

 

Di kawasan Solo Baru, tak jauh dari lokasi satu gerai fastfood yang biasanya kita mampir untuk aku beli iced coffee, aku terjatuh; ban depan Austin kesangkut ban belakang Petir. Aku yang meleng melihat ke arah antrian mereka di drive thru fastfood itu, ga lihat Ranz memelankan kayuhan pedalnya. Perasaan jatuhku ga terlalu keras, namun dada sebelah kananku sakit banget je. :(  ambil nafas panjang terasa berat sekali. :( untunglah aku masih bisa melanjutkan gowes sampai Laweyan.

 

 

Malam itu kita tidak kemana-mana, leyeh-leyeh saja.

 

 

PT56 14.21 05-Oktober-2020