Cari Blog Ini

Jumat, 20 Desember 2019

Seberapa sakti dengkulmu?

waktu ngikut Tour de Pangandaran 7


Guys, tentu pernah dengar kan komentar orang, "sing penting dengkule" ketika membahas tentang sepeda 'bagus' versus sepeda "kurang bagus" hingga butuh upgrade sepeda. Setelah upgrade sepeda, ternyata tetap ga mampu "mengikuti" kecepatan kawan bersepeda, misalnya, maka candaan berikutnya adalah "upgrade dengkul". lol.


Beberapa hari lalu ada satu pertanyaan di grup id-fb alias Indonesia FoldingBike, "yang biasa komen yang penting dengkulnya, tolong jelaskan teknisnya bagaimana?"


Well, aku ga sempat baca komen-komen lain secara serius, tapi hal ini langsung mengingatkan pengalamanku sendiri. Aku bersepeda (hampir) tiap hari, jauh lebih sering bike to work ketimbang naik motor ke kantor (ini bisa saja terjadi biasanya mungkin karena janjian bertemu Ranz di kantor, dia langsung dari Solo menuju kantorku; atau dulu ketika kadang pulang kerja langung ke rumah sakit menunggui Ibu yang sedang sakit). Semenjak tahu bahwa di strava ada challenges yang bisa menaikkan minatku gowes lebih rajin, (honestly, beberapa tahun terakhir gairah bersepeda ini turun drastis) aku kembali rajin bersepeda, menantang diri sendiri, misal, seminggu minimal bersepeda sejaun 200 km. Apalagi semenjak tahu bahwa ada 'reward' yang bisa kita pajang di akun strava, misal dengan ikut challenge grand fondo, bersepeda 100 km sehari. aku kian bersemangat. Di bulan Oktober 2019, aku mencatat rekor bersepeda sejauh 1000 kilometer sebulan. pencapaian yang wow buat diriku sendiri, lol.


Ranz juga bike to work setiap hari. Tapi dia aslinya jauh lebih malas bersepeda dibandingkan aku. lol. Beberapa kali dulu dia mengajakku loading ketika dolan bersepeda, misal saat kita gowes ke Umbul Sidomukti, dia sempat ngeluh ngajak cari loadingan, tapi aku yang keeukeuh untuk lanjut gowes, meski tentu kadang harus nuntun di tanjakannya yang spektakuler itu. lol. Kalau sRanz edang ke Semarang, aku tentu lebih suka mengajaknya naik sepeda saat pergi kemana-mana, tapi dia kadang kumat malesnya, dia akan merayuku untuk naik motor saja. lol.


Tapi, as you know, ketika kita gowes bareng, bikepacking antar kota kadang antar propinsi, dia jauh lebih perkasa lah ketimbang aku. Bahkan kadang saat dia dalam kondisi drop, misal saat kita gowes ke Klayar, tetap dia yang membawa pannier full-loaded berisi barang-barang kita. dia ga sampai hati jika aku yang membawanya.


Padahal jika sepeda lipat yang kita naiki dibandingkan, Austin jauh lebih mumpuni upgrade-annya ketimbang Pockie, sepeda lipat andalan Ranz (dulu) buat mbolang berhari-hari. Aku juga bersepeda jauh lebih sering ketimbang Ranz. Namun, tetaplah, dia jauh lebih perkasa ketimbang aku.


Apa karena dia lebih muda 20 tahun ketimbang aku? Hmmm ... belum tentu perempuan seusianya sekuat dirinya jika mereka naik sepeda dengan 'kualitas' sepeda-sepeda yang dimiliki Ranz. hohoho ... (dia pernah gowes Solo-Semarang-Solo naik dahon da bike 16" single speed, pernah gowes Solo - Semarang naik sepeda bmx)


lalu, ga bisa lah aku menjawab pertanyaan iseng (bagiku iseng) di grup id-fb itu. "teknisnya bagaimana?"


ketika aku membahas hal ini dengan Ranz sambil tertawa-tawa, dia bilang, "Kurasa ini mirip dengan membandingkan bakat dan latihan." Untuk 'mencapai' kemampuan Ranz bersepeda, aku kudu rajin latihan terus menerus, dia ga perlu latihan namun tetap saja bisa mengalahkan aku. 😜😛😝


Jadi ingat beberapa minggu lalu dia cerita dia menemukan satu obrolan di milis id-fb sekian tahun lalu. ternyata Ranz menjadi bahan obrolan di milis itu tentang pengalamannya bersepeda Solo - Semarang- Solo (2 hari) dengan naik Shaun, dahon da bike 16" single speed. di obrolan itu, ada yang bilang, "saya dengar dia nuntun sepedanya di tanjakan." Ranz bercerita ke aku tentang hal ini sambil bersungut-sungut, kenapa laki-laki merasa terancam dengan kenyataan bahwa aku bersepeda Solo-Semarang-Solo naik single speed sehingga memfitnah seperti itu?" kekekekekekeke ...


Kadang, Ranz memang suka bercanda dengan berkata, "ini karena otakku tuh adanya di dengkul". wakakakakakakakaka ...


IB 11.45 21-Desember-2019

Jumat, 13 Desember 2019

S t r a v a

Strava bukan aplikasi pertama yang kudonlod untuk kupakai merekam kegiatan bersepeda/berjalan. kalau tidak salah aku mulai menggunakan aplikasi sportstracker tahun 2012, satu tahun setelah aku menggunakan hape android tahun 2011. Aku 'ketularan' Ranz menggunakan aplikasi ini. 😜 ketika beberapa teman mulai menggunakan aplikasi endomondo, aku ikutan nyoba. tapi, ternyata aku ga begitu cocok, aku pun kembali menggunakan sportstracker.

Ganti hape tahun 2014, kemudian ganti lagi awal tahun 2017, aku tetap mengunduh sportstracker untuk mengetahui seberapa jauh jarak aku bersepeda.

Desember 2017 ketika aku dan Ranz berada di Sidoarjo untuk memulai perjalanan bikepacking ke Gunung Bromo, dia mengunduh strava di gadget yang kupakai. Ternyata dia tertarik untuk mengaplikasikan app relive yang waktu itu bisa diakses via strava. Aku pun mulai menggunakan strava saat meninggalkan Sidoarjo menuju Probolinggo, kemudian lanjut ke Cemara Lawang keesokan hari.

Sejak saat itu, aku meninggalkan sportstracker. hihihi ... terutama ketika di akhir tahun 2017 aku tahu ada catatan tahunan yang bisa kita dapatkan dari strava: berapa hari dalam satu tahun kita berolahraga (sambil menyalakan strava tentu). Wah, asyik nih. Kita bisa tahu berapa hari dalam satu tahun kita sama sekali tidak melakukan olahraga. Juga berapa ratus/ribu kilometer yang telah kita tempuh dalam satu tahun itu.

Agustus 2018 aku ikut klub '13 tahun b2w' karena ada lomba bagi mereka yang rajin bike to work dan menyalakan strava. peserta wajib bergabung dengan klub ini di strava.

Aku lupa mulai kapan gabung klub 'Kagama Kita Gowes Bersama'. Aku ikut klub, tapi ga pernah ngecek ada apa saja di dua klub yang kuikuti itu. hihihi ... Sampai akhirnya beberapa bulan lalu (di tahun 2019) ada screenshot urutan 'leaderboard' di grup Kagama Virtual Cycling. Aku heran karena namaku tercantum di daftar 10 besar, padahal aku merasa bersepedaku seadanya saja, hanya bike to work dan bike to home. Kadang-kadang saja bersepeda di weekend, terutama ketika ada event, misal menghadiri ultah satu komunitas sepeda lipat.

Ternyata hal ini membuatku kian tertarik pada strava, dan mulai mencoba mengenali lebih jauh. Jika di sportstracker dulu aku sangat 'soliter' tidak memiliki network ('teman' baik yang aku follow maupun follow aku), di strava aku mulai lebih ramah. hihihi .. Aku follow beberapa orang, dan beberapa orang follow aku. Aku kadang online di strava untuk melihat-lihat aktifitas orang lain di hari itu, Kadang menulis komen, setelah tahu bahwa kita pun bisa menulis komen disana. hihihi ...

Selain ikut dua klub itu, aku cari-cari klub lain yang mungkin cocok kuikuti. Setelah nemu 'WCC Nusantara' aku bergabung. Kupikir aku cocok di klub ini, kan semua anggotanya perempuan, meski well, kubayangkan orang2 WCC pasti orang2 yang suka ngebut karena kebanyakan naik RB atau minimal MTB lah, sedangkan aku lebih sering naik Austin (yang seli) atau Larung (yang balap jadul tapi dengan grupset ala kadarnya lol).

Gegara memperhatikan akun orang-orang disana, aku mulai lihat ternyata ada challenges yang menarik disana, mulai dari gowes 10000 kilometer satu tahun, gowes 1250 kilometer sebulan, 100 kilometer satu hari, dll. Waaah ... asyik niiih. Dan ... gegara mulai ngikut challenge itu, aku semakin terpacu untuk gowes lebih sering dan lama, ga hanya saat bike to work maupun bike to home.

Aku mulai ikut challenge gowes 1250 kilometer bulan Oktober 2019. Bulan itu aku bersepeda 'hanya' sejauh 1000 kilometer. Bulan November 2019, malah 'hanya' 950 kilometer sebulan. Entah deh bulan Desember ini. By the end of the year, kira-kira bakal tercapai ga ya jarak gowes 1250 kilometer sebulan? Hmmm ... Wish me luck yaaa. (masih sering mager soalnya! hihihi ...)

Minggu, 08 Desember 2019

Segowangi 69








Di bulan November 2019, kita menyelenggarakan Semarang Gowes Jemuwah Bengi untuk yang ke-69, pada tanggal 29 November 2019.

Setelah hujan 'absen' dari hari-hari kita selama berbulan-bulan, hari Jumat 29 November itu mendadak hujan turun di beberapa kawasan pinggir kota Semarang. Itulah sebabnya meski di area jalan Pemuda tempat kita berkumpul sebelum mulai bersepeda bersama tidak turun hujan, kawan-kawan yang tinggal di area Semarang Timur, Semarang Barat (Krapyak dan sekitarnya) juga Semarang Selatan memilih untuk tidak datang. 😓😒😑

Kali ini aku memilih rute Balaikota -- Tugumuda -- Jl. Sugiyopranoto -- Jl. Jendral Sudirman -- Kalibanteng (naik flyover) -- Jl. Siliwangi -- Jl. Muradi -- Jl. Abdulrahman Saleh -- Jl. Dr, Suratmo -- Jl. Simongan -- Jl. Kaligarang -- Jl. Dr. Sutomo -- Tugumuda.

Ajaibnya area yang kita lewati sepanjang bersepeda bersama, hujan sama sekali tidak mampir. :) hanya angin dingin yang menandakan bahwa hujan turun di area lain yang terasa.

Berikut foto-foto hasil jepretan Ranz.





















H u n c h


Aku bukan orang yang diberi 'kelebihan' berupa membaca masa depan. Namun, terkadang ada beberapa hunch yang benar-benar terjadi. Satu hal yang membuatku merasa bagaimanaaa begitu. Kok bisa ya?


Yang terakhir terjadi padaku adalah saat bersepeda nanjak Sigar Bencah hari Selasa 3 Desember 2019 lalu.


Tanpa rencana apa pun aku mengayuh pedal Cleopatra menuju Kalibanteng, kemudian belok ke arah jalan arteri Yos Sudarso. Namun aku tidak bermaksud menggeber Cleopatra hingga Kaligawe. Rasa lapar yang melanda membuatku belok ke arah Jl. Ronggowarsito, kemudian belok ke Jl. Pengapon, belok ke arah Jl. Raden Patah, untuk mampir warung susu Karangdoro yang lumayan terkenal di antara para pesepeda. Namun ternyata aku tidak beruntung karena ternyata warung tutup.


Aku ingat ada beberapa warung 'hik' di pinggir jalan arteri Jl. Sukarno Hatta yang berjualan berbagai macam buah yang siap disantap. Untuk mengisi perut, aku menuju kesana. Ternyata, kembali aku kurang beruntung. Beberapa warung itu pun tidak buka. (atau 'belum' buka ya?) Berhubung perutku masih terasa bisa menahan lapar. Aku terus mengayuh pedal Cleopatra.


Di depan kampus USM, ada jalan belok kiri, aku memilih menapaki jalan itu. Aku tidak tahu nama jalan itu, namun sebelum sampai area yang bernama kampung Malangsari (?) aku belok kanan, yang bakal melewati area perumahan Dempel Asri. Dari jalan itu, aku terus melaju ke arah Timur (?) sampai aku bertemu flyover Jl. Wolter Monginsidi. Disitu, aku belok kanan. Aku berhenti di satu warung kelapa muda.


Setelah minum segelas es kelapa muda dan ngemil dua biji lumpia, aku melanjutkan perjalanan. Dari Jl. Wolter Monginsidi aku belok ke jalan arteri SH, kemudian menyeberang ke Jl. Fatmawati. Karena mendapatkan 'urge' yang bagus, aku memilih lanjut ke arah Meteseh, kembali mencoba melewati tanjakan Sigar Bencah.


Seingatku tanjakan Sigar Bencah tidak se'killing' tanjakan menuju kampus Unnes Sekaran. Namun ternyata ingatanku menipuku. Lol. Meski tidak securam tanjakan menuju Unnes, tanjakan Sigar Bencah ini ternyata juga terasa berat. Hahaha … Nah, waktu melaju super pelan namun pasti ini tiba-tiba aku ingat pengalaman beberapa bulan lalu. Aku sedang menapaki tanjakan Panjangan alias Jl. Untung Surapati dari arah Jl. Simongan. Saat itu mendadak aku ditabrak orang dari belakang. Yang menabarakku seorang laki-laki yang hendak berangkat kerja, dia berhenti di belakangku, ikut membantuku berdiri, sementara aku ngomeli dia ngalor ngidul kok bisa-bisanya dia menabrakku padahal aku sudah di pinggir sekali. Waktu itu Cleopatra tidak bisa kunaiki lagi, BB-nya patah! Laki-laki itu meminta maaf, namun permasalahan ga selesai hanya dengan permintaan maaf kan ya. Ada seorang laki-laki lain yang ikut berhenti dan mencoba ikut membantu. Aku minta si penabrak memberikan KTP-nya ke aku sebagai jaminan bahwa dia akan mengganti biaya ganti BB. Sementara itu, aku bilang ke dia aku bisa menuntun Cleopatra ke arah Jl. Suyudono, tempat bengkel sepeda langgananku.


Nah, waktu nanjak Sigar Bencah itu aku mendadak kepikiran, kalau sampai hal itu terjadi lagi (aku ditabrak orang dari belakang), aku repot karena lokasiku jauh banget dari bengkel sepeda langgananku. Ga mungkinlah aku menuntun Cleopatra sejauh puluhan kilometer. Saat kepikiran itu, mendadak aku ditabrak orang dari belakang! Astagaaaah … kok bisa terjadi lagi yak? 😞😟😠



Aku sempat terjatuh meski aku bisa langsung berdiri lagi. Yang pertama kucek adalah apakah Cleopatra masih bisa 'berjalan'. Syukurlah Cleopatra bisa kudorong depan belakang, roda juga berputar seperti biasa. Tentu aku deg-degan dan rasanya pingin ngomel ke orang yang menabrakku. Kali ini yang menabrakku seorang remaja laki-laki yang mengaku akan berangkat ke kampus. Dia mengantuk, seperti tuduhanku kepadanya. Karena Cleopatra tetap bisa berjalan, aku merasa tidak perlu ngomel ngalor ngidul ke anak yang mengaku mahasiswa D3 Sipil Undip.


Setelah kejadian itu, dengan tertatih-tatih aku masih bisa melanjutkan perjalanan hingga 'puncak' Sigar Bencah, hingga sampai Tembalang, dan turun lewat Jl. Gombel Lama. Cleopatra benar-benar (terasa) baik-baik saja.


Sehari setelah itu, aku kembali menaiki Cleopatra. Aku berencana menapaki jalan sebaliknya, mendaki Gombel, kemudian turun lewat Sigar Bencah. Ketika menapaki jalan Sultan Agung, dua orang yang melewatiku mengomentari ban belakang Cleopatra, "Ban belakang oleng mbak!" kata dua orang itu. Aku tersenyum sambil berpikir apakah aku akan melanjutkan perjalanan atau balik kanan. Jika memang kejadian ditabrak dari belakang kemarin itu membuat ban belakang Cleopatra bermasalah, toh sehari sebelumnya aku berhasil lanjut nanjak Sigar Bencah dan menuruni Gombel dengan lancar. Berpikir begini, aku melanjutkan perjalanan.


Sesampai 'ujung' Teuku Umar, aku sengaja tidak memilih jalur flyover. Kali ini kembali aku ditegur seseorang tentang ban belakang Cleopatra. Akhirnya aku mengalah, balik kanan. Aku turun lewat Tanah Putih, lurus sampai Bubakan, mampir warung susu Karangdoro untuk jajan es the dan arem-arem. Setelah melanjutkan perjalanan sampai kurang lebih 36 kilometer, aku membawa Cleopatra ke bengkel langgananku, di Jl. Suyudono.


Seandainya waktu mulai nanjak Sigar Bencah itu aku tidak memikirkan kejadian di tanjakan Panjangan itu, akankah aku tetap di'sundul' dari belakang?


Setelah melihat postinganku di instastory, seorang kawan sepeda berkata padaku bahwa dia tidak berani nanjak Sigar Bencah karena jalan itu ramai, baik dari arah bawah maupun arah atas, plus tanjakan curam dan belokan yang tajam sangat tidak menguntungkan bagi pesepeda, apalagi menapaki tanjakan itu sendirian. Nampaknya dia benar. Next time, aku ga usah ngoyo 'latihan' tanjakan lewat Sigar Bencah lagi. Masih bejibun tanjakan lain lagi di kota Semarang. 😝


PT56 15.50 08-December-2019

Selasa, 03 Desember 2019

Bye bye KA Kalijaga

Aku lupa mulai kapan naik KA Kalijaga untuk dolan ke Solo. Setelah merasakan naik kereta api dengan membawa sepeda lipat, aku menyadari ternyata kereta api adalah moda transportasi tepercaya ketika kita membawa sepeda lipat. Meski sempat merasakan kesulitan menghadapi kru KA yang belum familiar dengan kebijakan bahwa sepeda lipat boleh dibawa ke dalam gerbong, aku harus mengakui bahwa sepeda lipat jauh lebih aman di dalam gerbong ketimbang masuk ke dalam bagasi bus.

Note: aku dan Ranz adalah traveler yang mengandalkan moda transportasi umum, seperti kereta api, bus, atau pesawat terbang (yang jarang kita naiki).

Khusus untuk KA Kalijaga karena tiket yang murah meriah, hanya sepuluh ribu rupiah, tentu menjadi pilihan utama, terutama jika aku punya waktu luang untuk berangkat ke Solo di pagi hari. Kalau di pagi hari aku ada kerjaan, ya terpaksa berangkat ke Solo siang hari, berarti naik bus. Sekian tahun hanya ada satu keberangkatan KA Kalijaga menuju Solo, yakni pukul 09.00. Setelah KA Joglosemarkerto beroperasi, ada alternative lain, berangkat ke Solo sekitar pukul setengah tiga sore.

23 Juni 2019, aku pertama kali naik KA Joglosemarkerto dari Jogja ke Semarang. Berangkat pukul dua siang dari stasiun Jogja, sampai stasiun Tawang menjelang pukul setengah enam sore.

Aku mulai berpikir wah nyaman nih buat traveler sepertiku. Berangkat ke Solo naik KA Kalijaga, jika ingin ke Jogja, tinggal melanjutkan perjalanan naik Prameks. Pulangnya ada KA Joglosemarkerto, jika tidak ingin naik KA Kalijaga yang meninggalkan stasiun Balapan jam 05.15 pagi.

Namun ternyata mulai 1 Desember 2019, KA Kalijaga berhenti operasi. 😞😟😠 Tidak ada lagi keberangkatan kereta api di pagi hari dari Semarang menuju Solo/Jogja. Ada satu keberangkatan KA Joglosemarkerto di pagi hari, tapi harus memutar dulu ke Purwokerto. 😞 Duh ...

Masih berat rasanya tak lagi ada KA Kalijaga.

Sebenarnya pemerintah itu melulu mencari profit dari moda transportasi yang seharusnya merakyat ini, atau benar-benar mau melayani kebutuhan masyarakat level bawah? 

Imam Bonjol 18.52 03-Desember-2019

Selasa, 12 November 2019

Kisah pertama kali membawa sepeda lipat naik kereta api




Postingan terinspirasi postingan Tayux :)

Januari 2011 pertama kali aku membawa Snow White -- sepeda lipat pertama yang kupunya dibelikan kakakku -- naik kereta api Banyubiru, menuju Jogja, hasil komporan Cipluk alias Diah untuk turut menghadiri gathering Korwil Bike 2 Work se-Jateng dan DIY. Karena kangen Jogja, aku menuruti komporan ini, lol. (haseek, ada 'kambing hitam' yang bisa kupakai, lol.) Cipluk yang mengajak naik kereta api waktu itu.

Entah mengapa aku pede saja menaiki Snow White ke stasiun Poncol, padahal aku belum bisa melipat sepeda, hihihi … antisipasiku adalah bakal bertemu Cipluk di stasiun (waktu itu aku belum tahu dia kudu berangkat dari Kudus pagi itu) Cipluk tentu akan membantuku melipat sepeda. (Eh, Cipluk juga yang memberi nama Snow White karena seli polygon urbano 3.0 itu berwarna putih.)

Ternyata sesampai Poncol, setelah membeli tiket kereta, aku bertemu dengan Tayux dan Riu, yang juga akan berangkat ke Jogja untuk menghadiri event yang sama. Mereka ditolak masuk peron karena mereka membawa sepeda fixie.

Riu, "Mbak, sepeda boleh dibawa masuk peron setelah dilipat."
Tayux, "Sudah bisa melipat sepedanya belum?"
Aku, "Belum." (hihihi …)
Tayux, "Riu, nih sepedanya Mbak Nana tolong dilipatin."

Kemudian dengan cekatan, Riu melipat Snow White.

Aku pun masuk ke peron, sendiri. (NOTE: aku menggendong Snow White sendiri loooh. Lol.) menggendong Snow White masuk ke satu gerbong KA Banyubiru, dan mendudukkannya di dekat tempat aku duduk, ga sampai melihat petugas 'melempar' Snow White masuk gerbong khusus barang, seperti pengalaman Tayux. :) Ga lama kemudian Cipluk nyusul. Dia ga bawa sepeda karena rencana dia mau mampir Solo dulu untuk mengambil sepeda fixie-nya yang dia titipkan di rumah Ranz. (NOTE: waktu itu aku dan Ranz belum solmetan, kekekekeke …)

Cipluk, "Bun, beli tiketnya ke Solo kan?"
Aku, "Loh, waktu ditanyain petugas loket aku bilang beli tiket ke Jogja."
Cipluk, "Lhaah, kan sudah kubilang kita turun di Solo dulu, aku harus ambil sepeda dulu di rumah Ranz."

KA Banyubiru itu seperti kereta commuter Prameks (lawas), tempat duduknya di pinggir kiri dan kanan, menempel 'dinding' gerbong kereta. Aku bisa meletakkan Snow White di dekat aku duduk. Waktu itu kita masih bisa menikmati orang-orang yang jualan pecel dll waktu kereta berhenti sebentar di stasiun-stasiun yang kita lewati. Cipluk sempat membeli dua pincuk sego pecel.

Cipluk turun di Purwosari, ga jauh dari Laweyan, rumah Ranz. Aku melanjutkan perjalanan ke Jogja, turun di stasiun Tugu. Sesampai sana, dengan tabah, lol, aku mencoba unfold Snow White. I did it! Yeay! Dari area Malioboro, aku gowes ke rumah seorang sahabat, di Jalan Kaliurang km 7.

Keesokan harinya, dari Gedong Kuning, aku dan Cipluk gowes ke arah Jombor. Aku mengantar Cipluk membeli tiket bus Nusantara untuk balik ke Kudus. Dari terminal Jombor, setelah membeli tiket bus, Cipluk mengantarku ke pool Joglosemar, dia menawari melipat Snow White sebelum aku naik bus Joglosemar. Sampai pulang Semarang, Snow White aman, ga terlempar-lempar. Hihihi …

Dua bulan kemudian, Maret 2011, aku ke Jogja lagi, naik Joglosemar. Mau naik KA Banyubiru, eh, sesampai stasiun Poncol, yang antri beli tiket panjaaaaaaaaaaaaaaaaang, ga kuat aku melihatnya. Saat itu, aku sudah berani mencoba melipat Snow White sendiri. Yeay!

LG 14.14 07112019

untuk kisah selengkapnya bisa klik link ini.

Senin, 28 Oktober 2019

Simulasi ultah Xomselis


20 Oktober 2019




Kebetulan Ranz pas di Semarang waktu Avitt ngajakin gowes simulasi event MblusuXemarank untuk merayakan ultah Komunitas Sepeda Lipat Semarang yang ke-10, jadi kita bisa ikut.


klenteng Tay Kak Sie

(Sejak Ibuku sakit-sakitan bulan Januari 2018, aku jarang sepedaan di hari Minggu pagi, apalagi ngajakin kawan-kawan sepedaan seperti dulu lagi. Setelah Ibuku meninggal pada tanggal 17 Juni 2018, aku ya tetap jarang gabung gowes kawan-kawan, kecuali ada event khusus, misal ultah komunitas sepeda lipat di luar kota. Selain itu Ranz juga kian sibuk hingga jarang datang ke Semarang. Klop deh.)





Aku memang mendaftarkan diri sebagai salah satu panitia event MblusuXemaranx, tapi Cuma bantu-bantu saja, jadi pemilihan spot apa saja yang akan dikunjungi aku (dan Ranz) tidak terlibat. Plus, aku jarang buka WA, jadi kurang update hal-hal penting yang dibahas di grup. Hihihi ..


20 Oktober 2019 itu kita berkumpul di Taman Pandanaran pukul 06.00. aku datang sedikit terlambat, sehingga sempat ketinggalan info yang disampaikan oleh Mizan sebagai salah satu panitia utama. Ada 10 spot yang harus dikunjungi. Sepuluh spot ini diacak sedemikian rupa hingga para peserta bisa diharapkan tidak akan menumpuk di satu titik saja, kecuali spot yang mendekati titik akhir, yakni Museum Ronggowarsito. Lokasi ini akan selalu berada di urutan terakhir untuk dikunjungi.


Ada 15 orang yang berkumpul hari Minggu pagi itu, kita dibagi menjadi 3 grup, di grupku ada aku, Ranz, Rangga, dan Qq. Kita mulai gowes dari Hotel Santika, seperti ketika event on the D day. Tugas kita bertiga hari ini adalah mencatat jarak yang kita tempuh plus butuh waktu berapa lama dari titik satu ke titik berikutnya.


Urutan spot yang kita kunjungi hari itu adalah

  1. Klenteng Tay Kak Sie
  2. Masjid Layur
  3. Stasiun Tawang
  4. Gereja Blenduk
  5. Kantor Pos Besar
  6. TBRS alias Taman Budaya Raden Saleh
  7. Reservoir Jalan Siranda
  8. Klenteng Sam Poo Kong
  9. Pleret alias pinggir sungai Banjirkanal Barat
  10. Museum Ronggowarsito
  11. (titik finish) The Club - sports club satu perumahan di area Krapyak sekaligus sebagai titik terakhir





Dalam daftar di atas, spot pertama hingga spot keempat terletak berdekatan, paling hanya berjarak 1 - 2 kilometer, namun jika tidak tahu rute terdekat, bakal berputar-putar, lol. Dari spot keempat menuju spot kelima ini lumayan jauh, bisa jadi sampai 5 kilometer, bagi yang tahu rute terdekat yang bisa dilewati. Namun bagi peserta yang bukan orang Semarang, bakal memutar lumayan jauh, hingga bisa jadi jarak tempuh bisa lebih jauh dan butuh waktu lebih lama. Dari TBRS ke spot keenam dekat, paling jauh 2 kilometer, tapi harus nanjak jalan Diponegoro atau yang lebih dikenal sebagai area Siranda.


Masjid Menara, yang lebih dikenal sebagai Masjid Layur

Kota Lama
Dari spot keenam menuju spot ketujuh sebenarnya ga terlalu jauh, kurang dari 4 kilometer. Dari Sam Poo Kong, ke Pleret juga dekat, paling hanya 1 kilometer. Dari Pleret menuju Museum Ronggowarsito paling-paling hanya 3 kilometer. Dari Museum Ronggowarsito ke The Club kira-kira sekitar 4 kilometer.


Dari Hotel Santika menuju The Club, strava yang kunyalakan di hape menunjukkan jarak yang kutempuh adalah sekitar 23,5 kilometer. Namun aku yakin, peserta beneran, apalagi yang bukan orang Semarang, bakal menempuh jarak lebih jauh lagi.


P.S.:

Sebenarnya aku pingin menulis ini setelah tanggal 20 Oktober, tapi nanti kalau tulisan ini di'temu' peserta, aku bisa dijothakke kawan-kawan panitia. Hihihi …


LG 13.22 28-October-2019





Rabu, 23 Oktober 2019

Austin



Downtube nova buatan tahun 2011

Bukan sepeda yang biasa kunaiki untuk #biketowork namun sepeda yang kuberi nama "Austin" (nama belakang mantan aku nih 😂😁🤣) ini jauh lebih sering kuajak dolan keluar kota, karena dia bisa dilipat jadi sangat mobile, dolan ke kota tetangga, propinsi tetangga, hingga pulau tetangga 😉
Harganya masih di bawah 3 juta rupiah saat kubeli, dengan single crank dan 7 speed. Dalam kondisi standard, Austin sudah mengantarku ke Umbul Sidomukti, Candi Borobudur, hingga dolan Solo - Purwokerto lanjut nanjak Baturraden.

Setelah terseok2 ikut #J150K pertama bulan November 2013 dan atas komporan seorang kawan, Austin ku-upgrade (meski dengan parts yang tidak mewah), menjadi triple crank dengan 9 speed. Biayanya di awal tahun 2014 itu kurang dari 1,8 jeti, dengan sentuhan maestro seli zaman itu, namun sekarang beliau sudah jadi pembalap dengan naik roadbike. Karena aku bukan orang yang gila upgrade sepeda, itulah saat terakhir aku upgrade, sampai sekarang paling2 kuganti beberapa parts karena sudah aus saja, misal rem dan pedal, tetap dengan parts yang sederhana. Kalau bisa beli yang murah, kenapa harus beli yang mihil? Ye kan? 😁

Setelah ku-upgrade Austin sudah pernah kubawa kemana ya? Ke Candi Borobudur lagi, Blitar - Malang lanjut ke daerah wisata Batu, gowes Gilimanuk - Pantai Kuta dengan trek yang bikin lelah seluruh jiwa raga (jauuuuh lebih melelahkan ketimbang gowes Semarang - Jogja) lanjut ke Sanur - Padangbai hingga nyeberang ke Pulau Lombok. 3 kali ngikut Tour de Pangandaran. Sekali bareng para gadis pelor menjajal panas dan ganasnya angin pantura Semarang - Cirebon. Plus pengalaman yang menggetarkan jiwa #lebay 😂🤣😁 gowes Sidoarjo - Probolinggo - Gunung Bromo 😜😝😅

Sejak 2011 hingga sekarang aku tetap setia padanya. Belum berpaling #cieee padahal orang2 sekitarku sudah beli beberapa sepeda baru 😭😭😭 Ranz, my biking soulmate, beli Shaun, dahon da bike 16" yang dia bikin jadi single speed tak lama setelah aku beli Austin. Tahun 2012 dia "dapat" Cleopatra dari ngikut event "Srikandi". Tahun 2015 Ranz mengganti sepeda BMXnya merk Wimcycle menjadi Haro dan mengecatnya ungu. Tahun 2016 dia beli sepeda balap jadul di tempat loak Solo seharga tigaratus ribu rupiah. Setelah itu dia naiki Larung ke Semarang dan sampai sekarang Larung tetap di Semarang. Tahun 2017 dia beli Astro, polygon urbano yang langsung dia naiki dalam Tour de Pangandaran. Waktu ke Bromo Ranz juga naik Astro. Tahun 2018 dia "bikin" Petir, seli 14" yang juga dia bikin single speed, untuk "dibawa" ke Makassar untuk ikut Jamselinas 8. WOW.

Hesti, satu gadis pelor yang berubah haluan dari pendaki gunung menjadi pesepeda. Pertama kali mengenalnya, dia naik sepeda polygon heist. Tahun 2016 dia beli satu sepeda lipat 20" untuk bersama para gadis pelor lain gowes ke Cirebon. Tahun 2018 Hesti beli seli 16" untuk dibawa ke Makassar. Tahun 2019 ini dia beli satu sepeda baru lagi, pikes. WOW.

Avitt adalah satu gadis pelor yang prestasinya meningkat tajam 😁 pertama kenal "dekat" tahun 2016 dia masih naik mtb "Thrill". Kita baru tahu ternyata dia juga punya sepeda lipat saat kita ajak dolan luar kota pertama kali di tengah tahun 2016 itu: element police. Tapi ga pake lama, dia jual itu sepeda, ganti naik polygon urbano 2.0 yang melambungkan namanya di dunia sepeda lipat Nusantara, Minul. Avitt naik Minul waktu kita mbolang Semarang - Cirebon. Ternyata jiwa bisnis mengalir deras di tubuh gadis yang baru lulus kuliah S1 ini. Dia jual Minul waktu ada yang naksir, kemudian kian giat di bisnis jual beli sepeda hingga dia bisa membeli seli bergengsi saat ini, brompton 😍😍😍 jangan tanya sudah berapa sepeda yang dia naiki, dia miliki, dan dia jual. Asal menguntungkan, akan dia jual. WOW.

See?

Hanya aku yang tetap setia pada Austin. Dan Larung (sepeda yang jauh lebih sering kunaiki waktu berangkat ke kantor). Dan Cleopatra (sepeda milik Ranz yang saking dia emani ga pernah dia naiki. Lol. Sekalinya dia bawa ke Semarang tahun 2014, aku terus yang menaikinya. lol.)


P. S.:

Iki sakjane aku pingin nulis #humblebrag tapi ketoke gagal 😭😥😆😅😂😁🤣😅

Senin, 14 Oktober 2019

Launching SESEG Pati

sebagian pasukan KomseliS yang menginap di homestay Tentrem, siap2 berangkat



Seperti yang saya tulis di artikel ini, komunitas Sepeda Lipat Sego Gandul alias SESEG Pati di-launching pada hari Minggu 13 Oktober 2019, ikut meramaikan komunitas pecinta sepeda lipat di seluruh Nusantara. Para 'founding fathers' SESEG baru sempat melakukan launching di bulan Oktober 2019 meski katanya telah dibentuk di bulan Mei 2019.


Meski awalnya nampak kurang menarik perhatian beberapa kawan KomseliS ketika link pendaftaran dirilis di awal bulan September, ternyata on the D day, lumayan banyak juga kawan-kawan KomseliS yang hadir: ada sekitar 25 orang hadir.


Sabtu 12 Oktober 2019


Saya dan Ranz ternyata sampai di penginapan nomor satu dibandingkan kawan-kawan KomseliS lain. Untunglah kita masih bisa mendapatkan satu kamar di homestay ini, meski kita belum pesan sebelumnya. Nte Ria yang memberitahu bahwa kawan2 menginap di homestay TENTREM 2 ini.


Setelah check in di kamar nomor 117 (lantai 1) kita keluar untuk makan siang. Usai makan siang, kita bersepeda ga jauh-jauh dari alun-alun Pati. Sayangnya alun-alun sedang dipagari seng karena masih dalam proses renovasi. Ketika kita akan kembali ke penginapan, di jalan tak jauh dari penginapan kita bertemu dengan papih Fatih yang katanya akan mengambil racepack peserta di Omah Koeno 1868, maka kita pun balik bersepeda lagi.


Di Omah Koeno sudah lumayan juga kawan-kawan pesepeda lipat yang datang dari luar kota. Om Haryanto Rangga yang kita kenal sebagai seseorang yang berkecimpung di B2W Pati (dan salah satu mantan ketua JFB) pun ada di lokasi, ternyata beliau adalah ketua panitia launching SESEG ini.


Untuk mendaftar sebagai peserta launching SESEG, kita memiliki 2 pilihan, paket A dengan harga Rp. 75.000,00 peserta mendapatkan 'tas' unik yang bisa dipasang di setang atau di bawah seatpost yang bisa dipakai untuk 'tempat' menaruh bidon dan pernak-pernik lain. Paket B dengan harga Rp. 120.000,00 peserta mendapatkan kaos event. Untuk 'mengurangi' kian menumpuk koleksi kaos event di rumah, lol, saya dan Ranz memilih paket A.


Usai mengambil racepack, kita berdua kembali ke penginapan. Penginapan sudah mulai ramai dengan kawan-kawan peserta launching SESEG terutama kawan-kawan KomseliS.







Malam itu sebagian dari kita NR untuk mencari makan malam; karena khawatir kelelahan, kita tidak ikut event NR yang disediakan oleh panitia. :) tempat yang kita kunjungi pertama setelah meninggalkan penginapan adalah Omah Koeno, yang telah berubah fungsi menjadi café. Kata Tatak, café ini menawarkan kopi terbaik di kota Pati karena barristanya yang sudah terkenal dan  baik hati mengajari orang-orang di Pati yang ingin belajar membuat kopi. Seorang kawan yang asli Pati memberitahu kita informasi untuk makan malam 'soto kemiri' jika ingin mencicipi satu masakan khas Pati. Setelah berfoto bersama untuk kenang-kenangan, kita pun meluncur ke rumah makan yang disebutkan.


Soto Kemiri ini berkuah santan, seperti soto Kudus, beda dengan soto Semarang maupun Solo yang berkuah bening. Perut saya tidak bermasalah makan makanan bersantan, tapi Ranz biasanya bakal mengeluh jika harus memakan masakan bersantan. Untunglah, malam ini Ranz bersedia makan dengan menu yang sama.


Usai makan, kita gowes kembali ke penginapan. Beberapa dari kita mampir ke satu minimarket untuk membeli beberapa barang yang kita butuhkan. Saya dan Ranz menyempatkan diri gowes memutari alun-alun, demi mengurangi lemak yang menempel di perut maupun pinggang sebelum kembali ke penginapan.


Minggu 13 Oktober 2019


Menjelang pukul lima tigapuluh pagi pelataran parkir penginapan sudah riuh rendah dengan suara kawan-kawan KomseliS yang mempersiapkan diri untuk berangkat ke kantor Bupati Pati, tikum peserta launching SESEG Pati. Setelah foto bersama untuk dokumentasi, kita beriringan mengayuh pedal sepeda lipat masing-masing menuju tikum, yang terletak kurang dari satu kilometer dari penginapan. Sampai sana, ternyata suasana masih cukup lengang. Namun begitu kedatangan rombongan dari Semarang, suasana pun langsung ramai. 😝


Bapak Bupati Pati sendiri yang memberangkatkan pasukan gowes launching SESEG sekitar pukul 06.25. jumlah peserta kurang lebih ada 200 orang. Tatak bilang bahwa trek menuju Bendungan Gunung Rowo didominasi tanjakan, tidak jauh berbeda dengan area Gunung Pati, Semarang. Untungnya tidak ada trek tanjakan securam trek menuju kampus Unnes di Sekaran, selepas kreteg Wesi tak jauh dari jalan Dewi Sartika itu. Lol. Namun di awal-awal tentu trek masih datar, meski trek yang dipilih kadang berupa jalanan aspal yang sudah rusak, namun masih lumayan aman lah buat sepeda lipat.





Pemandangan di sepanjang jalan didominasi dengan pohon-pohon kering kerontang yang eksotis dan magis. Tentu ini disebabkan musim kemarau yang cukup lama tahun ini.


Kita sampai di bendungan Gunung Rowo setelah menempuh jarak kurang lebih 19,5 kilometer dari penginapan, berarti sekitar 18,5 kilometer dari tikum. Disana panitia menyediakan air mineral dan buah semangka yang segar sekali. Kebetulan tidak jauh dari tempat kita berfoto-foto ada sepasang suami istri yang berjualan jajanan khas anak-anak Pati, misal sempolan, dan mereka pun menjadi tumpuan jajan kawan-kawan KomseliS yang ternyata doyan jajan makanan khas anak-anak SD/SMP ini. 😉







Setelah puas jajan dan foto-foto, kita kembali melanjutkan kayuhan pedal kembali ke kota. Acara puncak berupa makan siang, pemotongan tumpeng, pembagian door prize serta lelang frame sepeda lipat dilaksanakan di RM Dua Ikan, Pati.


Keseluruhan acara usai pukul 12.35. Kita kembali ke penginapan, packing dan check out.


Sekitar pukul 13.15 saya dan Ranz sudah dalam bus yang meninggalkan terminal Pati. Tiket bus ekonomi ber-AC ini Rp. 30.000,00, dan alhamdulillah free bagasi. Kita turun di jalan ujung menuju terminal Terboyo, sekitar pukul 15.15. untunglah jalan menuju Demak belum sampai momen ketika macet. :) Ranz mengajak mampir ke warung susu Karangdoro untuk minum es teh (aku) dan es susu coklat (Ranz).


Dari sana, kita gowes ke kos Ranz, dia janjian dengan Tami untuk meminjam kompor yang biasa dipakai untuk camping. Di kos, Ranz sempat mandi dan ganti baju. Pukul 17.00 kita telah sampai di travel Xtrans yang terletak di Jalan Menteri Supeno, untung masih ada tempat duduk buat Ranz untuk keberangkatan travel pukul 18.00. setelah membeli tiket, kita sempat jajan di Mbah Jo, Ranz kelaparan karena ketika di RM Dua Ikan dia ga bisa makan dua jenis masakan yang disediakan., soto berkuah santan dan sego gandul. Pukul 18.00 travel yang dia naiki mulai meninggalkan pool, dan saya kembali mengayuh pedal Austin kembali ke rumah.


Sampai bertemu di kisah sepedaan kita berikutnya ya.


LG 14.36 14-October-2019