Cari Blog Ini

Senin, 27 Januari 2020

Gowes Imlek ke Watu Gajah Park




Tanggal 25 Januari 2020 tiba pada hari Sabtu, libur Imlek alias Chinese New Year. Setelah berdiskusi kita mau bersepeda kemana, akhirnya Ranz memutuskan untuk ke Semarang, karena pada hari Minggu 26 Januari aku harus mengikuti survey rute event "Back to Dahon 09022020" di pagi hari, dan di siang hari aku dan Ranz menghadiri acara istimewa di rumah Tami.



Sabtu 25 Januari 2020



Pukul 06.30 kita mulai meninggalkan kawasan Banjirkanal Barat; aku naik Cleopatra sedangkan Ranz naik Austin. Pagi itu cuaca mendung jadi enak buat bersepeda. Seperti biasa kita meilih rute Lapangan Kalisari ke arah RSUP Dr. Kariadi, di pertigaan kita belok ke arah Jl. S. Parman, kemudian kita belok ke arah Jl. Rinjani yang kemiringannya bisa kita anggap layak untuk pemanasan. :)





Selanjutnya kita ke arah pertigaan Kaliwiru, belok kanan ke Jl. Teuku Umar kemudian mendaki bukit Gombel. Kita berhenti di taman Tabanas untuk memotret Austin dan Cleopatra, sembari istirahat lah menata nafas. Lol. Sesampai ujung tanjakan Gombel, (aku sempat naik Austin, sedangkan Ranz menaiki Cleopatra), dua orang laki-laki yang mungkin usianya di atas 60 tahun (nebak2 sajaaa) menaiki road bike menyalipku pelan-pelan sambil mengacungkan jempol, "Wahhh … ibu hebat! Kuat nanjak Gombel!" duh … aku ngikik dalam hati. Ga tahu dia, sudah sejak tahun berapa aku mendaki bukit Gombel? Ternyata, waktu mereka menyalip Ranz yang berada di belakangku dan memotretku dari belakang, juga disapa oleh mereka, "Wah … istrinya kuat nanjak Gombel ya pak!" eaaaah … kapokmu kapan ndaaaaaaaa. Lol. Setelah Ranz bercerita tentang itu ke aku,  kita pun terkekeh-kekeh. Lol.



But, honestly, mengapa perjalanan mendaki Gombel kali ini terasa jauh lebih ringan ketimbang waktu aku mendakinya sendiri tanggal 10 Januari lalu? Apa karena aku naik Cleopatra (sampai taman Tabanas) atau karena aku ga sendirian nanjak yak?



Kita mampir di satu warung soto di daerah Banyumanik, tempat kita juga beberapa kali mampir sarapan disini sebelumnya (waktu bikepacking ramai2 awal tahun 2015, kemudian waktu bareng cewe2 pelor gowes ke Curug Gending Asmoro awal Juli 2018. sebelum sarapan, kita sempat bertemu dengan rombongan Federal Semarang yang akan bersepeda ke Museum Sangiran.





Setelah itu semua berjalan lancar. Ranz sudah tahu jalan ke arah Watu Gajah Park karena dia telah melihat papan petunjuk ke WGP waktu kita dolan ke Curug Gending Asmoro. Entah mengapa perjalanan kali ini terasa lebih ringan ketimbang waktu bersepeda ke Curug Gending Asmoro, karena tahu-tahu kita sudah melewati jalan dimana jika kita belok kiri kita akan sampai ke curug itu. Kita masih terus lurus. Tak jauh dari pertigaan itu, kita melewati tanjakan yang lumayan killing, padahal badan jalan sempit plus saat kita lewat, traffic lumayan padat. Dari pengalaman bersepeda ke Srambang Park bulan Desember 2019, aku berpikir mungkin orang-orang yang memenuhi jalan 'desa' itu juga akan menuju Watu Gajah Park. Hihihi …







Tak lama kemudian kita sampai hutan karet, yang dikenal dengan nama Alaska Ngobo. Dengan suka cita, kita pun mampir untuk berfoto-foto. Maklum, orang kota, kalau bertemu dengan hehijauan hutan, kita akan sangat suka berfoto ria lah. Waktu itu suasana masih cukup sepi, belum banyak orang yang lewat dan mampir. Saat akan meninggalkan hutan karet ini, tab-ku jatuh. (baca kisahnya disini)



Mungkin kita sampai di 'gerbang' menuju destinasi wisata Watu Gajah Park sekitar pukul 10.45. gerbangnya berupa patung gajah dengan ukuran cukup besar, di kiri dan kanan. Aku berhenti disini, ingin ngecek strava, sudah berapa kilometer kita bersepeda. 2 tahun lalu waktu bersepeda ke Curug Gending Asmoro, kita menempuh jarak 52 kilometer pulang pergi. Saat ingin ngecek strava ini aku baru ngeh kalau tab tidak lagi berada di tas pannier yang nangkring di rak pannier yang menempel di seatpost Cleopatra. :( aku sempat menuduh Ranz menyembunyikan tab -- untuk nggodain aku -- (dan Ranz juga berpikir aku menggodanya, lol) namun ternyata tab memang tak lagi berada di tas pannier. Dengan buru-buru Ranz langsung menaiki Cleopatra, kembali ke arah Alaska Ngobo untuk ngecek, barangkali tab terjatuh disana dan belum diambil orang.



Sekitar pukul 11.00 Ranz sampai di Alaska, melihat celingukan kesana kemari ngecek apakah tab-ku tergeletak somewhere disana, atau jika diambil orang, ada orang yang bisa dia 'curigai' untuk mengambil dan menyimpannya untuk dikembalikan ke aku. Ranz tidak melihat penampakan tabku somewhere, namun dia melihat ada satu orang yang berulang kali memandangnya dengan sorot mata heran. Suasana Alaska sudah ramai saat Ranz sampai sana. Karena tidak menemukannya, Ranz kembali ke gerbang masuk WGP tempat aku menunggunya sambil berharap semoga tab masih rezekiku.



Panik, lemas, menyesali kecerobohan sendiri membuatku linglung waktu ditanya apakah aku akan tetap ingin masuk ke WGP atau lanjut pulang saja. Namun, hal pertama yang harus kita lakukan adalah 'menyelamatkan' akun media sosial yang ada di tab agar tidak disalahgunakan si penemu tab. Maka, kita berdua duduk-duduk di tembok rendah yang ada disitu, aku mengganti password facebook dan instagram, menulis pengumuman di facebook tentang kehilangan itu. Saat itu, Ranz ngecek hp-nya dan terkejut waktu menerima voice message di WA-nya, message itu dikirim dari nomor WA-ku yang ada di tab. Voice message dikirim sekitar pukul 10.30. message itu berbunyi, "maaf mbak/mas, saya menemukan hp ini di karetan Ungaran, tapi ga tahu ini milik siapa." dengan penuh harapan, Ranz membalas message itu, namun tidak berbalas. Aku mencoba menelpon nomorku di tab itu, namun malah jawaban yang kuterima, "panggilan dialihkan". Beberapa saat kemudian, malah nomor sudah tidak bisa kutelpon, nampaknya tab mati.



Antara berharap bahwa si penemu benar-benar beriktikad baik untuk mengembalikan tab, namun juga pesimis apakah benar-benar si penemu mau melakukannya, akhirnya Ranz memutuskan untuk menghindari hal-hal yang tidak bisa kita antisipasi, dia me-reset tab itu dari jauh, setelah aku mengizinkannya. Meski aku sudah mengganti password facebook dan instagram, nomor WA di tab itu masih bisa digunakan.



Kebetulan saat ini, hujan turun dengan deras. Kita pun berlindung ke satu warung makan yang ada di luar kawasan WGP. Ranz memesan satu porsi mie ayam, satu gelas es teh, aku memesan satu gelas teh hangat. Kita berlindung dari hujan sekitar satu jam, hingga hujan berhenti dan sinar matahari terlihat. Setelah meyakinkan bahwa mood-ku sudah membaik dan aku masih mau masuk ke WGP, Ranz mengajakku ke pintu masuk WGP. (duh, menulis ini mendadak jadi ingat kejadian kamera Ranz dicuri orang saat kita mbolang ke Bali. Saat itu Ranz juga masih mau melanjutkan perjalanan gowes ke GWK, padahal kesana tanjakannya lumayan curam dan jarak masih jauh dari gapura masuk ke Univ Udayana tempat kamera Ranz dicuri orang.)










Tiket masuk WGP Rp. 15.000,00. WGP ini nampaknya cocok buat arena main anak-anak selain spot spot instagrammable buat para remaja dan dewasa. Sayangnya saat ini mendung menggayut di langit sehingga gunung Ungaran dan gunung-gunung lain yang seharusnya terlihat anggun tertutup awan.



Ranz dan aku meninggalkan lokasi sekitar pukul 14.45 setelah kita rasakan gerimis tipis kembali menyentuh kulit kita. Kita tidak mengambil jalan yang sama dengan jalan kita datang. Kita langsung menuju jalan raya yang menghubungkan Ungaran - Bawen. Saat sampai di jalan raya, di seberang kulihat ada halte Trans Jateng Ngobo. Jadi kalau kesini lewat jalan raya, itulah petunjuk kita belok kiri menuju WGP. :)


Saat melewati satu minimarket, Ranz mengajak mampir. Dia butuh membayar online shopping yang dia lakukan (shhhttt … out of the blue, dia beliin aku satu tab pengganti tab yang hilang di Alaska) disini gerimis masih terasa hanya menggoda, tipis tipis saja. Namun tak lama setelah kita melanjutkan perjalanan, mendadak hujan melebat. Kita pun buru-buru mencari tempat berteduh. Kita bawa mantel tapi hujan terlalu lebat sehingga kita memilih menunggu. Mungkin waktu menunjukkan pukul 15.50.



Jam 16.15 hujan tetap deras. Ranz mulai gelisah; dia paling tidak suka kita masih di jalan raya jika cuaca telah gelap. Mana kita berada di jalan yang memungkinkan kita disalip kendaraan-kendaraan besar, seperti bus dan truck. Pukul 16.25 kita meninggalkan lokasi. Kita berdua sama-sama mengenakan mantel. Hujan yang lebat ternyata dengan mudah membuat kita menggigil kediginan. Perutku pun kian keroncongan.



Kita sampai di resto SS Ungaran sekitar pukul 16.45. hujan sudah menipis tinggal gerimis. Karena kelaparan membuatku ga mampu terus melaju :D namun ternyata kata Ranz tanjakan dari situ tinggal sedikit. Tak jauh dari situ kita akan sampai gapura selamat jalan. Ya sudah, kita makan saja dulu. But to our disappointment, kita harus menunggu lama. Sampai pukul 17.30 belum ada tanda2 pesanan kita datang, minuman yang kita pesan pun belum datang. Ranz pun gelisah. Minuman kita (aku pesan segelas jeruk nipis panas, Ranz segelas es the) datang pukul 17.35. aku pun mengultimatum jika makanan belum diantar pukul 17.45 kita akan cancel pesanan. Untunglah ga lama kemudian makanan kita datang.



Pukul 18.20 kita keluar resto. Meski langit masih terlihat sedikit terang, Ranz sudah ngomel; kita bakal nyampai Semarang kemalaman. Karena hujan sudah berhenti, kita melanjutkan perjalanan tanpa mengenakan mantel. Namun, sesampai kita di sekitar pagoda Buddhagaya, Ranz komplain: kampas rem Austin habis! Jika dia mengerem, velg ban belakang Austin akan tergerus. She did NOT like such a situation. Dia kian ngomel. Hihihi. Dia bilang sesampai Banyumanik dia akan memesan go box yang akan membawa kita turun ke arah BKB.



Benar, sesampai area Banyumanik, Ranz mengajak berhenti, mencoba memesan go box. Aku sempat memintanya naik bus Taruna/Safari saja, kan sudah melebihi maghrib, bus itu masuk kota, sementara aku terus melaju naik Cleopatra. Ranz tidak mau. Dia tidak membolehkanku menuruni Gombel dalam kondisi gelap gulita dengan jalan basah yang mungkin bakal licin. Akan tetapi setelah panggilan go box-nya tidak ada menyambut, Ranz mengalah, kita lanjut gowes.



Sesampai Srondol, hujan melebat lagi. Kita pun mengenakan mantel lagi.


Alhamdulillah kita sampai kosnya Ranz pukul 20.00 safe and sound.


Dan Ranz bilang andai aku mengajak gowes ke WGP lewat Alaska Ngobo, dia bersedia menemani lagi. Aku masih penasaran andai tab tidak hilang, jarak di strava akan menunjukkan berapa kilometer dan berapa mdpl elevasi gain yang kita hasilkan. Ohh … maklum, aku ini pengabdi strava. Hohoho …



LG 12.12 28-Januari-2020

Rezeki




Duluuu, aku memang teledor banget. Saat masih duduk di bangku SMA maupun kuliah, beberapa kali kehilangan STNK dan SIM, sampai ayahku (mungkin) kesal. Hihihi … bukan masalah uang yang harus dikeluarkan lagi untuk mendapatkan STNK dan SIM pengganti, namun ribetnya ngurus lagi itu …



Sudah lamaaaaaaaa aku ga mengalami kehilangan yang disebabkan keteledoranku sendiri ini. Mungkin karena itu, aku kembali dijewer Sang Semesta bahwa aku harus menjaga apa yang sebenarnya masih milikku dengan sebaik-baiknya.



Sabtu 25 Januari 2020 kemarin, aku dan Ranz bersepeda ke Ungaran, tepatnya ke daerah Ngobo. Aku kepengen dolan ke Watu Gajah Park, satu destinasi wisata yang dikunjungi adik2ku dan keponakan waktu arisan RT. Aku tidak bisa ikut waktu itu karena sedang dolan ke Sragen, berpartisipasi dalam acara launching Lempitan Sragen. Kebetulan waktu aku dan Ranz dolan ke Curug Gending Asmoro dan Candi Ngempon beberapa bulan lalu, Ranz sudah melihat papan petunjuk ke WGP, jadi ga perlu repot-repot mencari lokasinya di google map.



Otw ke WGP, kita melewati Alaska, Ngobo. Bagi orang kota, (uhuk) tentu hehijauan hutan karet ini menggoda untuk mampir berfoto-foto. Akhir-akhir ini aku sudah lumayan jarang mengeluarkan tab untuk memotret waktu kita sedang perjalanan somewhere bersepeda, biar Ranz saja yang memotret. Namun, entah kali itu aku mengeluarkan tab, memotret Austin, langsung mengunggahnya ke facebook, dan kemudian memasukkannya kembali ke dalam tas pannier yang nangkring di rak seatpost Cleopatra. Beberapa kali seperti ini, dan … aku lupa menutup restletingnya!



Waktu sudah sampai di gerbang masuk WGP, aku berhenti untuk ngecek strava sudah berapa kilometer aku bersepeda. Nah, saat itulah aku nyadar bahwa tab tidak ada dalam tas pannier dan restleting belum kututupkan. :( mengetahui hal ini, Ranz langsung ngacir gowes balik ke Alaska lagi. Tadi waktu kita meninggalkan Alaska, situasi masih lumayan sepi. Siapa tahu masih rezekiku kan ya.



Sekitar 30 menit kemudian Ranz balik ke tempatku menunggu sambil berharap-harap cemas. Begitu melihat wajahnya yang kusut, aku tahu, tab tidak dia temukan. :(


*****


Kita sampai ke kos Ranz malam itu pukul 20.00. hujan lebat menyebabkan perjalanan kita terhambat. Sampai kos, aku ngecek WA di hp, Angie ternyata mencoba menghubungiku sejak jam 18.00. dia dihubungi oleh seseorang yang mengaku menemukan tab-ku di Alaska Ngobo. Sebagai bukti dia jujur dia mengirim foto penampakan tab dan foto ktp-nya. Dia tinggal di daerah Karangawen, Demak. Angie memberitahuku nomor telepon si penemu. Aku langsung menghubunginya, mengirim fotoku waktu berada di Alaska, sebagai bukti bahwa memang aku ke Alaska.



Minggu 26 Januari 2020, setelah menghadiri satu acara di rumah seorang sahabat, aku, Angie, dan Ranz -- ditemani Asrul -- berangkat ke Karangawen, mencari alamat rumah si penemu -- sebut saja namanya Hana.


In short, alhamdulillah, tab sudah kembali dengan selamat. Sehari sebelumnya, Ranz sudah meresetnya dari jarak jauh, sehingga semua data dan aplikasi yang ada di tab hilang semua. Untung nomor telpon Angie masih tertera di tab (yang kuberi nama 'Anakku') sehingga Hana -- gadis jujur yang baru berusia 20 tahun -- menghubungi nomor Angie untuk memberitahu bahwa dia menemukan tab.


Masih ada orang jujur di bumi ini. I am very touched and emotional.


LG 14.44 27-Januari-2020


N.B.:
tulisan tentang sepedaannya tunggu yaaa. 


Kamis, 16 Januari 2020

Samori Kulineran

11 Januari 2020


Sabtu pagi aku bersepeda kulineran sendiri, sementara Ranz masuk kerja. Sudah cukup lama aku tidak menikmati sarapan soto segeer Hj. Fatimah yang warungnya terletak di Jl. Bhayangkara, seberang kantor LB - LIA Surakarta. 😊 biasanya aku terhalang rasa mager, untunglah kali ini tidak. 😛



Aku berangkat dari rumah Ranz yang terletak tak jauh dari pasar oleh-oleh Jongke - Laweyan sekitar pukul 08.00. Aku langsung menuju Jl. Bhayangkara. Ternyata warung ini terletak kurang lebih 3,1 kilometer dari rumah Ranz. entah karena itu hari Sabtu, atau karena bisa dikatakan hari masih cukup pagi, tidak kulihat banyak orang ngantri tempat duduk. 😎 tanpa kesulitan, aku langsung menemukan tempat kosong tak jauh dari pintu masuk. seperti biasa aku memesan soto ayam, untuk minum aku memilih teh panas. Honestly, soto ayam disini lebih enak dibanding soto segeer Mbok Giyem yang terletak di Salatiga. kuahnya mungkin sama-sama segar dan nikmat, namun karena ada taogenya yang menurutku tidak cocok berada di soto ayam yang berkuah bening, rasa nikmatnya jadi berkurang. 😏 karena suasana tidak begitu penuh, aku sengaja duduk-duduk cukup lama meski sotoku sudah habis. selain soto ayam satu mangkuk, aku juga makan tempe mendoan dan sosis Solo. setelah itu aku sempat memesan es teh manis. tehnya lumayan enak, meski tidak seenak es teh di warung soto langganan Pak Jokowi yang juga terkenal itu.





Setelah meninggalkan warung soto Hj. Fatimah, aku bersepeda ke arah Jl. Slamet Riyadi. Aku memotret Austin dengan latar belakang tulisan I 💓 SOLO, juga di trotoar yang lebar dan nyaman di dekat situ. Selanjutnya aku bersepeda ke arah Galabo. Di ujung Jl. Slamet Riyadi itu, aku belok kiri, terus lurus, sampai ada satu petunjuk STADION MANAHAN, aku belok kiri. Terus mengikuti jalan, aku sampai di flyover Jl. Kota Barat. Aku menaiki flyover ke arah kanan, turun, kemudian memotret Austin dengan background mural yang ada di dinding flyover.



Setelah itu, aku menyusuri jalan di pinggir rel kereta api. Ternyata jalan ini membawaku ke arah Kerten. Aku belok ke Jl. Slamet Riyadi, kemudian mlipir di pinggir rel kereta api lagi, di sisi yang berbeda, mencari lokasi pura Indra Prasta yang pernah "kutemukan" bersama Ranz beberapa bulan lalu. Dari sana, aku bersepeda ke arah Jl. Dr. Radjiman. Sesampai pertigaan pasar oleh-oleh Jongke, aku belok ke Jl. Agus Salim. Saat ngecek strava sudah berapa kilometer aku bersepeda, Ranz menawariku maksi di warung bakmi toprak. Aku langsung menuju kesana.


Honestly, aku tidak begitu bisa menikmati rasa mie toprak sejak pertama Ranz mengajakku mencoba makanan khas Solo ini di tahun 2011; meski aku terus berusaha mencari nikmatnya sebelah mana setiap Ranz mengajakku makan mie toprak. akhirnya aku 'menyerah' setelah membaca status seorang kawan yang tinggal di Solo setelah menikahi seorang laki-laki Solo sekian puluh tahun lalu: dia tidak bisa menikmati mie toprak, karena rasanya super campur-campur ga karuan. hihihi ... Kali ini, aku tidak memesan mie toprak. Sembari menunggu Ranz datang, aku memesan satu porsi es dawet gempol pleret.

es dawet gempol pleret

sup matahari

Setelah Ranz datang, dia heran mengapa aku hanya memesan minum.  Aku beralasan perutku masih kenyang, (memang masih kenyang sih) Ranz pun memesan es dawet gempol (tanpa pleret), dan satu porsi mie toprak. semula aku hanya akan 'mencicipi' mie toprak pesanan Ranz; tapi setelah tahu bahwa warung itu juga menawarkan sup matahari, aku pesan sup matahari satu porsi. bayanganku sup matahari -- tanpa nasi -- tidak akan membuat perutku kenyang. 😊


Setelah itu Ranz kembali ke kantornya, aku kembali besepeda; perutku terlalu penuh jika aku langsung balik ke rumah Ranz dan siap-siap berangkat ke Sragen. Aku sempat bersepeda sejauh kurang lebih 9 kilometer, kemudian aku pulang ke rumah Ranz.

Kisah selanjutnya bisa dibaca disini. 😀

Selasa, 14 Januari 2020

From Semarang to Solo with love in 2020



Sejak tahun 2018, aku punya 'ritual' tahunan, yaitu bersepeda dari Semarang ke Solo; aku berangkat sendiri sampai Bawen, Ranz menjemputku disana; Dari Bawen, kita baru gowes bareng.


Kisah bermula di tahun 2018 ketika aku dkk akan menghadiri acara ultah Seli Solo yang ke-8, kita kehabisan tiket KA Kalijaga. Waktu itu belum ada KA Joglosemarkerto, jadi jika tidak naik KA Kalijaga, alternatif moda transportasi lain adalah naik bus. Honestly, jika bawa sepeda lipat, lebih nyaman naik kereta ketimbang naik bus. Maka, ketika ditawari Avitt untuk gowes ke Solo, aku langsung mau. Tapi, karena mereka berangkat hari Jumat, sedangkan aku baru bisa berangkat hari Sabtu, Ranz mengalah dengan menjemput kita di 2 hari yang berbeda. Ranz menjemput Avitt dan Hesti di terminal Boyolali, Ranz menjemputku di Bawen.


Di tahun 2019, Ranz menawariku bersepeda lagi; dia tetap menjemputku di Bawen. Kali ini Ranz tidak bisa menjemput hari Sabtu, maka aku berangkat hari Jumat.


Aku dan Ranz tercatat sebagai peserta launching komunitas sepeda lipat di Sragen -- mereka memilih nama Lempitan Sragen  -- yang diselenggarakan pada hari Minggu 12 Januari 2020. Semula aku berencana berangkat hari Sabtu 11 Januari 2020 naik KA Joglosemarkerto (KA Kalijaga sudah berhenti dioperasikan :( ), namun ternyata kelasku kosong di hari Sabtu, maka aku memutuskan berangkat hari Jumat. Semula akan naik kereta yang berangkat pukul 14.50. Tapi, Ranz menyarankan aku naik 'travel' agar bisa berangkat pagi. Dan, begitu saja, aku berpikir mengapa ga nyepeda saja? Yuhuuu … dalam rangka melanjutkan 'ritual tahunan gowes Semarang - Solo'.


10 Januari 2020


Di pagi hari, mendung menggayut di langit malu-malu. Well, tapi bukankah orang-orang tahu bahwa mendung tak berarti akan turun hujan? Aku meninggalkan rumah menjelang pukul 07.00, setelah menyelesaikan pekerjaan rumah di pagi hari. Seperti biasa, di awal gowes, rasanya pasti masih aras-arasen (enggan, bahasa Jawa, lol). Hawa mendung ini memiliki 2 fungsi yang berkebalikan (1) perasaan kian males lol (2) untung tidak panas, jadi lumayan lah mengayuh pedal menuju arah Selatan Semarang yang treknya didominasi tanjakan.


Sampai di depan sekolah Don Bosco, Kaliwiru, aku mulai merasakan titik-titik gerimis. Looooh, gerimis! Masih teringat waktu bersepeda pulang dari Ngawi menuju Solo, gerimis yang tak kunjung habis, hingga sesampai Solo, jelas aku basah kuyub. Kembali niatku (sedikit) mengendur, aku lanjut gowes ga ya? Tapi, aku ga yakin apakah BRT mau mengangkut penumpang yang membawa sepeda lipat. Males jika harus berdebat boleh atau tidak. Hmfttt …


Akhirnya aku memilih terus mengayuh pedal. Untunglah sesampai pasar Jatingaleh, gerimis pun berangsur menghilang.


Ranz mengabariku dia telah sampai di terminal Bawen (dia naik bus) pukul 08.15. padahal aku mengajaknya janjian bertemu disana pukul 09.00.


Akhirnya aku sampai di Bawen pukul 09.10. istirahat sebentar, aku membeli air mineral karena bidonku sudah kosong. Pukul 09.30 kita melanjutkan gowes ke arah Salatiga.


Sekitar pukul 10.00 kita sampai di warung soto segeer Mbok Giyem yang terletak tak jauh dari tugu bertulisan SALATIGA SMART. Sebenarnya pinginnya sarapan di warung soto segeer Hj. Fatimah di Boyolali, tapi perut sudah telanjur keroncongan, hihihi. Dan Ranz mengaku kedinginan dalam bus, dia butuh sesuatu untuk menghangatkan tubuhnya.


Setelah sarapan, kita melanjutkan perjalanan lagi. Aku suka bersepeda lewat kota Salatiga, jadi ingat di tahun 2015 aku, Ranz, Tami, dan Om Dije gowes menuju Solo untuk menghadiri jamselinas 5. Kita berhenti di satu gerai fastfood untuk ngemil. Ga lama setelah melanjutkan perjalanan, ternyata kita masih kelelahan, lol, kita berhenti lagi mampir di satu mini market, dimana aku beli cappuccino. Kita sempat ngobrol bagaimana jika kita loading saja, lol. Tapi, kasihan Om Dije kita tinggal sendiri, karena dia naik sepeda federal yang tidak bisa dilipat. Lol. Kenyataannya tentu saja kita lanjut bersepeda sampai Solo saat itu.


Jika tahun lalu Ranz mengajakku mampir di satu toko yang berjualan gethuk di area kota Salatiga, kali ini dia tidak mengajakku mampir kemana-mana. Kita terus mengayuh pedal. Satu kenikmatan bersepeda di saat hari mendung, kita tidak mudah merasa haus, dan tenaga tidak cepat habis karena diserap sinar matahari yang terik. Tidak enaknya kali ini adalah, Ranz tidak sigap memotret, lol, kebiasaan 'buruknya' jika kita menapaki jalan yang sama lagi, dia tidak merasa perlu memotret. Hadeeeh.


Mendung yang menutupi seluruh langit dengan rata pun menutupi pemandangan gunung yang sempat terlihat saat kita masih di Bawen. Tambah ga ada keperluan berhenti di pinggir jalan untuk berfoto.

Aku berhenti ketika kita sampai di gerbang Selamat Datang di Boyolali. Hwaaaah … cepet amat yak rasanya. Lol. Aku berhenti untuk memotret Austin, namun ternyata di saat yang sama, gerimis mulai terasa. Berpikir bahwa mungkin gerimis kali ini akan tahan lama -- tidak seperti di pagi hari waktu aku masih di Semarang -- aku menutupi tas pannier dengan 'tas kresek', dan aku mengenakan mantel.


Gerbang Selamat Datang di Boyolali itu ternyata terletak di 'ujung' tanjakan Ampel (jadi ingat waktu gowes Solo - Semarang di bulan Mei tahun 2012, waktu itu Ranz bilang, "Jika kita sudah melewati tanjakan Ampel, trek berikutnya sudah terasa lebih bersahabat, lol). Dari situ, trek turunan panjang menanti. Nah, karena aku mengenakan mantel yang lumayan kebesaran ukurannya untuk tubuhku, saat berpapasan dengan bus yang ngebut dari arah berlawanan maupun yang menyalip dari belakang, kurasakan tubuhku oleng. Duh, ga aman banget. Itulah sebabnya ketika kurasakan gerimis berhenti, aku berhenti untuk melepas mantel.



Sesampai lokasi yang ada 'tugu' berupa patung sapi, aku mengajak Ranz berhenti untuk foto-foto. Karena sudah pernah berfoto disini di tahun 2018 & 2019, Ranz berpikir aku sudah ga ingin berfoto disini lagi. Lhooo … kan occasionnya beda! Ya toh? Hihihi …


Jika di tahun 2018 dan 2019 aku mengajak berhenti di satu mini market setelah foto-foto di patung-patung sapi, kali ini kita ga merasa perlu berhenti di mini market. Minuman di bidon masih ada, energi belum begitu terkuras karena tak ada sinar mentari yang terik.


Melewati pertigaan Kartasura, Ranz sempat bertanya apakah aku masih kenyang. Well, meski tidak begitu terasa lelah, ternyata perutku lapar! Lol. Dan Ranz pun merasa lapar. Tahun lalu kita makan di satu warung sate kambing, tapi tahun ini aku merasa mulai butuh menghindari sate kambing, meski bisa dikatakan aku super jarang makan daging kambing. Ketimbang bermasalah dengan kolesterol tinggi, mending menghindari deh.


Ketika sedang memilih-milih kira-kira mau berhenti di warung apa, mendadak ban belakang Pockie -- sepeda yang dinaiki Ranz -- gembos. Bannya tidak tertusuk paku, namun sesuatu yang tajam yang lebarnya sampai kira2 1 cm. Kebetulan tak jauh dari situ, ada toko sepeda. Kusarankan beli ban luar dan dalam sekaligus saja, namun Ranz yang sering berpikir ngirit bilang, "Aku tuh punya ban luar untuk Pockie."


Aku bertanya, "Di rumah?"


Ranz: "Di kos Semarang."


Gubraaaaxxx.


Aku, "Lha terus bagaimana? Kita nuntuk sepeda sampai rumahmu?"


Ranz, "Naik BRT sampai Purwosari."


Aku, "Ya sudah, kamu naik BRT, aku tak lanjut mengayuh pedal Austin. Ini tinggal lurus saja mengikuti jalan dan kita akan sampai Purwosari kan?"


Ranz, "hhhh … ya sudah, aku beli ban baru saja."


Xixixixixixi …


Kita mampir di satu toko sepeda, membeli ban sekaligus meminta dipasangkan di roda belakang Pockie. Untuk ini, Ranz harus merogoh kocek Rp. 85.000,00 untuk ban luar, ban dalam (merek swallow) dan biaya memasang.


Setelah melanjutkan perjalanan, gerimis kembali terasa. Ranz pun ga jadi mengajakku mampir ke satu warung makan karena khawatir kehujanan. Sampai kita di Purwosari, ternyata gerimis tipis tetap tipis, syukurlah. Ranz mengajakku mampir di satu warung makan dimana aku bisa memesan capcay Solo sedangkan dia memesan gongso campur.

Usai makan, kucek jarak di stravaku menunjukkan angka 98 kilometer. Ranz pun langsung mahfum, mengajakku berputar sebentar, tidak langsung pulang menuju rumahnya, agar stravaku mencapai angka 100 kilometer. Horraaay.


Kurang lebih pukul 15.30 kita sampai rumah Ranz, dengan jarak tempuh di strava 100,9 kilometer. Setelah masuk rumah, terdengar suara bressssssss, turun hujan yang sangat lebat!

Perjalanan kita hari ini dikarunai dengan mendung yang sangat bersahabat, bahkan hujan pun menunggu sampai kita sampai rumah. Alhamdulillah.

LG 15.08 13-Januari-2019

Launching LemP!Tan Sragen


Rencana di hari Sabtu 11 Januari 2020 untuk berangkat ke Sragen ada dua. (1) Gowes, jika Ranz bisa meninggalkan kantor lebih awal ketimbang jam kerjanya (2) Jika kesorean, minta tolong kakak Ranz untuk mengantar kita ke Sragen. Ternyata, kita tidak bisa melakukan keduanya. Lol. Ranz tidak bisa meninggalkan kantornya lebih awal, misal jam 12.00, dan ternyata mobil orangtua Ranz sedang dipinjam tetangga yang sedang punya gawe.


Setelah sempat berpikir untuk naik bus Trans Solo sampai Palur, kemudian baru bersepeda dari sana, kita akhirnya malah naik taksi online agar cuaca yang tidak mendukung : gerimis turun. Kita berdua sempat melipat sepeda lipat yang kita bawa dan menunggu bus di satu halte BST (Batik Solo Trans) dekat stasiun Purwosari. Setelah menunggu kurleb 15 menit, (waktu itu pukul 14.30) dan langit mendung sekali, akhirnya Ranz memutuskan kita lebih baik langsung naik taksi online saja.


Kita kembali unfold Austin dan Pockie, menaikinya sampai kira-kira 200 m jauhnya dari stasiun Purwosari, baru Ranz memesan taksi online.. Sesampai Palur gerimis menderas. Sesampai area Masaran, hujan turun deras sekali. Meskipun begitu,  perjalanan menuju Sragen lancar. Kita sampai Hotel Surya Sukowati sebelum pukul 16.00. Hujan masih turun.


Malam itu kita keluar sebentar untuk mencari makan; Ranz kelaparan. Meski bisa dikatakan hotel Surya Sukowati tidak terletak di pusat kota, masih sekitar 3 kilometer dari alun-alun Sragen, untuk mencari rumah makan mudah sekali di area hotel; kiri kanan dan seberang jalan ada banyak warung makan, tinggal pilih mau makan dimana.


Minggu 12 Januari 2020


Ranz memulai ritual paginya sekitar pukul 04.30 sementara aku masih leyeh-leyeh di tempat tidur. Hujan semalam membuat hawa malas bangun pagi. Hohoho … oh ya, kita memilih kamar standar dengan fasilitas double bed, meja, lemari, AC, kamar mandi dalam (air pancuran tanpa air panas) dan sarapan, yang berharga Rp. 200.000,00.



Sementara aku mulai mempersiapkan baju yang akan kupakai dan memberesi baju kotor; petugas hotel telah mengantar sarapan, sekitar pukul 04.50. wah … pagi sekali! Padahal sehari sebelumnya, aku minta diantar sarapan pukul 05.30. pihak hotel sendiri memiliki jadual sarapan pukul 06.00 - 09.00.  Setelah Ranz selesai mandi, gantian aku yang mandi.


Pukul 05.50 kita telah meninggalkan hotel. Ternyata kawan-kawan Jogja Folding Bike juga menginap di hotel yang sama dengan kita.  Tikum event pagi ini di Technopark, kurang lebih 2 kilometer dari hotel. Lumayan, ga jauh.


Panitia semula menargetkan memberangkatkan pasukan pukul 06.00. namun karena pagi itu memang hawanya bikin orang pinginnya malas-malasan, lol, akhirnya kita diberangkatkan pukul 06.30, setelah ibu Bupati membuka acara secara resmi.


Kawan-kawan dari komunitas banyak kota telah mengayuh pedal sepeda masing-masing dengan kecepatan penuh; sementara itu kawan-kawan Komselis 'terhenti' sebelum meninggalkan area Technopark gegara melihat om Budenk Budianto dan om Lonta Kombla baru datang. Kawan-kawan heboh mengelu-elukan mereka. Lol. Akhirnya ya begitu deh, kita selalu berada di barisan paling belakang, lol.


Trek yang dipilih oleh panitia melewati sawah-sawah dengan penampakan Gunung Lawu dari kejauhan. Selain itu kita juga lewat tengah hutan yang mengingatkanku pada hutan Mantingan yang kulewati on the way ke Ngawi. Kebetulan juga hari itu cuaca lebih sering mendung ketimbang panas menyengat jadi benar-benar enak buat bersepeda ramai-ramai. Dan karena rombongan Komselis berada di urutan belakang, sweeper dan marshall pun menunggu kita dengan sabar; hingga kita tidak sampai kesasar. Lol. Kawan-kawan Sepeda Lipat Magelang sempat kesasar je. Lol.


Rombongan Komselis sampai pitstop pertama Waduk Kembangan sekitar pukul 07.40, tidak terlalu meleset jauh dari prakiraan panitia. Dari sana kita melanjutkan perjalanan ke Gedung Korpri Kedawung dimana panitia menyediakan sedikit cemilan -- kacang rebus -- dan air mineral dalam galon-galon; peserta bebas mengisi bidon masing-masing dengan air yang sudah disediakan.


Rute menarik berikutnya adalah Jembatan Gantung dimana kita harus mengantri untuk lewat. Jembatan gantung ini hanya kuat dilewati maksimal 10 orang, sehingga kita pun harus mengantri dengan sabar.


Setelah melewati jembatan gantung ini, panitia menyediakan mobil pickup buat peserta yang ingin loading ke titik semula. Namun tidak banyak yang memanfaatkan mobil untuk loading ini.


Kita semua kembali ke technopark sebelum pukul 10.00, sesuai dengan harapan panitia. Alhamdulillah semua sampai safe and sound.


Untuk sarapan panitia menyediakan soto ayam dan jangan tumpang dengan krupuk gendar yang nampaknya legendaris di kota Sragen. Ada air mineral, juga ada the hangat plus es batu jika ada yang ingin es the.


Acara hiburan dan bagi-bagi door prize selesai pukul 11.30.


Dan sesuai rencana, aku dan Ranz kembali ke Solo dengan mengayuh pedal Austin dan Pockie. Cuaca kadang masih mendung kadang muncul sinar matahari, meski tidak terlalu terik. Aku sama sekali tidak terserang kantuk mungkin karena saat di hotel aku sempat minum kopi hitam: aku memang memesan kopi hitam untuk teman sarapan.


Alhamdulillah pukul setengah dua kita berdua telah sampai di area Laweyan. Karena haus, kita mampir ke angkringan untuk beli minum. Aku minum dua gelas es the dengan ngemil jajanan yang kuambil dari acara launching Lempitan Sragen. Hihihi …


Sorenya, Ranz mengantarku kembali ke Semarang, dengan meminta tolong kakaknya untuk menyetir mobil.


Sampai bertemu di event launching komunitas sepeda lipat di kota lain: Grobogan, Salatiga, Ngawi, Madiun, mmm … mana lagi? Hihihi …


LG 15.37 14-Januari-2020

Rabu, 08 Januari 2020

Gowes Hari Ibu 2019



Atas support seutuhnya dari B2W Indonesia, untuk pertama kali, B2W Semarang mengadakan event gowes bareng dalam rangka turut memperingati Hari Ibu. Kebetulan tahun ini 22 Desember yang merupakan tanggal yang dipilih sebagai "hari ibu" jatuh pada hari Minggu, maka kita pun bersepeda bersama tepat di tanggalnya.

Dalam event ini B2W Semarang mendapatkan donasi untuk door prizes khusus dari Zuna Gloves dan Element Bike. Tak kurang dari 100 orang, tua muda, laki-laki perempuan turut berbahagia bersepeda bersama mengikuti rute yang telah dipilih. Alhamdulillah meski sudah masuk musim hujan, 22 Desember 2019 pagi itu cuaca cerah.

Berikut foto-foto hasil jepretan Ranz. :)















































P.S.:

Special thanks buat nte Ria Serbeje yang telah ngoyak2 aku bikin proposal event, hahahahah ...