Cari Blog Ini

Senin, 27 Agustus 2012

BIKEPACKING LIBUR LEBARAN 2012 : GOWES AKAP SEMARANG KE TUBAN (Day 4)

Day 4 Explore Tuban dan pulang 25 Agustus 2012

Sempat tergoda untuk melanjutkan gowes ke Wisata Bahari Lamongan yang berjarak kurang lebih 40 kilometer dari alun-alun Tuban, namun terkendala tidak mudah mendapatkan bus untuk balik ke Semarang langsung dari WBL, kita akhirnya kembali ke rencana semula: explore Tuban saja. Ada sebuah goa yang terkenal terletak tak jauh dari tempat kita menginap. Setelah sarapan, kita mandi, kemudian packing. Tak lama setelah selesai packing, seseorang yang memang kuharapkan menghubungiku: Yoni. Wahhh ... Yoni langsung menyanggupi untuk menemuiku di hotel yang ternyata dulunya adalah rumah sakit bersalin, tempat adik Yoni dilahirkan. Yoni pun sekaligus bernostalgia dimana katanya dia pernah menceburkan diri ke kolam ikan di depan kamar dimana adiknya dilahirkan karena merasa cemburu. :-P

di depan hotel BASRA

Setelah check out, Yoni mengajak kita bedua untuk ke rumahnya. “Masak sudah sampai Tuban, ga nyempatin main ke rumahku?” protesnya. Ya sudah kita mampir. Sesampai rumahnya, kita disuguhi beberapa kue khas lebaran sebangsa nastar, sumpia, namun juga ada beberapa klethikan khas Tuban yang sekarang aku lupa namanya. :) Yang menarik ketika berkunjung ke rumah Yoni adalah dia memamerkan sepeda yang frame-nya terbuat dari kayu, buatan kakeknya sendiri.


Orangtua Yoni menawari kita berdua untuk menginap malam itu baru hari Minggu pagi kita balik ke Semarang. Namun tawaran menarik itu terpaksa kita tolak karena aku bilang ke orang rumah aku akan pulang hari Sabtu; apa lagi Ranz keberatan jika dia harus langsung mengadakan perjalanan Tuban – Semarang – Solo at a stretch. Setelah pamitan kepada orangtua Yoni, Yoni mengawal kita menuju Goa Akbar.


 

Tuban terkenal dengan semboyannya “”kota seribu goa”. Goa Akbar hanya merupakan salah satu goa yang kebetulan berada di tengah kota. Yang menarik adalah di atas goa ini ada bangunan pasar yang telah ada selama puluhan tahun. Selain itu, di dalam goa pun ada tersedia musholla untuk pengunjung. Ini adalah kali pertama aku berkunjung ke sebuah goa yang lumayan besar, dengan stalagtit dan stalagmit yang menarik. Goa Akbar ini sudah ditata sedemikian rupa sehingga pengunjung tinggal menyusuri jalan setapak yang sudah disediakan di dalam, dengan pagar yang dibangun di sebelah kiri kanan jalan. Sepanjang berjalan kaki menelusuri goa, aku teringat novel silat bacaanku waktu kecil dimana banyak dikisahkan sang tokoh bersembunyi di dalam goa, atau mereka telah menata satu sudut goa dengan nyaman untuk dijadikan tempat mereka tidur.


Pemerintah Tuban mengelola goa ini dengan cukup baik, menurutku, dengan tiket masuk yang lumayan murah, hanya lima ribu rupiah per orang. Di dalam goa pun tersedia lampu-lampu warna-warni sehingga suasana tidak begitu gelap dan seram. Di beberapa titik atap goa ada air yang menetes, dan di beberapa titik lain juga ada sumber air asli yang kemudian diatur alirannya dengan memasang kran. Goa ini cukup ‘akbar’ karena dengan berjalan pelan, jepret sana jepret sini, sambil mengamati beberapa titik, kita butuh waktu sekitar satu jam untuk mengeksplore.


Keluar dari goa, sekitar pukul satu siang. Karena lapar, kita pun menuju sebuah rumah makan sederhana yang kata Yoni harganya super murah. Dan memang benar! Untuk makan kita bertiga siang itu dengan menu nasi pecel, mendoan, telur ceplok (untukku), ikan pindang (untuk Ranz), dua gelas es teh, satu gelas es kacang hijau, dan satu gelas teh panas, kita hanya bayar Rp. 17.000,00. YA! Hanya tujuhbelas ribu rupiah saja.



Jam dua kelar makan siang, Yoni menawari apakah kita ingin explore ke tempat lain lagi. Dia akan mengajak kita ke tempat tujuan wisata yang untuk menuju lokasinya kita butuh waktu satu jam gowes santai. Wah ... ga usah sajalah. Maka dari sana, Yoni hanya mengajak kita gowes keliling kota, menunjukkan satu toko sepeda yang khusus berjualan sepeda merek P*l***n, kemudian langsung ke terminal lama tempat kita menunggu bus.


Sampai di terminal lama sekitar pukul tiga sore. Aku berharap untuk naik bus PATAS, namun karena jadual lebaran yang tidak seperti biasa, kita menunggu lumayan lama. Ketika sebuah bus patas melintas, Yoni bertanya harga tiket berapa, dan ternyata kondektur bus meminta kita membayar satu setengah harga tiket untuk satu orang plus satu sepeda, dimana kita harus merogoh kocek sekitar Rp. 270.000,00 aku berubah pikiran. Kebetulan tak lama setelah itu, pukul empat sore, datang bus ekonomi namun berAC dengan harga tiket yang reasonable, Rp. 35.000,00. Dan karena tidak ada lagi space di bagasi, Pockie dan Snow White didudukkan di kursi bus di deretan paling belakang. Maka kita membayar Rp. 140.000,00. Masih jauh lebih murah dibandingkan bus patas yang melintas tadi.

Perjalanan lumayan lancar sehingga kita sampai di SPBU Genuk, sekitar pukul 21.00. Kita turun di situ, unfold sepeda, dan menaikinya ke kota. Aku lupa bahwa malam itu adalah malam minggu maka sepanjang jalan yang kita lewati sampai di daerah Tugumuda, traffic lumayan padat.

Aku sampai rumah kurang lebih pukul 22.30. Not really tired but very excited.

See you next time!

GL7 15.52 270812

P.S.: keseluruhan jarak yang kita tempuh mungkin (ternyata, hanya) sekitar 250 kilometer

thanks to Cipluk dan Yoni
special thanks to Ranz :)


di kamar hotel tempat kita menginap semalam



otw ke rumah Yoni

Ranz mencoba sepeda Yoni yang terbuat dari kayu


sepeda dari kayu



berangkat menuju Goa Akbar


























sumber air di dalam Goa Akbar

BIKEPACKING LIBUR LEBARAN 2012 : GOWES AKAP SEMARANG KE TUBAN (Day 3)


Day 3 : Lasem – Tuban 24 Agustus 2012

Kita sudah siap meninggalkan hotel Wijaya pukul enam pagi. Namun sebelum meninggalkan pelataran hotel, kita bertemu perempuan berumur yang sehari sebelumnya mengantar kita ke kamar, dia membawa sebaki teh panas dan kopi. Kuputuskan untuk tidak menolak pemberian itu dan duduk di salah satu kursi yang tersedia di depan sebuah kamar untuk menikmati teh yang masih sangat panas itu. Aku tidak menghabiskan teh – dan sama sekali tidak sempat menyeruput kopi tubruk hitam – karena butuh waktu lama.



Perjalanan Lasem ke Tuban yang berjarak kurang lebih 90 km ini kita tempuh lebih dari sepuluh jam karena begitu banyak tempat-tempat indah yang wajib dihampiri untuk berfotoria. Tempat pertama yang kita hampiri adalah petilasan ‘Pasujudan Sunan Bonang’ dan ‘Makam Putri Cempo’. Namun karena lokasinya lumayan tinggi dan kita harus menaiki tangga, Ranz langsung ciut hatinya membayangkan pahanya bakal tambah pegel, padahal masih harus mengayuh pedal Snow White dengan tas paniernya sejauh puluhan kilometer. Aku mengalah dengan hanya berfotoria di tangga bagian bawah. :) Aku sendiri sebenarnya bukan tipe penikmat wisata religi – berhubung aku bukan orang yang relijius :-p – aku tidak keberatan untuk tidak naik ke atas tangga sampai ke tempat konon Sunan Bonang pernah bersujud dan meninggalkan jejak. Namun aku menghargainya sebagai satu peninggalan budaya. Konon dari sembilan Walisongo hanya satu yang ‘asli’ berdarah Jawa, yakni Sunan Kalijaga, yang lain memiliki darah keturunan Cina, berarti Sunan Bonang  juga. Sangat masuk akal jika di tempat ini petilasan Sunan Bonang berdampingan dengan makam Putri Cempo. Bagi yang ingin tahu siapa Putri Cempo, tanyalah ke eyang google yak? :)


Meninggalkan tempat ini, belum jauh kita mengayuh pedal, tampaklah pemandangan laut di depan mata! Tanpa berpikir bahwa dalam perjalanan gowes ke Tuban ini kita bakal melewati banyak tempat indah berpemandangan laut, kita langsung menghentikan kayuhan pedal sepeda untuk berfotoria. Setelah merasa cukup puas foto-fiti, kita melanjutkan perjalanan. Benar saja, belum jauh kita gowes, kita sampai ke ‘Rest Area’ (maklum musim mudik lebaran) yang disediakan oleh sebuah produk mie instan yang terletak di pinggir pantai. Tergoda dengan iklan “gratis ngopi”, aku mampir. Kuharapkan seperti di pabrik kacang Dua Kelinci sebelumnya, para passer-by yang mampir bisa langsung minta kopi gratis. Namun ternyata harapanku tak semulus sebelumnya. Untuk mendapatkan satu gelas kopi gratis, aku harus membeli 20 sachet kopi, aku akan mendapatkan 10 sachet + satu gelas kopi gratis. Aku langsung memandang tas panier yang membebani Pockie, yang tentu bakal tambah berat. Plus, merk kopinya bukan jenis kopi yang biasa kuminum. Ya sudah gapapa, ga jadi dapat segelas kopi gratis. :)


Dari rest area ini kita melanjutkan gowes dengan tetap menikmati pemandangan di sebelah kiri maupun kanan. Traffic biasa-biasa saja, tidak padat namun juga tidak sepi. Ada satu komen menarik ketika kita mampir ke SPBU 44.952.09 Sumber Sari Rembang karena Ranz kebelet pipis, seorang laki-laki berkata, “Apa ga dimarahi suaminya to mbak, sepedahan berhari-hari?” hihihihi ... Sempet kepikiran untuk update status, “One advantage of being husbandless is going bikepacking for days tanpa ada yang ngomel.” :-D But ga jadi, karena hape lebih kupakai untuk merekam perjalanan gowes menggunakan sports tracker dan upload beberapa foto.


Dalam perjalanan selanjutnya kita melewati sebuah pusat kecamatan yang tidak kuperhatikan namanya sedang ada pembangunan masjid dimana di tengah jalan ada dua orang yang berdiri sambil mengacungkan sebuah wadah untuk menerima sumbangan. Dari arah masjid yang belum jadi ada suara seorang laki-laki yang terus menerus menyapa mereka yang lewat, dan mengucapkan terima kasih jika ada passer-by yang memberi sumbangan. Si laki-laki ini pun menyapa, “wah ada yang naik sepeda onthel. Hati-hati ya Bu, semoga selamat sampai tujuan.” J Di daerah ini kuamati motor yang di belakangnya seperti gerobak (kalau tidak salah merek VIAR) digunakan untuk alat angkut penumpang. Kalau di daerah lain – misal Semarang – kendaraan ini digunakan untuk mengangkut barang.


Akhirnya ... kita pun sampai di perbatasan Jawa Tengah – Jawa Timur. YAY! Selain ada gerbang bertuliskan “Selamat Datang Propinsi Jawa Timur” di sisi kiri kanan jalan dibangun bangunan serupa candi dimana banyak juga passer-by – entah naik motor maupun mobil – yang mampir untuk foto-foto. Tak jauh dari bangunan itu, kulihat pemandangan pantai berpasir putih mengundangku untuk mencumbunya. Namun, untuk menghemat waktu, kita tidak mampir. Selesai foto-foto di gerbang pembatas propinsi, kita melanjutkan perjalanan.




Tak jauh dari situ ada RM yang lumayan besar, RM Wahyu Utama. Aku memutuskan untuk mampir makan. Sayangnya Ranz merasa belum cukup lapar, maka aku hanya membeli satu porsi. Disini modelnya swalayan, para pengunjung mengambil sendiri jenis makanan dan seberapa porsinya.  Aku mengambil nasi secukupnya, rawon, sate telur puyuh dan hati bumbu balado, dan dua gelas es jeruk yang nikmat. Disini ada sepasang suami istri yang sedang makan. Sebelum mereka meninggalkan tempat, sang suami menghampiri kita dan bertanya kita dari mana mau kemana. Setelah menyatakan salut kepada dua perempuan yang sama mungil, naik sepeda lipat mungil dari Semarang ke Tuban, mereka pergi. :)




Usai makan, kita melanjutkan perjalanan yang mulai bergelombang. Dan ... sampailah kita di kawasan pabrik; ada Holcim, Semen Gresik, dll. Kita berhenti dan meninggalkan jejak karena ada gerbang yang bertuliskan “selamat datang di kota Tuban”. Aku sudah separuh lega dan rasanya ingin melompat-lompat karena akhirnya tiba di kota yang kita tuju. Namun Ranz bilang, “Ingat, ini seperti kita baru sampe di Ungaran, belum masuk kota Semarang.” :-P Dan benarlah. Perjalanan yang kita tempuh masihlah puluhan kilometer lagi, kurang lebih 30 km.



Melanjutkan perjalanan beberapa kilometer, kebetulan di sebelah kiri aku melihat ada RM Padang. Mengingat perut Ranz belum terisi sejak pagi, aku memaksanya untuk mampir makan. Mencium aroma bumbu rendang, aku tergoda untuk makan lagi. Hihihihi ... Tapi aku tidak menuruti godaan aroma itu. Aku hanya menghabiskan segelas es teh yang kupesan.


Mungkin karena perjalanan sudah hampir ¾ jarak yang harus kita lalui, mungkin juga panasnya terik mentari yang membakar, maka ketika aku melihat Rest Area yang disedikana mie instan yang sama di daerah Lasem, aku mengajak Ranz mampir lagi. Jika di daerah Lasem, lokasi rest area di pinggir pantai, di daerah Tuban ini rest area terletak di sebuah hutan jati tak bernama yang daun-daun pohonnya meranggas karena musim kemarau yang panjang. Di beberapa spot terlihat bekas kebakaran. Lokasi yang lumayan jauh dari tempat pemukiman penduduk. Jika malam hari tentu sangat gelap gulita. Di rest area ini, aku memesan satu porsi mie goreng yang kumakan berdua Ranz. Seperti ketika kita di RM Wahyu Utama, di sini pun kita menarik perhatian seorang laki-laki yang langsung menghampiri kita dan minta ijin untuk menjepret kita berdua, “sebagai kenang-kenangan,” katanya, “dalam perjalanan, saya bertemu dua orang bersepeda lipat menempuh jarak ratusan kilometer,” WAH! :) “jangan lupa dipajang di blog ya Om?” hihihihi ...




Keluar dari rest area, tidak kusangka ternyata kita disambut tanjakan! Untunglah kita sempat mengisi ‘bensin’. :-p Beberapa kilometer kemudian kita sampai di gerbang masuk kota Tuban yang dicat putih dengan hiasan patung kuda di atasnya. Setelah beberapa kali jepretan, kita lanjut gowes. Aku sudah kebelet melihat kelenteng yang konon terbesar di Asia Tenggara. Kapan kita nyampe? Sebelum sampai, kita melewati hamparan pantai yang luaasss dimana banyak orang yang mampir untuk bermain air maupun pasir. Lokasi ini terletak tak jauh dari terminal lama. Sudah pukul empat sore. Namun tetap aku ingin mampir untuk foto-foto. If only I had longer time to enjoy the view and the breeze ...


Tempat berikutnya kita mampir untuk foto adalah Monumen Adpada Pancasila dimana di atasnya ada patung burung garuda. Nah ... tak jauh dari sini, kita sampai di jalan R. E. Martadinata, nama jalan yang kuingat-ingat dimana kelenteng Kwan Sing Bio terletak. Kalau tidak salah ingat, konon Laksamana Cheng Ho yang juga dikenal dengan sebutan Sam Po Tay Djien selain mampir di Semarang dan membangun petilasan yang sekarang berkembang menjadi Kelenteng Sam Po Kong (alias Gedung Batu), Cheng Ho juga mampir di Tuban dan membangun petilasan yang sama. Perkembangan geografis yang entah bagaimana ceritanya, lokasi Kelenteng Sam Po Kong tidak lagi berada di pinggir pantai, sedangkan Kwan Sing Bio tetap berada di pinggir pantai.



Ukuran kelenteng Kwan Sing Bio ini jauh lebih luas dibanding Sam Po Kong. Selain tempat pemujaan, juga ada bangunan-bangunan untuk tempat latihan olahraga, penginapan, taman, dll. Ketika kita sampai di kelenteng Kwan Sing Bio, kebetulan sedang ada perayaan HUT YM Kongco Kwan Sing Tee Koen yang ke 1850. Ada stand yang berjualan pernak-pernik merchandise Cina, pakaian, dan lain sebagainya. Dari segi kebersihan dan perawatan, kelenteng ini nampak dikelola cukup baik dengan berbagai hiasan yang berupa patung-patung sumbangan orang-orang. Sangat menarik untuk dikunjungi. Tak heran jika banyak orang yang mengatakan mereka sempatkan mampir kelenteng ini jika mereka dalam perjalanan melewati Tuban.



Sekitar pukul setengah enam sore kita meninggalkan kelenteng. Pantai yang terletak di depan kelenteng nampak menggoda untuk dihampiri, untuk menikmati pemandangan laut lepas sembari mencicipi berbagai jenis makanan yang dijual di sepanjang trotoar yang ada. Namun aku dan Ranz sudah cukup lelah. Kita harus segera menemukan tempat penginapan. Kita sempat gowes ke arah alun-alun, kemudian kita memutar, belok ke sebuah jalan randomly, berharap menemukan hotel. Dan memang tak jauh dari alun-alun kita menemukan hotel. Sayang dengan harga duaratus ribu rupiah semalam, pihak hotel tidak menyediakan air panas dan sarapan. Untung tak jauh dari situ kita sampai ke jalan Basuki Rachmat. Beberapa hari sebelumnya kita sempat browsing di internet, menemukan sebuah hotel bernama BASRA yang berlokasi di jalan Basuki Rachmat. Maka kita melanjutkan perjalanan dan menemukan hotel yang kita cari. Dari beberapa pilihan jenis kamar, kita memilih kamar standard dengan fasilitas AC, kamar mandi dalam dengan air panas, plus sarapan. Harga Rp. 250.000,00 dengan diskon 10% sehingga kita hanya membayar Rp. 225.000,00. Baru kali ini ada hotel menawarkan diskon pada masa mudik lebaran. Atau aku yang kurang info. :-D


Setelah check in, mandi, kita keluar mencari makan malam. Baru kali ini Ranz sadar bahwa dia tidak enak badan karena tiba-tiba suhu tubuhnya menghangat, sementara tenggorokannya mulai terasa sakit. Mungkin itu sebab dia selalu merasa kepayahan mengayuh pedal Pockie yang terbebani tas panier dengan berat puluhan kilogram. Sebelum ke alun-alun untuk mencari makan, kita mampir ke apotik dulu untuk membeli obat pelega tenggorokan. Untuk makan malam, kita memesan nasi goreng tidak pedas satu porsi untuk berdua. Untuk minum aku pesan segelas teh panas, untuk Ranz segelas milo. Ada yang ‘special’ di alun-alun Tuban ini. Di tempat kita beli nasi goreng, si penjual tidak berjualan minuman panas/dingin, dia hanya menyediakan air mineral gelas. Maka untuk pesan teh dan milo, kita harus ke ‘angkringan’ yang lain. :)

Balik ke hotel, dengan cepat Ranz tertidur setelah kakinya aku balurin dengan counterpain.

To be continued
















pantura

pantura


istirahat di SPBU 44.952.09






















RM tempat aku sarapan sendiri


on the way




waktu hidung Ranz harus ditutupi hansaplast :)



menu brunch Ranz di sebuah RM Padang



rest area 2



pintu gerbang masuk kota Tuban







Ranz kok manyun yaaa? :) o iya, she was not really feeling well





halaman dalam Kelenteng Kwan Sing Bio


Ranz tumben mau bergaya :D