Cari Blog Ini

Minggu, 30 Agustus 2020

Pesepeda dan Jalan Raya

 


Jalan raya tidak aman buat pesepeda?

 

Di pertengahan dekade 1980-an, sebelum Ayahku membelikanku sebuah sepeda motor, kadang aku jalan kaki ketika pulang sekolah. Jarak dari sekolah SMA N 3 ke rumah (Puspanjolo Tengah) mungkin sekitar 2 kilometer. Ini bukan karena orangtuaku tidak memberi uang untuk naik angkutan umum, tapi aku menabung uang transport untuk membeli perangko. Aku punya beberapa kawan pena yang membuatku butuh membeli perangko, amplop, dan kertas surat.

 

Aku tidak berjalan pulang sendirian. Ada beberapa kawan yang menemaniku berjalan; satu yang paling aku ingat, namanya Dwi Maryanti, tinggalnya di Puspanjolo Selatan. Tidak ada trotoar yang selebar sekarang di jalan Pemuda, tapi ada slow lane yang terpisah dari fast lane, jadi kita merasa cukup aman berjalan sambil ngobrol sepanjang jalan. Yang lewat slow lane, paling-paling sepeda atau becak yang akan membunyikan bel jika mereka berada di belakang kita dan meminta kita untuk minggir.

 

Setelah naik kelas 2 SMA, aku mulai naik motor kemana-mana, tapi jelas slow lane masih ada.

 

Aku lupa mulai kapan slow lane menghilang di jalan-jalan utama kota Semarang. Aku yakin penyebabnya tentu kian banyak kendaraan bermotor yang lewat di jalan raya. Semua jalan adalah fast lane. Lalu para pejalan kaki dan pesepeda lewat mana? Jika beruntung ada trotoar, para pejalan kaki bisa berjalan di atas trotoar dengan kondisi seadanya. Pesepeda ya jadi satu dengan kendaraan bermotor, melaju di fast lane. Saat jumlah kendaraan bermotor belum sebanyak sekarang, masih lumayan aman lah.

 

Tahun 2010, Bike 2 Work Semarang berinisiatif mengadakan talk show tentang JALUR SEPEDA, untuk mendesak pemerintah kota untuk menyediakan fasilitas untuk pesepeda. Saat talk show inilah, (sebagian dari) kita baru 'ngeh' untuk membuat daftar jalan-jalan mana saja yang masih memiliki slow lane; meski dalam kenyataannya slow lane ini tidak benar-benar dipakai untuk pesepeda/tukang becak. Selain karena kondisinya tidak sebagus fast lane, sebagian besar slow lane dipakai untuk tempat parkir, terutama di jalan-jalan yang ada toko berderet-deret; misal Jl. MT Haryono dan Jl. Indraprasta.

 

*******

 

Seorang sobat sepeda pernah bercerita sekitar satu dekade lalu jika dia berangkat bekerja lewat Jl. Majapahit daerah Pedurungan, dari arah Timur, biasa berbondong-bondong para pesepeda (mungkin dari area Mranggen dan sekitarnya) masuk Semarang. Mereka ini kebanyakan pekerja pabrik. Kata sobat ini, para pesepeda ini datang bak air bah, memenuhi jalan raya, baik yang sesuai arah, maupun yang contra flow.

 

Sekarang? Entah karena kondisi ekonomi para pekerja ini meningkat, atau sekarang membeli sepeda motor semudah membalikkan telapak tangan, 'kebiasaan berbondong-bondong memasuki Semarang ini masih sama, namun sekarang mereka naik sepeda motor. Kondisi traffic pun malah kian kisruh dibandingkan ketika mereka naik sepeda.

 

*******

 

Sekitar 2-3 bulan lalu sepeda mendadak menjadi primadona di tengah masyarakat -- orang berbondong-bondong membeli sepeda, kemudian berbondong-bondong memenuhi jalan raya. Bisa aku katakan mereka ini 'newbie' sepedaan, meski mungkin dua-tiga dekade lalu mereka juga bersepeda. Mereka (mungkin) berpikir bahwa kondisi jalan raya masih sama seperti 2-3 dekade lalu dimana sepeda masih dianggap sebagai satu jenis kendaraan yang tidak wajib mengikuti peraturan lalu lintas, misal harus berhenti di traffic light saat lampu merah; bahwa sepeda boleh melaju berjajar hingga nyaris memenuhi badan jalan. Jika jumlah kendaraan bermotor tidak sebanyak 2-3 dekade lalu (sepeda motor bisa jadi masih dianggap satu kendaraan yang belum semua orang mampu beli), mungkin tidak akan begitu mempengaruhi traffic. Namun, saat hanya dengan uang limaratus ribu rupiah saja orang bisa membawa sebuah sepeda motor pulang ke rumah, bayangkan betapa sesaknya jalan raya dengan kendaraan bermotor.

 

Dan saat sepeda-sepeda itu membuat jalan raya penuh, dengan mudah orang menyalahkan sepeda sebagai biang kerok kacaunya traffic. Tak hanya itu, mereka pun berpikir bahwa jalan raya tidak aman untuk melintas para pesepeda hingga para pesepeda sebaiknya dilarang melaju di jalan raya. Mereka lupa bahwa awal mula sepeda ditemukan untuk moda transportasi, bukan untuk alat olahraga apalagi untuk rekreasi.

 

Mengambil analogi bahwa ruang publik itu tidak aman untuk perempuan sehingga mereka harus dikurung dalam rumah. Ini sama dengan berpikiran bahwa jalan raya itu tidak aman untuk pesepeda sehingga mereka hanya boleh melaju di dalam perumahan.

 

*******

 

Disini, 'komunitas'  BIKE TO WORK INDONESIA memiliki daya tawar kepada pemerintah untuk mengeluarkan UNDANG-UNDANG untuk melindungi para pesepeda. Seluruh warga negara berhak meminta perlindungan dari pemerintah bukan? Yang memanfaatkan sepeda sebagai moda transportasi bukan hanya datang dari masyarakat kelas menengah, namun juga dari kelas atas dan bawah. Warga negara yang hanya mampu mengeluarkan uang maksimal seratus ribu rupiah demi sebuah sepeda yang layak pakai, agar mereka bisa 'mobile' kemana saja tanpa harus membeli BBM, hingga warga negara yang mampu membeli sepeda (lipat) harga puluhan juta rupiah ada yang memilih bersepeda ke tempat mereka beraktifitas sebagai satu lifestyle yang sehat. Mereka layak mendapat perlindungan; negara WAJIB melindungi mereka dari ganasnya jalan raya.

 

Setelah B2W Indonesia 'terjun' ke masyarakat dan mengajak komunikasi pihak yang memiliki otoritas -- pemerintah -- UU lalu lintas no 22 tahun 2009 menyertakan beberapa ayat yang melindungi pesepeda.

 

Pasal 62 ayat (1) pemerintah harus memberikan kemudahan berlalulintas bagi pesepeda.

Pasal 62 ayat (2) pesepeda berhak atas fasilitas pendukung keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran dalam berlalu lintas.

Pasal 106 ayat (2) setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan wajib mengutamakan keselamatan pejalan kaki dan pesepeda.

Pasal 122 ayat (3) Pengendara gerobak atau kereta dorong yang berjalan beriringan harus memberikan ruang yang cukup bagi kendaraan lain untuk mendahului.

 

LAJUR SEPEDA

 

Ide menyediakan lajur sepeda sudah mengemuka sejak sekitar 10 tahun yang lalu. Beberapa kota pun telah menyediakan lajur ini. Sayangnya yang dimaksud sebagai 'lajur sepeda' disini hanyalah 'menggambari permukaan jalan dengan tulisan LAJUR SEPEDA dan gambar sepeda, dan pemanfaatan yang tidak maksimal: membuat pesepeda benar-benar aman dari senggolan kendaraan bermotor. Tidak hanya itu, keberadaan LAJUR SEPEDA ini nampaknya hanya sekedar 'mulut manis' semata karena pada prakteknya, sebagian lajur sepeda itu justru dipakai untuk tempat parkir dan tidak ada tindak lanjut dari pihak yang berwenang untuk mengawasi hal ini.

 

Bukankah sebaiknya mengembalikan kondisi jalan raya seperti dua hingga tiga dekade lalu, memiliki slow lane -- untuk melaju sepeda, atau becak, atau mungkin jika masih ada dokar/andong -- dan fast lane untuk kendaraan bermotor. Slow lane yang tidak hanya sebagian ruas jalan yang permukaannya digambari sepeda dan tulisan LAJUR SEPEDA namun ada pemisah antara fast lane dan slow lane.

 

Jalan raya akan lebih sempit?

 

Apa boleh buat? Masyarakat memiliki pilihan untuk terus menggunakan kendaraan bermotor, kendaraan non motor, atau angkutan umum. Hal ini mudah jika pemerintah memang sungguh-sungguh ingin mengurangi polusi dan ketergantungan pada BBM. Pemerintah tidak perlu susah-susah memikirkan transportasi untuk warga negara yang bisa mereka gunakan setelah meninggalkan rumah hingga mereka mencapai halte angkutan umum terdekat jika angkutan umum dibuat ramah untuk sepeda.

 

Sekian saat lalu viral foto yang membandingkan kondisi satu jalan di Amsterdam; di dekade tujuhpuluhan jalan itu penuh dengan mobil, namun di dekade 2000-an, jalan itu penuh dengan sepeda. Nampak jelas pemerintah Belanda telah berhasil membuat masyarakat beralih ke sepeda (dan angkutan umum) dari kendaraan bermotor.

 

Jangan beralasan "bersepeda di Amsterdam enak, hawanya tidak sepanas di Indonesia." aku pernah melihat foto orang-orang Belanda bersepeda di musim salju, kebayang susahnya melebihi bersepeda di musim kemarau di Indonesia loh. Toh, mereka juga tetap bersepeda kok.

 

 

Aku menyimpulkan tulisan ini menjadi: jalan raya bisa menjadi area aman untuk semua pengguna -- pejalan kaki, pesepeda, maupun mereka yang naik kendaraan bermotor -- jika kita semua menyadari hak dan kewajiban masing-masing. Area perumahan pun bisa menjadi area yang berbahaya untuk pejalan kaki dan pesepeda jika para pengguna jalan tidak mau menghormati hak-hak orang lain.

 

 

PT56 14.41 30-Agustus-2020

Sabtu, 22 Agustus 2020

Destinasi wisata pasca instagram

 Sebenarnya, aku tipe orang yang "murah hati" memberi info tentang tempat2 yang sudah kukunjungi kepada mereka yang kepengen berkunjung ke tempat yang perrnah kukunjungi itu. Misal, ketika aku dan Ranz dolan ke Wana Wisata Alas Bromo di bulan September 2012, banyak kawan yang bertanya dimana lokasi Alas Bromo, karena mereka tertarik melihat foto-foto yang kuunggah, aku menjelaskan tanpa rasa pelit. ๐Ÿ˜…


Di bulan Oktober 2013, aku dan Ranz pertama kali dolan ke Telaga Madirda -- yang merupakan satu rangkaian bersepeda ke Candi Sukuh -- aku pun memberikan info dimana lokasi telaga ini saat kawan-kawan medsos bertanya.


Hingga sekian tahun lalu, seorang sobat sepeda nampak pelit berbagi info. Alasannya, "Biar tempat itu tetap alami. Jika kian banyak orang datang kesana, dan mereka tidak peduli dengan kebersihan, pasti pantai-pantai yang masih 'perawan' itu tak lama lagi akan penuh dengan sampah." ๐Ÿ˜” 


Hmmm ... that makes sense ๐Ÿ˜๐Ÿค”๐Ÿ™„


Namun akhirnya aku menemukan alasan lain: "Agar tempat itu tetap terjaga keasliannya. Di zaman orang2 kian narsis dengan spot2 instagrammable, kian banyak destinasi wisata menjadi tak lagi alami."


2 tahun lalu ketika mengunjungi Kawah Sikidang, aku lihat kondisi kawah yang tidak lagi "normal" karena terlalu banyak spot2 instagrammable yang terkesan terlalu dipaksakan "hadir"; belum lagi sewa2 ATV. Ga cocok banget ๐Ÿ˜‘๐Ÿ˜๐Ÿคจ



Bulan lalu, aku berkesempatan ke Telaga Madirda lagi. Air telaga masih nampak jernih, tapi bermunculannya spot2 "aneh" dan "bebek bebekan" di tengah telaga ini terasa sangat tidak pas berada di destinasi wisata yang terletak di tengah lembah ini ๐Ÿ˜”๐Ÿ˜Œ foto yang di atas dijepret tahun 2013, yang di bawah Juli 2020.


I was broken-hearted ๐Ÿ˜ญ๐Ÿ˜ฅ๐Ÿ˜ฐ






Rabu, 19 Agustus 2020

Libur Akhir Tahun 2019

 #latepost

 


Setelah dolan ke Ngawi berdua dengan Ranz, akhir Desember 2019 aku dolan lagi; kali ini tidak hanya kita berdua, namun bersama Dwi dan Tami. Aku lupa menulisnya, atau mungkin saat itu aku berpikir itu hanya dolan biasa, sehingga aku merasa tidak perlu menulisnya. Setelah lebih dari setengah tahun berlalu, aku mencari catatan itu, loh, kok ga ada? Hihihi … Jadi, di note ini, aku menulisnya berdasarkan ingatanku saja.

 


Sabtu 28 Desember 2019

 

Jumat malam, aku dan Ranz 'menggawangi' segowangi akhir tahun yang dihiasi hujan yang lumayan mengganggu. Sabtu pagi, kita berempat berangkat ke Solo naik travel. (Jadi, sepulang dari mbolang ke Ngawi, aku dan Ranz ke Semarang naik travel, Austin kutinggal di Solo.) 


Sabtu sore kita bersepeda ke area Kraton dll.

 

 


Minggu 29 Desember 2019

 

Pagi itu kita berempat bersepeda ke area CFD Solo, di Jalan Slamet Riyadi. Kawan-kawan Seli Solo berkumpul untuk menyelenggarakan LAST SUNDAY RIDE. Sebenarnya aku berencana ikut LSR bersama kawan-kawan Komselis di Semarang, tapi ternyata aku kalah; termakan rayuan Ranz untuk menemani duo Dwi dan Tami untuk dolan ke Solo. Hihihi …


 


Kita berempat sempat berfoto-foto dengan para lipaters yang sudah berkumpul. Tapi, aku pamit ke Om Awan sebagai salah satu 'pengundang' LSR kita hanya ikut kumpul tapi tidak ikut gowes ke arah Pengging. Setelah rombongan LSR berangkat, kita sarapan. :)  usai sarapan kita bersepeda ke arah benteng Vastenburg, berfoto-foto di jembatan yang dihiasi pernak-pernik Imlek. (Imlek masih sebulan lagi sebenarnya.) Kemudian kita pulang, siap-siap dolan ke area pantai DIY.




 

Dwi dan Tami sebenarnya pingin berfoto-foto di Gumuk Pasir Parangkusumo, gumuk pasir yang terletak pas sebelum pantai Parangtritis. Namun, kalau membayangkan foto-foto di lautan pasir di siang hari, kok rasanya males yah. Maka, kusarankan kita ke tempat lain dulu, baru ke Gumuksari sore harinya.  Semua setuju. Sebagai 'pengisi waktu' sebelum ke Parangkusumo, Ranz menawari kita dolan ke tempat lain dulu, "Pantai Cemara" (pantai yang masuk check point di J150K 2019 namun ternyata peserta tidak benar-benar kesana, hanya muncul di peta, lol), "Pantai Indrayanti" atau "Pantai Ngobaran". Ahaaa … sudah lamaaa aku pingin ke Pantai Ngobaran, satu pantai di daerah Gunung Kidul yang ada bangunan pura di pinggirnya, sempat nyaris nyidam kesana, dulu, lol, tapi kata Ranz dengan kemampuan dengkul kita yang tidak seberapa, lol, kita ga bakal mungkin bisa sampai kesana jika bersepeda hanya sehari dari Solo. Dan jika harus menginap somewhere, Ranz tidak tahu kita bisa menginap dimana, lol. (Lha, padahal kita saja bisa nyampe Pantai Klayar di Pacitan lhooo. Hihihi …)

 





Apa pun itu, akhirnya 'berjodoh'lah aku dengan Pantai Ngobaran di akhir tahun 2019. Setelah memendam keinginan bertahun-tahun, aku pun melangkahkan kaki ke Pantai yang kuidam-idam itu. Ternyata lokasi pura tidak persis di pinggir pantai, maksudku di pantai berpasir yang landai. Hihihi … Ya seperti Tanah Lot ya. Sebenarnya Ranz mengajakku 'turun' ke area yang berpasir, tapi karena butuh ekstra kerja keras, lol, mana cuaca panas sekali, aku enggan.

 








Saat itu, kita ditawari seorang 'fotografer' yang mangkal disana. Meski Ranz membawa kamera, sebagai kenang-kenangan, kita menerima tawaran itu. Maka, tidak heran, jika Ranz pun muncul di banyak foto kita. Hihihi …

 

FYI, kita tidak hanya berempat ke Pantai Ngobaran, ada mas Martin, kakak ipar Ranz yang menyetir mobil, dan ada kakaknya Ranz, mbak Niken, dengan dua anaknya. Saat kita berempat jalan-jalan, mas Martin sekeluarga nongkrong2 di satu gazebo. Mas Martin seorang sopir yang piawai lho, jadi aman dah. Btw, dalam perjalanan ke pantai, melihat trek yang naik turun naik turun naik turun, mana jalannya muter kesana kemari, lol, aku paham mengapa Ranz ga yakin kita bakal bisa nyampai Pantai Ngobaran hanya sehari gowes dari Solo/Jogja. Hmft … Dan, kalau harus menginap semalam di tengah jalan, tidak tahu mau menginap dimana, kekekekeke …

 


Setelah merasa cukup puas berfoto-foto (ah ya, banyak 'fotografer' yang mengais rezeki menjadi tukang foto para wisatawan disini, sekali mereka setuju dengan 'sekelompok' wisatawan, mereka akan ngikut kemana saja kelompok itu berjalan. Setelah selesai, wisatawan bisa memilih foto-foto mana yang akan dicetak, sedangkan foto-foto lain bisa ditransfer ke flash disk. Tentu berdasar harga yang disetujui kedua belah pihak ya) kita kembali ke gazebo untuk makan siang. Nah, saat kita makan ini, mendadak hujan turun. Padahal sebelumnya panas banget loh.

 

Hujan yang cukup deras ini membuat kita membatalkan dolan ke Parangkusumo. Kalau mau foto-foto di atas gundukan pasir, tapi pasirnya basah, ga enak kan ya. Lol. Untunglah Dwi dan Tami yang semula pingin ke Parangkusumo ga keberatan kita ga jadi kesana. Setelah makan, kita pulang ke Solo.

 

Senin 30 Desember 2019

 

Hari ini aku setengah memaksa mengajak anak-anak bersepeda ke arah Sukoharjo, untuk (1) menikmati ayam goreng di rumah makan Mbah Karto yang kondang itu (2) sebagai ganti tidak ikut LSR sehari sebelumnya, lol. Tami yang semula pingin cari kain di PGS untuk persiapan lamaran di akhir Januari 2020 mengalah, lol.

 



Otw ke Sukoharjo, kita mampir ke Mbak Lies Serengan untuk sarapan. Dwi dan Tami belum pernah diajak kesini, maka mereka suka berfoto-foto di rumah makan yang memang ditata sedemikian instagrammable. Setelah itu, kita bersepeda ke Sukoharjo. Makan lagiiiii. Lol. FYI, gowes ke Sukoharjo pp sejauh 35 kilometer sudah lumayan lho buat mereka berdua karena mereka sudah lamaaa tidak bersepeda "jauh". Hohoho …

 

Sorenya kita pulang ke Semarang naik travel.

 

Liburan akhir tahun 2019 usai sudah. :)

 

PT56 09.11 20-August-2020

Selasa, 18 Agustus 2020

Gomingpai ke Waduk Gajahmungkur

 Our Journey is the Destination 

(2nd edition)


Sebenarnya, dalam rangka 'merayakan' long weekend (tanggal 17 Agustus 2020 jatuh pada hari Senin), aku mengajak Ranz untuk gowes napak tilas ke Jogja. Kita berdua jauh lebih sering bersepeda Jogja - Solo ketimbang sebaliknya. Namun, ternyata Ranz agak 'awang-awangen' kuajak ke Jogja di masa pandemi begini. Padahal ya jelas kita bisa menghindari tempat-tempat ramai kan ya. Sebagai ganti, Ranz menawari gowes napak tilas ke Waduk Gajahmungkur - Wonogiri. Baiklah, aku setuju.

 


Hari Sabtu 15 Agustus 2020 aku ke Solo naik travel Xtrans pukul 11.00. Yang keberangkatan pukul 09.00 sudah penuh. (Awal Juli, masih jarang lho orang pergi keluar kota.) Aku sempat ke pool travel Kencana sebelum pukul 09.00. masih ada seat ke Solo pukul 09.00, tapi aku diminta membayar bagasi sebesar Rp. 30.000,00 karena membawa Austin. Hmmm … preseden yang buruk ini jika penumpang setuju. Aku langsung membatalkan rencana mau berangkat ke Solo naik travel Kencana. Aku balik lagi ke Xtrans untuk memesan tiket yang pukul 11.00.

 


FYI, 12 Juli 2020 aku naik Kencana dari Solo ke Semarang dengan membawa Austin, gratis bagasi loh. Check this link.

 


Travel yang kunaiki meninggalkan pool yang terletak di Jl. Menteri Supeno tepat pukul 11.00. keluar dari tol di daerah Tjolomadoe Kartasura sekitar pukul 12.30. Aku turun setelah travel lewat 'underpas' Jl. Slamet Riyadi, Sukoharjo, tak jauh dari bengkel sepeda langganan Ranz. Ranz sudah menungguku disana. Niat hati ingin mengecekkan Austin yang sempat bermasalah ketika kukayuh pedalnya, tapi ditolak karena pelanggan untuk hari itu sudah penuh. Ya wis lah, pablebuat?

 


Kita maksi di satu warung makan yang terletak tak jauh dari Jl. Slamet Riyadi - Solo. Aku memilih menu capcay Solo. Dari sana, kita langsung ke rumah Ranz.


 

Malamnya, Ranz mengajakku makan malam di warung soto milik adiknya, yang terletak di shelter belakang stadion Manahan. Sotonya enaaak banget loh. FYI, adiknya Ranz itu mantan chef hotel bintang empat, kena phk gegara pandemi covid. :( Gerimis turun sebelum kita selesai makan. :( Akhirnya, kita tidak bisa NR jauh-jauh setelah makan. Just as usual, kita mampir ke Wedangan Pak Basuki, aku ngefans teh nasgitelnya.


 

Minggu 16 Agustus 2020

 


Semula kita berdua rencana berangkat pukul 06.00. tapi hawa yang sejuk dan pikiran "libur kok bangun pagi2" lol membuat kita molor, lol. Walhasil, kita baru meninggalkan rumah Ranz pukul 07.02. Kita langsung menuju arah Solo Baru - Sukoharjo, dan berhenti sarapan di satu warung makan sop ayam, setelah bersepeda sejauh 15 kilometer. Lokasinya tidak jauh dari warung makan ayam goreng Mbah Karto, 'langganan' kita.

 


Usai sarapan, kita melanjutkan perjalanan. Kita mampir ke satu pom bensin untuk nunut ke toilet, di daerah Kepuh, Sukoharjo. Titik berhenti selanjutnya saat kita lewat gapura selamat datang di kabupaten Wonogiri. Tak jauh dari gapura yang pernah kita pakai untuk berfoto juga di tahun 2011, sekarang ada gapura lain yang jauh lebih cantik, karena bentuknya menyerupai gapura masuk pura Lempuyangan, Bali. Saat melewati patung Nyi Roro Kidul naik kereta kencana, Ranz tidak berhenti untuk berfoto. Hmmm … mungkin dia pikir ga perlu toh kita sudah pernah foto-foto disitu, lol. Tapi, patung spesial ini menandai bahwa trek rolling akan segera dimulai, lol. Welcome to Wonogiri! LOL.

 



Perasaan Wonogiri masih sesepi dulu, hahaha … atau karena itu hari Minggu yak? Tapi, kita berpapasan dengan banyak pesepeda dari arah yang berlawanan, dulu ga sebanyak ini seingatku. Kita sempat mampir ke minimarket lagi, yang terletak di Jl. Jendral Sudirman, Wonogiri. Kita juga jajan es degan yang warungnya berada di samping minimarket ini. FYI, es degannya tidak recommended. Hihihi …



 


Sekitar pukul 11.45 kita berdua telah sampai di jembatan dimana kita bisa memandang waduk dengan leluasa. Pukul 12.00 kita telah sampai di depan gerbang masuk waduk Gajahmungkur. Jarak yang sudah kita tempuh 42,5 km. Dan … tetetetetetttt … waduk masih tutup, saudara-saudara! Kulihat banyak pesepeda lain yang juga 'kecele' seperti aku dan Ranz, lol. Aku yakin, tentu bukan hanya aku, Ranz dan para pesepeda yang mengaku dari Boyolali itu, pasti ada banyak pesepeda lain yang mengalami hal yang sama dengan kita, lol.

 



Tapi, aku tidak kecewa2 amat. Setelah mengalami bersepeda ke Mrapen dan tujuan wisata 'Api Abadi Mrapen' tutup, kali ini menjadi satu hal yang biasa saja. Maklum. Toh yang penting sepedaannya, lol. Plus seingatku, di dalam waduk juga ga banyak yang bisa kita 'lihat'. Waduk malah justru terlihat lebih menarik dari tempat yang agak jauh dan dari 'atas'.

 


Setelah sempat berfoto beberapa kali di depan pintu gerbang, aku mengajak Ranz mampir di satu rumah makan di daerah itu, dimana kita bisa mendapatkan pemandangan waduk dari atas. Ranz memilih RM Bu T** yang kebetulan lokasi lesehannya cukup strategis, kita bisa memandang waduk dengan leluasa. Alhamdulillah.


 


Aku memilih menu nila bakar, kita pesan dua porsi, untuk minum es teh dua gelas, dan satu es kelapa muda. Ada sepasang suami istri yang duduk di samping, mereka sempat 'mewawancarai' Ranz saat aku ke toilet. Mereka heran karena kita bersepeda dari Solo ke waduk. Mereka bilang, kadang mereka dan komunitasnya juga bersepeda ke waduk, tapi dari Solo mereka loading dulu sampai Selogiri, baru mulai bersepeda ke waduk. Pulangnya, ya mereka bersepeda ke Selogiri lagi, dari sana mereka loading sampai Solo. Entah, Solonya daerah mana, Ranz tidak sempat bertanya.

 


Seingatku, Ranz tidak 'anti' ikan bakar. (Kita pernah jajan ikan bakar waktu bersepeda ke Ngrembel, dua kali.) Tapi, ternyata kali ini, dia tidak ikut makan. Semula yang seekor akan dibungkus dibawa pulang. Kenyataannya, dua-duanya aku makan sendiri, lol. Ranz hanya nyuwil-nyuwil sedikit, lol.

 



Sekitar pukul 14.00 kita meninggalkan RM Bu T**, meski kita tidak langsung mengayuh pedal kembali ke arah kita datang. Ranz mengajak 'turun' ke satu lokasi yang terletak tidak jauh dari RM tempat kita makan. Ternyata, ini adalah area yang kita kunjungi untuk foto-foto waktu kita gowes menuju Pantai Nampu 9 tahun lalu. 9 tahun yang lalu sih masih sepi, tidak ada apa-apa. Sekarang sudah ada beberapa warung makan 'makeshift' alias yang dibuat ala kadarnya. Juga ada 'dermaga'sebagai gardu pandang. Selain itu, ada tawaran sewa perahu untuk memutari waduk. Kukira Ranz pingin, ternyata engga, dia Cuma pingin memotret waduk dari arah dekat.

 


FYI, sebenarnya kita sudah siap bawa baju cadangan andai kita mendadak pingin menginap di satu hotel karena keasyikan bermain2 di waduk. Aku sih tidak keberatan andai Ranz pingin naik perahu, kemudian leyeh2 disitu rada lama, hingga 'terpaksa' menginap di hotel (kelas melati) yang ada di daerah situ. Tapi, ternyata Ranz Cuma mampir sebentar. Ga sampai 15 menit kemudian, kita telah kembali mengayuh pedal.


 


Otw balik ke Solo, kita tidak banyak berhenti, kecuali di pertigaan tempat ada patung Nyi Roro Kidul yang naik kereta kencana. Menjelang sampai alun-alun Sukoharjo, Ranz bertanya apakah aku ingin mampir ke RM ayam goreng Mbah Karto. Hadeeeh … lha perutku penuh, makan 2 ekor ikan nila bakar, lol. Jika Ranz mengajak mampir, ya aku Cuma pesen minum, ga makan. Tapi, ternyata Ranz terus melaju. Berhenti di satu pom bensin untuk mampir ke toilet. Di pom bensin pertama kita mampir, ternyata ga ada air sama sekali, lol. Untung ga sampai 15 menit kemudian ada pom bensin lagi; we were saved! LOL.


 

Sesampai mall Ha***** Solo Baru kita berhenti di satu angkringan, tak jauh dari pom bensin seberang mall, jajan es teh; kita sama-sama kehausan. Kali ini aku tidak sedang kepengen mampir fastfood restaurant untuk jajan iced coffee-nya karena terakhir kesini (Juli lalu) rasanya kurang nendang, lol.


 

Kita sampai rumah Ranz sekitar pukul 18.20. jarak yang sudah kita tempuh 85,9 kilometer. Duh, nanggung nih. Maka, setelah mandi, aku mengajak Ranz makan malam di warung soto adiknya yang berlokasi di Manahan, kemudian gowes muter ke arah Gladak, demi menggenapi jarak tempuh menjadi 100 kilometer. Hohoho …


 

PT56 13.57 18-Agustus-2020

Senin, 17 Agustus 2020

Samori Blusukan ke Purwodadi

 "The Journey is the destination"

 

Sejak Juni -- setelah bergrandfondo ke Kudus sendiri naik Snow White -- aku sudah kepingin bersepeda seratusan kilometer lagi. Ternyata baru di bulan Agustus 2020 aku mendapatkan mood yang tepat. :)

 


Sabtu 08-08-2020

 

Meski Jumat malam aku baru bisa tertidur di jam yang cukup larut, pagi ini aku terbangun pukul setengah lima, memiliki kesempatan beberapa puluh menit untuk menimbang-nimbang aku akan bersepeda di pagi hari atau engga. Beberapa minggu ini aku rada males bersepeda di pagi hari, lebih memilih molor gegara hawanya sejuk, enak buat terus memeluk guling. Hihihi …

 

Pukul lima pagi aku ke toilet, pipis, ke dapur sebentar untuk menyiapkan air minum dalam bidon, kemudian ganti baju. Jam 05.15 aku keluar. Aku sudah menetapkan hati untuk ke arah Purwodadi; aku akan menyambangi 'Api Abadi Mrapen'.

 

Tahun 2016 terakhir ke Mrapen, aku ingat jarak yang tercatat adalah 80 kilometer.  Jika ingin mencapai jarak tempuh 100 kilometer, berarti aku harus menambah jarak dong. Ini sebabnya aku tidak langsung menuju arah Simpanglima dan seterusnya setelah meninggalkan Pusponjolo. Aku ke arah Indraprasta, Imam Bonjol, Kota Lama, Pengapon, Kaligawe, kemudian belok ke kanan di pertigaan Bangetayu. Dari sini jika lurus aku akan sampai jalan arteri Sukarno Hatta, kemudian 'njedul' ke Jl. Majapahit atau sekarang disebut Jalan Brigjend Sudiarto.

 


Atas pertimbangan itu, ketika bertemu dengan pertigaan, aku langsung belok kiri; aku berharap akan bertemu jalan yang kulewati sekian bulan lalu saat bergrandfondo ke Demak, jalan yang akan membawaku sampai pasar Mranggen. Belum jauh aku belok, ada seorang pesepeda laki-laki yang menjajariku, mengajak bareng. (Sedikit obrolan dengannya akan kuunggah di tulisan terpisah ya?)

 


Meski yakin aku akan menemukan jalan yang akan tembus ke Mranggen, aku tetap bertanya kepada si laki-laki itu. Dia mengiyakan, jika kita lurus terus di jalan yang kita lewati, kita akhirnya akan sampai Demak. Di perempatan yang nantinya kita lewati akan ada papan petunjuk, jika belok kiri kita akan ke arah Onggorawe, belok kanan Mranggen, lurus Demak, disitu lah aku nanti belok kanan, sedangkan laki-laki itu belok kiri, rumahnya di daerah yang bernama Bulusari katanya.

 

Kita bersepeda bareng sampai di perempatan yang kusebut di atas. Dia belok kiri, aku belok kanan. Luruuus sampai jalan raya, akuakan  sudah sampai di jalan raya yang menghubungkan Semarang dan Purwodadi. Aku pun belok kiri.

 

Jika bulan Juni lalu, perutku rasanya anteng sampai aku bersepeda sejauh 50 kilometer, kali ini perutku telah meronta-ronta meski jarak yang kutempuh baru sekitar 25 kilometer. Maka, aku pun mulai melihat ke kiri kanan untuk mencari rumah makan yang bisa kuampiri. Di kilometer 29 kilometer, aku berhenti di satu rumah makan yang bertuliskan SOTO SEGER KAHURIPAN.

 



Aku kaget ketika pesananku datang karena ternyata soto daging sapi, bukan soto ayam. Haduw. Aku bukan vegetarian yang anti makan daging dari binatang berkaki empat sih, tapi aku lebih memilih soto ayam. Tapi, ya sudahlah. Aku makan satu mangkuk soto daging, satu tempe goreng, satu krupuk, kemudian minum segelas teh hangat. Untuk itu, aku membayar Rp. 13.000,00. wah, murah yah?

 


Setelah itu, aku melanjutkan perjalanan. Aku sampai di pabrik sarung tangan ZUNA ketika jarak di strava menunjukkan angka 39 kilometer, hanya beberapa puluh meter dari gerbang perbatasan masuk Gubug! Wahhh …

 

Setelah melewati pertigaan Gubug, aku ambil jalan ke kiri. (Jika ke kanan aku akan sampai stasiun Kedung Jati, tapi ogah ah kesana, lha treknya rolling banget je dari pertigaan itu, lol.) sempat ragu kok ga sampai-sampai setelah ambil jalan ke kiri dari pertigaan Gubug, aku sempat ngecek google map. Tapi ternyata arah yang kupilih benar. Aku tinggal melanjutkan perjalanan.

 


Aku sampai di pintu gerbang masuk Api Abadi Mrapen saat jarak tempuh di strava menunjukkan angka 49 kilometer.

 

To my disappointment, Api Abadi Mrapen belum dibuka untuk umum. :( aku sempat bertanya kemungkinan memotret Snow White di dalam, ke satpam yang jaga, namun mendapatkan jawaban yang cukup menyebalkan, lol. Ya sudah. Toh, dalam perjalanan ini mottoku adalah THE DESTINATION IS THE JOURNEY. Bukan melulu 'Api Abadi Mrapen' atau apa kek. Yang penting adalah 'bersepeda sejauh 100 kilometer'. :D

 

Setelah bertanya dua tiga hal ke satpam, aku langsung kembali ke arah jalan raya. Aku juga langsung mengayuh pedal Snow White ke arah Semarang. Dalam perjalanan balik, aku sempat tergoda belok dua kali. Yang pertama, ketika aku melihat ada petunjuk WISATA TENGAH SAWAH 200 meter. Ini di sebelah kanan (aku menuju arah Barat ya) ketika memotret Snow White, ada seorang laki-laki naik sepeda motor yang lewat, dia berhenti melihatku memotret Snow White. Kemudian dia menyapa,

 

"Sendirian saja Bu?"

 

"Iya." jawabku.

 

"Rumahnya mana?"

 

"Semarang."

 

"Wah … Semarangnya mana?"

 

"Karangayu." jawabku, berpikir bahwa nama pasar ini tentu lebih dikenal ketimbang Pusponjolo. :D

 

"Wah … jauh juga ya? Biasanya orang malas bersepeda sendirian. Apalagi tiyang putri," katanya heran.

 

"Selama pandemi, saya lebih memilih sepedaan sendirian, Pak."

 

"Tapi njenengan ikut komunitas sepeda kan?"

 

"Nggih. Tapi memang selama pandemi saya menghindari sepedaan ramai2. khawatir jika ramai2, saya akan lupa diri, lupa jaga jarak, lupa melepas masker, misal ketika foto bareng atau jajan bareng."

 

"Iya sih, tapi kalau sepedaan sejauh ini sendiri kan orang biasanya malas."

 

"Memang. Ini kebetulan mood saya sedang bagus buat sepedaan jauh."

 

Dia mengangguk-angguk sambil mengundangku mampir ke WTS. Aku pun mengayuh pedal Snow White ke arah dia melaju, hingga sampai di kawasan itu. Entah dia pemilik WTS atau siapa, tapi dia mengizinkanku masuk tanpa beli tiket. (Tiket masuk Rp. 2000,00 untuk weekdays, untuk akhir pekan/hari besar Rp. 5.0000,00)

 

Setelah mengitari kawasan WTS, sambil memotret beberapa spots, aku keluar, minta pamit ke Bapak itu, kemudian melanjutkan perjalanan.

 

Sesampai perbatasan Gubug, aku melihat petunjuk TANGGUNGSARI. Ah, tiba-tiba aku ingat stasiun Tanggung yang pernah kukunjungi bareng beberapa kawan 4 tahun lalu. Well, demi menambah jarak di strava, lol, aku pun belok kiri. Kucek di google maps, stasiun Tanggung terletak kurang lebih 6 kilometer dari jalan raya. Hmmm … jauh juga ya? Tapi, yaaah … gapapa deh.

 

Aku sempat ngecek google map 2 kali untuk memastikan aku berada di jalan yang benar, lol, akhirnya aku pun sampai di stasiun Tanggung. Alhamdulillaaah.

 


Aku ga sempat masuk ke tempat menunggu penumpang. Aku hanya memotret Snow White 3 kali disana, kemudian langsung balik kanan, kembali ke jalan yang kulewati semula. Sebelum sampai jalan raya, aku mampir ke satu warung es degan. Siang yang panas begitu tentu enak minum es degan. Lumayan lo, ternyata harganya murah banget! Hanya tigaribu rupiah per gelas!

 

Cukup minum segelas es degan saja. Aku terus melanjutkan perjalanan. Karena air di bidon habis waktu dalam perjalanan ke stasiun Tanggung, aku mampir ke satu minimarket, beli air mineral dan teh kotak dingin. Setelah itu, aku terus melanjutkan perjalanan, tanpa sekali pun beristirahat. Sempat ada kemacetan yang cukup panjang, namun aku bisa terus mlipir lewat kiri.

 

Sesampai Semarang, kebetulan setiap kali lewat traffic light, lampunya terus berwarna hijau, sampai Tugumuda! Akhirnya aku memiliki kesempatan untuk beristirahat karena traffic light berwarna merah disini. Aku ngecek strava, jarak yang telah kutempuh 97,7 kilometer. Setelah lampu berubah hijau, aku melanjutkan perjalanan, aku belok ke Jalan Jayengan, untuk mampir belanja dapur sebentar.

 

Menuju rumah, aku lewat jalan Suyudono, terus hingga jembatan Lemah Gempal, masuk ke Jalan Pusponjolo Selatan. Sesampai di depan pintu gerbang rumah, aku ngecek strava, jarak tempuh 100,4 kilometer. Alhamdulillah, grandfondo tercapai!

 

Dengan lega, aku masuk rumah. Yeay. Next time lagi yuk Na! demi ngeksis! Hihihi …

 

PT56 16.23 10 Agustus 2020

Kamis, 06 Agustus 2020

12 tahun berbike-to-work

 

Mungkin sekitar 2 tahun terakhir, kawan-kawan B2W Pusat (B2W Indonesia) gencar meredefinisi bahwa yang dimaksud dengan 'bike to work' itu tidak melulu mengacu ke bersepeda ke kantor; ketika kita bersepeda pergi ke suatu tempat, entah itu ke kantor, sekolah, pasar, toko buku, kulineran, mengurus perpanjangan STNK/SIM, dan tempat-tempat lain itu bisa kita kategorikan sebagai 'bike to work'.

 

 

Semenjak pandemi covid19 mengglobal, kian banyak orang beralih ke sepeda sebagai moda transportasi, dibandingkan menggantungkan diri pada angkutan umum, misal bus atau KRL. Seorang CEO perusahaan sepeda mengklaim bahwa penjualan sepeda yang dia kelola mengalami kenaikan sejak tahun 2019. Puncaknya adalah kwartal pertama tahun 2020; semua jenis sepeda yang diproduksi perusahaannya laku keras.

 

 

Covid 19 mulai terdeteksi di Indonesia awal Maret 2020. Om Poetoet sebagai ketua umum B2W Indonesia mulai mengkampanyekan penggunaan sepeda sebagai moda transportasi sebagai satu cara yang aman karena kita bisa menjaga jarak aman dengan pengguna jalan lain. Angkutan umum yang semula kita kampanyekan sebagai moda transportasi yang ramah lingkungan mendadak menjadi moda transportasi yang sebaiknya dihindari karena menjaga jarak aman dalam bus / KRL / KA sangat sulit kita praktekkan.

 

 

Melihat ramainya orang-orang yang bersepeda di jalan raya setiap kali aku bersepeda, plus membaca status-status orang di beberapa grup sepeda di medsos, dan berita-berita di kanal berita, nampaknya memang orang-orang membenarkan kampanye B2W Indonesia: sepeda adalah moda transportasi yang aman saat pandemi; jauh lebih aman ketimbang naik angkutan umum. Yang menggembirakan lagi adalah hal ini merupakan aksi global di seluruh dunia; trend orang-orang yang berbike-to-work meningkat drastis!

 

 

Gegara pandemi, jumlah siswa di tempat kerjaku menyusut drastis. Tidak semua guru mendapat kelas untuk diampu sehingga sebagian dari kita melulu hanya 'stay at home', bukan 'work from home'. Meski 'stay at home' aku tetaplah berbike-to-work: aku belanja ke pasar naik sepeda, belanja ke supermarket (membeli beberapa barang yang tidak ada di pasar lokal) naik sepeda, belanja ke minimarket juga jelas naik sepeda. Oh iya, aku juga naik sepeda ke optik saat butuh beli kacamata baru karena gagang kacamataku patah.

 

 

Nah lo. Berangkat ke kantor engga, work from home juga engga, tapi kebutuhan konsumsi jalan terus, lol. Parah.

 

 

Anyway, tahun ini aku telah berbike-to-work selama 12 tahun, sejak awal Juli tahun 2008. tulisan ini untuk menandai sesuatu yang biasa kurayakan dengan menulis di blog.

 

Happy bike-to-work-day Nana!

 

PT56 13.16 07-August-2020


11 tahun berbike-to-work bisa dibaca di link ini


10 tahun berbike-to-work bisa dibaca di link ini


9 tahun berbike-to-work bisa dibaca di link ini


8 tahun berbike-to-work bisa dibaca di link ini


6 tahun berbike-to-work bisa dibaca di link ini

Rabu, 05 Agustus 2020

Vihara Dhammadipa - Batu Malang

Padepokan vihara Dhammadipa terletak di Jalan Ir. Sukarno no. 44 (Mojorejo) Batu. Sangat mudah menemukan vihara ini, asal teliti ketika dalam perjalanan dari (kota) Malang menuju Batu. Dan jika telah menemukan lokasinya, jangan ragu-ragu untuk masuk karena meski vihara ini adalah pusat latihan meditasi Vipassana, vihara juga terbuka untuk turis yang ingin mengagumi keindahan bangunan yang ada.

Padepokan Dhammadipa Arama merupakan pusat latihan meditasi Vipassana, yang dilengkapi dengan gedung ‘Patirupaka Shwedagon’ yang ternyata adalah replika Pagoda Patirupaka Shewedagon Myanmar. Gedung yang megah ini berada di bagian belakang padepokan, dekat dengan tempat bermeditasi/dhammasala. Ada juga museum dimana di dalamnya ada ruang-ruang yang mengkhususkan wilayah penyebaran agama Buddha di seluruh dunia. Akan tetapi aku dan Ranz tidak berani masuk ke museum mengingat pintunya tertutup, dan kita tidak ada guide yang menemani.

jangan lupa di bagian belakang kawasan padepokan ini, kita juga akan menemukan patung Buddha dalam ukuran raksasa yang sedang berbaring. Patung Buddha inilah merupakan daya tarik utama bagiku pribadi. :)

Karena merupakan pusat latihan meditasi Vipassana, bisa dibayangkan betapa sunyi dan damai suasana Dhammadipa Arama. Lokasinya yang sudah dekat kawasan Batu tentu membuat suhu udara lumayan sejuk sehingga sangat menyenangkan. Di ruang khusus bermeditasi, kita melihat lumayan banyak mereka yang sedang bermeditasi, semua mengenakan baju berwarna putih, terlihat begitu suci dan damai. 

Berikut beberapa foto yang dijepret waktu kita kesana.













Museum Sangiran nan Menawan

Museum situs purbakala Sangiran secara administratif terletak di wilayah Kecamatan Kalijambe Kabupaten Sragen, sekitar kurang lebih 20 kilometer dari terminal bus Tirtonadi Solo. 

Dari Tugu Selamat Datang di Sangiran, kita berbelok ke arah kanan. Kita masih harus gowes sekitar 3-4 kilometer. Jalanan beraspal sehingga tidak sulit dilewati. Daerah ini memang sudah lama dikhususkan untuk daerah kunjungan wisata maka bisa dipastikan semua layak dikunjungi, baik turis lokal maupun luar negeri.