Cari Blog Ini

Sabtu, 24 November 2012

Gowes ke Trowulan

Bagi anda yang memiliki hasrat terpendam untuk mengunjungi situs-situs peninggalan masa silam – dalam hal ini terutama untuk menilik kejayaan kerajaan Majapahit – jangan pernah lewatkan untuk berkunjung ke Trowulan. Trowulan adalah sebuah kecamatan yang terletak di bagian barat Kabupaten Mojokerto, berbatasan dengan wilayah Kabupaten Jombang. Sangat mudah untuk berkunjung kesana karena Trowulan terletak di jalan raya yang menghubungkan Surabaya dan Solo.

Luas Kecamatan Trowulan ini kurang lebih ‘hanya’ 100 km persegi. Namun daerah ini sangat kaya dengan peninggalan kejayaan kerajaan Majapahit, seperti temuan arca, gerabah, candi, dlsb. Jarak dari satu situs ke situs yang lain relatif tidak terlalu jauh sehingga dalam jangka waktu satu hari saja, kita bisa menyambangi hampir seluruh situs yang ada, jika kita telah memiliki peta lokasi tempat-tempat yang akan kita kunjungi. Dengan catatan: ‘Hanya’ berkunjung, tanpa melakukan riset yang mendalam.

Sebelum acara “Jamselinas 2” (alias jambore sepeda lipat nasional kedua) yang diadakan di Surabaya ditayangkan di grup Komselis, aku dan Ranz telah ‘menggodok’ rencana untuk gowes ke Trowulan pada pertengahan bulan November 2012. Setelah sempat ragu-ragu – karena ingin mengikuti seluruh rangkaian acara “jamselinas 2” – akhirnya kita putuskan untuk tetap berkunjung ke Trowulan pada tanggal 15 dengan resiko tidak mengikuti acara pembukaan “jamselinas 2” dan NR malam pertama. Apalagi teman-teman Komselis pun baru berangkat ke Surabaya hari Kamis malam. Ya sudah. Dengan ketetapan hati, kita tetap berangkat ke Trowulan.

Ranz yang selalu excited dengan rencana bikepacking kita telah ngeprint rute yang akan kita lewati, dari Solo ke arah Ngawi lanjut ke Madiun – Nganjuk hingga akhirnya ke Jombang. Dari Jombang lanjut ke Mojokerto  -- Krian – Sidoarjo. Dari Sidoarjo ke arah Surabaya. Ranz juga telah ngeprint denah situs purbakala Trowulan.


istirahat plus narsis pertama dalam tur ini :D


Taman Tirta Wisata Jombang
Maka, dengan berbekal peta yang telah diprint dan GPS di handphone plus mengikuti bus-bus yang menuju Surabaya, kita berdua meninggalkan kota Solo pada hari Rabu siang 14 November 2012. Siang itu Solo ‘agak’ bersahabat dengan mendung. Menjelang sampai Ngawi, mulai turun gerimis halus. Kita terus melaju.

Satu hal yang aku suka dari berbikepacking bersama Ranz: dia sangat awas dengan rute jalan yang kita lewati. Meski ini tidak berarti bahwa kita ga pernah tersesat. LOL. Aku yang sangat awam dengan rute Solo – Jombang tinggal ngikut Ranz saja yang sudah biasa ikut ayahnya ke Surabaya. Keuntungan gowes di sore dan malam hari adalah kita tidak dipanggang oleh sinar matahari, sehingga tenaga tidak cepat habis terbakar. Rasa ‘excitement’ yang ada membuat kita – terutama aku – lupa pada rasa kantuk. LOL. (Baru kerasa paginya dan keesokan harinya dan esoknya lagi lagi dan lagi. LOL.)

Perjalanan relatif lancar hingga kita sampai di Jombang ketika kita memutuskan untuk mampir ke satu SPBU untuk beristirahat dan buang air kecil dan juga mandi. Sekitar pukul tujuh pagi hari Kamis kita melanjutkan perjalanan, gowes ke Trowulan.

Namun ternyata saat gowes melanjutkan perjalanan ini lah kita berdua – terutama aku – terserang kantuk yang amat sangat. Ketika Ranz memutuskan untuk mampir ke sebuah mini market untuk membeli tambahan air mineral untuk bekal, aku sudah tidak tahan lagi. Setelah membayar di kasir, keluar dari mini market, aku langsung duduk di teras bangunan itu, bersandar ke sebuah tiang, dan ... tiduuurrr. LOL. Ranz yang sebenarnya juga mengantuk, hanya duduk manis di sampingku sambil minum susu. Kurang dari 15 menit kemudian kita lanjut gowes lagi.


gapura selamat datang/jalan Jombang

warung kopi GIRAS


“I need coffee!” kataku pada Ranz, “Kalo lihat warung kopi kita mampir ya?”

Untunglah tak jauh dari situ, Ranz melihat sebuah warung kopi yang bernama GIRAS. Kita pun mampir. Aku memesan satu gelas kopi instant sedangkan Ranz memesan satu porsi mie goreng instant untuk kita santap berdua. :)

Dan ... ajaib! Usai minum kopi di warung kopi GIRAS, aku pun langsung giras! hihihihi ... Kantukku hilang seketika dan gowes dengan giras tur bagas. LOL.
Memasuki kawasan Trowulan – tanpa kita sadari karena tidak ada penanda sama sekali – di sisi kiri jalan, Ranz melihat plang penunjuk “Candi Brahu” dan “Candi Gentong”. Maka kita langsung belok kiri, mengikuti petunjuk. Namun sebelum menuju “Candi Brahu” kita belok lagi ke arah kiri untuk menuju vihara yang diberi nama “Maha Vihara Majapahit”.

MAHA VIHARA MAJAPAHIT

Maha Vihara Majapahit terletak di desa Bejijong, Trowulan, Mojokerto. Dari arah Jombang, setelah menemukan plang penunjuk “Candi Brahu” kita belok kiri, kemudian belok kiri lagi yang merupakan belokan pertama. Setelah itu kita belok kanan. Vihara ini terletak di sisi kiri jalan. You cannot miss it karena ada papan penunjuknya.


gerbang masuk vihara Maha Vihara Majapahit

bangunan utama vihara


Vihara ini relatif kecil bentuknya, hanya terdiri dari satu lantai. Arsitekturnya berupa paduan seni Cina dan Jawa. Vihara terbuka untuk umum dan pengunjung tidak ditarik biaya masuk. Dari pintu gerbang, bangunan utama bisa langsung terlihat. Di sisi kiri kanan menuju bangunan utama ada barisan patung dalam berbagai pose. Sayang ketika aku dan Ranz kesini, gedung utama ini tertutup pintunya sehingga kita tidak bisa masuk untuk melihat sisi dalamnya yang konon ada tiga altar yang berbeda untuk pemujaan sekte Hinayana, Mahayana, dan Tantrayana.


patung Buddha berbaring dalam ukuran besar

aku dan miniatur Candi Borobudur


Dari gedung utama, kita memilih jalan masuk di sebelah kiri, dimana kemudian kita akan menemukan patung Buddha yang sedang berbaring dalam ukuran yang besar, panjang 22 m, lebar 6 m, dan tinggi 4,5 m. Berbeda dengan patung Buddha yang ada di Pagoda Avalokitesvara Watugong Semarang yang berwarna abu-abu dan sengaja ditaruh di bawah pohon Bodhi yang ditanam di sana, di Maha Vihara Majapahit, patung Buddha ini berwarna kuning keemasan, dan tidak berada di bawah pohon Bodhi. Wajah patung Buddha disini terlihat masih kanak-kanak, sementara yang di Pagoda Avalokitesvara berwajah sudah dewasa.

Dari lokasi patung Buddha, kita memutar di belakang gedung utama. Di satu sisi, kita akan menemukan miniatur Candi Borobudur. Jika kita mengikuti jalan setapak yang ada, kita akan kembali ke halaman depan gedung utama.




Meski berlokasi di Trowulan, Maha Vihara Majapahit bukan merupakan satu cagar budaya, seperti Candi Brahu, dll. Vihara ini dibangun oleh Banthe Viriyanadi Mahathera pada tahun 1985.

Keluar dari vihara, kita belok ke arah kiri, dan kemudian belok lagi ke arah kanan untuk kembali ke ‘jalur utama’. Tak jauh dari situ, kita akan menemukan pendopo kelurahan. Jika kita belok ke arah kiri, kita akan menemukan ‘Siti Inggil’.

SITI INGGIL

Siti Inggil – alias Tanah Tinggi – dikonotasikan sebagai tanah yang diagungkan. Konon di satu titik dalam kawasan ini adalah tempat pertapaan Raden Wijaya, pendiri sekaligus raja pertama Majapahit yang memerintah pada tahun 1293 – 1309.



Ada dua buah makam di lokasi ini, yaitu makam Sapu Angin dan Sapu Jagat yang dikeramatkan oleh penduduk sekitar. Namun tak hanya penduduk sekitar yang biasa datang untuk memohon berkah. Banyak juga pengunjung datang – dari berbagai agama – dari luar kota yang datang untuk memanjatkan doa agar permohonannya dikabulkan oleh YMK. Di luar lokasi makam, ada tersedia sebuah pusat mata air, yang mungkin melengkapi ritual para peziarah; setelah berdoa, meminum air dari mata air ini seteguk dua teguk mungkin akan lebih mengesankan ritual ziarahnya.

Berbeda dari Maha Vihara Majapahit yang tidak mengenakan biaya masuk kepada para pengunjung, untuk memasuki lokasi Siti Inggil, kita perlu membeli tiket masuk yang terhitung sangat murah, seribu rupiah per orang.

Keluar dari lokasi Siti Inggil, kita kembali ke arah pendopo kelurahan, dan berbelok kiri. Tak jauh dari pendopo, kita telah melihat penampakan Candi Brahu, salah satu candi yang kuimpikan untuk kukunjungi jika ada waktu dolan ke Trowulan!

CANDI BRAHU

Candi Brahu terletak di Dukuh Jambu Mente Desa Bejijong Trowulan, sekitar dua kilometer dari jalan raya Mojokerto – Jombang. Om Wiki bilang bahwa nama ‘Brahu’ diambil dari kata wanaru atau warahu. Nama ini disebut dalam Prasasti Alasantan untuk menyebut sebuah bangunan suci. Prasasti tersebut ditemukan tak jauh dari lokasi Candi Brahu.






Berbeda dengan candi-candi yang ada di Jawa Tengah yang terbuat dari batu andesit atau kadang batu kali, Candi Brahu terbuat dari batu bata merah. Candi ini menghadap arah barat, berukuran sekitar 22.5 m panjangnya, 18 m lebarnya, dan 20 m tingginya. Konon Candi Brahu dibangun pada abad ke-15, dengan gaya dan kultur Buddha.

Untuk memasuki kawasan Candi Brahu, pengunjung tidak perlu membeli tiket masuk. Kita bisa langsung masuk, setelah memarkir motor/mobil/sepeda. Khusus untuk sepeda kita tidak ditarik biaya parkir. Hanya pengendara motor dan mobil yang harus membayar retribusi. Kebetulan yang menjaga areal parkir waktu aku dan Ranz datang sangatlah ramah dan informatif. Dari pintu masuk kawasan, sebenarnya kita berada di bagian belakang Candi Brahu.

Cukup dilihat dengan mata telanjang yang tidak belor – berarti bukan mataku – orang bisa langsung melihat bahwa Candi Brahu tak lagi ‘orisinil’ seperti ketika pertama kali dibangun, sekian abad yang lalu. Ada di beberapa bagian yang telah ‘ditambal’ untuk menampilkan candi secara ‘utuh’, minimal tidak jauh beda dari pertama kali dibangun. Ini adalah upaya pemerintah untuk merestorasi peninggalan situs yang bernilai historis tinggi ini. Maka bisa dimengerti jika untuk menjaga keutuhan candi, pengunjung dilarang untuk menaiki tangga dan memasuki candi. Meski kadang masih ada satu dua pengunjung yang membutakan mata dan hati mereka demi keingintahuan pribadi semata. :(

Sebelum keluar dari pelataran parkir Candi Brahu, si tukang parkir menunjukkan arah kiri untuk menuju Candi Gentong. Dari Candi Gentong, kita bisa terus ke arah kiri. Ketika bertemu pertigaan kita bisa belok ke arah kanan, terus mengikuti jalan, kita akan bertemu dengan jalan raya Mojokerto – Jombang. Di perempatan kita menyeberang. Sekitar dua kilometer dari perempatan kita akan menemukan Kolam ‘Kuno’ Segaran. Museum Purbakala Trowulan terletak tak jauh dari situ.

CANDI GENTONG

Situs Candi Gentong terletak di wilayah administrasi Dukuh Jambu Mente, Desa Bejijong, sekitar 360 m di sebelah timur Candi Brahu. Menurut situs mojokertokab.go.id Candi Gentong masih tampak bentuk bangunannya pada tahun 1889, namun pada tahun 1907 hanya tinggal berupa gundukan tanah. Hasil eksvakasi pada tahun 1995 menunjukkan sisa-sisa bangunan kuno berupa struktur dinding yang dibuat dari susunan batu bata. Denah bangunan kuno ini berbentuk bujursangkar yang berukuran kira-kira 14,25 m x 14,25 m dan tinggi 2,45 m, sedangkan tebal dinding sekitar 1,9 m.



reruntuhan Candi Gentong

Meski tak lagi berbentuk seperti ‘candi’ pada umumnya, pemerintah Trowulan telah melakukan ‘pengamanan’ pada batu-batu yang telah ditemukan di kawasan tersebut serta menamai lokasi ini “Candi Gentong”. Mungkin pada saatnya tiba, pemerintah akan melakukan pemugaran dan ‘pembangunan kembali’ candi seperti catatan-catatan yang ditemukan oleh para arkeolog.

Tidak lama aku dan Ranz menghabiskan waktu disini. Kita terus melanjutkan gowes ke arah yang ditunjukkan oleh tukang parkir yang baik hati di Candi Brahu. Dari perempatan yang kusebutkan di atas, aku dan Ranz menyeberang untuk menuju kawasan Kolam Kuno ‘Segaran’.

Waktu baru menunjukkan pukul sepuluh namun matahari yang menyengat dengan semangat membuat suasana seperti tengah hari, jam 12 siang, pas matahari sedang panas-panasnya. Ketika kita sampai di Kolam ‘Segaran’, kita langsung merapat ke sebuah warung yang berjualan bakso dan es kelapa muda. Kita tidak lapar, hanya butuh mengguyur kerongkongan yang terasa sangat kering.

KOLAM SEGARAN

Kolam Segaran terletak kurang lebih 500 meter dari perempatan jalan raya Mojokerto – Jombang. Kolam ini ditemukan pada tahun 1926 dalam keadaan teruruk tanah. Kondisi yang terlihat sekarang ini telah mengalami pemugaran dua kali, yakni pada tahun 1966 dan tahun 1974. Luas keseluruhannya kurang lebih 6,5 hektar, membujur ke arah utara – selatan sepanjang 375 m dengan lebar 175 m. Sekeliling tepi kolam dilapisi dinding setebal 1,6 m dengan kedalaman 2,88 m.

Kolam Segaran ini merupakan satu-satunya bangunan kolam kuno terbesar yang pernah ditemukan di Indonesia. Konon di zaman dulu, keluarga kerajaan Majapahit menggunakan kolam tersebut untuk berekreasi dan menjamu tamu dari luar negeri. Tapi bisa jadi juga kolam ini dulu juga memiliki fungsi sebagai waduk.







Mungkin dikarenakan musim kemarau yang panjang, ketika aku dan Ranz kesana, air di dalam kolam hanya sedikit. Bahkan di sisi Timur kita bisa melihat dasar kolam karena tidak ada air di daerah tersebut.

Dari Kolam Segaran, kita melanjutkan explore ke Museum Trowulan.

MUSEUM TROWULAN

Jika Kolam Segaran terletak di sisi kiri jalan dari perempatan jalan Mojokerto – Jombang, maka Museum Trowulan terletak di sisi kanan jalan. Kita tidak dikenai biaya untuk membeli tiket masuk ke museum ini. Seperti ketika berkunjung ke Candi Brahu, pengendara sepeda bisa memarkirkan sepedanya gratis.

Atas jasa seorang Bupati Mojokerto, Kanjeng Adipati Aria Kramadjaja Adinegara, bersama seorang arkeolog berkebangsaan Belanda bernama Henry Maclaine Pont, museum ini didirikan untuk menyimpan dan memamerkan benda-benda purbakala yang ditemukan di kawasan Trowulan, yang kemungkinan besar merupakan peninggalan kejayaan kerajaan Majapahit.


parkir sepeda gratis :)

peta

bangunan museum




Bersiap-siaplah untuk kecewa karena pengunjung museum TIDAK DIIZINKAN untuk memotret di kawasan museum, terutama untuk mengabadikan benda-bendar purbakala penemuan para ahli. Bagi mereka yang ingin memuaskan keingintahuan betapa megah kerajaan Majapahit di zaman dulu, mungkin bisa sedikit mendapatkan jawabannya dengan berkunjung ke Trowulan, mengunjungi situs-situs yang telah dipugar dan direnovasi, tentu termasuk museum Trowulan yang kemungkinan nantinya akan berganti nama menjadi MUSEUM MAJAPAHIT.


Aku dan Ranz tidak menghabiskan waktu lama disini, karena dikejar waktu. Keluar dari museum, kita langsung menuju ke sebuah warung yang berjualan nasi pecel, rawon, dan soto. Ranz ingin rawon, sayangnya waktu itu rawon tidak tersedia, sehingga kita ganti memesan nasi pecel. Cukup satu porsi nasi pecel untuk berdua. Namun untuk minum, aku pesan dua gelas es teh, sedangkan Ranz cukup satu gelas es teh saja.

Sebelum meninggalkan warung, kita menimbang-nimbang ke arah mana kita akan melanjutkan perjalanan dengan memperhatikan peta denah Trowulan yang telah diprint oleh Ranz. Terlihat ada situs Candi Menakjinggo di dekat Kolam Segaran; di arah Tenggara dari kolam ada Situs Lantai Segienam, Situs Umpak Sentonorejo dan Candi Kedaton. Kita memutuskan untuk menuju Situs Lantai Segienam dan Umpak Sentonorejo yang terletak di Desa Kedaton terlebih dahulu.

SITUS LANTAI SEGIENAM





Situs berupa sisa-sisa sebuah bangunan rumah ini dianggap unik karena berupa hamparan lantai kuno menyerupai paving blok berbentuk segi enam dari bahan tanah liat bakar yang dibuat halus. Pada situs ini kita bisa melihat sisa lantai, sisa dinding dan beberapa perabot dari bahan tembikar seperti gentong dan pot tanah liat. Diduga dulu situs yang terletak 500 m selatan Pendopo Agung ini merupakan bagian dari kompleks bangunan kerajaan.

SITUS UMPAK SENTONOREJO


Situs Umpak Sentonorejo



Situs ini terletak di Dusun Kedaton, Desa Sentonorejo, Kecamatan Trowulan. Fisik situs berupa jajaran umpak batu yang tersusun rapi. Situs ditemukan pada tahun 1982. Menurut penafsiran para arkeolog, situs ini kemungkinan adalah bekas pondasi sebuah bangunan yang menjadi satu kesatuan fungsi dengan Candi Kedaton (yang tidak kita temukan)  dan Situs Lantai Segienam, namun belum diketahui apa fungsi dan bagaimana keterkaitannya dengan dua situs ini.
Meninggalkan Dusun Kedaton untuk kembali ke arah Kolam Segaran kita melewati Pendopo Agung. Namun untuk menghemat waktu – dan pendopo nampak sangat ramai – kita tidak mampir. Kita melanjutkan gowes ke arah Candi Bajang Ratu dan Candi Tikus yang terletak saling berdekatan.

CANDI BAJANGRATU

Candi Bajangratu terletak di Dukuh Kraton, Desa Temon, Kecamatan Trowulan. Nama ‘Bajangratu’ pertama kali disebut dalam Oudheidkunding Verslag (OV) tahun 1915. Arkeolog Sri Soeyatmi Satari menduga nama ‘bajangratu’ ada hubungannya dengan Raja Jayanegara dari Majapahit. Kata ‘bajang’ berarti ‘kecil’ karena menurut Kitab Pararaton Jayanegara dinobatkan tatkala masih berusia bajang alias masih kecil sehingga gelar Ratu Bajang atau Bajangratu melekat padanya.























Dilihat dari bentuknya, Candi Bajangratu berupa gapura paduraksa atau gapura beratap dengan tangga naik dan turun sehingga diduga merupakan salah satu pintu gerbang menuju Keraton Majapahit. Situs ini menempati area yang cukup luas. Seperti Candi Brahu, seluruh bangunan candi dibuat dari batu bata merah, kecuali anak tangga dan bagian dalam atapnya.

Candi Bajangratu dipercayai telah mengalami beberapa kali pemugaran, sejak zaman Kolonial Belanda. Untuk menjaga keutuhannya, para pengunjung dilarang untuk mendaki anak tangga dan masuk ke dalam candi.

Ada sedikit kisah menarik ketika aku dan Ranz di kawasan ini. Ada dua orang bule, perempuan, berambut pirang, didampingi oleh seorang perempuan yang berwajah oriental Jepang. Satu ketika jarak kita amat dekat sampai aku mendengar salah satu dari mereka ngedumel (in English) pada si perempuan Jepang. Intinya mereka tidak mau diganggu karena mereka sedang berlibur, ingin menikmati ‘privacy’ mereka.

Sempat tidak ngeh apa maksud omelan itu hingga aku mendapatkan ‘jawaban’. Tak lama setelah aku mendengar mereka ngedumel, aku melihat dua perempuan belasan tahun mendekati mereka sambil menyodorkan kamera, mau mengajak foto bersama. Mereka langsung ditolak oleh si perempuan Jepang. Beberapa menit kemudian, aku melihat rombongan anak sekolah berjalan mengitari Candi. Ada seorang laki-laki yang mungkin adalah guru mereka; kulihat laki-laki itu langsung mendekati dua perempuan bule yang berdiri tak jauh dari mereka, tanpa bilang, “excuse me” atau pun “pardon me”, langsung bilang, “photo ... photo ...” Sama seperti kejadian sebelumnya, si perempuan Jepang menolak, “Tidak!” Si bapak guru satu ini terlihat ngeyel, “Kenapa?” tanyanya. “Sedang berlibur. Tidak mau diganggu,” jawab si perempuan Jepang. Si bapak guru, dengan raut wajah yang sama sekali tidak enak kulihat, kembali ke rombongan muridnya, dan dengan ketus berkata, “Bulenya ga mau diajak foto bersama.” Dan kulihat ekspresi wajah anak-anak yang kecewa.

Hadeehh ... bule kan juga manusia biasa yang ingin menikmati liburan yang ‘private’ yak?

Satu ‘pemandangan’ lain yang dramatis dan memalukan adalah ketika si bule menyingkirkan sampah plastik yang dibuang begitu saja oleh ‘turis’ dalam negeri, sambil berbisik, “Why not care for the environment?” JLEB! Dengan sepenuh hati si bule memasukkan sampah-sampah itu ke dalam tempat sampah yang disediakan oleh si pengelola situs.

CANDI TIKUS

Dari Candi Bajangratu, aku dan Ranz melanjutkan gowes ke Candi Tikus. Candi ini terletak di Dukuh Dinuk Desa Temon, Kecamatan Trowulan; berukuran 29,5 x 28, 25 m dan tinggi 5,2 m. Candi ini disebut Candi Tikus karena ketika ditemukan daerah ini merupakan bersarangnya tikus yang memangsa padi petani. Pertama kali ditemukan pada tahun 1914, pemugaran baru dilakukan pada tahun 1983 – 1986.







Disebutkan bahwa Candi Tikus ini merupakan replika Mahameru karena terdapat miniatur empat buah candi kecil, tempat para dewa bersemayam dan sumber segala kehidupan yang diwujudkan dalam bentuk air mengalir dari pancuran/jaladwara yang terletak di sepanjang kaki candi.

Candi ini terletak di bawah tanah. Di zaman dahulu bisa jadi candi ini berupa tempat pemandian para putri kerajaan. Bisa dibayangkan indahnya jika candi ini dipenuhi dengan air biru jernih.

Seperti candi-candi yang lain, pengunjung dilarang menginjakkan kakinya di kawasan candi, dan untuk memasuki kawasan pengunjung tidak perlu membeli tiket masuk, hanya membayar parkir bagi pengendara sepeda motor/mobil. Sepeda gratis. :)

Candi Tikus terletak di pojok dimana jika kita ingin keluar ke arah jalan raya yang menghubungkan Mojokerto – Jombang, kita harus kembali ke jalan kita gowes masuk tadi, menuju arah Kolam Segaran. Sesampai Kolam Segaran, kita mencari lokasi Candi Menakjinggo yang di denah terletak di ‘belakang’ Kolam Segaran. Kita hampir saja tidak melihatnya karena, seperti situs Candi Gentong, Candi Menakjinggo hanya berupa tumpukan batu-batu yang dikumpulkan sebelum direnovasi/dipugar berbentuk aslinya.

Karena telah lebih dari jam 13.30, kita langsung memacu sepeda keluar dari kawasan tersebut untuk kembali ke jalan raya. Kita menuju arah Mojokerto. Sebelum meninggalkan Kecamatan Trowulan, tujuan terakhir adalah Gapura Wringin Lawang yang terletak di sisi kanan jalan. Mata Ranz yang awas melihat plang penunjuk menuju Gapura Wringin Lawang sehingga kita tidak melewatkannya.

GAPURA WRINGINLAWANG

Gapura atau Candi Wringin Lawang terletak di Dukuh Wringinlawang, Desa Jati Pasar, Kecamatan Trowulan, sekitar 11 km dari Mojokerto ke arah Jombang. Konon dahulu di dekat candi terdapat pohon beringin besar sehinga candi ini dinamakan Candi Wringinlawang (wringin berarti beringin, lawang berarti pintu).

Wringinlawang merupakan candi bentar, yaitu gapura tanpa atap. Candi bentar biasanya berfungsi sebagai gerbang terluar dari suatu kompleks bangunan. Candi/gapura ini dipugar pada tahun 1991 – 1995, bangunan terbuat dari batu bata merah.





Gapura Wringinlawang



Menurut seorang penjaga kawasan ini – yang tertarik melihat kita berdua karena datang dengan mengendarai sepeda lipat – candi/gapura Wringinlawang sangat jarang dikunjungi oleh para turis, dibandingkan dengan situs-situs lain yang tersebar di Kecamatan Trowulan, mungkin karena tempatnya yang ‘memencar’ jauh dari yang lain. Ketika kita mampir, hanya kita berdua lah ‘turis’ yang terlihat tertarik berfoto-foto.




numpang narsis di jembatan di atas Sungai Brantas



Selepas meninggalkan candi/gapura Wringinlawang sekitar pukul 14.30, Ranz menyarankan agar kita gowes (sedikit) ngebut ke arah Sidoarjo agar kita sampai di rumah saudara sepupunya sebelum gelap. Masalah utamanya adalah Ranz (ternyata) tidak ingat dengan jelas dimana kita harus belok untuk menuju perumahan dimana saudara sepupunya tinggal. Kalau gelap telah tiba, tentu akan lebih sulit lagi mencarinya. Namun, aku yang kelelahan, ditambah kondisi tubuh yang tidak fit, plus pikiran ke Semarang melulu karena my dear mom was hospitalized, tidak bisa mengayuh pedal secepat yang diharapkan Ranz. Walhasil kita sampai di kawasan perumahan saudara sepupunya setelah gelap. Sempat tersesat beberapa kali – hingga gowes pun menjadi lebih lama, tubuh kian lelah – akhirnya kita sampai juga di rumah yang dituju dengan bantuan seorang laki-laki yang baik hati sekitar pukul 18.40. Mood-ku sudah sangat drop.

To be continued.

GL7 09.06 21/11/12

5 komentar:

  1. the half part feminist now become the half part adventure ?? huh :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. being adventurous for me, I think, hmmm ... it is innate in me :)

      only recently I got that chance to express it

      better late than never, do you agree? :)

      Hapus
  2. indeeeed ... well at least u got a chance and ill just accompany u...

    and i miss for bikepacking now

    BalasHapus

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.