Day 2 : Explore Rembang + Lasem 23 Agustus 2012
Sesuai kesepakatan kita
berdua bahwa kita akan memanfaatkan bikepacking ini untuk sekalian berwisata,
kita tidak mengejar target untuk segera melanjutkan perjalanan ke Tuban pada
hari kedua ini. Maka kita gunakan hari kedua ini untuk gowes santai sekaligus
berkunjung ke beberapa tempat wisata.
Aku yang selalu ingin
menghampiri setiap pantai yang kita lewati pun menempatkan TRP Kartini – yang
lokasinya paling dekat dengan hotel – sebagai tempat kunjung pertama. Setelah
sarapan di restoran hotel, packing, kita check out dan langsung ke TRP Kartini.
Sempat kesulitan mendapatkan ijin untuk membawa sepeda lipat kita ke dalam area
pantai, akhirnya kita bernafas lega karena akhirnya kita bisa masuk bersama
Snow White dan Pockie. Lokasi di dalam penuh sesak dengan orang-orang yang
berjualan; mulai dari cenderamata, makanan, minuman, pakaian, juga berbagai
macam wahana hiburan anak-anak. Meski baru pukul sepuluh, matahari bersinar
lumayan terik. Aku agak kecewa ketika tidak mendapati pasir yang langsung
bersentuhan dengan bibir pantai dimana aku bisa duduk beralaskan pasir pantai.
But it was okay.
Setengah jam kemudian kita sudah melanjutkan perjalanan ke tempat
tujuan kedua: Museum RA Kartini yang terletak kurang lebih 500 meter dari pusat
kota Rembang. Ketika kita sampai disana rupanya museum baru saja
menyelenggarakan open house dan pihak penyelenggara menyediakan sarapan berupa
satu mangkuk soto. Meski sudah sarapan di hotel, aku tidak ingin mengecewakan
pihak panitia maka aku mengambil satu mangkuk soto dan segelas air mineral.
Kulihat banyak juga pemudik/passer-by yang mampir untuk melihat-lihat museum
meski banyak dari mereka yang malu-malu mengambil sarapan yang tersedia.
Museum RA Kartini ini sangat layak kunjung bagi mereka yang memang
tertarik dengan sejarah kehidupan Kartini, terutama setelah menikah pindah dari
Jepara ke Rembang. Kita bisa melihat tempat tidur dimana dulu Kartini tidur,
kamar mandi dan bath-tub, meja makan, meja rias, dll. Salah satu kalimat
Kartini yang dikutip dan dipajang, yang paling menarik bagiku, “aku mau
merdeka, mau berdiri sendiri agar supaya tidak perlu bergantung pada orang
lain.” ... “Bahwa orang tidak berhak membuat anak kalau ia tidak sanggup
membiayai hidupnya.” Aku jadi membayangkan saat Kartini protes tidak mau menjadi
istri ke sekian laki-laki yang akan menikahinya namun karena darah ningrat yang
mengalir di tubuhnya membuatnya terbelenggu adat untuk mematuhi titah sang
ayah.
Setelah puas mengunjungi ruangan demi ruangan dalam museum, kita
melanjutkan perjalanan menuju Lasem. Beberapa kilometer dari situ, kita melihat
papan penunjuk arah “Wisata Pantai” maka kita mengikuti arah itu untuk mampir
ke pantai yang ternyata diberi nama “Gedong Berseri – Caruban Desa Gedongmulyo
Kecamatan Lasem”. Ketika kita melewati gerbang masuk kawasan pantai, ternyata
kita tidak disuruh membayar tiket; hanya pengendara kendaraan bermotor yang
ditariki retribusi. :)
Pantai berpasir warna terang ini terletak kurang lebih 4 km dari
jalan raya. Sepanjang perjalanan di kanan kiri kita melihat hamparan ‘tambak’
garam dan para petani penggarap yang sedang mengerjakan lahannya. Bagiku
pribadi pantai ini jauh lebih menarik dari pada TRP Kartini, Cuma belum
dikelola secara profesional. Namun berhubung jarang pengunjung, hamparan pasir
yang penuh dengan kulit kerang nampak bersih dari sampah. Hanya ada satu dua
warung yang berjualan makanan dan minuman yang sepi. Jika saja kita mampir ke
pantai ini di sore hari dimana sinar matahari sudah melembut, aku bakal tahan
lama duduk-duduk menikmati hamparan laut biru yang luas serasa tanpa tepi.
Tidak lama kemudian kita
melanjutkan perjalanan ke pusat kota Lasem yang disebut orang sebagai kota
Tiongkok kecil karena banyak ditemukan gedung-gedung yang dibangun dengan
disain eksterior Cina, terutama yang dengan mudah terlihat adalah bentuk atap
rumah dan pintu.
Mendekati pusat kota Lasem, kita mencari hotel yang dari sebuah
blog yang kukunjungi menginformasikan bahwa di kota kecamatan Lasem ini hanya
ada sebuah hotel yang terletak di Jalan Raya no. 105. Tentu saja tidak sulit
menemukan hotel “Wijaya” ini. Yang menarik dari hotel ini adalah para perempuan
(dan juga laki-laki) yang telah berumur yang dipekerjakan. Aku langsung
menyimpulkan bahwa para pemuda-pemudi Lasem tidak tertarik untuk terus tinggal di
kota mereka sehingga memutuskan untuk merantau ke kota lain.
Setelah check in, menaruh tas
panier dalam kamar, kita keluar lagi untuk eksplore Lasem. Tujuan pertama
adalah kelenteng yang sayangnya tidak kuketahui namanya karena ditulis dalam
huruf Cina. Bangunannya mengingatkanku pada kelenteng Tay Kak Sie yang terletak
di Gang Lombok. Atau memang semua kelenteng bangunannya seperti itu ya? Hehehe
... Disini aku bertemu dengan beberapa perempuan berumur yang ternyata berasal
dari Semarang. Entah mereka dari mana, namun dalam perjalanan pulang ke
Semarang, mereka sempatkan mampir di kelenteng ini.
Dari kelenteng yang aku tidak
tahu namanya ini, kita melanjutkan perjalanan ke kelenteng lain, yang konon
merupakan salah satu kelenteng tertua, Gie Yong Bio yang terletak di Jalan
Dasun no. 19 Lasem. Bentuknya lebih kecil dan kurang terawat dibanding
kelenteng yang sebelumnya kita kunjungi. Dari kelenteng ini kita menyusuri
jalan tidak lebar ini ke arah Selatan, tanpa tahu kita akan sampai dimana.
Setelah gowes kurang lebih 2 kilometer, dan tidak menemukan belokan ke arah
kiri/kanan, kita memutuskan untuk berbalik arah ke jalan raya. Sebelum sampai
jalan raya, kita belok ke arah kanan ketika kita sampai di sebuah pertigaan tak
jauh dari kelenteng Gie Yong Bio, dimana aku menemukan model pintu gerbang khas
kota Lasem. Kalau semua penduduk membangun rumahnya seperti ini – dikelilingi
tembok tinggi – bagaimana mereka bisa saling kenal dengan tetangga ya di zaman
dulu?
Kita memutuskan untuk kembali
ke hotel setelah itu. Waktu menunjukkan hampir pukul empat sore untuk
beristirahat. Setelah tubuh bersentuhan dengan kasur baru terasa betapa penat
kaki, punggung, leher, dll. :)
Lebih dari pukul setengah
tujuh kita keluar untuk mencoba menyusuri Lasem di malam hari. Di pertigaan
dimana kita bisa menemukan sebuah masjid megah berwarna hijau, kita ke arah
Selatan yang menurut petunjuk arah kita akan sampai di Pamotan jika kita terus
gowes kesana. Track sedikit menanjak yang langsung menantang kita untuk
mencobanya. Namun karena paginya kita harus gowes sekitar 90 km menuju Tuban,
kita menahan diri untuk tidak gowes jauh, dan langsung balik kanan dan mencari
makan malam. Ranz memilih sate kambing muda untuk menu makan malam kita.
Menjelang pukul sembilan kita
balik ke hotel untuk beristirahat setelah packing.
To be continued
|
sebelum meninggalkan Hotel Kencana, tempat kita menginap semalam |
|
dermaga Pantai Dampo Awang |
|
di teras samping museum |
|
di teras depan Museum Kartini |
|
pantura! |
|
tambak garam |
|
keluar meninggalkan Pantai Gedong Berseri |
|
Lasem! yay! |
|
Kelenteng Cu An Kiong |
|
'Kelenteng' Gi Yong Bio |
|
salah satu jenis pintu khas budaya China |
|
di kawasan Pecinan |
|
di depan kamar tempat kita menginap |
|
Ranz terlihat sudah lelah ya? (ternyata dia jatuh sakit keesokan hari) |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.