BROMO : WE ARE COMING!
Selasa 26 Desember 2017 ~ Day 2
Semalam sebelum tidur, Ranz sempat browsing di internet
tentang kendaraan umum menuju Cemara Lawang, satu desa yang terletak paling
dekat dengan pintu gerbang masuk Taman Nasional Bromo Tengger Semeru dari
Probolinggo. Aku menyerahkan keputusan kepada Ranz apakah di hari kedua ini
kita akan bersepeda atau loading.
Pukul tujuh pagi kita sudah siap. Kita turun (kamar kita di
lantai 2) membawa tas pannier dll untuk dipasang di sepeda. Ternyata, sebelum
memasang tas saddle di Astro, Ranz memajukan posisi seatpost-nya terlebih
dahulu untuk mengurangi jarak handle bar dan seatpost. Akibatnya Ranz cukup
kesulitan memasang tas pannier di balik seatpost Astro, butuh waktu lebih lama
untuk itu.
Setelah semua pannier terpasang, kita meninggalkan homestay.
Kita kembali ke arah kita datang kemarin dari Pasuruan. Sesampai di pertigaan
yang ada spot foto khas PROBOLINGGO, kita belok kiri. Aku terus mengikuti Ranz
dari belakang. Nampaknya posisi seatpost yang lebih dekat dengan handle bar
cukupp membuat tubuh Ranz lebih nyaman sehingga pagi itu kecepatannya mengayuh
Astro baik-baik saja. Dan ... Ranz pun kelihatannya lupa bahwa semalam dia
cari-cari informasi tentang kendaraan umum menuju Cemara Lawang. LOL.
Ranz mengajakku berhenti setelah kita mengayuh pedal sejauh
10 kilometer di satu warung makan yang bangunannya cukup sederhana. Kita butuh
asupan makan. J disini kita hanya pesan
satu porsi nasi campur / rames dengan tempe sebagai lauk. Ngirit banget dah. J untuk minum kita hanya beli satu botol air
mineral, 600 ml. Meski butuh asupan makan, kita ga lapar2 amat sih, jadi satu
porsi nasi campur cukup untuk kita berdua.
15 menit kemudian kita melanjutkan perjalanan. Jalan mulai
terasa menanjak, meski masih sangat halus. Performa Ranz masih bagus. Dia terus
berada di depanku. Beda dengan kemarin aku harus terus menerus mengerem agar
bisa tetap berada di belakangnya persis, hari ini aku tidak perlu mengerem,
lol, apalagi jalan menanjak. Lol.
Yang menarik perhatianku dalam perjalanan kali ini adalah
kita melewati 3 buah masjid yang sedang dibangun; di tiap masjid itu ada
beberapa orang yang bertugas mencari dana bantuan dari orang lewat,
mereka berbicara menggunakan toa untuk menarik perhatian orang-orang yang
sedang lewat untuk mau sekedar menyisihkan rejeki menyumbang pembangunan
masjid. Yang sangat mengherankan adalah ketiga masjid itu terletak tidak
berjauhan; masing-masing berjarak tak lebih dari 700 meter. Hmmm ... jadi
terkesan ‘jor-joran’ alias rebutan mencari perhatian.
Selain itu, sekitar tiga atau empat kali kita melewati loud
speaker yang ukurannya gila-gilaan, besar sekali, tumpuk-tumpuk. Bisa
dibayangkan suara yang dihasilkan seperti apa, dari jarak sekian ratus meter
kita bisa mendengar mereka sedang menyetel lagu apa. Entah apakah mereka sedang
bersiap-siap mengadakan acara pengajian atau pesta atau sejenis itu. Kok ya
barengan yak? LOL.
Sekian puluh kilometer berlalu. Jalanan mulai menyempit,
tanjakan mulai terasa kian curam, dan yang membuat kita harus ekstra hati-hati
rute yang kita pilih ternyata juga dilewati banyak truk dengan muatan penuh. L nampak terlihat di beberapa lokasi, jalan tol
entah dari mana kemana sedang dibangun. Oh ... pantas banyak truk lewat daerah
itu.
Ketika tanjakan kian curam, dan tak henti-henti, kita mulai
keteteran. Di beberapa tanjakan, aku menyalip Ranz, Austin lebih ringan dikayuh
karena tas pannier yang nangkring relatif jauh lebih ringan juga ketimbang yang
dibawa Astro. Di ujung tanjakan (maksudnya sebelum menuju tanjakan selanjutnya J) aku berhenti, menyempatkan diri memotret /
merekam Ranz dalam video menggunakan tab yang kubawa.
Saat menapaki tanjakan demi tanjakan itu, terlihat beberapa
anak yang bersorak sorai memberi kita semangat. J mereka
bertepuk tangan riuh waktu melihatku menapaki tanjakan dengan baik, terkadang
sebagian dari mereka iseng menyoraki Ranz, “huuuuu ...” karena Ranz harus
berhenti di tengah-tengah tanjakan untuk beristirahat. Satu hal yang membuatku
merasa sedikit bersalah, anak-anak itu tidak tahu kalau Astro dibebani tas
pannier yang berat, sedangkan Austin cukup ringan.
Selama perjalanan – sejak kita mampir satu warung makan
untuk sarapan ala kadarnya – kita tidak bertemu pom bensin maupun mini market.
Wiiih ...
Entah di kilometer berapa aku melihat satu warung yang jauh
lebih sederhana ketimbang tempat kita sarapan, aku berhenti tak jauh dari situ.
Kulihat dia jualan mie instan; aku yakin Ranz – yang masih berada di belakangku
– pasti mau, maka aku memesan satu porsi mie instan untuk kita berdua. Kita
nongkrong di satu bale-bale yang ada di luar warung itu sambil makan mie instan
dan menikmati udara yang cukup segar. Kita sampai di satu daerah yang kendaraan
bermotor jarang lewat.
15 menit kemudian kita melanjutkan perjalanan.
berhenti untuk istirahat yang ke sekian kali :D |
jalannya miring yaaa |
Trek terus menerus menanjak, kadang cukup landai, kadang
curam. Kita kian sering berhenti untuk mengatur nafas. :D Ranz pun (akhirnya)
mengeluh, “Ini adalah kali pertama kita menuju satu lokasi yang terletak di
atas 1000 mdpl dengan beban pannier barang-barang yang kita butuhkan selama
satu minggu! Pantas saja terasa berat sekali!”
Ah ya ... jadi ingat. Kita telah bersepeda ke lokasi yang
letaknya di atas 1000 mdpl (Tawangmangu, Candi Cetho, Candi Sukuh, dan Umbul
Sidomukti), namun kita pergi hanya (maksimal) tiga hari, berangkat hari Jumat
pulang hari Minggu.
Meski tertatih-tatih, kita akhirnya sampai juga di Sukapura,
pertigaan yang menghubungkan Probolinggo – Surabaya – Cemara Lawang. Kita telah
menempuh jarak 27 kilometer dari penginapan kita di Jalan Suyoso Probolinggo. Setelah
(terpaksa) menahan pipis selama 17 kilometer (sejak kita selesai sarapan),
akhirnya aku bisa membuang hajat. LOL. Kita mampir di satu warung bakso iga
untuk kembali mengisi perut, satu porsi untuk berdua.
Setelah pertigaan Sukapura, tanjakan semakin menggila. L L L dan kita hanya bisa pasrah. LOL. Sebenarnya
pingin segera mencari penginapan saja untuk beristirahat, dan melanjutkan
perjalanan keesokan hari. Tapi ... Ranz sudah telanjur booking penginapan dua
malam di Cemara Lawang. L karena
khawatir seluruh penginapan di Cemara Lawang bakal fully-booked (mengingat
libur akhir tahun berarti termasuk peak season
untuk berlibur kan ya) Ranz telah memesan satu kamar di satu homestay.
“Percayalah pada keajaiban NIAT!” kata seorang sahabat
sepeda di medsos.
Ya ... akhirnya NIAT itulah yang kemudian membawa kita
sampai di Cemara Lawang setelah tertatih-tatih menaiki maupun mendorong sepeda
lipat kita yang penuh dengan tas pannier, ketika jam menunjukkan pukul lima
sore. J Aplikasi strava yang
baru saja diinstall oleh Ranz ketika kita berada di Sidoarjo menunjukkan pada
kita bahwa jarak yang kita tempuh hari ini “hanya” sekitar 43,6 kilometer,
namun dengan “elevation gain” mencapai 2230 mdpl! Hwaaaah ... (Terakhir kita
nanjak sampai 1200 mdpl adalah bersepeda ke Candi Sukuh Oktober 2013!)
Ternyata Ranz booking satu kamar di View Bromo homestay, dua
hari dua malam Rp. 400.000,00 dengan fasilitas double bed, shower room dalam
dengan air panas, dan sarapan. Waktu kita datang, di ruang tamu ada dua orang
Caucasian yang duduk-duduk di kursi yang ada. Barang bawaan mereka teronggok di
dekat meja. Terkadang mereka ngobrol, terkadang mereka sibuk dengan gadget
masing-masing. Entah mereka baru datang atau justru akan meninggalkan homestay.
Agak heran juga aku mengapa mereka tidak berada dalam salah satu kamar yak?
Setelah check in dan mandi (ga berani keramas karena airnya
dingin banget, air panasnya belum siap dipakai) kita keluar untuk mencari makan
malam.
Kita berjalan ke satu pertigaan, mungkin sekitar 200 meter
dari homestay kita, dimana jika belok kiri kita akan menuju gerbang masuk Taman
Nasional Bromo Tengger Semeru, jika belok kanan kita turun ke arah Sukapura
dengan trek turunan super tajam. Lebih dekat ke arah gerbang, lebih banyak
warung makan. Ranz sempat tertarik beli sate ayam, si penjual membuka
dagangannya begitu saja di pinggir jalan (tidak di satu bangunan berupa
warung). namun karena antrinya lumayan
panjang, dan gerimis mulai turun, kita langsung ngacir balik ke homestay. Tak
jauh dari homestay, kita masuk ke satu warung makan. Disitu aku hanya melihat
pecel, ya sudah, kita pesan nasi pecel dengan tempe goreng. Kita juga pesan teh
panas manis.
Kali ini Ranz malah sama sekali tidak ingin ikut mencicipi
nasi pecel yang kupesan. Dia hanya ikut mencicipi tempe gorengnya. Rasa teh
panasnya zonk. Yaaah ... sudahlah.
Usai makan, gerimis ternyata berhenti. Syukurlah. Jarak dari
warung ini ke View Bromo homestay lumayan bisa bikin kita basah soalnya jika
gerimis masih turun, apalagi aku bawa tab dan Ranz bawa kamera.
Sesampai homestay lagi, kita langsung beristirahat dalam
kamar. Di ruang tamu, masih kulihat dua bule yang kuceritakan di atas, masih tetap sibuk dengan gadget masing-masing. :)
Hujan kembali turun, dan kali ini cukup deras. Hawa pun kian
menggigilkan tubuh.
To be continued.
Tulisanmu yang ini panjang
BalasHapuspadahal cuma gowes 43 kilometer. kekekekeke ...
Hapus