Cari Blog Ini

Selasa, 14 Januari 2020

From Semarang to Solo with love in 2020



Sejak tahun 2018, aku punya 'ritual' tahunan, yaitu bersepeda dari Semarang ke Solo; aku berangkat sendiri sampai Bawen, Ranz menjemputku disana; Dari Bawen, kita baru gowes bareng.


Kisah bermula di tahun 2018 ketika aku dkk akan menghadiri acara ultah Seli Solo yang ke-8, kita kehabisan tiket KA Kalijaga. Waktu itu belum ada KA Joglosemarkerto, jadi jika tidak naik KA Kalijaga, alternatif moda transportasi lain adalah naik bus. Honestly, jika bawa sepeda lipat, lebih nyaman naik kereta ketimbang naik bus. Maka, ketika ditawari Avitt untuk gowes ke Solo, aku langsung mau. Tapi, karena mereka berangkat hari Jumat, sedangkan aku baru bisa berangkat hari Sabtu, Ranz mengalah dengan menjemput kita di 2 hari yang berbeda. Ranz menjemput Avitt dan Hesti di terminal Boyolali, Ranz menjemputku di Bawen.


Di tahun 2019, Ranz menawariku bersepeda lagi; dia tetap menjemputku di Bawen. Kali ini Ranz tidak bisa menjemput hari Sabtu, maka aku berangkat hari Jumat.


Aku dan Ranz tercatat sebagai peserta launching komunitas sepeda lipat di Sragen -- mereka memilih nama Lempitan Sragen  -- yang diselenggarakan pada hari Minggu 12 Januari 2020. Semula aku berencana berangkat hari Sabtu 11 Januari 2020 naik KA Joglosemarkerto (KA Kalijaga sudah berhenti dioperasikan :( ), namun ternyata kelasku kosong di hari Sabtu, maka aku memutuskan berangkat hari Jumat. Semula akan naik kereta yang berangkat pukul 14.50. Tapi, Ranz menyarankan aku naik 'travel' agar bisa berangkat pagi. Dan, begitu saja, aku berpikir mengapa ga nyepeda saja? Yuhuuu … dalam rangka melanjutkan 'ritual tahunan gowes Semarang - Solo'.


10 Januari 2020


Di pagi hari, mendung menggayut di langit malu-malu. Well, tapi bukankah orang-orang tahu bahwa mendung tak berarti akan turun hujan? Aku meninggalkan rumah menjelang pukul 07.00, setelah menyelesaikan pekerjaan rumah di pagi hari. Seperti biasa, di awal gowes, rasanya pasti masih aras-arasen (enggan, bahasa Jawa, lol). Hawa mendung ini memiliki 2 fungsi yang berkebalikan (1) perasaan kian males lol (2) untung tidak panas, jadi lumayan lah mengayuh pedal menuju arah Selatan Semarang yang treknya didominasi tanjakan.


Sampai di depan sekolah Don Bosco, Kaliwiru, aku mulai merasakan titik-titik gerimis. Looooh, gerimis! Masih teringat waktu bersepeda pulang dari Ngawi menuju Solo, gerimis yang tak kunjung habis, hingga sesampai Solo, jelas aku basah kuyub. Kembali niatku (sedikit) mengendur, aku lanjut gowes ga ya? Tapi, aku ga yakin apakah BRT mau mengangkut penumpang yang membawa sepeda lipat. Males jika harus berdebat boleh atau tidak. Hmfttt …


Akhirnya aku memilih terus mengayuh pedal. Untunglah sesampai pasar Jatingaleh, gerimis pun berangsur menghilang.


Ranz mengabariku dia telah sampai di terminal Bawen (dia naik bus) pukul 08.15. padahal aku mengajaknya janjian bertemu disana pukul 09.00.


Akhirnya aku sampai di Bawen pukul 09.10. istirahat sebentar, aku membeli air mineral karena bidonku sudah kosong. Pukul 09.30 kita melanjutkan gowes ke arah Salatiga.


Sekitar pukul 10.00 kita sampai di warung soto segeer Mbok Giyem yang terletak tak jauh dari tugu bertulisan SALATIGA SMART. Sebenarnya pinginnya sarapan di warung soto segeer Hj. Fatimah di Boyolali, tapi perut sudah telanjur keroncongan, hihihi. Dan Ranz mengaku kedinginan dalam bus, dia butuh sesuatu untuk menghangatkan tubuhnya.


Setelah sarapan, kita melanjutkan perjalanan lagi. Aku suka bersepeda lewat kota Salatiga, jadi ingat di tahun 2015 aku, Ranz, Tami, dan Om Dije gowes menuju Solo untuk menghadiri jamselinas 5. Kita berhenti di satu gerai fastfood untuk ngemil. Ga lama setelah melanjutkan perjalanan, ternyata kita masih kelelahan, lol, kita berhenti lagi mampir di satu mini market, dimana aku beli cappuccino. Kita sempat ngobrol bagaimana jika kita loading saja, lol. Tapi, kasihan Om Dije kita tinggal sendiri, karena dia naik sepeda federal yang tidak bisa dilipat. Lol. Kenyataannya tentu saja kita lanjut bersepeda sampai Solo saat itu.


Jika tahun lalu Ranz mengajakku mampir di satu toko yang berjualan gethuk di area kota Salatiga, kali ini dia tidak mengajakku mampir kemana-mana. Kita terus mengayuh pedal. Satu kenikmatan bersepeda di saat hari mendung, kita tidak mudah merasa haus, dan tenaga tidak cepat habis karena diserap sinar matahari yang terik. Tidak enaknya kali ini adalah, Ranz tidak sigap memotret, lol, kebiasaan 'buruknya' jika kita menapaki jalan yang sama lagi, dia tidak merasa perlu memotret. Hadeeeh.


Mendung yang menutupi seluruh langit dengan rata pun menutupi pemandangan gunung yang sempat terlihat saat kita masih di Bawen. Tambah ga ada keperluan berhenti di pinggir jalan untuk berfoto.

Aku berhenti ketika kita sampai di gerbang Selamat Datang di Boyolali. Hwaaaah … cepet amat yak rasanya. Lol. Aku berhenti untuk memotret Austin, namun ternyata di saat yang sama, gerimis mulai terasa. Berpikir bahwa mungkin gerimis kali ini akan tahan lama -- tidak seperti di pagi hari waktu aku masih di Semarang -- aku menutupi tas pannier dengan 'tas kresek', dan aku mengenakan mantel.


Gerbang Selamat Datang di Boyolali itu ternyata terletak di 'ujung' tanjakan Ampel (jadi ingat waktu gowes Solo - Semarang di bulan Mei tahun 2012, waktu itu Ranz bilang, "Jika kita sudah melewati tanjakan Ampel, trek berikutnya sudah terasa lebih bersahabat, lol). Dari situ, trek turunan panjang menanti. Nah, karena aku mengenakan mantel yang lumayan kebesaran ukurannya untuk tubuhku, saat berpapasan dengan bus yang ngebut dari arah berlawanan maupun yang menyalip dari belakang, kurasakan tubuhku oleng. Duh, ga aman banget. Itulah sebabnya ketika kurasakan gerimis berhenti, aku berhenti untuk melepas mantel.



Sesampai lokasi yang ada 'tugu' berupa patung sapi, aku mengajak Ranz berhenti untuk foto-foto. Karena sudah pernah berfoto disini di tahun 2018 & 2019, Ranz berpikir aku sudah ga ingin berfoto disini lagi. Lhooo … kan occasionnya beda! Ya toh? Hihihi …


Jika di tahun 2018 dan 2019 aku mengajak berhenti di satu mini market setelah foto-foto di patung-patung sapi, kali ini kita ga merasa perlu berhenti di mini market. Minuman di bidon masih ada, energi belum begitu terkuras karena tak ada sinar mentari yang terik.


Melewati pertigaan Kartasura, Ranz sempat bertanya apakah aku masih kenyang. Well, meski tidak begitu terasa lelah, ternyata perutku lapar! Lol. Dan Ranz pun merasa lapar. Tahun lalu kita makan di satu warung sate kambing, tapi tahun ini aku merasa mulai butuh menghindari sate kambing, meski bisa dikatakan aku super jarang makan daging kambing. Ketimbang bermasalah dengan kolesterol tinggi, mending menghindari deh.


Ketika sedang memilih-milih kira-kira mau berhenti di warung apa, mendadak ban belakang Pockie -- sepeda yang dinaiki Ranz -- gembos. Bannya tidak tertusuk paku, namun sesuatu yang tajam yang lebarnya sampai kira2 1 cm. Kebetulan tak jauh dari situ, ada toko sepeda. Kusarankan beli ban luar dan dalam sekaligus saja, namun Ranz yang sering berpikir ngirit bilang, "Aku tuh punya ban luar untuk Pockie."


Aku bertanya, "Di rumah?"


Ranz: "Di kos Semarang."


Gubraaaaxxx.


Aku, "Lha terus bagaimana? Kita nuntuk sepeda sampai rumahmu?"


Ranz, "Naik BRT sampai Purwosari."


Aku, "Ya sudah, kamu naik BRT, aku tak lanjut mengayuh pedal Austin. Ini tinggal lurus saja mengikuti jalan dan kita akan sampai Purwosari kan?"


Ranz, "hhhh … ya sudah, aku beli ban baru saja."


Xixixixixixi …


Kita mampir di satu toko sepeda, membeli ban sekaligus meminta dipasangkan di roda belakang Pockie. Untuk ini, Ranz harus merogoh kocek Rp. 85.000,00 untuk ban luar, ban dalam (merek swallow) dan biaya memasang.


Setelah melanjutkan perjalanan, gerimis kembali terasa. Ranz pun ga jadi mengajakku mampir ke satu warung makan karena khawatir kehujanan. Sampai kita di Purwosari, ternyata gerimis tipis tetap tipis, syukurlah. Ranz mengajakku mampir di satu warung makan dimana aku bisa memesan capcay Solo sedangkan dia memesan gongso campur.

Usai makan, kucek jarak di stravaku menunjukkan angka 98 kilometer. Ranz pun langsung mahfum, mengajakku berputar sebentar, tidak langsung pulang menuju rumahnya, agar stravaku mencapai angka 100 kilometer. Horraaay.


Kurang lebih pukul 15.30 kita sampai rumah Ranz, dengan jarak tempuh di strava 100,9 kilometer. Setelah masuk rumah, terdengar suara bressssssss, turun hujan yang sangat lebat!

Perjalanan kita hari ini dikarunai dengan mendung yang sangat bersahabat, bahkan hujan pun menunggu sampai kita sampai rumah. Alhamdulillah.

LG 15.08 13-Januari-2019

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.