Cari Blog Ini

Rabu, 05 Agustus 2020

Wisata Religi di Kota Semarang

WISATA RELIGI DI KOTA SEMARANG

Jika anda adalah penikmat wisata religi, jangan pernah lewatkan berkunjung ke ibu kota Jawa Tengah ini. Anda bisa menemukan masjid, gereja, kelenteng, pagoda hingga pura. Bahkan beberapa di antaranya dibangun ratusan tahun yang lalu! Penasaran? Check it out.

Masjid
1.       Masjid Menara Kampung Melayu

Masjid ini juga dikenal sebagai Masjid Layur karena terletak di Jalan Layur, salah satu jalan yang (sayangnya) terkenal sebagai kawasan langganan terkena banjir rob alias banjir yang datang tanpa mengenal musim penghujan maupun musim kemarau. Kawasan ini juga disebut Kampung Melayu karena konon dulu penduduknya merupakan keturunan para migran yang berasal dari Melayu. 

Masjid Menara Kp. Melayu

Masjid Layur dibangun oleh seorang ulama Arab yang datang dari Yaman.  Bangunan induk masjid memiliki arsitektur bergaya Jawa dengan atap masjid susun tiga. Sedangkan menara yang berdiri kokoh di depan pintu masuk masjid bergaya arsitektur Timur Tengah. 

menara di Masjid Menara Kp. Melayu

Sampai sekarang bangunan masjid ini masih asli seperti ketika pertama kali dibangun pada tahun 1802, lebih dari 200 tahun yang lalu. Hanya ada tambahan bangunan ruangan untuk jemaah perempuan. Masjid juga masih digunakan untuk beribadah oleh masyarakat sekitar. 

Untuk menuju masjid ini, dari arah Kantor Pos Besar Jalan Pemuda, sebelum Jembatan mBerok, kita belok kiri. Kita akan menemukan rel kereta api di depan, kita menyeberangi rel tersebut. Setelah menyeberangi rel, kita lurus saja, kita sudah sampai di Jalan Layur. 

2.      Masjid Agung Jawa Tengah

Masjid Agung Jawa Tengah – yang juga sering disingkat menjadi MAJT – merupakan satu masjid modern kebanggaan warga Semarang. Mulai dibangun pada tanggal 6 September 2002 dan diresmikan oleh Presiden SBY pada tanggal 14 November 2006. Dibangun dengan gaya arsitektur campuran Jawa, Arab, dan Romawi. Bangunan utama masjid beratap limas khas banguna Jawa namun di bagian ujungnya dilengkapi kubah besar ditambah lagi dengan empat menara masing-masing setinggi 62 meter di tiap penjuru atapnya. Gaya Romawi terlihat dari banguna 25 pilar di pelataran masjid. Pilar-pilar tersebut bergaya koloseum Athena Romawi dihiasi kaligrafi nan indah. Selain itu juga dibangun sebuah menara yang menara yang disebut Al-Husna setinggi 99 meter yang dibangun terpisah dari bangunan masjid dan pilar-pilar tersebut. Al-Husna Tower ini terdiri dari 19 lantai. Lantai 19 berupa gardu pandang dimana para turis bisa melihat kota Semarang, dengan teropong yang disediakan. (Untuk ini, sediakan uang receh Rp 1000,00, logam baru, atau bisa tukar dengan petugas yang jaga. Untuk satu logam uang seribu rupiah, kita bisa menggunakan teropong selama 90 detik.) Lantai 18 berupa rumah makan yang berputar 360 derajat. (Sayangnya waktu aku kesana, rumah makan ini sedang tutup.) Sedangkan lantai 2 dan 3 berupa museum perkembangan Islam di Jawa Tengah dan museum keterlibatan Islam dalam perkembangan negara Indonesia. Di lantai dasar ada studio radio Dakwah Islam.

Masjid Agung Jawa Tengah

pilar-pilar di MAJT

Untuk lebih meyakinkan bahwa MAJT ini dibangun tidak hanya untuk beribadah namun juga untuk tempat kunjungan wisata religi, di kawasan MAJT kita bisa menemukan deretan toko yang menjual pernak-pernik agama Islam, dan warung yang berjualan makanan dan minuman. Tak juga ketinggalan ada wisma penginapan untuk turis yang datang.


Untuk menuju MAJT, dari arah Simpanglima, kita ke arah timur Jalan Ahmad Yani, terus lurus hingga melewati 3 traffic light. Di traffic light keempat, kita belok kiri, kita akan sampai di Jalan Gajah. MAJT terletak di Jalan Gajah Raya, kurang lebih 1 kilometer dari traffic light keempat.

Gereja

1.      Gereja Blenduk
Gereja yang aslinya bernama GBIP Immanuel terletak di kawasan Kota Lama Semarang, yakni Jalan Letjend Suprapto no 32. Gereja Blenduk adalah gereja Kristen tertua di Jawa Tengah, dibangun oleh pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1753 dengan bentuk heksagonal. Keistimewaan bangunan gereja ini adalah dibangun menyatu dengan bangunan-bangunan di sekitarnya, tanpa pagar yang memisahkan.
Keistimewaan di dalam gereja adalah orgel Barok yang juga telah berusia ratusan tahun namun tetap bisa digunakan dengan sangat baik di tiap ibadah. 

Gereja Blenduk dari depan
Jika kita berkunjung ke Gereja Blenduk, kita bisa sekaligus berwisata di Kawasan Kota Lama yang masih sangat banyak menyimpan bangunan-bangunan kuno peninggalan pemerintah kolonial Belanda. 

2.      Kapel Susteran Gedangan

Kompleks Gereja Santo Yusuf – yang lebih dikenal sebagai Gereja Gedangan – terletak di Jalan Ronggowarsito; terdiri dari bangunan gereja, gedung pertemuan, hingga Susteran Fransiskus. Kebetulan waktu kesana, yang kumasuki adalah gedung Susteran Fransiskus, dimana Suster Silvana yang menjabat sebagai suster kepala menerimaku dan rombongan dengan ramah. Beliau langsung mengajak kita ke kapel yang meski kecil namun menakjubkan indahnya.

Kapel Susteran dari luar

dalam kapel Susteran

Kompleks Gereja Gedangan ini dibangun di awal abad 19, tepatnya sekitar tahun 1809. Meski telah berdiri lebih dari 200 tahun, bangunannya tetaplah kokoh tak termakan zaman. Bahkan lantainya tetap kinclong, meski berulang kali kawasan ini terserang banjir rob. Pintu-pintunya terbuat dari kayu pilihan yang sangat tebal. Dinding luar yang berwarna merah membuat kompleks ini juga dikenal sebagai Gereja Merah.

Kelenteng

Banyak kelenteng tersebar di kota Semarang, terutama di kawasan Pecinan Kota Lama. Untuk ini aku akan memperkenalkan dua kelenteng yang telah cukup kondang di dunia pariwisata di Semarang

1.      Kelenteng Sam Po Kong

Kelenteng Sam Po Kong – dulu lebih dikenal dengan nama ‘Gedung Batu’ – terletak di Desa Simongan. Cerita berawal dari mampirnya Laksamana Cheng Ho – pemimpin ekspedisi penjelajahan dari China – di awal abad 15. Untuk menandai bahwa dia pernah mampir, Cheng Ho – yang juga dikenal dengan nama Sam Po Tay Djien – membangun sebuah petilasan yakni berupa masjid karena dia adalah seorang Muslim. Namun karena bentuknya yang berarsitektur China, oleh penduduk sekitar sekian ratus tahun kemudian masjid ini berubah fungsi menjadi kelenteng. 

kelentang Sam Po Kong

patung Cheng Ho menghiasi

Sam Po Kong mengalami renovasi beberapa kali. Beberapa tahun terakhir nampaknya pemerintah merenovasinya dengan semangat besar untuk menjadikannya sebagai salah satu tujuan pariwisata religi. Banyak bangunan pendamping dibangun di kawasan ini, tidak hanya kelenteng utama yang digunakan beribadah kaum Kong Hu Chu. Jika dulu pengunjung tidak ditarik retribusi, sekarang kita diharuskan membeli tiket seharga Rp. 3000,00 untuk pengunjung namun tidak boleh memasuki bangunan kelenteng. Bagi yang ingin berziarah dan memasuki kelenteng, dipersilakan membeli tiket seharga Rp. 20.000,00.

2.      Kelenteng Tay Kak Sie

Kelenteng satu ini terletak di Jalan Gang Lombok no 62 Pecinan Semarang. Didirikan pada tahun 1746 (ada yang menyebut tahun 1772), semula hanya untuk memuja Dewi Kwan Sie Im Po Sat, Yang Mulia Dewi Welas Asih, namun kemudian berkembang menjadi kelenteng yang juga memuja Dewa Dewi Tao lainnya. 

replika kapal Cheng Ho yang konon ukurannya mendekati ukuran asli kapal terkecil dalam ekspedisi pelayaran Cheng Ho kini tinggal kenangan

kelenteng Tay Kak Sie dengan hiasan ular naga di atap yang berwarna biru

Beberapa tahun lalu oleh pemerintah kota Semarang, di sungai yang terletak di depan Kelenteng, ditempatkan sebuah kapal / perahu yang berukuran lumayan, yang konon merupakan replika kapal Laksamana Cheng Ho yang mendirikan Gedung Batu Sam Po Kong. Pemkot berpikir bahwa keberadaan kapal itu akan menambah nilai positif Kelenteng Tay Kak Sie dari segi pariwisata. Akan tetapi kondisi sungai yang penuh kotoran dan tidak pernah dikeruk/dibersihkan ini, justru keberadaan kapal membuat kondisi sungai semakin kotor dan kumuh hingga nampaknya Pemkot berencana untuk memindahkan (menyingkirkan) replika kapal tersebut. Tahun 2008 lalu, waktu kondisi kapal masih baru dan bersih + bagus, beberapa kali dipilih sebagai lokasi untuk menyelenggarakan beberapa event. Salah satunya – yang kuhadiri waktu itu – adalah puncak acara perayaan Hari Kebangkitan Nasional yang keseratus di Semarang tahun 2008: KETOPRAK PUTRI CINA.

Sejak kurang lebih satu tahun yang lalu, di depan Kelenteng, diletakkan sebuah patung besar Laksamana Cheng Ho, yang mendirikan Gedung Batu Sam Po Kong. Mungkin untuk ‘menemani’ replika kapal yang ada di sungai depan Kelenteng. Akan tetapi sayang sekali replika kapal ini dihilangkan di akhir tahun 2014 karena ditengarai keberadaan replika ini justru membuat air di sungai ini tidak bisa mengalir sebagaimana mestinya sehingga kotoran berkumpul di bagian bawah kapal, satu hal yang menunjukkan rendahnya kesadaran masyarakat sekitar bahwa sungai bukanlah tempat sampah.. :(  

Berbeda dangan Kelenteng Sam Po Kong dimana orang harus membeli tiket untuk masuk, orang tidak perlu mengeluarkan biaya sepeser pun untuk masuk ke Kelenteng Tay Kak Sie. :)

Pagoda

Hanya ada satu pagoda di kota Semarang, meski tinggi bangunannya tercatat oleh MURI sebagai pagoda tertinggi di Indonesia pada tanggal 14 Juli 2006 ketika diresmikan oleh Bhikku Pannavaro Mahathera. Ada yang menyebutnya sebagai Vihara Buddhagaya Watu Gong namun juga ada yang menyebutnya dengan Pagoda Avalokitesvara

pagoda Avalokitesvara setinggi 7 tingkat

patung raksasa Buddha yang sedang berbaring

Pagoda Avalokitesvara terletak di kawasan atas Semarang, Pudakpayung, sekitar 17 kilometer ke arah Selatan, berseberangan dengan kompleks Kodam Diponegoro. Selain bangunan pagodanya yang tinggi menjulang, di halaman samping juga dibangun patung Buddha yang sedang berbaring di bawah pohon Boddhi. Sementara di halaman depan pagoda, ada patung Buddha duduk berukuran sedang yang juga diletakkan di bawah pohon Boddhi yang cukup rindang. 

Pagoda yang indah dan bersuasana damai ini boleh dikunjungi oleh siapa saja, baik untuk beribadah maupun untuk berwisata. Untuk masuk, pengunjung tidak perlu membeli tiket masuk.

Pura

Hanya ada sebuah pura untuk beribadah kaum Hindu yang tinggal di kawasan kota Semarang dan sekitarnya yakni Pura Giri Natha yang terletak di Jalan Sumbing. Tidak banyak informasi yang bisa didapat dari pura ini kecuali bahwa pura didirikan pada tahun 1970, dirintis bersama-sama oleh para pemuka agama Hindu yang berada di kota Semarang. 

Pura Giri Natha

Untuk ke Jalan Sumbing, dari pertigaan RS Dr Kariadi Semarang, kita terus naik tanjakan S. Parman (yang juga dikenal sebagai tanjakan Gajahmungkur). Sampai atas tanjakan, kita akan menemukan SPBU, setelah SPBU ada jalan belok kiri, kita belok kiri. Setelah melewati hotel Rinjani, ada jalan belok kanan, nah itulah Jalan Sumbing. Pura Giri Natha terletak kurang lebih 200 meter dari pertigaan itu.

Semarang tidak kalah dengan kota-kota lain untuk tempat wisata religinya bukan? Ayo mampir ke kota Semarang.

Oktober 2015
Nana Podungge
pehobi sepeda antar kota sekaligus bertamasya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.