Cari Blog Ini

Sabtu, 22 Agustus 2020

Destinasi wisata pasca instagram

 Sebenarnya, aku tipe orang yang "murah hati" memberi info tentang tempat2 yang sudah kukunjungi kepada mereka yang kepengen berkunjung ke tempat yang perrnah kukunjungi itu. Misal, ketika aku dan Ranz dolan ke Wana Wisata Alas Bromo di bulan September 2012, banyak kawan yang bertanya dimana lokasi Alas Bromo, karena mereka tertarik melihat foto-foto yang kuunggah, aku menjelaskan tanpa rasa pelit. ๐Ÿ˜…


Di bulan Oktober 2013, aku dan Ranz pertama kali dolan ke Telaga Madirda -- yang merupakan satu rangkaian bersepeda ke Candi Sukuh -- aku pun memberikan info dimana lokasi telaga ini saat kawan-kawan medsos bertanya.


Hingga sekian tahun lalu, seorang sobat sepeda nampak pelit berbagi info. Alasannya, "Biar tempat itu tetap alami. Jika kian banyak orang datang kesana, dan mereka tidak peduli dengan kebersihan, pasti pantai-pantai yang masih 'perawan' itu tak lama lagi akan penuh dengan sampah." ๐Ÿ˜” 


Hmmm ... that makes sense ๐Ÿ˜๐Ÿค”๐Ÿ™„


Namun akhirnya aku menemukan alasan lain: "Agar tempat itu tetap terjaga keasliannya. Di zaman orang2 kian narsis dengan spot2 instagrammable, kian banyak destinasi wisata menjadi tak lagi alami."


2 tahun lalu ketika mengunjungi Kawah Sikidang, aku lihat kondisi kawah yang tidak lagi "normal" karena terlalu banyak spot2 instagrammable yang terkesan terlalu dipaksakan "hadir"; belum lagi sewa2 ATV. Ga cocok banget ๐Ÿ˜‘๐Ÿ˜๐Ÿคจ



Bulan lalu, aku berkesempatan ke Telaga Madirda lagi. Air telaga masih nampak jernih, tapi bermunculannya spot2 "aneh" dan "bebek bebekan" di tengah telaga ini terasa sangat tidak pas berada di destinasi wisata yang terletak di tengah lembah ini ๐Ÿ˜”๐Ÿ˜Œ foto yang di atas dijepret tahun 2013, yang di bawah Juli 2020.


I was broken-hearted ๐Ÿ˜ญ๐Ÿ˜ฅ๐Ÿ˜ฐ






Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.