Bersepeda paling beresiko semenjak aku menggemari bersepeda bulan Juli 2008 adalah ketika aku dan Ranz memutuskan untuk menempuh perjalanan dari pantai Bandengan Jepara ke Semarang naik sepeda lipat.
di gerbang selamat jalan kota Jepara |
Ranz |
“Jadi gowes ke Semarang?” tanya Ranz.
“Ayo. Jadi sajalah,” jawabku. “Siapa tahu bisa menyembuhkan mabuk laut selama kurang lebih enam setengah jam di atas kapal Muria.”
Maka tanpa pikir panjang, setelah memasang Snow White dan Pockie, kita berdua keluar dari pelabuhan Bandengan gowes ke arah kota. Sempat bertanya arah menuju kota sekali kepada seorang penduduk yang kita temui di pinggir jalan, dan mampir ke sebuah mini market untuk membeli air minum mineral, kita menuju kota.
Dikarenakan semenjak pagi kita belum sempat sarapan, maka kita memutuskan mampir di sebuah rumah makan untuk makan siang yang sangat terlambat, nunut shalat, juga nunut nge-charge hape.
50 km lagi ke Semarang, semangattt!!! |
Dikarenakan semenjak pagi kita belum sempat sarapan, maka kita memutuskan mampir di sebuah rumah makan untuk makan siang yang sangat terlambat, nunut shalat, juga nunut nge-charge hape.
Sekitar pukul 16.30 kita siap mulai menempuh perjalanan panjang. Ranz menaiki Snow White yang berupa sepeda lipat urbano 3.0 karena di boncengannya duduk tas panier yang penuh barang bawaanku. Di punggung Ranz juga menggendong tas punggungnya yang tak kalah berat. Aku menaiki Pockie alias sepeda lipat pocket rocket milik Ranz yang tanpa beban kecuali tas punggung kecil yang kubawa.
Matahari masih bersinar terang kala itu. Kita mengayuh pedal dengan kecepatan sedang, berusaha untuk selalu berada di sisi paling kiri karena di jalur yang kita lalui, mobil-mobil, bus-bus, juga truk-truk besar kadang melewati kita dengan seolah menganggap kita tak pernah ada. Bahkan di satu tempat, Ranz sempat jatuh terpelanting karena sebuah truk menyenggol tas panier. Aku hampir menyarankan untuk tidak jadi gowes ke Semarang karenanya, namun Ranz terus meyakinkan aku bahwa dia baik-baik saja.
sudah gelap! :) |
Tantangan semakin terasa ketika langit mulai gelap karena sang mentari telah beristirahat di peraduannya. Jika dalam keadaan terang benderang saja kendaraan bermotor berbadan besar itu hampir menganggap kita tidak ada, apalagi dalam kegelapan? Ditambah lagi kita hanya punya sebuah lampu yang dipasang di setang Pockie. Karena itulah aku berada di depan, sedangkan Ranz berada di belakangku. Tidak ada lampu di badan Snow White, aku lupa entah jatuh kemana lampu yang terpasang di bawah sadel semenjak Snow White dibeli setahun yang lalu. Untuk memberitahu pengguna jalan di belakang kita bahwa ada sepeda yang melintas adalah ‘scotchlite material’ yang ada di tas panier.
Terus terang sepanjang perjalanan hati kita berdua deg-deg plas karena nekad bersepeda dalam gelap tanpa penerangan yang cukup. Apalagi jalan yang kita lewati lumayan sempit, selalu penuh dengan kendaraan bermotor yang berbadan besar dan sopirnya sering ngawur, menganggap kita tidak ada. Apalagi waktu di daerah kabupatan Jepara, Ranz sempat jatuh. Namun dengan keyakinan teguh, kita terus mengayuh pedal tanpa henti.
Deg-degan kita lumayan jauh berkurang setelah melewati pertigaan Welahan. Kita akhirnya sampai ke jalan raya pantura yang lebarnya sekitar satu setengah kali dibandingkan jalan yang kita lewati sebelumnya. Juga karena banyak bertabur lampu di pinggir jalan. We were not really in the dark anymore.
Dalam diam kita terus gowes sampai di alun-alun Demak sekitar pukul 20.00. Kita sepakat untuk mencari sebuah mini market untuk membeli air minum dan sedikit cemilan, sekaligus beristirahat sejenak. Tas panier yang duduk manis di boncengan Snow White memang cukup mengabarkan pada mereka yang tertarik memandang kita bahwa kita adalah ‘bikepacker’ yang sedang menempuh perjalanan jauh. Ketika masih di Jepara, tiap kali ditanya orang, aku menjawab, “Dari Karimun Jawa menuju Semarang,” namun ketika ditanya tukang parkir di mini market tempat kita nongkrong sejenak, aku menjawab, “Dari Karimun, mau menuju Solo.” (Ranz bertempat tinggal di Solo, sedangkan aku di Semarang.) Sengajalah, biar terkesan dramatis.
Perjalanan Demak – Semarang lumayan lancar kecuali ‘terganggu’ sms-sms dari anakku yang menganggap keputusanku gowes Jepara – Semarang dalam keadaan mabuk laut adalah candaan yang sama sekali tidak lucu. Tentu saja aku harus membalas sms-sms itu untuk meyakinkan bahwa nyokapnya baik-baik saja, dan sangat berharap mabuk laut itu akan sudah hilang ketika sampai rumah.
Kita sampai di rumahku – di kawasan Semarang Barat – sekitar pukul 22.00. Setelah memastikan aku sampai rumah sehat wal afiat, tak kurang suatu apa, Ranz kembali gowes ke arah Tugumuda, dimana dia menunggu dijemput ‘travel’ untuk melanjutkan perjalanan ke Solo.
Benar-benar pengalaman gowes beresiko yang kita jalani berdua, but for sure, it is unforgettable.
GL7 11.11 301111
P.S.: tulisan ulang yang merupakan bagian pengalaman bikepacking ke Karimun Jawa. ditulis ulang demi mengikuti lomba Kontes Menulis "Cycling with Confidence"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.