Kucopy-paste dari sini
Pantai Nampu dari atas :) |
Gowes nekad?
Adalah gowes menuju Pantai Nampu Wonogiri (tepat di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur) dari daerah Jongke Solo. Berdua. Aku dan Ranz. Naik sepeda lipat, urbano 3.0 dan pocket rocket.
Nekad karena belum benar-benar tahu lokasinya di sebelah mana. Juga karena ternyata kita berbekal informasi yang tidak sepenuhnya benar. Informasi yang kita terima adalah, “Jarak dari Solo menuju Wonogiri 40 kilometer. Jarak dari Wonogiri menuju Pantai Nampu juga sekitar 40 kilometer. Rute yang dilewati jalannya ‘biasa’ saja,” kata sang pemberi info.
gerbang Kabupaten Wonogiri :) |
Maka kita pun nyante waktu meninggalkan rumah Ranz pada tanggal 3 September 2011. Jika semula kita berencana berangkat sekitar pukul 06.00 pagi, namun karena sesuatu hal kita baru meninggalkan rumah sekitar pukul 09.00. Estimasi kita adalah: kita butuh sekitar dua atau tiga jam untuk menempuh Solo – Wonogiri. Kita juga membutuhkan waktu yang kurang lebih sama untuk menempuh Wonogiri – Nampu. Maka kita perkirakan kita akan sampai di Nampu sekitar pukul 17.00, paling lambat.
gowesss gowesss :) |
Apa daya ternyata kita terlalu ‘meremehkan’ perjalanan yang akan kita tempuh. Selama perjalanan Solo – Wonogiri memang kita tidak menemui kendala yang berarti, jalan mulus, datar, dan traffic yang tidak terlalu padat. Begitu masuk kota Wonogiri (sekitar pukul 12.00), kita pun disambut dengan tanjakan-tanjakan yang ternyata tidak kunjung usai hingga kita sampai ke tempat tujuan: Pantai Nampu.
Semula aku tidak yakin bahwa Pantai Nampu terletak di balik bukit (gunung?) dimana untuk sampai disana kita harus terus menerus melewati tanjakan. Setelah melewati tanjakan dimana kita melewati waduk Gajahmungkur, dari satu kecamatan ke kecamatan lain, aku selalu berharap bahwa tak akan lagi aku menemui tanjakan.
in action di waduk Gajahmungkur |
“Dimanakah jalan turunan yang nantinya akan membawa kita ke arah pantai?” begitu aku terus menerus berbincang pada diri sendiri. Namun harapanku teruslah hanya merupa harapan kosong belaka. Tak jua ada turunan yang tak segera diikuti tanjakan lagi di ujung depan sana. Dan sangatlah tidak mungkin aku menyalahkan Ranz yang memberi informasi yang tidak benar.
Kita berdua sarapan pukul 09.15 di Soto Seger Jalan Bhayangkara Solo. Kita sempat mampir ke sebuah warung di pinggir jalan membeli es campur sekitar pukul 12.00 sebelum masuk Kabupaten Wonogiri dari arah Solo. Dan kita tidak makan apa pun hingga menjelang pukul 16.00, kecuali minum air mineral perbekalan kita karena kita masih tetap saja menyimpan harapan untuk segera sampai pantai sebelum matahari tenggelam. Namun ketika pukul 16.00 dan melewati sebuah rumah makan, aku langsung membelokkan sepeda. Aku butuh asupan makanan untuk melanjutkan mengayuh pedal.
rumah makan tempat kita makan siang kesorean :) |
Ranz sudah nampak menyesal pada waktu itu karena informasi yang dia berikan kepadaku melenceng. Yah, sudahlah, apa pun yang terjadi, kita harus meneruskan perjalanan.
Sebelum meninggalkan rumah makan, aku sempat bertanya kepada si empunya apakah aku dan Ranz berada di jalur yang tepat. Kita mendapatkan jawaban yang setengah melegakan: kita berada pada ‘track’ yang tepat, namun tanpa informasi jelas seberapa jauh lagi jarak yang masih harus kita tempuh.
Lewat pukul 17.00, mungkin dikarenakan mendung, jalanan mulai gelap. Tetap tak ada tanda-tanda jalan menurun yang mungkin akan membawa kita ke daerah pantai. Aku mulai tak bisa menyembunyikan kecemasan dari roman wajahku.
“Kita cari hotel saja jika ternyata perjalanan kita harus berhenti di satu tempat malam ini,” kataku pada Ranz. Dia langsung mengiyakan. Kondisi tubuh kita sudah payah.
Sesampai di kota kecamatan Pracimantoro sekitar pukul 18.30 dimana kita menemukan sebuah mini market, kita mampir untuk membeli air minum dan sedikit cemilan penambah tenaga. Sembari beristirahat sejenak, duduk di emperan toko, kita ngobrol, menghibur diri. “This is gonna be a very memorable bikepacking experience,” kata kita berdua.
Di perempatan yang letaknya tak jauh dari terminal bus Pracimantoro, aku bertanya kepada seorang polisi di sebuah pos polisi, “Kemanakah arah menuju Pantai Nampu?”
“Ibu mau ke Pantai Nampu? Naik sepeda? Wahhh...” komentarnya. Dia pun memberikan petunjuk belok ke arah kiri. Kita diminta terus saja ambil arah kiri itu sampai sekitar 7 kilometer. Kita akan sampai ke sebuah perempatan lain, yang daerahnya disebut Giri Belah. Ambil arah kanan, kita akan sampai ke sebuah daerah yang disebut Paranggupito. Disanalah kita akan menemukan pantai Nampu.
Dengan sedikit blank, aku mengikuti petunjuk tersebut. Sementara Ranz yang melihat bahwa jalan yang kita lewati bakal tetap merupakan jalan tanjakan turunan, mana tidak terlihat sebuah lampu pun menyala di pinggir jalan, dia memaksaku untuk kembali ke perempatan Pracimantoro, dan mencari hotel. Aku sendiri berharap akan menemukan hotel juga dalam perjalanan menuju ke arah Giri Belah.
“Ga bakal ada hotel di jalanan yang sunyi senyap tanpa lampu seperti itu,” kata Ranz. Ngeyel.
“Kalau kita balik lagi ke arah perempatan dimana ada pos polisi tadi, kemudian polisi itu melihat kita, dan bertanya mengapa kita balik, lalu mau jawab apa?” tanyaku, ngeyel juga, sambil mendramatisir suasana.
“Bilang saja kita memutuskan mencari hotel untuk menginap malam ini. Baru besok pagi melanjutkan perjalanan lagi,” jawab Ranz, setengah tak mengerti aku yang blank.
Akhirnya kita pun balik lagi ke arah perempatan, letak titik keramaian di daerah itu. Setelah bertanya kepada beberapa orang, ada seorang laki-laki yang memberi petunjuk. Aku dan Ranz mengayuh pedal menuju arah yang ditunjukkan oleh laki-laki itu. Jalanan pun naik turun dan gelap. Setelah sekian ratus meter tak juga kita menemukan hotel yang katanya bernama hotel Aji Mantoro, Ranz bertanya lagi, “Are we on the right track? Kok jauh amat.”
“Do you think that guy lied to us? What’s the point?” tanyaku balik, semakin lelah. “Pokoknya tadi orang itu bilang agar kita terus gowes sampai kita menemukan hotel di sebelah kiri. Sekarang kita belum menemukan hotel itu, mari kita terus gowes saja sambil berharap menemukan hotel yang kita cari.”
Ranz setuju.
Sekitar kurang lebih dua kilometer dari perempatan, kita menemukan hotel itu. Lega yang luar biasa menghinggapi hati kita berdua. Akhirnya kita bisa beristirahat malam itu! Namun ketika melihat pelataran parkir hotel penuh mobil berpelat B, aku sedikit khawatir. Jangan-jangan ..
“Ada kamar kosong Pak?” tanyaku pada resepsionis.
“Kamar penuh, Mbak.” Jawabnya.
Gubrak.
Namun aku tidak kehilangan harapan. Sementara tenaga telah terasa lunglai semenjak melihat penampakan hotel. Aku tidak mungkin mampu gowes lebih jauh lagi untuk mencari hotel lain.
“
Bisakah kita nunut duduk di sofa ini?” tanyaku, penuh harap. We could not continue our journey!
“Oh, silakan saja,” jawab sang resepsionis.
Oh leganya! Meski hanya beristirahat di sofa, tak apalah, yang penting malam itu kita tak perlu lagi gowes. Hawa lumayan dingin, namun dengan mengenakan jaket, duduk-duduk di ruangan resepsionis, aku merasa jauh lebih baik ketimbang berkeliaran di jalanan, melanjutkan perjalanan menuju Pantai Nampu.
hotel Aji Mantoro |
Bahwasanya kita harus menginap di hotel karena kemalaman di jalan benar-benar di luar perkiraan kita. Pengalaman bahwa kita berhasil menemukan hotel namun tak ada kamar kosong jelas telah membuatnya jauh lebih dramatis. Wow. :) untunglah sang resepsionis juga mempersilakan kita menggunakan toilet yang disediakan di dekat musholla untuk kita bersih-bersih diri. Hanya sayangnya malam itu kita harus kelaparan sembari beristirahat karena ternyata di hotel tidak ada restaurant. Mau kembali lagi ke perempatan ‘kota kecamatan’ Pracimantoro untuk mencari camilan kita sudah tak mampu lagi gowes, jadi ya apa boleh buat? Sempet nyesel juga mengapa kita tidak membeli makan dulu sebelum mencari hotel, namun karena kita sudah panik sebelumnya merasa tidak yakin bakal ketemu hotel di daerah situ, jadi ya begitu deh.
Malam terasa merambat pelan karena rombongan yang berasal dari Jakarta membuat kegaduhan ketika bermain kartu. Sebagian lagi ngobrol rame-rame. Nampaknya mereka sedang begitu menikmati kebersamaan mumpung suasana Lebaran. Baru setelah pukul tiga, tak lagi kudengar suara-suara bising.
gerbang perbatasan Kecamatan Pracimantoro |
Pagi sekitar pukul 06.00 aku dan Ranz sudah siap meninggalkan hotel. Yang pertama kita lakukan tentu adalah mencari warung di perempatan Pracimantoro untuk sarapan. Kita butuh asupan makanan untuk tenaga melanjutkan perjalanan dengan gagah berani.
Usai sarapan, mampir toilet di sebuah pom bensin, kita berdua melanjutkan perjalanan sekitar pukul 07.00. Kembali menyusuri jalan yang tak pernah lepas dengan tanjakan maupun turunan, meski landai. Istirahat semalam hanya dengan duduk-duduk di sofa ruang resepsionis hotel dan sarapan semangkok nasi soto ternyata lumayan menyuntikkan tenaga. Tentu juga didorong oleh ketekadan hati bahwa kita harus sampai ke tujuan: Pantai Nampu. Bukan apa-apa, sudah telanjur ‘woro-woro’ di media social network bahwa kita berdua bakal bikepacking ke Pantai Nampu dari Solo naik sepeda lipat. Kalau harus berhenti di tengah jalan, malu dong ya.
trek dari Pracimantoro menuju Giribelah |
Di sepanjang jalan yang kita lewati menuju perempatan Giribelah, kita menemukan penunjuk berapa kilometer dari Wonogiri, juga dari Solo. Kita semakin sadar bahwa informasi yang kita bawa di awal perjalanan memang salah. Dari kota Solo – terutama tempat tinggal Ranz – masuk perbatasan kabupaten Wonogiri memang hanya 40 kilometer, namun ternyata dari situ sampai ke kecamatan Pracimantoro, kita telah menempuh jarak sekitar 60 kilometer. Dari Pracimantoro ke perempatan Giribelah ada sekitar 7 kilometer, seperti kata pak polisi yang kutanya satu malam sebelumnya.
Dan ini semua belum seberapa. Setelah kita sampai di perempatan Giribelah, klimaks dari seluruh perjalanan terbentang di depan mata: tanjakan curam sepanjang puluhan kilometer lah yang akan membawa kita sampai ke tempat tujuan, Pantai Nampu. Boro-boro turunan landai yang akan membawa kita ke pantai. Fiuuuuuhhh ...
Honestly, aku langsung merasa tubuhku tak lagi bisa diajak kompromi. Dengkul sudah tak mau lagi dipaksa mengayuh pedal. Aku mending nuntun dah dari pada harus memaksa diri. (Percayalah bahwa menuntun sepeda itu sangat disarankan dan perlu mana kala lutut memang tak lagi mampu. LOL.) Untungnya, Ranz tidak patah semangat. Padahal sehari sebelumnya, justru dia yang terlihat kepayahan ketika tiba-tiba di satu tanjakan, dia meminggirkan Snow White sambil berkata, “I need to rest.” Sambil memijat-mijat betisnya sendiri. OH NOOOOO ... Kalau ‘savior’ku saja sampai bilang begitu, bagaimana aku?
Meski aku ‘keukeuh’ untuk nuntun sepeda sepanjang tanjakan curam menuju Pantai Nampu, Ranz tetap keukueh juga menaiki sepeda. Dan caranya dia gantian, menaiki Snow White sekian ratus meter, kemudian balik lagi menjemput Pockie untuk dikayuh sekian ratus meter. Begitu terus menerus. Hingga akhirnya kita sampai ke Pantai yang kita impikan sejak sehari sebelumnya.
di pinggir pantai Nampu :) |
Meski orang-orang yang suka berpetualang bilang ‘the destination is not as important as the journey’, kali ini bagi kita berdua tujuan itu sangat penting. Bukan untuk apa-apa, hanya sekedar untuk bernarsis ria berfoto bersama sepeda kita untuk bukti bahwa kita akhirnya menaklukkan perjalanan sekitar 130 kilometer dengan naik sepeda lipat dan sampai dengan selamat. Cihuuyyy. Toh kita juga sudah menikmati perjalanan dimana jalannya penuh tanjakan dan turunan, kebersamaan kita berdua yang membuat perjalanan ini begitu manis dan memorable.
Untunglah pulangnya kita mendapat tumpangan mobil (tetangga Ranz) sampai Giribelah. Dari perempatan Giribelah kita gowes sampai perempatan Pracimantoro dimana kita menggurat kenangan dengan bermalam di salah satu hotel dengan cara duduk-duduk di sofa ruang resepsionis. Dari Pracimantoro kita kembali ke Solo naik bus antar kota.
Sampai sekarang kita berdua masih belum yakin akankah kita mendapatkan pengalaman bikepacking semenantang perjalanan kita ini. Yang pasti adalah, pengalaman salah informasi ini membuat kita lebih berhati-hati untuk mempersiapkan rencana bikepacking selanjutnya.
GL7 08.58 021211
P.S.: Berupa penulisan ulang 'bikepacking ke Pantai Nampu' untuk mengikuti Kontes Menulis "Cycling with Confidence"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.